Minggu, 24 November 2013

Beberapa catatan tentang Justice Collaborator dan Bentuk Perlindungannya



Pendahuluan
Catatan ini tidak merujuk kepada pengertian yang ada di Indonesia. Pemahaman yang saya pakai adalah sebagaimana yang saya kenal dari bahan pustaka Amerika Serikat (AS). Menurut saya sebagai perbandingan dan penyempurnaan tafsiran yang ada di Indonesia, cara ini lebih membantu. Terserah para ahli hukum Indonesia mempergunakannya sesuai dengan pemahaman masing-masing dan manfaatnya untuk kita.

Justice Collaborator sebagai Konsep,menurut saya tidak dikenal dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) AS. Memang ada Whistleblower sebagai Konsep SPP yang kemudian dapat menjadi State Witness atau Crown Witness (di Indonesia diterjemahkan sebagai “Saksi Mahkota”). Dan juga ada National Crime Victimization Surveys yang mendorong adanya jabatan “victim advocate” di Kantor Kejaksaan AS dengan tugas membantu/ mendampingi para korban dalam menghadapai kasus mereka di Pengadilan. Ada juga Plea Bargaining, di mana Terdakwa (melalui Advokatnya) melakukan negosiasi dengan JPU untuk mendapatkan keringanan dakwaan dan hukuman.

Di bawah ini saya akan menjelaskan pemahaman saya tentang beberapa konsep SPP itu, yang dikenal di AS. Tentu ini dibatasi oleh bahan pustaka yang saya pelajari (dan pasti terbatas), sehingga bila ada bahan pustaka yang baru dari AS tentang justice collaborator saya senang bila diberitahu.

Whistleblower (Wb)
Adapun Wb ini memang dipergunakan dalam SPP AS sebagai “informan” untuk mengetahui kasus-kasus kriminal yang sifatnya sangat tertutup, seperti dalam kasus-kasus organized crime (narcotics/drugs – human trafficking –racketeering – dan terrorism).[Wb yang sangat terkenal beberapa tahun yang lalu adalah dalam Kasus Enron]. Memang sering dipergunakan undercover agents untuk “awal membongkar”, tetapi untuk mendapatkan seorang saksi yang dapat “diandalkan” dalam membuktikan perkara di Pengadilan, maka diusahakan adanya Wb.

Wb ini diminta untuk memberi informasi “orang dalam” yang rinci dengan bukti-bukti yang dapat dipertahankan di Pengadilan tentang segala sesuatu yang diperlukan untuk mendapatkan putusan Pengadilan sesuai dakwaan dan tuntutan JPU.

Karena itu Wb ini umumnya adalah “orang-dalam”, dia umumnya “terlibat” dalam kejahatan yang didakwakan, mungkin keterlibatannya hanya ringan: seperti SatPam/Sekuriti yang melihat dan mengenali tamu-tamu yang sering datang ke rumah seorang Pejabat-Terdakwa ataupun keterlibatannya serius: seperti Pegawai Keuangan Perusahaan yang mencatat dan membagikan/mentransfer dana kepada Pejabat-Terdakwa. Mereka dinamakan Wb, apabila mereka secara sukarela mau “membuka tabir kejahatan” di dalam organisasi di mana mereka bekerja.Kesukarelaan mereka adalah karena mereka merasa “terpanggil-secara-moral”.

Adanya rasa tanggungjawab-moral ini sering dipakai oleh perusahaan-perusahaan besar untuk untuk membongkar pelanggaran aturan perusahaan yang merugikan (seperti pencurian dalam pabrik atau insider trading atau pemberian hadiah kepada Pejabat).Salah satu strategi adalah membuka “hot line” untuk melapor secara anonim.

Justice Collaborator (JC)
Dari bahan Indonesia yang pernah saya baca, yang dimaksud di sini adalah seorang “pelaku yang ko-operatif” dalam membantu penegak hukum “membongkar-tuntas” kejahatan yang dipersangkakan dan akan  didakwakan kepadanya.Dengan pemahaman seperti ini, maka: a) sudah jelas ada suatu kejahatan, dan b) sudah ada seorang Tersangka-Pelaku.

Kalau begitu, maka si Tersangka-Pelaku adalah “hasil-penyidikan” dan bukan orang yang “terpanggil-secara-moral” untuk membantu dibongkarnya kejahatan. Tentu mereka mengharap ada “rasa-terimakasih” sebagai imbalan kerja-sama mereka ini. Rasa terima kasih yang mereka harapkan tentunya berhubungan dengan keringanan dakwaan kejahatan dan tuntutan pidana kepada mereka.


Crown (State Witness) (CW)
CW dalam SPP AS adalah saksi-utama dari JPU. Dikatakan saksi-utama karena kekuatan pembuktian dakwaan (dan tuntutan) JPU untuk perkara yang diajukannya di Pengadilan, sangat tergantung pada keterangan saksi-utama ini. Karena itu dia dinamakan state witness. Di Inggris dipergunakan istilah crown witness dan di Belanda kroon getuige (ini karena keduanya adalah Kerajaan!). Saksi-utama ini belum tentu Pelaku, jadi Wb yang berasal dari luar organisasi (seorang yang melihat terjadinya penganiayaan di jalan atau pembunuhan di hutan) dapat menjadi Wb dan nantinya sekaligus CW.

Saksi-mahkota yang dipahami di Indonesia adalah keliru,karena “mengadu-domba” dua orang pelaku yang melakukan suatu kejahatan bersama-sama. Disamping ini menyalahi “due process of law” (asas “non-self-incrimination”, juga bersifat tidak mendidik (“membodohkan”/ ”memalaskan”) Penjidik dan JPU, karena terutama mendasarkan dakwaannya pada keterangan Pelaku yang satu terhadap Pelaku lainnya, dengan “men-split” perkara yang seharusnya diajukan sebagai satu perkara !

Plea-bargaining (Pb)
Pb harus dipahami dari adanya asas “diskresi JPU” (prosecutorial discretion) yang di Indonesia (hampir) tidak dikenal (ini berbeda dengan asas/hak oportunitas yang (hanya) ada pada Jaksa Agung Indonesia). Di AS,maka JPU punya diskresi yang luas dalam menjalankan tugas mereka,mereka menentukan apakah BAP yang telah lengkap akan diteruskan ke Pengadilan. Dari kasus-kasus yang akan diteruskan ke Pengadilan, sebagian besar diselesaikan dengan plea bargain (“menawar dakwaan dan putusan oleh Terdakwa”).[Dua karangan yang terkenal dari tahun 1970-an adalah dari Frank W. Miller dan Wayne LaFave].Pb dilakukan dengan suatu “guilty plea” dari Terdakwa dengan imbalan dakwaan yang diperingan dan/atau tuntututan pidana yang diperingan.Dengan proses ini Hakim tidak lagi melakukan pemeriksaan di Sidang (trial) dan segera dapat menjatuhkan pidana.Ini dianggap cost effective dan mengurangi beban kejaksaan dan pengadilan (murah dan cepat).

Faktor-faktor yang mempengaruhi Pb adalah a.l.: a) masalah pembuktian yang dirasa JPU kurang kuat; b) masalah saksi JPU yang dirasakan kurang meyakinkan; c) adanya kemungkinan diversi (pretrial diversion).Namun demikian Pb tidak ada dalam Konstitusi atau Undang-undang AS, semuanya didasarkan kepada kebiasaan (custom) dalam SPP AS.Kritik yang diajukan terhadap Pb adalah  a.l. dianggap Terdakwa telah “beat the system” dan “tarnish the CJS process”. Usaha-usaha untuk menghilangkan Pb di negara bagian Alaska dan Hawaii serta menguranginya di Iowa, Arizona dan Delaware serta District of Columbia akhirnya gagal.



Kesimpulan:
1)    Wb yang dilindungi adalah Wb yang terancam jiwanya atau badannya atau keluarganya, karena ia dimusuhi dan diancam oleh Tersangka/Terdakwa atau teman-teman (atau mungkin juga keluarga) Tersangka/Terdakwa. Perlindungan diperlukan karena identitas Wb diketahui oleh umum, karena a.l. menjadi Saksi atau oleh sebab lain. Selama Wb anonim (atau dirahasiakan identitasnya oleh Penegak Hukum) maka perlindungan tidak diperlukan. Korban yang menjadi Saksi juga dengan alasan serupa perlu dilindungi. Karena itu, maka sebenarnya LPSK hanya perlu melindungi Korban yang jiwanya terancam karena diperlukan sebagai Saksi. Apalagi kalau Wb dan/atau Korbani menjadi state/crown witness – saksi utama yang kesaksiannya adalah fondasi dakwaan JPU [LPSK sebaiknya dipecah dua dengan jelas :a) tugas melindungi Saksi, termasuk Korban yang menjadi Saksi dan terancam jiwanya; dan b) tugas mendampingi Saksi – yang tidak terancam - agar mau bersaksi dengan berani dan jujur ! ].
2)    JC harus dibedakan dengan Wb, karena JC adalah Tersangka/ Terdakwa yang membuka “rahasia/tabir kasus kejahatan” (seperti Wb), tetapi bukan karena alasan “terpanggil-moral”, namun dengan harapan akan memperoleh “imbalan” dari JPU (keringanan dakwaan dan/atau tuntutan pidana). Seberapa besar wewenang JPU memberi “imbalan” : “keringanan” itu harus jelas dari pemahaman kita ada tidaknya “prosecutorial discretion” di Indonesia (yang beda dari hak oportunitas monopoli JA) ataukah memang “tugas JPU di Indonesia” hanya sebagai kurir pembawa BAP Penyidik yang telah disetujuinya).Perlu tidaknya hal ini dilakukan tertulis (UU, PP, SK) tergantung kepada kepercayaan kita kepada instansi penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan serta KPK) dan pengadilan (PN-PT-MA) kita.Percaya bahwa mereka tidak saja punya integritas tetapi juga intelektualitas dalam membedakan kasus.
3)    Apakah JC perlu atau harus dilindungi ? Tentu hanya kalau JC ini nanti akan jadi state/crown witness dan jiwa/badannya memang terancam secara nyata.
4)    Negosiasi dengan Saksi-Pelaku yang Bekerjasama (JC) - Apakah hal seperti ini dimungkinkan oleh hukum Indonesia, tergantung pada pengakuan hukum kita kepada adanya “prosecutorial discretion”.
5)    Maraknya permintaan untuk ditetapkan menjadi JC, setelah Pelaku menjadi narapidana – Negosiasi dengan seorang calon-JC hanya dapat dilakukan sebelum jatuhnya putusan Pengadilan Negeri – sebaiknya sebelum JPU membaca Surat Dakwaan. Berarti setelah BAP Penyidik disetujui oleh JPU dan kepada JPU diberi kesempatan untuk melakukan “penyidikan lanjutan” (?), dan bila ada kesepakatan, maka JPU bersama dengan Penyidik Kepolisian “membongkar lebih lanjut kasus tsb”
6)    Peran JC belum mendapat tempat semestinya di peraturan Indonesia – Apakah memang perlu dengan peraturan ? Tidakkah ini dapat dilakukan dahulu berdasarkan kesepakatan bersama Pimpinan Kepolisian-Pimpinan Kejaksaan-Pimpinan KPK ?
7)    JC medapat “penghargaan” berupa keringanan tuntutan hukuman-remisi tambahan-perlindungan (fisik,psikis dan hukum)-dan penanganan khusus (pemisahan sel) – Janganlah menamakan ini “penghargaan”, sebaiknya “imbalan” – karena JC member bantuan ini bukan atas dasar “terpanggil-secara-moral”!
8)    Orang yang membantu mengungkap kejahatan, apakah Pelapor-biasa atau Saksi-Pelapor, terkena “serangan-balik” (pencemaran nama-baik) dari yang kejahatannya diungkap – Ini adalah ulah dan strategi dari Advokat Tersangka – diharapkan alat penegak hukum (Polisi dan Kejaksaan) adalah petugas yang cerdas (tidak tertipu) dan berintegritas (tidak sudi “disuap”) !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar