Minggu, 03 November 2013

Beberapa Catatan tentang Pemikiran Prof. Mochtar Kusumaatmadja*



Pendahuluan

Kalau untuk Pembangunan Ekonomi Nasional dikenal nama-nama Prof Widjojo Nitisastro, Prof Sarbini Somawinata, Prof Mohamad Sadli, Prof Subroto, Prof Ali Wardhana, dan Prof Emil Salim sebagai penyusun pemikiran dasar pada awal Orde Baru, maka menurut hemat saya untuk Pembangunan Hukum Nasional kita dapat mengajukan nama Prof Mochtar Kusumaatmadja yang setara dengan mereka.



Uraian saya di bawah ini ingin menggambarkan pemikiran Prof Mochtar selaku Menteri Kehakiman (1973 – 1978) dan selaku Ketua Konsorsium Ilmu Hukum (1990 – 2000). Antara tahun 1978 – 1988 beliau menjadi Menteri Luar Negeri, dan saya hampir tidak berhubungan dengan beliau. Tentu saya berhubungan pula dengan Prof Mochtar ketika beliau mulai membangun kantor hukum Mochtar,Karuwin,Komar, yang bersamaan dibangunnya dengan kantor hukum Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro (awal tahun 1970-an).Kemudian kami berhubungan lagi pada akhir era Orde Baru ketika kami bersama-sama melakukan Survai Diagnostik Hukum di Indonesia atas permintaan Bappenas (1996-1997). Uraian saya ini tentu agak subyektif dan pasti tidak terlalu dalam dan teoretis memahami pemikiran-pemikiran beliau.



Tentang pembangunan di bidang hukum

Adanya rencana pemerintah Indonesia memikirkan secara sistematis pembangunan di bidang hukum, disamping bidang ekonomi, baru terlihat dalam Repelita Kedua (1974 – 1979). Pada Repelita Pertama (1969 – 1974) suatu perencanaan di bidang hukum tidak dicantumkan, padahal tema yang menonjol di awal Orde Baru adalah berbagai penyimpangan hukum dalam era Orde Lama. Mochtar diminta Pak Harto (Presiden) menjadi Menteri Kehakiman untuk periode 1974 – 1978, sehingga dapatlah diperkirakan bahwa pemikiran Mochtar tentang pembangunan hukum sudah ada pada waktu itu. Ditariknya Lembaga Pembangunan Hukum Nasional (LPHN) dari suatu lembaga non-eksekutif, menjadi bagian Departemen Kehakiman (dengan nama Badan Pembinaan Hukum Nasional – BPHN) merupakan bukti selanjutnya tentang keinginan Mochtar, seperti teman-temannya di bidang ekonomi (Widjojo cs), juga mempunyai suatu lembaga di mana pemikirannya tentang pembangunan hukum di Indonesia dapat diwujudkan[1]. Sebagai penerus pemikirannya adalah Teuku Mohammad Radhie SH, yang ditariknya dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI) untuk menjadi kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum BPHN dan kemudian kepala BPHN. Oleh karena itu berbagai prakarsa dan kegiatan Radhie (menurut saya) mencerminkan (pula) pemikiran Mochtar tentang pembangunan hukum nasional kita.[2]



Mochtar (sayangnya) hanya satu periode menjadi Menteri Kehakiman, pada akhir periode pertama, Mochtar kemudian menjadi Menteri Luar Negeri (1979), menggantikan Adam Malik. Pada tahun yang sama Radhie mencetuskan pembentukan ALA (ASEAN Law Association), di mana Radhie menjadi Sekretaris Jenderal pertama organisasi ini. Organisasi ini dipimpin oleh suatu presidium yang terdiri dari ketua-ketua Mahkamah Agung negara-negara anggauta ASEAN. Organisasi ini didirikan dalam suatu pertemuan di Jakarta bulan Februari 1979. Apakah ini suatu kebetulan, ataukah memang merupakan bagian dari pemikiran Mochtar ? Pada waktu Radhie menjadi Kepala BPHN, dilemparkannya gagasan untuk menjadikan BPHN suatu “Law Center”. Apa yang dicita-citakannya dengan istilah ini tidak pernah jelas, tetapi dari reaksi yang timbul dari kepala biro-biro hukum departemen, ada kekhawatiran mereka bahwa yang direncanakan adalah suatu model “bappenas-hukum” sebagai koordinator program-program hukum dari biro-biro tersebut. Kemungkinan ini kemudian menjadi lebih “nyata” ketika BPHN dengan persetujuan Bappenas mencanangkan perlunya koordinasi dan prioritasi dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang akan menunjang pembangunan di bidang ekonomi (program ini kemudian dikenal sebagai “Prolegnas-program legislasi nasional”, yang masih diteruskan sampai sekarang oleh Bappenas dan DPR).



Peristiwa disekitar tahun 1970-an

Pada awal tahun 1970-an keadaan kampus-kampus resah dan karena itu kemudian timbul kebijakan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus - 1978) dari Menteri Pendidikan Prof Daud Joesoef (seorang ekonom lulusan Universitas Sorbonne,Perancis). Pemilu pertama Orde Baru baru terlaksana (1971) dan Repelita Kedua akan dimulai (1974 -1979) dengan berdasarkan GBHN 1973. Peristiwa MALARI (Malapetaka Januari – 14 Januari 1974) merupakan puncak dari kegelisahan di kampus. Dalam suasana seperti inilah Mochtar ditarik dari kampus dan dijadikan Menteri Kehakiman. Siapa rekan-rekan di bidang hukum Mochtar waktu itu ? Ketua Mahkamah Agung adalah Prof Oemar Senoadji, Jaksa Agung Ali Said, SH, dan Rektor UNDIP adalah Prof Sudarto, SH. Teknorat di bidang Ekonomi adalah a.l Prof Widjojo Nitisastro (Menko EKUIN/Ketua Bappenas),dengan kelompoknya: Prof Moh.Sadli, Prof Subroto, Prof Sumarlin, Prof Ali Wardhana dan Prof Emil Salim. Berada di luar kelompok Widjojo cs adalah a.l Prof B.J Habibie (Riset dan Teknologi). Kelompok penguasa militer yang berkuasa mendampingi Jenderal Suharto (Presiden RI) adalah a.l Jenderal Soemitro (Kopkamtib), Jenderal Ali Moertopo (OPSUS), Laksamana Soedomo (Kopkamtib),dan Jenderal Sutopo Yuwono (BAKIN).



Dalam suasana “pengekangan” oleh kelompok militer bersama teknokrat ekonomi, memang apa yang dilakukan Mochtar dengan BPHN dibawah T.M Radhie adalah sudah optimal. Kalaupun Mochtar mempunyai konsep “hukum pembangunan” arahnya pasti pragmatis dan disesuaikan dengan pemikiran pemerintahan Orde Baru, yang mengutamakan pembangunan ekonomi di dalam kestabilan politik dan diamankan oleh ketertiban hukum. Setelah lima tahun menjabat Menteri Kehakiman, Mochtar dipercaya oleh para teknokrat ekonomi dan militer untuk menjabat Menteri Luar Negeri selama dua periode (1979-1984 dan 1984-1989). Lingkaran kekuasaan di sekitar Mochtar masih hampir sama, sebagai Menteri Kehakiman Mochtar diganti oleh Jenderal Mudjono (yang berhasil mentuntaskan KUHAP 1981 sebagai ganti HIR), kemudian Senoadji diganti oleh Ali Said, dan sebagai Jaksa Agung adalah Jenderal Hari Suharto, SH. Kemudian Menteri Kehakiman dipegang oleh Jenderal Ismail Saleh, SH selama dua periode (1984-1989 dan 1989-1994).Ismail Saleh digantikan oleh Oetojo Oesman, SH seorang politikus Golkar dan SOKSI dan sebagai Direktur Jenderal Pembinaan Hukum adalah Prof Bagir Manan dari UNPAD. Dan ketika T.M Radhie wafat tahu 1992, maka BPHN diketuai oleh Prof Sunarjati Hartono dari UNPAD.



Uraian di atas hanya ingin menggambarkan bahwa dalam masa kepemimpinan Mochtar di Departemen Kehakiman mendampingi para teknokrat ekonomi maupun menteri dan pejabat yang berasal dari militer (terutama lulusan Perguruan Tinggi Hukum Militer), maka “konsep pembangunan hukum” yang dapat dipikirkan dan dilaksanakannya sangat dibatasi oleh kondisi negara saat itu. Ingat usaha teknokrat ekonomi mengajak pemodal asing ke Indonesia (UU No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing) dan mulai terbentuknya di dunia korporasi-korporasi multi-nasional yang sangat berpengaruh terhadap negara-negara berkembang (perdebatan Utara-Selatan dan perlunya perubahan dalam tatanan ekonomi internasional). Ingat pula bahwa Mochtar melihat kekuasaan itu sebagai sesuatu yang netral,tetapi untuk dapat menjadi berguna diperlukan pembatasan dan ruang lingkup legitimasinya, disinilah peran hukum bagi kekuasaan (kekuasaan politik/birokrasi,maupun ekonomi/bisnis).Sebaliknya hukum juga perlu kekuasaan agar efektif. Kesimpulan Mochtar tentang hubungan hukum dan kekuasaan dalam Era Orde Baru, yang dimulai  dalam masa kepemimpinannya di Kementerian Kehakiman, adalah : “Hukum tanpa kekuasaan tidak bisa efektif dan akan tinggal sebagai angan-angan belaka, sebaliknya kekuasaan tanpa hukum akan mengakibatkan kesewenang-wenangan atau kezaliman”.[3]  



Pembangunan di bidang pendidikan tinggi hukum

Setelah selesai pengabdiannya sebagai Menteri Luar Negeri, maka pada tahun 1990 Mochtar diminta oleh Menteri Pendidikan Prof Dr. Fuad Hassan (gurubesar Psikologi di UI) untuk bersedia menjadi Ketua Konsorsium Ilmu Hukum. Pada waktu itu Dirjen Pendidikan Tinggi adalah Prof Dr. Soekadji Ranuwihardjo (gurubesar Ilmu Ekonomi di UGM) dan kepala Badan Litbang adalah Prof Dr.Harsya W.Bachtiar (gurubesar Sosiologi di UI).



Mochtar bukan orang baru dalam pemikiran pembaharuan pendidikan tinggi hukum. Ketika Mochtar kembali dari pendidikan pascasarjana di Amerika Serikat, tahun 1957-an, telah ada cita-citanya untuk mengubah pendidikan tinggi hukum di Indonesia dengan melihat pola di Amerika Serikat. Setelah menjadi Dekan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, pada awal era Orde Baru, dalam kedudukan pula  sebagai Ketua Sub-Konsorsium Ilmu Hukum Mochtar mulai memajukan gagasannya tentang “re-orientasi tujuan pendidikan tinggi hukum di Indonesia”. Inti dari gagasannya berada pada perbedaan peran sarjana hukum di masa Hindia Belanda, dengan Indonesia yang sudah merdeka dan sedang membangun. Sarjana hukum yang sekarang dihasilkan fakultas-fakultas hukum harus siap menjadi “decision makers”, “legislators” dan bila bekerja di bidang peradilan (hakim dan penuntut umum), atau profesi hukum (advokat) serta di bidang pendidikan (dosen), maka mereka harus punya “orientasi terhadap kemajuan bangsa dan pembangunan hukum”.Terlihat di sini bagaimana Mochtar menghayati pemikiran pada masa itu, di mana para sarjana (termasuk sarjana hukum) di negara-negara berkembang (baca: baru lepas dari penjajah kolonial) harus sanggup menjadi “agents of change”. Mochtar sendiri sering diasosiasikan dengan ungkapan “law as a tool of social engineering” – ungkapan ini sering dikritik sebagai melihat hukum hanya sebagai “alat” (mekanistis). Di lihat pada jamannya waktu itu, di mana pembangunan ekonomi adalah “prima donna” dan politik adalah “stabilator”, maka memang dapat diterima bahwa dalam pembangunan masyarakat (social development), hukum harus mengikuti kebijaksanaan politik-ekonomi-sosial (poleksos) pemerintah. Tetapi banyak pengikut Mochtar menafsirkan maksudnya adalah “lawyers as agents of social (and legal) change”. Saya sendiri sependapat dengan pemikiran terakhir ini, karena menurut saya pikiran Mochtar (paling tidak waktu dilemparkannya gagasan itu) merujuk pada pandangan Roscoe Pound dalam akhir tulisannya “The End of Law”, antara lain sebagai berikut :

   “For the purpose of understanding the law of today I am content with a picture of satisfying as much of the whole body of human wants as we may with the least sacrifice. I am content to think of law as a social institution to satisfy social wants … by an ordering of human conduct through politically organized society… - in short, a continually more efficacious social engineering” (pp 98-99).[4]



Arah pemikiran Mochtar tentang SH pasca-kemerdekaan adalah terutama seorang “professional lawyer”, yang bekerja mendampingi para teknokrat pembangunan. Hal ini dapat dilihat waktu Mochtar sudah menjadi Menteri Kehakiman, dengan memprakarsai suatu “pilot project clinical legal education” di FH-UNPAD. Ini terjadi pada awal tahun 1980-an,waktu berlaku konsep “kurikulum inti (Kep.Dikti No.30/1983) dengan matakuliah “pembulat studi” berupa kewajiban menyusun laporan kasus di pengadilan dan mulai adanya mata kuliah “praktek hukum” dalam kurikulum fakultas-fakultas hukum.



Kritik pernah diajukan bahwa Mochtar terlalu menekankan kepada “kesiapan kerja” para lulusan fakultas hukum, dengan menekankan kesiapan lulusan S-1 untuk mampu menerapkan (keseragaman) norma hukum positif pada permasalahan di masyarakat. Hal ini mungkin benar pada awal, ketika Mochtar baru kembali dari pendidikan di Amerika Serikat. Tetapi selanjutnya Mochtar juga menentang pandangan melihat sarjana hukum Indonesia itu ibarat “tukang-hukum”, karena fungsi hukum adalah juga untuk pengatur “keserasian hubungan”. Dalam masyarakat Indonesia yang makin modern (industrialisasi), tetapi dengan tetap mengakui kemajemukan (masyarakat dan hukumnya), maka akan terdapat persaingan (yang ketat) antara berbagai kepentingan hukum dalam masyarakat. Para mahasiwa harus dididik untuk berpikir analitis dan kreatif dalam menafsirkan hukum pada kasus-kasus yang dihadapinya. Mungkin pemikiran Mochtar seperti ini juga memang dipengaruhi Pound dalam akhir tulisannya tentang “The Application of Law” (p.143) : “For the certainty attained by mechanical application or fixed rules to human conduct has always been illusory”.[5]



Pada bulan November 1974 di Prapat, Sumatera Utara, diadakan simposium “Bahasa dan Hukum” sebagai salah satu kegiatan pertama BPHN ketika Mochtar menjadi Menteri Kehakiman. Kegiatan lain pada waktu yang hampir bersamaan adalah Seminar Hukum Nasional di Surabaya, di mana diajukan rencana pembangunan sistem jaringan dokumentasi dan informasi hukum (serupa yang telah lebih dahulu dibangun oleh LIPI dalam bentuk sistem jaringan informasi ilmu pengetahuan dan oleh pusat dokumentasi hukum di Universitas Indonesia). Mochtar menyadari kelemahan para sarjana hukum Indonesia untuk berperan secara efektif bersama para teknokrat ekonomi (dan teknologi). Kelemahan utama adalah bahan hukum primer dan sekunder di bidang hukum, kebanyakan masih dalam bahasa Belanda[6] dan juga tidak ada suatu pusat di mana publik secara mudah dan murah dapat menemukan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh para perancang pembangunan ekonomi. Memang kondisi ini, ditambah dengan bertambah banyaknya fakultas-fakultas hukum, banyaknya mahasiswa yang masuk, dan anggapan bahwa setiap sarjana hukum setelah lulus (advokat, hakim, jaksa, polisi) dapat menjadi dosen, telah menurunkan kualitas lulusannya. Keluhan umum waktu itu adalah bahwa para lulusan fakultas hukum tidak “siap-kerja”.



Pendapat Mochtar mengenai hal ini adalah bahwa fakultas hukum dalam waktu 4 tahun tidak mungkin membuat orang siap-pakai, yang dapat dilakukan adalah hanya “lebih-siap” untuk dimatangkan sehingga menjadi “siap-pakai”.  Pekerjaan untuk menjadikan seorang lulusan fakultas hukum betul-betul siap- pakai sebaiknya dilakukan oleh kantor atau dinas yang mempekerjakannya Selanjutnya dalam tulisan lain Mochtar mengatakan:

   “Sebenarnya pembagian studi hukum dalam tiga strata jakni Strata I, Strata II, dan Strata III bisa menguntungkan apabila pendidikan di S-I selain memberikan pendidikan dasar (termasuk teori) ditekankan pada menghasilkan lulusan yang memiliki pengetahuan dan kemahiran untuk menerapkan hukum positip dengan baik, secara profesional dan bertanggung jawab. Yang mempunyai bakat menjadi ilmuwan atau sarjana bisa melanjutkan studi hukumnya pada S-II yang programnya juga sekarang sudah selesai disusun oleh Konsorsium Ilmu Hukum dan diserahkan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi” (hal.52-53).[7]



Mochtar menjelang lengsernya Pak Harto

Seperti disampaikan di atas, Mochtar menjadi birokrat petinggi di bidang hukum “dalam negeri” selama satu periode (1974 – 1979) dan di bidang “luar negeri” selama dua periode (1979 – 89). Setelah itu selama sepulu tahun (1990 – 2000) mewakili Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengarahkan pendidikan hukum di Indonesia sebagai Ketua Konsorsium Ilmu Hukum. Menjelang Repelita ke VII yang akan dimulai pada tahun 1998, Bappenas bermaksud untuk melakukan suatu survai tentang keadaan hukum di Indonesia. Ini adalah sebelum terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan ditimbulkan olek krisis ekonomi di Thailand. Maka sejak tahun 1995 dimulailah penjajakan oleh Bappenas bersama Bank Dunia ke berbagai pihak, dan dari sejumlah calon, terpilihlah akhirnya dua kantor hukum di Jakarta untuk menangani survai ini. Yang terpilih adalah kedua kantor hukum “Mochtar,Karuwin,Komar” (MKK) dan “Ali Budiardjo,Nugroho,Reksodiputro” (ABNR). Laporan dalam bahasa Inggris disampaikan pada awal tahun 1996 kepada Bappenas dan Bank Dunia dan dibahas dalam pertemuan bulan Maret 1997 (terdiri dari 5 jilid dengan jumlah lebih dari 1.200 halaman).[8]  



Dengan merujuk bahwa telah lebih dari 20 tahun pembangunan hukum di Indonesia (1974 – 1995/6), maka penilaian Mochtar dalam pidatonya dihadapan petinggi-petinggi Bappenas dan Bank Dunia waktu itu, disimpulkannya dalam kalimat “desperate but not hopeless”. Ungkapan ini menunjukkan kekecewaan yang besar dari Mochtar terhadap pelaksanaan cita-citanya tentang pembangunan hukum di Indonesia, baik melalui Kementerian Kehakiman dengan BPHN-nya, maupun  kemudian melalui fakultas-fakultas hukum dan pendidikan hukum dengan Konsorsium Ilmu Hukum.[9] Pada bab terakhir laporan survai itu dituliskan sebagai berikut:

   “Kajian diagnosis ini mengungkapkan keadaan hukum kita saat ini, persis seperti yang diungkapkan oleh Prof.Dr.Mochtar Kusumaatmadja, yang menyatakan ‘desperate but not hopeless’. Rekomendasi yang diajukan ini adalah bertujuan untuk memperbaiki keadaan tersebut.Keadaan hukum kita saat ini dapat disamakan dengan keadaan ekonomi yang kita hadapi di awal Ode Baru.Keadaan ekonomi yang sangat buruk dihadapi rakyat diakhir tahun 1960-an, tapi dengan tekad politik dan strategi pembangunan yang tepat, terbukti pemerintah berhasil mengatasinya, sebagaimana dapat disaksikan pada akhir masa Pembangunan Jangka Panjang Pertama. Maka diharapkan kemauan dan komitmen politik yang diperlihatkan pada akhir tahun 1960-an dapat terulang kembali dalam usaha kita melakukan pembangunan hukum”.[10]




Penutup
Kekecewaan Mochtar dapat dipahami, apalagi kalau kalau diingat bahwa tahun 1993 Bank Dunia pernah menggolongkan Indonesia sebagai salah satu “macan Asia”, bagian dari delapan “ekonomi Asia yang berkinerja tinggi: Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, Singapura, Malaysia, Thailand dan Indonesia”. Kalau di bidang ekonomi kita ketinggalan dengan negara-negara tetangga dekat di atas, maka di bidang hukum pun keadaannya tidaklah berbeda. Dibandingkan  dengan sukses yang dicapai oleh teman-teman sejawatnya dari bidang ekonomi (Widjojo cs), maka kekecewaannya ini dicoba diobatinya melalui sejumlah program pembangunan hukum jangka panjang dan jangka pendek yang diusulkannya untuk masuk dalam Repelita yang akan datang (1998-2003) melalui Bappenas. Krisis ekonomi yang dialami Indonesia pada tahun 1997, serta perubahan ketatanegaraan yang terjadi kemudian pada bulan Mei 1998, menyebabkan banyak gagasan-gagasan yang ingin diajukannya untuk membuktikan bahwa keadaan masih dapat ditolong (“not hopeless”),tidak pernah terwujud. Beberapa gagasannya adalah a.l “suatu badan reformasi hukum yang langsung bertanggungjawab kepada Presiden”; “suatu badan pengawas profesi hukum”; “suatu badan akreditasi pendidikan profesi hukum”; “penyempurnaan program legislasi nasional”, yang semuanya merupakan program-program reformasi kebijakan jangka pendek 1-2 tahun, menunjukkan bahwa Mochtar memang tetap percaya bahwa pembangunan hukum harus dimulai dengan menjadikan “hukum sebagai alat dalam merekayasa masyarakat”.[11]


*Tulisan ini merupakan bagian dari buku "Mochtar Kusuma-Atmadja dan Teori Hukum Pembangunan : Eksistensi dan Implikasi : Epistema Institute - HuMa, 2012.

[1] Untuk menggambarkan peran Teuku Mohammad Radhie selaku kepala BPHN Dep Kehakiman sampai wafatnya tahun 1992 (11 Maret), lihat Suherman,Mulyana,Shidarta (1993),Kumpulan tulisan untuk mengenang Teuku Mohammad Radhie, UPT Penerbitan Universitas Taruma Negara.



[2] Lihat dalam Mochtar Kusumaatmadja, “Pengembangan Filsafat Hukum Nasional” (1997), dalam PRO JUSTITIA, Tahun XV No 1 Januari 1997.

[3]Ibid,  hal.9

[4] Roscoe Pound (2003), An Introduction to the Philosophy of Law, Clark,New Jersey: The Lawbook Exchange,Ltd., hal.98-99.

[5] Ibid, hal. 142-143.

[6] Lihat A.W.H. Massier (2003), Van Recht Naar Hukum, Indonesische juristen en hun taal 1915-2000, disertasi di Universitas Leiden, 11 September 2003.

[7] Konsorsium Ilmu Hukum (1995), Pembaharuan Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia dalam Menghadapi Tantangan Abad Ke-21 (Seri KIH No 11), Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (dahulu Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, hal.52-53

[8] Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro (in cooperation with Mochtar,Karuwin and Komar),1997, Law Reform in Indonesia. Results of a research study undertaken for the Worl Bank, Jakarta:CYBERconsult

[9] Lihat Niar Reksodiputro,Imam Pambagyo,Firoz Gaffar & Ifdal Kasim (Penerjemah dan Penyunting), (1999), Reformasi Hukum di Indonesia, Hasil Studi Perkembangan Hukum – Proyek Bank Dunia, Jakarta: CYBERconsult; hal.147.

[10] Ibid, hal.147 – Harus diingat bahwa pada waktu Mochtar menyampaikan pidatonya itu, krisis ekonomi multi-dimensi belum sampai di Indonesia. Malahan Indonesia masih merasa bangga dengan pujian yang dilontarkan berbagai kalangan bahwa Indonesia akan menyamai negara-negara maju di Asia.


[11] Ibid, hal. 157-159.- Reformasi bidang hukum yang diajukan, terdiri dari Reformasi Kebijakan Jangka Pendek dan Jangka Panjang, serta Reformasi Teknis Jangka Pendek dan Jangka Panjang – kesemuanya hampir 50 program, yang akan diselesaikan dalam 10 tahun (hal.157 - 178 ). Panitia Pengarah waktu itu adalah: Ir.Rahadi Ramelan; Sutadi Djajakusuma,SH; Ismail Saleh,SH; Purwoto S.Gandasubrata,SH; M.Djaelani,SH; Suhadibroto,SH; Prof.Dr.C.F.G.Sunarjati Hartono,SH; dan Wim Hutapea,SH.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar