Pendahuluan
Catatan
ini tidak merujuk kepada pengertian
yang ada di Indonesia. Pemahaman yang saya pakai adalah sebagaimana yang saya
kenal dari bahan pustaka Amerika Serikat
(AS). Menurut saya sebagai perbandingan dan penyempurnaan tafsiran yang ada
di Indonesia, cara ini lebih membantu. Terserah para ahli hukum Indonesia
mempergunakannya sesuai dengan pemahaman masing-masing dan manfaatnya untuk
kita.
Justice
Collaborator
sebagai
Konsep,menurut saya tidak
dikenal dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) AS. Memang ada Whistleblower sebagai Konsep SPP yang kemudian dapat
menjadi State Witness atau Crown Witness (di Indonesia
diterjemahkan sebagai “Saksi Mahkota”).
Dan juga ada National Crime Victimization
Surveys yang mendorong adanya jabatan “victim
advocate” di Kantor Kejaksaan AS dengan tugas membantu/ mendampingi para
korban dalam menghadapai kasus mereka di Pengadilan. Ada juga Plea
Bargaining, di mana Terdakwa
(melalui Advokatnya) melakukan negosiasi dengan JPU untuk mendapatkan
keringanan dakwaan dan hukuman.
Di
bawah ini saya akan menjelaskan pemahaman
saya tentang beberapa konsep SPP itu, yang dikenal di AS. Tentu ini
dibatasi oleh bahan pustaka yang saya pelajari (dan pasti terbatas), sehingga
bila ada bahan pustaka yang baru dari AS tentang justice collaborator saya senang bila diberitahu.
Whistleblower
(Wb)
Adapun
Wb ini memang dipergunakan dalam SPP AS sebagai “informan” untuk mengetahui
kasus-kasus kriminal yang sifatnya sangat tertutup, seperti dalam kasus-kasus organized crime (narcotics/drugs – human
trafficking –racketeering – dan terrorism).[Wb yang sangat terkenal beberapa
tahun yang lalu adalah dalam Kasus Enron]. Memang sering dipergunakan undercover agents untuk “awal membongkar”,
tetapi untuk mendapatkan seorang saksi yang dapat “diandalkan” dalam
membuktikan perkara di Pengadilan, maka diusahakan adanya Wb.
Wb
ini diminta untuk memberi informasi “orang dalam” yang rinci dengan bukti-bukti
yang dapat dipertahankan di Pengadilan tentang segala sesuatu yang diperlukan
untuk mendapatkan putusan Pengadilan sesuai dakwaan dan tuntutan JPU.
Karena
itu Wb ini umumnya adalah “orang-dalam”, dia umumnya “terlibat” dalam kejahatan
yang didakwakan, mungkin keterlibatannya hanya ringan: seperti SatPam/Sekuriti
yang melihat dan mengenali tamu-tamu yang sering datang ke rumah seorang Pejabat-Terdakwa
ataupun keterlibatannya serius: seperti Pegawai Keuangan Perusahaan yang
mencatat dan membagikan/mentransfer dana kepada Pejabat-Terdakwa. Mereka
dinamakan Wb, apabila mereka secara
sukarela mau “membuka tabir kejahatan” di dalam organisasi di mana mereka
bekerja.Kesukarelaan mereka adalah karena mereka merasa “terpanggil-secara-moral”.
Adanya
rasa tanggungjawab-moral ini sering dipakai oleh perusahaan-perusahaan besar
untuk untuk membongkar pelanggaran aturan
perusahaan yang merugikan (seperti
pencurian dalam pabrik atau insider
trading atau pemberian hadiah kepada Pejabat).Salah satu strategi adalah membuka
“hot line” untuk melapor secara
anonim.
Justice
Collaborator (JC)
Dari
bahan Indonesia yang pernah saya baca, yang dimaksud di sini adalah seorang “pelaku yang ko-operatif” dalam membantu
penegak hukum “membongkar-tuntas”
kejahatan yang dipersangkakan dan akan didakwakan kepadanya.Dengan pemahaman seperti
ini, maka: a) sudah jelas ada suatu
kejahatan, dan b) sudah ada seorang
Tersangka-Pelaku.
Kalau
begitu, maka si Tersangka-Pelaku adalah “hasil-penyidikan”
dan bukan orang yang
“terpanggil-secara-moral” untuk membantu dibongkarnya kejahatan. Tentu
mereka mengharap ada “rasa-terimakasih” sebagai imbalan kerja-sama mereka ini. Rasa terima kasih yang mereka
harapkan tentunya berhubungan dengan keringanan
dakwaan kejahatan dan tuntutan pidana kepada mereka.
Crown
(State Witness) (CW)
CW
dalam SPP AS adalah saksi-utama dari
JPU. Dikatakan saksi-utama karena kekuatan pembuktian dakwaan (dan tuntutan)
JPU untuk perkara yang diajukannya di Pengadilan, sangat tergantung pada keterangan saksi-utama ini. Karena itu dia
dinamakan state witness. Di Inggris
dipergunakan istilah crown witness dan
di Belanda kroon getuige (ini karena
keduanya adalah Kerajaan!).
Saksi-utama ini belum tentu Pelaku, jadi Wb yang berasal dari luar organisasi
(seorang yang melihat terjadinya penganiayaan
di jalan atau pembunuhan di hutan) dapat menjadi Wb dan nantinya sekaligus
CW.
Saksi-mahkota
yang dipahami di Indonesia adalah keliru,karena
“mengadu-domba” dua orang pelaku yang melakukan suatu kejahatan bersama-sama. Disamping
ini menyalahi “due process of law” (asas “non-self-incrimination”, juga bersifat
tidak mendidik (“membodohkan”/ ”memalaskan”) Penjidik dan JPU, karena terutama mendasarkan dakwaannya pada
keterangan Pelaku yang satu terhadap Pelaku lainnya, dengan “men-split” perkara yang seharusnya diajukan
sebagai satu perkara !
Plea-bargaining
(Pb)
Pb
harus dipahami dari adanya asas “diskresi
JPU” (prosecutorial discretion)
yang di Indonesia (hampir) tidak dikenal (ini berbeda dengan asas/hak
oportunitas yang (hanya) ada pada Jaksa Agung Indonesia). Di AS,maka JPU punya diskresi yang luas dalam menjalankan
tugas mereka,mereka menentukan apakah BAP yang telah lengkap akan diteruskan ke
Pengadilan. Dari kasus-kasus yang akan diteruskan ke Pengadilan, sebagian besar
diselesaikan dengan plea bargain
(“menawar dakwaan dan putusan oleh Terdakwa”).[Dua karangan yang terkenal
dari tahun 1970-an adalah dari Frank W. Miller dan Wayne LaFave].Pb dilakukan
dengan suatu “guilty plea” dari
Terdakwa dengan imbalan dakwaan yang diperingan dan/atau tuntututan pidana yang
diperingan.Dengan proses ini Hakim tidak lagi melakukan pemeriksaan di Sidang (trial) dan segera dapat menjatuhkan
pidana.Ini dianggap cost effective dan
mengurangi beban kejaksaan dan pengadilan (murah dan cepat).
Faktor-faktor
yang mempengaruhi Pb adalah a.l.: a) masalah pembuktian yang dirasa JPU kurang
kuat; b) masalah saksi JPU yang dirasakan kurang meyakinkan; c) adanya
kemungkinan diversi (pretrial diversion).Namun
demikian Pb tidak ada dalam Konstitusi atau Undang-undang AS, semuanya
didasarkan kepada kebiasaan (custom) dalam
SPP AS.Kritik yang diajukan terhadap Pb adalah a.l. dianggap Terdakwa telah “beat the system” dan “tarnish the CJS process”. Usaha-usaha
untuk menghilangkan Pb di negara bagian Alaska dan Hawaii serta menguranginya
di Iowa, Arizona dan Delaware serta District of Columbia akhirnya gagal.
Kesimpulan:
1) Wb
yang dilindungi adalah Wb yang terancam jiwanya atau badannya atau keluarganya,
karena ia dimusuhi dan diancam oleh Tersangka/Terdakwa atau teman-teman (atau
mungkin juga keluarga) Tersangka/Terdakwa. Perlindungan diperlukan karena
identitas Wb diketahui oleh umum, karena a.l. menjadi Saksi atau oleh sebab lain. Selama Wb anonim (atau
dirahasiakan identitasnya oleh Penegak Hukum) maka perlindungan tidak diperlukan. Korban yang menjadi Saksi juga dengan alasan serupa
perlu dilindungi. Karena itu, maka sebenarnya LPSK hanya perlu melindungi Korban yang jiwanya terancam karena
diperlukan sebagai Saksi. Apalagi kalau Wb dan/atau Korbani menjadi state/crown witness – saksi utama yang
kesaksiannya adalah fondasi dakwaan JPU [LPSK
sebaiknya dipecah dua dengan jelas :a) tugas melindungi Saksi, termasuk Korban
yang menjadi Saksi dan terancam
jiwanya; dan b) tugas mendampingi
Saksi – yang tidak terancam - agar mau
bersaksi dengan berani dan jujur ! ].
2) JC harus dibedakan dengan Wb, karena
JC adalah Tersangka/ Terdakwa yang membuka “rahasia/tabir kasus kejahatan” (seperti
Wb), tetapi bukan karena alasan
“terpanggil-moral”, namun dengan harapan akan memperoleh “imbalan” dari JPU (keringanan dakwaan
dan/atau tuntutan pidana). Seberapa besar wewenang JPU memberi “imbalan” : “keringanan”
itu harus jelas dari pemahaman kita ada tidaknya “prosecutorial discretion” di Indonesia (yang beda dari hak oportunitas monopoli JA) ataukah memang “tugas JPU di Indonesia” hanya sebagai kurir pembawa BAP Penyidik yang telah
disetujuinya).Perlu tidaknya hal ini dilakukan tertulis (UU, PP, SK) tergantung
kepada kepercayaan kita kepada instansi penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan
serta KPK) dan pengadilan (PN-PT-MA) kita.Percaya bahwa mereka tidak saja punya
integritas tetapi juga intelektualitas dalam membedakan kasus.
3) Apakah JC perlu atau harus
dilindungi ? Tentu hanya
kalau JC ini nanti akan jadi state/crown
witness dan jiwa/badannya memang terancam secara nyata.
4) Negosiasi dengan Saksi-Pelaku yang Bekerjasama (JC) - Apakah hal seperti ini
dimungkinkan oleh hukum Indonesia, tergantung pada pengakuan hukum kita kepada
adanya “prosecutorial discretion”.
5) Maraknya permintaan untuk ditetapkan menjadi JC, setelah
Pelaku menjadi narapidana – Negosiasi dengan seorang calon-JC hanya dapat dilakukan sebelum
jatuhnya putusan Pengadilan Negeri – sebaiknya
sebelum JPU membaca Surat Dakwaan. Berarti setelah BAP Penyidik disetujui oleh
JPU dan kepada JPU diberi kesempatan untuk melakukan “penyidikan lanjutan” (?),
dan bila ada kesepakatan, maka JPU bersama dengan Penyidik Kepolisian
“membongkar lebih lanjut kasus tsb”
6) Peran JC belum mendapat tempat semestinya di peraturan
Indonesia – Apakah memang perlu dengan peraturan ? Tidakkah ini dapat dilakukan
dahulu berdasarkan kesepakatan bersama Pimpinan Kepolisian-Pimpinan
Kejaksaan-Pimpinan KPK ?
7) JC medapat “penghargaan” berupa keringanan tuntutan
hukuman-remisi tambahan-perlindungan (fisik,psikis dan hukum)-dan penanganan
khusus (pemisahan sel) – Janganlah menamakan ini “penghargaan”, sebaiknya “imbalan” –
karena JC member bantuan ini bukan atas dasar “terpanggil-secara-moral”!
8) Orang yang membantu mengungkap kejahatan, apakah
Pelapor-biasa atau Saksi-Pelapor, terkena “serangan-balik” (pencemaran
nama-baik) dari yang kejahatannya diungkap – Ini adalah ulah dan strategi dari
Advokat Tersangka – diharapkan alat penegak hukum (Polisi dan Kejaksaan) adalah
petugas yang cerdas (tidak tertipu) dan berintegritas (tidak sudi “disuap”) !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar