Senin, 25 November 2013

Harapan Untuk Presiden RI Yang Akan Datang : Perlunya Reformasi Moral di Indonesia*



Sekali lagi tentang reformasi
Banyak orang sudah bosan dan kecewa kalau ada tulisan tentang reformasi, apalagi reformasi di bidang hukum. Tetapi makalah ini ingin mengangkat kembali tema reformasi karena dalam persaingan mencari Presiden yang akan datang masih diperlukan masukan dari masyarakat tentang harapan mereka. Tulisan ini dibuat bersama, berdasarkan sebuah tulisan terdahulu yang dibuat dan diedarkan oleh Subagio Sutjitro SH (seorang Lansia yang menulis tanpa-pretensi dengan menyatakan dirinya “bukan siapa-siapa” – orang Inggris mengatakannya “I am a Nobody” ).Tulisan tersebut sudah beredar  lebih dari  dua tahun - dengan mengangkat tema utama “ perlu adanya Reformasi Moral !”)[1].

Tentu kita dapat saja bersikap skeptis tentang: “apa yang dimaksudkannya dengan moral itu”? Moral siapa ? Memang “moral” dapat didefinisikan sebagai sikap hidup yang dapat membedakan antara baik dengan buruk. Tetapi baik dan buruk menurut siapa ?[2]

Tetapi kalau kita mau jujur melihat sekitar kita, maka ada benarnya pendapat bahwa “Negara RI sudah di pinggir jurang[3]. Untuk sekedar ilustrasi tentang keadaan suram itu akan diajukan tujuh masalah berat yang dihadapi Indonesia saat ini (tahun 2013 menghadapi Pemilu 2014). Tujuh masalah itu menyangkut: Moral – Korupsi – Narkoba – Utang Negara – Demokrasi ala Indonesia – Penderitaan Rakyat – dan Harga Minyak Dunia. Masalah-masalah inilah yang harus dihadapi oleh pemimpim bangsa yang akan terpilih menjadi Wakil Rakyat di DPR/DPRD dan tentunya oleh Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih secara langsun oleh rakyat.

Tetapi makalah ini juga tidak ingin terlalu pesimistis dan skeptis, apalagi justru ingin jauh dari sikap apatis, maka  pemikiran dalam makalah ini justru bersifat optimis karena  melihat  bahwa masih ada harapan – asal Presiden yang akan datang bersedia memperhatikan tulisan ini. Meskipun makalah ini dapat dianggap agak “tekabur” (karena ingin menyaingi makalah para penasihat  Presiden yang akan datang),  tetapi kami sangat berharap bahwa para Pembaca yang budiman sudi  merenungkan isi makalah ini dan memberi tanggapan apakah memang masuk akal  analisa dan solusinya.

Tujuh masalah berat yang kita hadapi
Kita semua heran bahwa korupsi menjadi meningkat justru setelah Negara kita memasuki Era Reformasi yang menggantikan Era Orde Baru (1967 – 1998).Bagi  para penulis makalah ini, penyebabnya adalah pada moral pejabat kita serta sebagian anggota masyarakat. Kerusakan moral (masalah ke-1) ini dalam istilahnya sudah van top tot teen (dari ujung rambut kepala sampai kelingking jari kaki). Istilah ini berarti kerusakan moral itu “telah menyeluruh” – dari pejabat yang paling tinggi sampai pegawai negeri yang paling rendah.Artinya adalah bahwa mereka ini tidak dapat lagi menyadari apakah perbuatan mereka itu (seperti “menerima atau memberi suap”, “memalsukan harga pembelian barang/jasa atau pembayaran proyek pemerintah”, “memanipulasi pajak” dan yang sejenis) adalah keliru, buruk, merugikan publik dan negara.Kalau kita ikuti jalan pikiran ini, maka selama 30 tahun Era Orde Baru telah terjadi perubahan nilai-nilai tentang perbuatan apa yang merugikan sesama kita (publik) dan karena itu harus dihindari oleh seorang pejabat negara. Saran kami disinilah seharusnya inti reformasi kita.

Akibat kerusakan moral yang menyeluruh ini, maka terjadilah korupsi.Sebenarnya adanya korupsi dalam masyarakat kita sudah diakui semasa Era Orde Lama oleh Presiden Soekarno dan suatu Komisi Negara yang dipimpin oleh Wakil Presiden Moh.Hatta telah dibentuk untuk menyarankan penanggulangnnya. Dari sinilah timbul pemeo (ejekan, olok-olok) bahwa di Indonesia “korupsi telah membudaya”.Pemeo ini sering dikaitkan sebagai ucapan Bung Hatta. Seingat kami (waktu itu tahun 1956/57 ketika kami mahasiswa FHUI) maksud Bung Hatta justru “janganlah korupsi di Indonesia membudaya”. Tetapi peringatan ini tidak diindahkan oleh pemimpin-pemimpin bangsa kita, sehingga selama 30 tahun pimpinan Pak Harto dengan Tim Ekonominya, perubahan nilai-nilai tentang tatacara memanfaatkan sumber daya alam serta dana negara terjadi, terutama dimanfaatkan untuk memperkaya diri, keluarga dan kelompok oleh mereka yang merupakan lingkaran dalam sekeliling Pak Harto (kemudian dikenal sebagai “kelompok Cendana”). Tidak ada angka jelas tentang besar dan luasnya korupsi pada Era Orde Baru, orang hanya dapat menduga dengan melihat timbulnya konglomerasi perusahaan-perusahaan yang dikuasai keluarga Pak Harto ataupun keluarga anggota kelompok Cendana. Namun dalam Era Reformasi ini (mulai tahun 1998) dengan adanya keterbukaan informasi melalui media massa, serta adanya berbagai organisasi masyarakat yang memantau jalannya pemerintahan, maka menjadi lebih jelas adanya “korupsi besar-besaran” yang sistematis (masalah ke-2) yang dilakukan pihak Eksekutif di Pusat dan Daerah, serta diikuti pula oleh pihak Legislatif melalui kolusi antara anggota DPR/DPRD dengan anggota Pemerintah Pusat dan Daerah. Apakah jajaran Yudikatif bebas dari perbuatan a-moral ini ? Ternyata tidak ! Hakim, Jaksa dan Polisi pun tidak kebal terhadap “virus wabah korupsi” yang mulai bersemi di Era Orde Baru.Sampai saat ini KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) masih belum berhasil untuk “menetralisir” sumber “virus wabah” ini.
Menurut catatan yang dapat diperoleh, maka korupsi besar dan sistematis  yang telah terjadi adalah a.l. :
-sebesar -/+40% dari RAPBN 2012 Rp 1.418,5 Triliun atau -/+ Rp.567,40 Triliun; dan
-sebesar -/+40% dari RAPBN 2013 Rp 1.657,9 Triliun atau -/+ Rp.663,16 Triliun; [4]
sehingga dana yang mungkin dikorupsi dengan persentase 40% tersebut dari RAPBN 2012, 2013, dan 2014 saja dapat mencapai -/+ Rp.2.000,- Triliun. Sungguh angka yang fatastis dan pasti akan menghambat proyek-proyek besar dan ambisius Pemerintah SBY. Hal ini sebenarnya  telah pernah diperingatkan a.l. oleh Menko Hata Rajasa dalam suatu wawancara TV mengenai MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Patutlah warga masyarakat gelisah melihat besarnya utang Negara kita, yang perlu dikembalikan dan tentu dengan bunganya – semua akan menjadi utang anak- cucu- dan cicit kita !

Masalah ke-3 adalah Narkoba.Permasalahan ini bukan masalah domestik Indonesia saja, tetapi menjadi masalah dunia – telah menjadi transnational organized crime. Ini disebabkan karena perdagangan narkoba ini telah menjadi suatu gurita-kejahatan yang dikuasai oleh “pengusaha-jahat” yang hidup bermewah-mewah di atas penderitaan mereka yang menjadi “pengguna-narkoba” (drug addicts).Kekuasaan “penjahat-berdasi” (white collar criminals) yang menguasai perdagangan narkoba mencapai puncaknya dengan kemampuan mereka menguasai lembaga-lembaga pemasyrakatan (penjara) di Indonesia. Media massa memberitakan bagaimana Lapas dijadikan “pabrik narkoba” dan bagaimana gembong narapidana kejahatan narkoba masih dapat mengarahkan perdagangan narkoba di luar penjara di Indonesia dari dalam sel penjara. Lebih menherankan lagi, baik Dirjen Pemasyarakatan maupun kepala Lapas seperti kebal dari tuduhan terlibat dalam “perdagangan narkoba” di dalam dan di luar penjara ini ! Penderitaan masyarakat Indonesia dari keadaan ini haruslah dianggap sudah seperti “wabah penyakit” dengan 5 juta penderita ketergantungan narkoba dan dengan 50 orang (rakyat Indonesia) meninggal setiap hari karena wabah ini ! Meskipun sudah dibentuk BNN (Badan Narkotika Nasional) yang bertugas menanggulangi “wabah-narkoba” ini, tetapi sepertinya pemerintah kalah melawan “mafia narkoba” di Indonesia ini.[5]

Utang Negara yang semakin besar adalah masalah ke-4 yang disinyalir oleh berbagai media massa dan pakar-pakar ekonomi.[6] Jumlahnya memang menakjubkan: tahun 2010 Rp.1.688,3 Triliun – tahun 2011 -/+ Rp.1.807,5 Triliun – dan di tahun 2011 -/+ Rp.1939 Triliun, jadi setiap tahun utang negara itu bertambah. Menurut Prof.Sumitro Djojohadikusumo pada pertengahan Era Orde Baru (-/+ awal tahun 1980-an) dana bantuan (baca pinjaman!) yang diperoleh dari luar negeri sekitar 20% masuk kantung pejabat dan pengusaha secara illegal (berarti dikorupsi). Sekarang dana yang mengalir kekantong pejabat dan pengusaha “hitam” diperkirakan sudah mencapai 40%. Utang yang dibuat semasa Era Orde Baru (1967 – 1987 di bawah Pak Harto) harus dibayar rakyat kita dibawah pimpinan Presiden RI yang berbeda (mulai Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY). Berarti semua presiden yang akan datang harus menanggung utang negara yang makin lama makin besar, termasuk dana yang dikorupsi dalam masa pemerintahannya. Jadi yang perlu dipahami siapapun yang ingin jadi presiden RI di masa yang akan datang (terutama presiden ke-7 yang akan terpilih nanti tahun 2014), bahwa utang-utang negara yang telah dikorupsi secara sistematis dan berjumlah -/+ 40% dari RAPBN, harus dilunasi atau sekurang-kurangnya diangsur kembali oleh Presiden RI yang berikutnya. Beban dan tanggungjawab yang berat bagi seorang presiden yang berniat jujur untuk tidak memanfaatkan kedudukannya menambah utang (dan korupsi) negara.

Ada yang berpendapat bahwa salah satu kemajuan yang dicapai dalam Era Reformasi ini (setelah 1998), adalah tumbuhnya proses demokrasi di Indonesia. Menurut pengamatan publik, justru demokrasi ini menjadi masalah ke-5 di Indonesia. Kita mendambakan adanya pemerintahan yang benar demokratik di Indonesia[7] setelah mengalami masa Era Orde Lama dengan “demokrasi terpimpin” nya Bung Karno (Presiden ke-1:1945-1967) dan Era Orde Baru dengan “demokrasi Pancasila” nya Pak Harto (Presiden ke-2: 1967 – 1998). Pada kedua era itu demokrasi telah “diplintir” dengan adanya Soekarno sebagai Presiden Seumur Hidup dan Soeharto sebagai Presiden yang selalu dipilih kembali oleh MPR. Sekarang kita mempunyai pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat dan mempunyai beberapa presiden yang berganti (Habibie-Gus Dur-Megawati-dan SBY). Tetapi benarkah kita telah memasuki era demokrasi yang sesungguhnya ? Menurut berbagai pakar ilmu politik belum ! Menurut pakar-pakar ini yang kita hadapai sebagai masalah ke-5 di Indonesia adalah terjadinya “demokrasi yang berlandaskan money politics”.[8] Para warga negara yang berhak memilih “dibayar untuk memenangkan seorang calon”. Suatu pelanggaran besar dalam masyarakat demokratik yang harus dapat secara bebas dan rahasia menyampaikan pilihannya tentang calon (-calon) yang akan mewakilinya di DPR/DPRD dan akan menjabat sebagai Presiden atau Kepala Daerah.Ini dapat kita namakan “demokrasi salah arah” atau “demokrasi acak-acakan”. Besarnya biaya untuk kampanye seorang calon dan sering perlunya dia “menyuap” para konstituennya telah mengakibatkan timbulnya sengketa Pemilu yang terus-menerus dan  yang harus diselesaikan akhirnya melalui  Mahkamah Konstitusi (MK).


Masalah ke-6 adalah “penderitaan rakyat”
Tentu tidak perlu banyak uraian tentang hal ini – media massa sudah cukup memberitakan bagaimana setelah 68 tahun merdeka, rakyat masih melihat bagaimana para elite bangsa kita (pegawai tinggi pemerintahan kita – pejabat terhormat di DPR dan Mahkamah Agung RI – serta Pengusaha Besar dan Politikus/Pimpinan Partai) hidup serba mewah, bukan karena kerja keras, tetapi karena “menyadap” Anggaran Negara yang harusnya dapat digunakan untuk kesejahteraan rakyat (pangan dan papan murah – pendidikan murah – kesehatan murah – lalu-lintas darat dan laut murah – urusan dengan aparat penegak hukum dan aparat pamong-praja tidak “diperas” ). Ini semua yang dijanjikan waktu rakyat akan “dibebaskan” dari penjajahan Hindia Belanda. Tetapi banyak rakyat yang menggrutu bahwa keadaan sekarang belum berubah – bedanya hanya bahwa “penjajah rakyat” ini adalah elite bangsa sendiri ![9]

Masalah ke-7 adalah “kenaikan harga minyak di dunia”[10]
Sumber daya minyak Indonesia diperkirakan sudah sangat berkurang (dibanding tahun 1980-an, 30 tahun lalu). Apalagi Indonesia sekarang harus mengimpor minyak dan harga minyak di dunia bertambah mahal, menyebabkan subsidi untuk menekan harga BBM di dalam negeri telah naik terus, mengakibatkan perlunya kebijakan yang tidak populer adalah menaikkan harga BBM subsidi dan melarang kendaraan pemerintah memakai BBM subsidi. Naiknya harga minyak di dunia ini ternyata sangat mempengaruhi perekonomian Indonesia, yang sedang menghadapi tekanan inflasi yang tinggi, subsidi BBM yang besar dan pelebaran defisit perdagangan minyak.[11]

Keadaan Indonesia yang baik yang diharapkan
Dalam dua periode kepresidenan yang akan datang (2014-2019 dan 2019-2024), maka diharapkan bahwa Indonesia yang “adil dan makmur” (Gemah Ripah Loh Jinawe) itu,  akan mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:

1)-Bangsa Indonesia telah dapat membebaskan diri dari korupsi (dalam Indeks Persepsi Korupsi menjadi di atas dekat dengan Singapura) dan juga pengangguran menjadi sangat berkurang serta kita dapat menghindari bahaya narkoba yang meluas sekarang ini;

2)-Terdapat kestabilan politik yang benar (murni), dalam arti bahwa partai (-partai) yang berkuasa dapat bekerja sama (bukan koalisi-semu) membangun iklim politik sehat dengan partai (-partai) oposisi (yang jelas berjuang untuk kepentingan rakyat);

3)-Adanya jadwal waktu yang jelas dengan kemungkinan keberhasilan seperti berikut:
    3.1.Tahun 2016 : terlihat tanda-tanda Indonesia akan “bebas” dari Korupsi dan
          Narkoba;
    3.2.2017 : terlihat mulai adanya kesejahteraan, kemakmuran, serta pembangunan
          sarana, prasarana dan proyek-proyek lainnya secara serentak di ke 33 Propinsi
          negara kita;
    3.3.2018 : terlihat Korupsi dan kejahatan Narkoba sudah sangat berkurang di
          Indonesia;
    3.4.2019 : telah terlihat keberhasilan nyata pemerintah dalam mengurangi secara
          signifikan angka pengangguran; dan kemudian:
   
    memasuki periode ke-2 dari Presiden RI yang sukses ini, maka antara lain terlihat:
   
    3.5.2022 : Indonesia dapat menganggap dirinya bebas dari “pengangguran” dalam
          arti semua orang yang mau bekerja untuk mendapat nafkah-hidup mempunyai
          pekerjaan yang berpenghasilan;  dan
    3.6.2024 : Pada akhir periode ke 2 Presiden Ri ini, maka Indonesia telah mencapai 
          tujuan kemerdekaannya dari penjajahan Belanda, yaitu menjadi Bangsa yang
          “Adil-Makmur-Sejahtera-dan Sentosa” – sesuai cita-cita Konstitusi kita.

Harapan para warganegara yang sekarang ada dengan umur berkepala 7, adalah bahwa keadaan seperti diharapkan ini  ,dapatlah kiranya terjadi lebih cepat dari jadwal di atas – Mengapa begitu ? Karena mereka mengharap masih dapat menyaksikan keadaan yang digambarkan di atas (tahun 2024 umur para Lansia ini sudah sekitar 85 tahun !).Kalau saja benar-benar dapat terjadi “reformasi moral” di Indonesia, maka mulai tahun 2016 “moral kita telah mulai bersemi menjadi Mutiara kebanggaan bangsa Indonesia”.[12]

Kendala-kendala yang perlu diperhatikan
Meskipun kami optimis dengan konsep “reformasi moral” yang harus dijalankan oleh Presiden RI yang akan datang, namun perlu kiranya diingatkan adanya dua kendala besar yang perlu diselesaikan oleh Presiden baru ini.

Pertama, tentu adalah masalah korupsi yang sudah sangat “merajalela” di Indonesia; meskipun pemerintah telah berkali-kali melalui pidato Presiden-presiden maupun pejabat-pejabatnya menyatakan akan memberantasnya “sampai ke-akar-akarnya” dan “tanpa pandang-bulu”, namun hasilnya masih amat sangat mengecewakan. Kekecewaan mayarakat (terutame para Lansia) adalah bahwa dalam 15 tahun kesempatan reformasi di Indonesia, korupsi “tidak juga dapat dibasmi”.Hal ini disebabkan oleh “kekhilafan (kesalahan yang tidak disadari) dari presiden-presiden yang lalu (terutama Presiden-presiden B.J.Habibie, Megawati, dan SBY) dalam membiarkan berkembangnya “model multi-partai”[13] berdasarkan UU No.2/1999. Presiden Sukarno melalui Dekritnya 5 Juli 1959 memilih model “sedikit partai politik” dan ini pula yang dilakukan oleh Presiden Suharto. Sistem multi-partai politik ini telah menjadi awal berkembangnya “korupsi” untuk atau demi partai politik !  

Kedua adalah, pelaksanaan demokrasi di Indonesia yang sudah didasarkan pada”money politics”. Keinginan rakyat yang mempejuangkan dalam reformasi tahun 1998 perubahan pemerintahan menjadi demokratis, adalah baik dan benar. Namun, pemerintahan Orde Baru selama 30 tahun (!968 – 1998) tidak mempersiapkan rakyat untuk hal itu. Keinginan yang sangat tanpa persiapan dan dengan sistem multi-partai politik dalam Era Reformasi[14] telah mempengaruhi nilai-nilai para pemimpin dengan menghalalkan “kesempatan berkuasa” untuk melakukan korupsi demi-partai, untuk mendanai kebesaran partai dan untuk mempergunakan uang untuk mendapat suara (membeli suara – money politics).   

Jalan ke luar dari 7 Masalah yang di ajukan di atas
Bagi para Lansia (mereka yang berusia kepala 6 dan 7), yang melihat bahwa malapetaka yang akan dapat terjadi, karena “negara sudah dipinggir jurang”, maka jalan ke luar permasalahan ini  haruslah “revolusioner” (tidak dalam arti kekerasan, tetapi dalam pemikirannya):

1-Pertama-tama perlu dilaksanakan reformasi moral – agar dampaknya segera dan
    membuat kejutan pada para koruptor, maka harus diterapkan hukuman mati bagi
    koruptor yang menimbulkan kerugian bagi negara Rp 1 Milyar atau lebih (US$ 100
    Ribu). Hukuman mati tersebut diancamkan tanpa alternatif (absolute penalty), sama
    seperti ancaman hukuman mati bagi pemilik narkoba (dengan jumlah minimal
    tertentu) seperti di Singapura dan Malaysia. Hukuman mati ini harus diberlakukan
    juga untuk kejahatan narkoba (disamakan dengan di Singapura dan Malaysia),
    sehingga diharapkan bahwa dalam waktu dua periode Presiden yang akan datang
    (2014 – 2024) korupsi dan narkoba sudah jauh berkurang dibanding kenyataan
    sekarang (2009-2014).

2-Pengeluaran bagi setiap proyek pembangunan yang mempergunakan APBN/D
   harus dilakukan secara on line – gagasan on line accounting diharapkan agar,
   pertama tidak mudah mengubah pembukuan dan kedua, agar dapat dimonitor dari
   jarak-jauh pada waktu yang sama. Dalam kemajuan teknologi informasi sekarang ini
   haruslah dapat dikembangkan suatu sistem pengawasan keuangan yang canggih dan
   mudah untuk mendeteksi adanya “kecurigaan” terjadi manipulasi oleh pejabat-pejabat
   yang mengelola keungan negara. Setiap kali terdapat kecurigaan adanya manipulasi,
   maka segera akan diterjunkan suatu tim khusus untuk memeriksa “on the spot”.

3-Diperlukan dana sebesar 10.000 Trilyun Rupiah (setara dengan US$ 1 Milyar-
    Disamping APBN Rutin Tahunan) untuk pembangunan di Indonesia selama 10
    tahun (2 masa kepresidenan) – karena itu Presiden yang akan kita pilih nanti
    harus dapat membuktikan kemampuannya memperoleh dana ini.
    Dana yang besar ini janganlah dikumpulkan melalui negosiasi dengan pihak asing
    atau berupa pinjaman, tetapi harus merupakan dana yang direncanakan dan  akan
    dipersiapkan (tentu dengan dasar berbagai kajian dan prediksi ilmiah) oleh para ahli
    dan  pendukung serta pemikir Calon-calon Presiden yad, dengan memanfaatkan
    sumber-daya-alam Indonesia. Rencana yang matang sudah harus dipikirkan dan
    diperdebatkan diantara para Calon-Presiden dalam tahu 2014 ini.Keperluan dana
    yang besar ini adalah untuk mendukung tercapainya “Masterplan Percepatan dan
    Perluasan Pembagunan Ekonomi Indonesia” (MP3EI yang dibentuk Mei 2011), yang
    saat ini tersendat-sendat pelaksanaannya. Lebih-lebih lagi dalam keadaan ekonomi
    Indonesia dewasa ini (dengan melemahnya rupiah dan naiknya harga minyak dunia).

Kesimpulan
Persoalan utama di Indonesia sekarang ini adalah “masalah moral”, membangkitkan “kesadaran akan penyakit-moral pemimpin bangsa” adalah tugas utama Presiden yang akan datang. Orang bijak mengatakan “sebelum kita dapat menyembuhkan-diri dari suatu penyakit, perlu kesadaran dulu adanya penyakit itu pada kita”. Masyarakat Indonesia, para pemilih dalam PEMILU 2014 dan Pemilihan Langsung Presiden YAD, belum sepenuhnya percaya  dan sadar bahwa “penyakit bangsa kita sebenarnya berada pada para pemimpinnya” (yang sering dianggap “putera-puteri terbaik bangsa”). Karena itu dalam kampanye yang akan diselenggarakan menjelang pemilihan anggota DPR maupun Presiden nanti, harus ditekankan pada perlunya para pemilih mendalami benar-benar bahwa calon yang dipilihnya harus mempunyai integritas dan berani menegakkan dan mempertegas hukum yang telah ada.[15]

Kata bersayap (kata yang mengandung kiasan) dan semboyan untuk Pemilu 2014 adalah “Agar Negara Tidak Masuk Jurang – Maka Perlu Ada Reformasi Moral Di Indonesia !”[16]

*Ditulis bersama Subagio Sutjitro; seorang pensiunan pengusaha swasta.  Kami berdua adalah Sarjana Hukum Universitas Indonesia dan sekarang berusia diatas 75 tahun.

[1] Semula dalam bulan Januari 2011, tulisan Subagio Sutjitro merupakan surat terbuka kepada Presiden SBY tentang perlunya “Reformasi Hukum”. Tulisan selanjutnya dengan isi yang hampir sama merujuk pada perlunya “Reformasi Moral”.Dalam tulisan terakhir tersebut pemikirannya tertuang dalam makalah setebal 94 halaman, dan disertai dengan 6 buah Lampiran yang berisi penjelasan.

[2] Dalam makalah ini “moral” diartikan sebagai kesadaran dan sikap hidup yang mementingkan usaha mensejahterakan orang lain – mendahulukan orang lain daripada diri sendiri atau keluarga sendiri – dan dalam hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia ini benar-benar meyakini Pancasila sebagai falsafah hidup, dan menjalankannya, bila menjadi pemimpin bangsa Indonesia.

[3] Yang dimaksudkan dengan ucapan ini adalah bahwa keadaan sudah “gawat-darurat”, atau istilah Mochtar Kusumaatmadja tentang kondisi hukum kita “desperate but not (yet) hopeless”.Sudah perlu masuk dalam kebijakan dan operasi gawat-darurat – kalau mau menyelamatkannya!

[4] Korupsi besar dan sistematis yang merupakan “penjarahan” APBN/D terakhir diketahui dengan tertangkapnya seorang intelektual (gurubesar teladan ITB) yang memimpin Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (yang bergaji hampir 300juta Rp sebulan).Dengan mengacu pada peristiwa serupa di Pertamina tahun 1974/1975, maka sebabnya diperkirakan:1)tatakelola kelembagaan migas nasional yang bermasalah, dan  2)migas dijadikan “sapi perah” partai politik yang dominan atau berkuasa.Keadaan serupa dapat dilihat pula di sektor-sektor lain, seperti a.l.:pertanian, kesehatan, pendidikan.

[5] Situasi dan analisa terakhir dapat dibaca dalam majalah Forum Keadilan No.16 – 25 Agustus 2013, yang mengambil tema “Kongsi Bandar Ekstasi dan Pejabat Negara”.

[6] Misalnya oleh Kwik Kian Gie yang menyangsikan kebenaran bahwa telah dicapai pertumbuhan ekonomi Indonesia 6,3% dalam tahu 2011 dan mempermasalahkan juga tentang rencana “redemonisasi rupiah”, yang akan mengubah besaran Utang Negara, misalnya dari tadinya -/+ 2000 Triliun menjadi 2,0 Triliun saja.

[7]Budaya demokrasi harus sesuai dengan masyarakat Indonesia yang multi-kultural dan memperhatikan kesetaraan antar warganegara: etnis,agama,jender dll.

[8] Money Politics  ini adalah sebenarnya “menjual kursi DPR kepada calon-calon kaya-uang”, tentu dengan nantinya meminta imbalan (favours) – uang itu kemudian dipakai “membeli-suara” para pemilih – dan beban utang para anggota DPR yang terpilih akan menjadi sumber korupsi dalam pengembaliannya.

[9] Masalah penderitaan dalam negeri (mahalnya sandang – pangan dan pengangguran) ditambah lagi dengan permasalahan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri a.l ada -/+ 300 menghadapi hukuman mati.

[10] Harga minyak dunia akhir-akhir ini naik lagi, karena adanya kekhawatiran terjadi operasi militer AS ke Suriah dan meyulut kerusuhan di Timur Tengah yang menyumbang sepertiga minyak mentah dunia.

[11] Masalah ini diperparah dengan semakin terpuruknya nilai Rupiah terhadap Dolar AS (ke Rp 11.000+) sedanglan cadangan devisa Indonesia juga sudah menipis (akhir Juli 2013-hanya 92.6 Miliar Dolar AS).

[12] Seorang cendekiawan Jerman Schpenhauer  dalam bukunya Aphhorismen zur Lebensweisheit, menulis (terjemahan SS) bahwa: “Kebanggaan yang paling murah adalah Kebanggaan Nasional” .Maksudnya adalah kita seharusnya dapat mencapai kebanggaan yang paling murah ini dengan melakukan reformasi moral yang akan dapat menghilangkan korupsi dari Indonesia.

[13] Dalam tahun 2014 ada 15 Partai Politik

[14] Era Reformasi telah melupakan pandangan Herbert Spencer (dalam bukunya Of  Ethics): “Political changes should never be made after overcoming great resistance” – dalam pandangan makalah ini, perubahan ke demokrasi dengan multi-partai adalah suatu kekeliruan, begitu pula kebijakan de-sentralisasi pemerintahan – karena tanpa persiapan yang baik, maka menimbulkan maraknya korupsi.

[15] Ada ungkapan yang mengatakan (Evelyn Abbot):”A democracy without a great man is a dangerous form of democracy” – yang dimaksud disini adalah dia harus jujur-bersih dari korupsi; harus berani tegas (dimana perlu mendorong hukuman berat kepada teman atau keluarga yang korupsi); berpihak dan memberi perhatian kepada penderitaan rakyat; adil dan bijaksana dalam membuat keputusan; sadar akan sifat masyarakat yang multi-kultural dan menghormatinya; mempuynyai pengalaman memimpin masyarakat (organisasi atau kota); berpendidikan (mengenal sopan santun dan bersedia terus belajar).


[16]Untuk mendukung optimisme  makalah perlu diingat pendapat Corneille (dalam bukunya Le Menteur),

“On trouve bien souvent plus qu’on ne croit trouver” – Kita sering mendapat temuan yang lebih besar daripada yang kita sangka dan harapkan sebelumnya – Jadi optimislah ! Dan bagi mereka yang masih pesimistis ingat perkataan Horatius ; “Si quid novisti rectiius istis, candidus imperti; si non, his uter mecum – Kalau Anda mengetahui cara yang lebih baik, mohon dikemukakan; bila tidak dukung saya !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar