Pengantar
Judul ini dipilih untuk menunjukkan
keresahan Penulis melihat perkembangan hukum di Indonesia. Kenyataan, harapan dan tantangan ingin
disampaikan di bawah ini, namun judulnya pasti
lebih banyak menjanjikan daripada yang nyata dapat saya berikan.Karangan
ini ditulis untuk disampaikan kepada seorang teman lama Prof.Dr.Etty R.Agoes,
SH.LLM yang telah menyelesaikan tugasnya dan akan “purnabakti” sebagai
gurubesar tenaga-penuh-waktu Hukum Internasional di Fakultas Hukum UNPAD.
Beliau adalah teman lama sejak kami bekerjasama di Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN) pada jaman Ketua Sdr. Teuku Muhammad Radhie,SH,LLM (pada
pertengahan tahun 1970-an) dan kemudian ketika Prof.Dr.Soenarjati Hartono dan selanjutnya Prof.Dr. H.A.S.Natabaya menjadi
Ketua BPHN.
Apa yang ingin disampaikan di sini
adalah beberapa catatan permasalahan hukum yang timbul dalam pemahaman di Indonesia,
tentang konsep-konsep tertentu dalam hukum pidana yang diambilalih (begitu
saja) oleh peraturan perundang-undangan kita dari hukum (pidana) internasional
atau hukum negara lain. Secara khusus saya ingin merujuk kepada istilah di
komunitas hukum Indonesia tentang: ”Crown
Witness” – “Whistleblower” – “Justice
Collaborator” – “Reversal of the Burden of Proof” – “NCB Asset Forfeiture” dan
“Stolen Asset Recovery”.[1]
Crown Witness
Istilah ini diterjemahkan jadi
“saksi-mahkota” dan sebenarnya tidak dikenal dalam hukum acara pidana kita. Dalam
beberapa sumber hukum Belanda ada istilah dan konsep “kroongetuige” (kroon=mahkota dan getuige=saksi). Dalam bahan pustaka hukum Amerika Serikat saksi ini
dikenal sebagai “state witness”. Jadi
karena Belanda adalah kerajaan, maka Negara disimbolkan dengan mahkota, dan karena
itu dalam bahan pustaka kerajaan Inggris disebut juga sebagai “crown
witness”.
Konsep ini masuk dalam praktik hukum Indonesia melalui putusan
Mahkamah Agung tahun 1990[2],
yang memperbolehkan JPU mengajukan “… teman Terdakwa sebagai saksi, yang
disebut “saksi mahkota” (kroongetuige),
asalkan perkara Terdakwa dipisahkan dari perkara Saksi tersebut …” Putusan ini
kemudian dimanfaatkan secara keliru
oleh Penyidik untuk “mengadu-domba” dua orang (atau lebih) pelaku yang
bersama-sama melakukan suatu kejahatan. Ini sebenarnya bertentangan dengan
salah satu asas universal dalam hukum pidana, yaitu asas “non-self-incrimination” yang merupakan salah satu unsur dalam
proses hukum yang adil (due process of
law).Dikatakanoleh Lafave :”The
privilege agaist self-incrimination has special meaning in a criminal trial, for
it confers a significantly different right upon who is (also) the accused as
compared to one who is simply (only) a witness” (kata antara kurung dari Penulis).[3]
Sebaiknya cara seperti ini tidak dilakukan lagi, karena menyalahi due process of law, dan membuat “malas
dan bodoh” Penyidik ,JPU dan Hakim kita,karena tidak rajin dan cerdas
mencari dan menganalisa fakta-fakta dalam membuktikan dalil-dalilnya. Akibatnya akan
makin sering terjadi peradilan sesat (miscarriage
of justice) di Indonesia ![4]
Whistleblower
Istilah ini juga tidak dikenal dalam
hukum acara pidana Indonesia. Artinya secara harafiah adalah “peniup pluit” (seperti polisi lalu lintas atau wasit pertandingan
sepak bola).Maknanya adalah orang tersebut mengingatkan publik, bahwa telah
terjadi pelanggaran peraturan. Dalam bidang hukum pidana ini berarti ada
seseorang yang “membocorkan” telah terjadinya suatu kejahatan (yang
tersembunyi). Dalam literatur kriminologi luar negeri terjemahan yang mendekati
dari istilah ini adalah “pengadu”, karena dikaitkan dengan usaha Penyidik
membongkar suatu kejahatan yang sangat tertutup (seperti dalam organized crime: sindikat perjudian dan
narkoba). Tidak heran bahwa oleh teman-temannya (di luar ataupun di dalam
kelompoknya) orang ini dianggap “pengkhianat”,
karena membocorkan rahasia kelompoknya.
Karena itu Surat Edaran Mahkamah Agung
No.4 tahun 2011, yang menerjemahkan whistleblower
dengan “pelapor tindak pidana” adalah menyesatkan.
Tidak semua orang yang melaporkan
adanya tindak pidana adalah “pengadu” yang mengkhianati teman-temannya, tetapi
ada juga yang melaporkan karena merupakan
korban kejahatan tersebut ataupun orang yang hanya menyaksikan atau mendengar
terjadinya (yang terakhir ini harus mendapat pujian, karena mereka secara
sukarela mau membantu penegakan hukum !).
Dengan memakai konsep MA ini, maka orang yang mengkhianati teman-teman
kriminalnya telah menjadi “terpuji”, meskipun secara moral, sifat seorang yang
mengadukan temannya adalah “buruk”. Sebaiknya dipergunakan saja istilah
“peniup-pluit”, “pengadu” atau “pembocor- rahasia kejahatan”.
Surat Edaran MA itu juga keliru dengan mengatakan dalam butir 8,
bahwa orang ini “bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkan”.
Bukankah justru “pengadu”-“pembocor-rahasia” ini menjadi sangat berharga dalam
memberi informasi kepada Penyidik, karena keterkaitannya dengan kejahatan yang
dilaporkan (seperti: pemegang buku keuangan yang mencatat hasil judi atau
mencatat pengeluaran untuk menyuap pejabat publik atau membuat pembukuan ganda
untuk manipulasi pajak).Dalam usaha Indonesia membongkar kejahatan Korupsi,
Narkoba, Pencucian-Uang dan Perdagangan-Manusia (kejahatan yang sangat
tersembunyi), maka “pengadu-pembocor-rahasia “ ini akan sangat membantu
Penyidik.
Dalam bahan pustaka luar negeri ada
kewenangan memberi “immunity grants”,JPU
Indonesia dengan persetujuan Pengadilan harusnya
dapat memberikan “imunitas terhadap
penuntutan” kepada seorang “peniup-pluit” berdasarkan diskresi yang harusnya dipunyai seorang
JPU ![5] LaFave
mengatakan sebagai berikut: “The immunity
grant may be used to gain information … (from) a lower-level participant in
organized crime in order to obtain testimony against higher-level participants
… (and) it also often is used to force testimony from witnesses who are not
themselves involved in criminal activities, but desire not to give testimony that
may hurt others.”[6]Adanya
kewenangan seperti ini sebaiknya dimasukkan dalam Rancangan KUHAP kita yang
sekarang ada di DPR, karena akan sangat membantu usaha kita melawan “mafia”
Korupsi, Narkoba, Pencucian-Uang dan Perdagangan-Manusia. Penyempurnaan
pengertian “peniup-pluit” oleh KUHP yang
akan datang ini juga diperlukan untuk memperbaiki kekeliruan Surat Edaran MA.
Peniup-pluit yang bukan pelaku harus
mendapat “pujian”, tetapi juga harus dilindungi agar tidak mendapat ancaman
dari orang/kelompok yang terbongkar perilaku jahatnya.Apalagi kalau orang ini
kemudian menjadi saksi di Pengadilan.Rancangan KUHAP harus mengatur hal ini ![7]
Justice Collaborator
Sebagai konsep istilah ini tidak pernah
saya temukan dalam bahan pustaka hukum pidana dan kriminologi berbahasa Inggris
yang saya baca.. Dalam Surat Edaran MA yang sama dengan di atas (2011)
dipergunakan istilah penerjemahan “Saksi-Pelaku Yang Bekerjasama”. Saya
menafsirkannya bahwa yang dimaksud oleh
MA adalah seorang Pelaku kejahatan yang koperatif dengan Penyidik untuk
membongkar kejahatan yang dipersangkakan kepadanya. Saya tidak berkeberatan
bila benar tafsiran saya ini. Tetapi yang mengherankan saya adalah bahwa mereka
akan mendapat “imbalan” (reward ?).Hukum
acara pidana kita menjelaskan bahwa hakim dalam putusannya harus juga
mempertimbangkan hal-hal atau faktor-faktor yang meringankan untuk seorang
Terdakwa yang akan menjadi Terpidana. Bukankah hal ini sudah jelas dan cukup ?
Jangan lupa Terdakwa/Terpidana ini adalah seorang Pelaku kejahatan yang tertangkap
dan terbukti kesalahannya dalam penyidikan dan proses pemeriksaan di muka
pengadilan, jadi kalau orang ini koperatif (mau bekerjasama) ini bukan karena
“bertobat”, tetapi semata-mata “strategi”
mendapat hukuman yang lebih ringan. Tentu hal ini baik saja, dan Hakim akan
mempertimbangkannya. Tetapi secara khusus “diiming-iming” dengan “imbalan” oleh
MA dan Kejagung, menurut saya keliru
sekali. Malahan “whistleblower” (peniup-pluit)
yang seorang Pelaku kejahatan, tetapi yang secara moral dapat dianggap “merasa
tobat” dan secara sukarela datang
“membocorkan rahasia” kelompoknya ke penegak hukum, tidak diberi “penghargaan “
oleh MA dan Kejagung ! Malahan dengan datang secara sukarela ini dia justru
mendapat risiko dituntut dan dihukum. Dalam usaha memberantas kejahatan yang
“sangat tersembunyi” (a.l Korupsi dan organized
crime), maka Penyidik memang sering sekali memerlukan “justice collaborator” ini.
Bagi saya di Indonesia perlu sekali diperjelas perbedaan antara “pengadu-pembocor-rahasia”
(whistleblower) yang umumnya terlibat
dalam kejahatan (kalau tidak, informasinya tidak dapat banyak membantu Penyidik
membongkar kejahatan yang sangat tertutup) dengan
“pelaku-tersangka yang koperatif” (justice
collaborator) yang menjadi saksi membuka rahasia teman-temannya (dan
melakukan hal itu tentunya dengan menharap imbalan (sesuai SEMA 4/2011).
Menurut konsepnya seorang “pengadu-pembocor-rahasia” melakukanya secara sukarela (dan kalau dia terlibat
kejahatan tersebut secara serius, maka ada dua risiko besar bagi dia - hukuman Negara dan hukuman Teman).
Menurut konsepnya juga seorang “pelaku-tersangka yang koperatif” melakukannya
secara tidak-sukarela, tetapi dengan
mengharapkan “imbalan”. Secara moral yang
pertama lebih baik dari yang kedua, karena yang pertama melakukan dengan risiko
tetapi secara sukarela, sedangkan yang kedua melakukan “tawar-menawar” menjual informasi tentang teman-temannya untuk
keuntungan pribadi. Tidak dibedakannya hal ini dapat membingungkan publik,
karena bagaimana masyarakat Indonesia dapat menghargai Mahkamah Agung-nya,
kalau “mahkamah keadilan” ini tidak
dapat “membedakan antara berbagai derajat kesalahan dan moral” ( antara baik
dan buruk)?
Dalam prakteknya, pelaksanaan SEMA
4/2011 ini, akan (telah?) menjadi prosedur “tawar-menawar” antara Penyidik/JPU
dengan Tersangka/Terdakwa yang (akan) menjadi Justice Collaborator.. Konsep tawar-menawar ini dikenal di luar
negeri (Amerika Serikat) sebagai praktek
“plea bargaining”.
Di luar negeri, maka JPU dapat “menawarkan” hukuman yang lebih ringan, asalkan
Terdakwa mengakui saja bahwa ia memang bersalah melalukan kejahatan yang
didakwakan (plead guilty). Tetapi
di Amerika Serikat hal ini tidak
diatur dalam peraturan, tetapi hanya merupakan “kebiasaan-praktek”[8].Melalui
SEMA tersebut, maka “praktek” ini sekarang menjadi bagian hukum acara pidana
kita. Bagaimana perkembangannya di masa yang akan datang menarik untuk disimak
bersama. Kabar terakhir adalah bahwa dengan adanya SEMA ini sekarang banyak
Terpidana dalam Lapas-lapas di Indonesia meminta surat-keterangan kepada JPU
untuk dinyatakan sebagai “Justice Collaborator”.Bagaimana akan
sikap Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung kita? Apa nilai surat seperti ini?
Akankah berpengaruh pada remisi yang menjadi wewenang Lembaga Pemasyarakatan
dan Kementerian Hukum dan HAM? Tantangan
bagi para ahli hukum Indonesia (akademisi dan praktisi) untuk menulis
tentang hal in.
Reversal of the Burden of Proof
Asas universal adalah beban pembuktian (onus probandi) wajib selalu ada pada
pihak yang memulai perkara (semper
necessitas probandi incumbit ei qui agit). Karena itu banyak yang mempunyai
harapan yang besar terhadap ketentuan “omkering
van de bewijslast”(pembalikan beban pembuktian) untuk perkara korupsi yang
merajalela di Indonesia.Terutama
setelah ketentuan ini masuk dalam peraturan pemberantasan korupsi dan pencucian-uang.
Yang dilupakan adalah,bahwa sebenarnya konsep ini sudah ada secara “tersamar” dalam KUHP Hindia Belanda kita, yaitu
yang menyatakan dalam Pasal 59,
bahwa “… pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata
tidak-ikut campur melakukan pelanggaran (perusahaan yang bersangkutan), tidak
dipidana”. Tentu pengurus dan komisaris bersangkutan harus membuktikan “ketidaksalahannya” – ini contoh lama tentang konsep
Belanda (dulu) mengenai “pembalikan beban pembuktian” (yaitu: kalau perusahaan
melanggar hukum, semua pengurus dan komisaris (diasumsikan) bertanggungjawab pidana, kecuali mereka yang dapat membuktikan ketidaksalahannya). Tetapi sekarang ada kekeliruan pemikiran tentang
pengertian konsep “pembalikan beban pembuktian” yang dianut dalam peraturan
pemberantasan korupsi dan pencucian-uang. Kalau Pasal 59 memang merujuk pada kesalahan seorang Tersangka/Terdakwa,
dan berkaitan dengan asas universal “presumption
of innocence”, tetapi dalam konsep sekarang untuk
korupsi dan pencucian uang, tidak
dipergunakan pendekatan Pasal 59 (“Anda dianggap
bersalah, kecuali dapat membutikan
sebaliknya”), tetapi pendekatan lain, yaitu: “Anda harus membuktikan asal-usul
harta yang Anda kuasai, kalau
tidak kami anggap itu harta yang
tercemar secara hukum” (tainted property). Jadi sasaran
pembuktian bukan “kesalahan orang”,
tetapi “kesahan pemilikan barang”
(bahwa harta bersangkutan punya hak
kebendaan yang sah!). Jadi
ketentuan pembalikan pembuktian ini sama sekali tidak bertentangan dengan asas pra-duga tidak bersalah !
Apa untungnya “pembalikan beban
pembuktian” terhadap barang ini (di luar negeri dikenal sebagai “in
rem action”- gugatan terhadap
benda/hak kebendaan) ? Yaitu untuk merampas harta-kekayaan dari para penjahat besar (korupsi – narkoba – pencucian
uang – perdagangan manusia – perdagangan gelap senjata – pedanaan terorisme).
Agar ungkapan “crime does not pay” tidak
menjadi seperti di Indonesia “korupsi itu
kejahatan yang menguntungkan, asalkan dilakukan
secara besar-besaran jumlah uangnya”! [9]
Pembuktian memang adalah unsur pokok
atau titik pusat (sentral) dalam hukum acara pidana maupun hukum acara perdata.
Memang ada perbedaan antara tatacara dan konsep pembuktian dalam hukum acara
pidana antara negara-negara common law dengan
negara-negara civil law (dan ada pendapat bahwa perbedaan itu cukup besar-tapi saya berbeda pendapat !).
Di Amerika Serikat, maka untuk pembuktian kesalahan hukum pidana seseorang melakukan kejahatan dipergunakan konsep
wajib “beyond a reasonable doubt”
(artinya keyakinan kesalahan besar-kemungkinan kekeliruan Hakim kurang dari
5%). Sedangkan untuk membuktikan dalil dan fakta yang diajukan dalam gugatan perdata dipergunakan konsep “by a preponderance of the evidence” atau
“balance of probabilities” (hakim
cukup menemukan bahwa dalil dan fakta A cukup meyakinkan 51% atau lebih dari
yang dikemukakan B - untuk membuat putusan).
Hal ini (menurut saya) tidaklah terlalu
berbeda dengan konsep Belanda yang kita anut, yaitu untuk Hukum Pidana kita
mencari “kebenaran materiel” (materiele waarheid) dan untuk Hukum
Perdata yang dicari (cukup) “kebenaran formil” (formele waarheid). Untuk apa saya tunjukkan kesamaan ini? Yaitu,
karena untuk membuktikan kepemilikan barang/ kesahan barang, di Pengadilan
Korupsi atau dalam hal Pencucian-uang, seorang Terdakwa (atas permintaan Hakim)
cukup membuktikan bahwa harta yang dikuasainya adalah sah dengan mengajukan
bukti-bukti formil (meyakinkan Hakim
secara 51%) – tetapi bila ini saja tidak
dapat dilakukannya dengan “melawan pendapat/bantahan JPU”, maka logislah bila ada dugaan kuat bahwa harta tersebut
berasal dari kejahatan dan karena itu harus dianggap “harta tercemar secara
hukum” (tainted property).
Selanjutnya Hakim Pidana
memerintahkan JPU untuk melalui Jaksa Pengacara Negara (JPN) meminta ke
Pengadilan Perdata untuk memeriksa kesahan dari hak kebendaan yang diakui oleh
Terdakwa (atau orang lain yang punya hubungan hukum dengan Terdakwa). Prosedur
ini merupakan “gugatan perdata
terhadap benda/hak kebendaan” dan di kenal di negara-negara “common law” maupun di negara-negar “civil law”.[10]
Perampasan asset yang dikuasai oleh
Terdakwa melalui prosedur di atas, secara hukum tidak berpengaruh pada proses pidana yang sedang berjalan terhadap
Terdakwa. Dijelaskan tentang prosedur perampasan aset ini (yang dikenal sebagai
Non-Conviction Based Asset Forfeiture),
bahwa : “…NCB asset forfeiture is a
critical tool for recovering the proceeds and instrumentalities of corruption …
A procedure that provides for the seizure and forfeitureof stolen assets
without the need for a criminal conviction. [This]… can be essential when the
wrongdoer is dead, has fled the jurisdiction, or is immune from prosecution.”[11]
Sebenarnya konsep tentang kewajiban
Terdakwa membuktikan sahnya perolehan hartanya, bukan sebaliknya JPU harus membuktikan harta itu berasal dari
kejahatan, telah ada dalam Pasal 37A dan 38B UU No.20/2001 tentang Korupsi dan
Pasal 77 dan 78 UU No.8/2010 tentang Pencucian-Uang. Sayangnya karena kurang
cerdasnya JPU dan Hakim Indonesia (dan kadang kala ada “kecerdasan” kolusi mafia
peradilan), menyebabkan pasal-pasal ini tidak “bergigi”, sehingga di Indonesia
memang “Korupsi dan Pencucian Uang sangat menguntungkan” (malah dapat dinamakan
sejenis “ekonomi kreatif”).
NCB Asset Forfeiture
Sebenarnya kita sudah punya Rencana Undang
Undang Perampasan Aset. Sepengetahuan saya sudah ada pada pertengahan tahun
2008 dan pernah akan dituntaskan oleh Kementerian Hukum dan HAM pada
pertengahan tahun 2010.[12] Namun,
hingga saat ini tidak ada berita lagi pada saya tentang kemajuan RUU Perampasan
Aset ini. Seperti dijelaskan di atas “Perampasan aset (dengan) NCB” ini
mempegunakan jalur hukum perdata dan bukan hukum pidana, meskipun dasar
kasusnya berasal dari dugaan peristiwa kejahatan. Menurut bahan pustaka, asal
dari prosedur ini di Amerika Serikat adalah dalam usaha untuk “menyita dan
kemudian merampas” alat transportasi mewah (mobil – kapal air – pesawat udara)
yang diduga berasal dari kejahatan narkoba maupun rumah-rumah mewah para
“tersangka” tindak pidana narkoba. Harta kekayaan ini umumnya tidak dilaporkan
dalam SPT Pajak warga bersangkutan dan kalaupun warga itu diajukan ke
pengadilan, bukti-bukti sering tidak cukup untuk memutuskan mereka bersalah
melakukan tindak pidana narkoba. Tetapi karena hartanya tidak dapat dijelaskan
sumber uang pembeliannya, maka harta itu dianggap “tainted property” dan dimintakan kepada pengadilan perdata
mengumumkann rencana perampasannya untuk Negara. Bila ada yang menyanggah, maka
dia harus membuktikan diri sebagai “innocent
owner”. Bila tidak dapat, maka pengadilan memutuskan untuk merampasnya
menjadi milik negara. Dengan cara ini diusahakan agar perdagangan illegal
narkoba tidak menguntungkan karena telah dilakukan “perampasan keuntungan”.[13]
Sayang bahwa RUU Perampasan Aset ini
masih “terganjal” di DPR ataupun di Kementerian Hukum dan HAM – prosedur
perampasan aset dengan NCB ini akan merupakan senjata ampuh untuk membuktikan
bahwa di Indonesia “crime does not pay”.Tetapi memang harus diakui
bahwa melalui jalur hukum pajak dan bersamaan dengan perampasan asset NCB ini
akan banyak warga di Indonesia dapat
terancam kehilangan harta-kekayaan yang olehnya tidak
dapat dibuktikan sumber keuangan untuk pembeliannya. [14] Sebenarnya
pola dasar pemikiran ini sudah ada di Pasal 38C UU No.20/2001 tentang Korupsi,
yang memungkinkan melalui prosedur perdata merampas harta Koruptor, yang
sebelumnya tidak diketahui oleh JPU terkait kejahatan yang didakwakan(ini termasuk
pengerian “illicit enrichment”).
Tetapi ketidakcerdasan KA dan MA menyebabkan pasal ini menjadi “dode letter in de wet” (huruf mati dalam
UU kita). Seandainya saja KA dan MA punya JPU dan Hakim Agung yang kreatif dan reformatif,
maka sudah harus ada yurisprudensi tetap MA tentang penafsiran pasal ini yang
dapat juga dikaitkan dengan StAR.
Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative
Dalam bukunya Theodore S.Greenberg
membuka Bab-1 dengan mengatakan:
“The theft of public assets is a
development problem of the greatest magnitude. The exact value of state assets
that have been stolen from developing countries is impossible to determine with
any precision. Between $1trillion and $1.6 trillion is lost each year to
various illegal activities. Corrupt public officials in developing and
transition countries loot as much as $40 billion each year, concealing these
funds overseas where they are extremely difficult to recover.This figure is
equivalent to the annual GDP of the world’s 12 poorest countries,where 240
million people live”[15]
Komisi Hukum Nasional dalam bulan
November 2007 telah membahas permasalahan
StAR ini dan a.l. berpendapat bahwa Pemerintah
perlu : 1)Melakukan audit
institusi dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan denganperbuatan
korupsi dan menyempurnakannya secara bertahap untuk disesuaikan dengan “internationally accepted legal standards”; 2)Menetapkan satu kasus “grand corruption” menjadi studi kasus empirik;
3)Membuka kemungkinan dalam hukum
pidana Indonesia melakukan perampasan keuntungan yang berasal dari kejahatan (deprivation of profits as a result of
corruption); dan 4)Membuka
kemungkinan dalam hukum pidana Indonesia melakukan penyelesaian hukum di luar
proses pengadilan (afdoening buiten
process) terhadap kasus korupsi tertentu (sesuai politik kriminal
Pemerintah dan secara transparan dan akuntabel). Kembali lagi, saya berpendapat
bahwa patut sangat disayangkan ternyata tidak
ada tanggapan (ataupun bantahan apapun) dari Kementerian Hukum dan HAM,
Kejaksaan Agung maupun Mahkamah Agung terhadap saran KHN ini. Saya ingin
menjelaskan lebih lanjut saran-saran KHN -/+ 5 tahun yang lalu ini.[16]
Penyempurnaan secara bertahap
undang-undang kita (terutama yang menyangkut Korupsi, Pencucian Uang dan
Narkoba) memang telah dilakukan (meskipun lambat dan tersandera kepentingan
politik), namun praktek aparat
penegak hukum (Polisi dan JPU) dan aparat penegak keadilan kita (MA dan jajaran
Pengadilannya) masih sering menimbulkan ketidakpercayaan
publik (mafia peradilan: kolusi hakim – advokat – JPU). Kepercayaan ini
penting dalam masalah StAR, karena kita akan meminta bantuan pengadilan di luar negeri untuk “ membantu
merampas” aset kita yang dicuri Koruptor dan dijadikan asetnya di luar negeri
atau “membantu merampas” keuntungan seorang penjahat di Indonesia yang di bawa
ke luar negeri (misalnya Narkoba). Bagaimana pengadilan di luar negeri dapat
berpihak pada kita, kalau mereka kurang percaya bahwa pengadilan di Indonesia
telah menjalankan due process of law ?!
Studi ilmiah oleh Kejaksaan Agung dan
Mahkamah Agung (dibantu akademisi perguruan tinggi) tentang keberhasilan
mengadili beberapa “grand corruption
cases” memang perlu dilakukan untuk melihat kelemahan hukum kita. Sikap a’prori pejabat-pejabat hukum puncak
kita di MA dan KA bahwa mereka sudah “tahu hukum” karena berpengalaman dan
tidak perlu “belajar lagi dari orang lain” (dalam negeri dan luar negeri) telah
membuat hukum kita ini “terbelakang dalam
praktik hukum”.[17]
Salah satu contoh yang sangat menyolok dari pandangan seorang akademisi, adalah
bahwa JPU dan Hakim tidak dapat memberdayakan ketentuan bahwa seorang Terpidana
kejahatan harta benda (termasuk korupsi) wajib
“membayar ganti-rugi” kepada negara,
dan melarang mereka “memasang badan”
mengganti dengan tambahan pidana penjara, cara Terpidana agar tetap dapat
menikmati keuntungan yang berasal dari kejahatannya.
Untuk membantu keuangan Negara yang
telah dirugikan oleh seorang penjahat harta benda (property crimes including corruption), maka di Belanda dikenal
ketentuan “afdoening buiten process”
(setlement out of court – penyelesaian-tuntas di luar pengadilan).Cara ini memang tidak akan populer di mata publik, tetapi dalam hal-hal tertentu
praktek di luar negeri menunjukkan bahwa acap kali biaya menjalankan perkara di
muka pengadilan tidak menguntungkan (berdasarkan cost-benefit atau cost
effective principle) – sehingga kalau seorang Terdakwa bersedia membayar seluruh “kerugian negara”(uang yang
dikorupsi + keuntungan,bunga, dll + denda yang ditetapkan negara + biaya-biaya
yang telah dikeluarkan negara untuk melacak dan menggugat kekayaan Terdakwa di
luar negeri),maka Jaksa Agung dapat mempergunakan haknya untuk men”seponir”
perkara berdasarkan hak oportunitas yang dimilikinya. Tentu banyak yang
akan menentang pendapat ini, disatu pihak adalah mereka yang berorientasi
falsafah retribution dalam
pemidanaan, dan di pihak lain mereka yang akan merasa dirugikan karena tidak
dapat lagi (menikmati) berkeliling-dunia mencari asset koruptor (seperti mencari
harta-karun ?) di luar negeri !
Penutup
Sudah waktunya bahwa Indonesia mempunyai
sejumlah tenaga ahli hukum – Penyidik-Penuntut Umum-dan Hakim – yang mahir
menguasai bahasa Inggris dan mau serta mampu mempelajari hukum dari
negara-negara dimana kekayaan hasil kejahatan di Indonesia itu disembunyikan.
Bersedia dan mampu memperdalam juga hukum pidana internasional dan hukum pidana
trans-nasional, sehingga tidak hanya tergantung pada advokat asing dalam
mengejar harta curian ini.Kalau tidak, maka biaya StAR dan Perampasan Aset NCB
akan sangat mengurangi atau malah menghabiskan harta koruptor yang seharusnya
dibawa kembali ke Indonesia.
*Tulisan ini dibuat untuk buku tentang Prof.Dr.Etty R.Agoes,
SH.LLM; Juli 2013
Daftar
Pustaka
-Abraham S.Goldstein (1981) The Passive Judiciary.Prosecutorial
Discretion and the Guilty Plea, Louisiana
State University Press.
-Arief Amrullah (2004) Tindak Pidana Pencucian Uang, Malang:Bayumedia
Publishing.
-Garry Slapper & David Kelly (1993) English Legal System, Cavendish
Publishing Ltd.
-Mardjono Reksodiputro (2010) “Tentang Perampasan Aset Tindak Pidana
Sebagai Kebijakan Kriminal (Ceramah di DivKum POLRI);
------------------------------ (2011)
“Beberapa Catatan Singkat tentang
Pembuktian Terbalik Dikaitkan dengan Perampasan Aset dalam Kasus Delik
Pencucian Uang (Seminar Fakultas Hukum UI dengan PPATK);
------------------------------ (2013)
“Me’miskin’kan Koruptor Caranya
?” dalam majalah Forum Keadilan No.05,26 Mei,2013;
------------------------------ (2013)
“Apakah kita serius memiskinkan Koruptor ?” (Diskusi
Komunitas Hukum KHN-RI).
-Stefan D.Cassela (2007) Asset Forfeiture Law in the United States, Juris
Nett,LLC.
-TheodoreS.Greenberg, Linda H.Samuel,
Wingate Grant, Larissa Grey (2009)
Stolen Asset Recovery. A Good Practice Guide for Non-Conviction Based Asset
Forfeiture, The IBRD/The World Bank.
-Wayne R.Lafave & Jerold H Israel
(!984) Criminal Procedure, West
Publishing Co.
-Yunus Husein (2007) Bunga Rampai Anti Pencucian Uang, Bandung:
Book Terrace & Library.
[1]
Untuk bantuan catatan terhadap naskah awal serta bantuan rujukan peraturan
per-uu-an di Indonesia, disampaikan terima kasih kepada Dr.Surastini
Fitriasih,SH.MH Ketua BagianHukum Pidana FHUI.
[2]
Putusan MA No.1986 K/Pid/1989,tanggal 21 Maret 1990.
[3]
Wayne R.Lafave & Jerold H.Israel (1984) Criminal Procedure, West Publishing Co,hal.883.
[4]
Dalam Rancangan KUHAP (sekarang di DPR) Pasal 200 diatur secara khusus tentang
Saksi Mahkota ini – sebagai Terdakwa yang paling ringan peranannya atau yang
mau mengaku bersalah, dan akan dibebaskan dari penuntutan ataupun dikurangi
pidananya oleh JPU.
[5]
Sekarang ini hanya JAGUNG yang punya “hak oportunitas”, sedangkan JPU
terlihat hanya sebagai “kurir” pembawa BAP Penyidikan ke Pengadilan. Di Belanda
setiap JPU mempunyai hak oportunitas ini !
[6]
Wayne Lafave ,op.cit, hal.355
[7]
Kita memang punya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) – tapi tugasnya sebaiknya jelas terbagi dua: a)melindungi Saksi termasuk Korban yang
terancam jiwanya oleh Pelaku, dan b)mendampingi
Saksi (yang tidak terancam jiwanya) agar mau dan berani bersaksi secara jujur.
[8]
Hal ini berkaitan dengan kewenangan yang dipunyai penuntut umum di sana yang
dikenal sebagai “prosecutorial discretion”
– bandingkan dengan di Indonesia di m ana JPU dianggap publik hanya sebagai
“kurir BAP” ke Pengadilan.
[9]
Lihat juga Mardjono Reksodiputro (Juli 2011) Beberapa Catatan Singkat Tentang Pembuktian Terbalik Dikaitkan dengan
Perampasan Aset dalam Kasus Delik Pencucian Uang (Seminar FHUI dengan
PPATK).
[10]
Untuk uraian yang lebih luas lihat Theodore S.Greenberg,Linda M.Samuel,Wingate
Grant,Larissa Grey (2009) Stolen Asset
Recovery, A Good Practices Guide for Non-Conviction Based Asset Forfeiture, The
IBRD/The World Bank, hal.5-25
[11]
Greenberg, op.cit. hal. Xv – Konsep
ini adalah bagian dari StAR dan
direkomendasikan dalam Pasal 54 (l)(c) dari United Nations Conventions against
Corruption (2003) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU
No.7 Th.2006.Lihat juga Stefan D.Cassela (2007) Asset Forfeiture Law in the United States, Juris Net,LLC, terutama Part II,Administrative and Civil Forfeiture,hal.93
dstnya.
[12]
Bahan rapat pertama yang saya punya disetujui Tim 24 Juli 2008 dan dan yang terakhir adalah Hasil Rapat
Konsinyir Tim Kerja 28-30 Juli 2009. Pernah pula dibawa ke Komisi-3 DPR.
[13]
KUHP Belanda dalam tahun 1992 menambahkan Pasal 33a yang dalam ayat (!)
menyatakan: “The following are subject to
forfeiture: … f.rights in rem and rights
in personam pertaining to the objects specified in a through e” –
Dengan pasal ini maka Belanda telah memungkinkan perampasan rights in rem (zakelijke rechten) atas
suatu barang/harta kekayaan.
[14]
Lihat juga Mardjono Reksodiputro (Des.2010) Tentang Perampasan Aset Tindak Pidana Sebagai Kebijakan Kriminal (Ceramah
di DivKum Polri) dan (2013) Me”miskin”kan
Koruptor-Caranya ? dalam Majalah
Forum Keadilan No.05, 26 Mei 2013, hal.24-25.
[15]
Greenberg op.cit. Hal.7 – dengan
merujuk pula kepada UNODC and The World Bank,”Stolen Asset Recovery (StAR) Innitiative:Challenges, Opportunities, and
Action Plan, World Bank 2007.
[16]
Dari http://www.komisihukum.go.id - Pendapat KHN tentang Stolen Asset Recovery
(StAR) Initiative. Friday,30 November 2007.
[17]
Lihat juga Mardjono Reksodiputro (Juni
2013) Apakah kita serius memiskinkan Koruptor ? (Diskusi
Komunitas Hukum di KHN-RI).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar