Jumat, 22 November 2013

Perlunya Memperhatikan Perkembangan Hukum Internasional bagi Pemerhati Ilmu Hukum Pidana*



Pengantar
Judul ini dipilih untuk menunjukkan keresahan Penulis melihat perkembangan hukum di Indonesia.  Kenyataan, harapan dan tantangan ingin disampaikan di bawah ini, namun judulnya pasti  lebih banyak menjanjikan daripada yang nyata dapat saya berikan.Karangan ini ditulis untuk disampaikan kepada seorang teman lama Prof.Dr.Etty R.Agoes, SH.LLM yang telah menyelesaikan tugasnya dan akan “purnabakti” sebagai gurubesar tenaga-penuh-waktu Hukum Internasional di Fakultas Hukum UNPAD. Beliau adalah teman lama sejak kami bekerjasama di Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) pada jaman Ketua Sdr. Teuku Muhammad Radhie,SH,LLM (pada pertengahan tahun 1970-an) dan kemudian ketika Prof.Dr.Soenarjati Hartono dan  selanjutnya Prof.Dr. H.A.S.Natabaya menjadi Ketua BPHN.

Apa yang ingin disampaikan di sini adalah beberapa catatan permasalahan hukum yang timbul dalam pemahaman di Indonesia, tentang konsep-konsep tertentu dalam hukum pidana yang diambilalih (begitu saja) oleh peraturan perundang-undangan kita dari hukum (pidana) internasional atau hukum negara lain. Secara khusus saya ingin merujuk kepada istilah di komunitas hukum Indonesia tentang: ”Crown Witness” – “Whistleblower” – “Justice Collaborator” – “Reversal of the Burden of Proof” – “NCB Asset Forfeiture” dan “Stolen Asset Recovery”.[1]

Crown Witness
Istilah ini diterjemahkan jadi “saksi-mahkota” dan sebenarnya tidak dikenal dalam hukum acara pidana kita. Dalam beberapa sumber hukum Belanda ada istilah dan konsep “kroongetuige” (kroon=mahkota dan getuige=saksi). Dalam bahan pustaka hukum Amerika Serikat saksi ini dikenal sebagai “state witness”. Jadi karena Belanda adalah kerajaan, maka Negara disimbolkan dengan mahkota, dan karena itu dalam bahan pustaka kerajaan Inggris disebut juga  sebagai “crown witness”.

Konsep ini masuk dalam praktik hukum Indonesia melalui putusan Mahkamah Agung tahun 1990[2], yang memperbolehkan JPU mengajukan “… teman Terdakwa sebagai saksi, yang disebut “saksi mahkota” (kroongetuige), asalkan perkara Terdakwa dipisahkan dari perkara Saksi tersebut …” Putusan ini kemudian dimanfaatkan secara keliru oleh Penyidik untuk “mengadu-domba” dua orang (atau lebih) pelaku yang bersama-sama melakukan suatu kejahatan. Ini sebenarnya bertentangan dengan salah satu asas universal dalam hukum pidana, yaitu asas “non-self-incrimination” yang merupakan salah satu unsur dalam proses hukum yang adil (due process of law).Dikatakanoleh Lafave :”The privilege agaist self-incrimination has special meaning in a criminal trial, for it confers a significantly different right upon who is (also) the accused as compared to one who is simply (only) a witness” (kata antara kurung dari Penulis).[3]

Sebaiknya cara seperti ini tidak dilakukan lagi, karena menyalahi due process of law, dan membuat “malas dan bodoh”  Penyidik ,JPU  dan Hakim kita,karena tidak rajin dan cerdas mencari dan menganalisa fakta-fakta dalam  membuktikan dalil-dalilnya. Akibatnya akan makin sering terjadi peradilan sesat (miscarriage of justice) di Indonesia ![4]


Whistleblower
Istilah ini juga tidak dikenal dalam hukum acara pidana Indonesia. Artinya  secara harafiah adalah “peniup pluit” (seperti polisi lalu lintas atau wasit pertandingan sepak bola).Maknanya adalah orang tersebut mengingatkan publik, bahwa telah terjadi pelanggaran peraturan. Dalam bidang hukum pidana ini berarti ada seseorang yang “membocorkan” telah terjadinya suatu kejahatan (yang tersembunyi). Dalam literatur kriminologi luar negeri terjemahan yang mendekati dari istilah ini adalah “pengadu”, karena dikaitkan dengan usaha Penyidik membongkar suatu kejahatan yang sangat tertutup (seperti dalam organized crime: sindikat perjudian dan narkoba). Tidak heran bahwa oleh teman-temannya (di luar ataupun di dalam kelompoknya) orang ini dianggap “pengkhianat”, karena membocorkan rahasia kelompoknya.

Karena itu Surat Edaran Mahkamah Agung No.4 tahun 2011, yang menerjemahkan whistleblower dengan “pelapor tindak pidana” adalah menyesatkan. Tidak semua orang yang melaporkan adanya tindak pidana adalah “pengadu” yang mengkhianati teman-temannya, tetapi ada juga yang melaporkan karena merupakan korban kejahatan tersebut ataupun orang yang hanya menyaksikan atau mendengar terjadinya (yang terakhir ini harus mendapat pujian, karena mereka secara sukarela  mau membantu penegakan hukum !). Dengan memakai konsep MA ini, maka orang yang mengkhianati teman-teman kriminalnya telah menjadi “terpuji”, meskipun secara moral, sifat seorang yang mengadukan temannya adalah “buruk”. Sebaiknya dipergunakan saja istilah “peniup-pluit”, “pengadu” atau “pembocor- rahasia kejahatan”.

Surat Edaran MA itu juga keliru dengan mengatakan dalam butir 8, bahwa orang ini “bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkan”. Bukankah justru “pengadu”-“pembocor-rahasia” ini menjadi sangat berharga dalam memberi informasi kepada Penyidik, karena keterkaitannya dengan kejahatan yang dilaporkan (seperti: pemegang buku keuangan yang mencatat hasil judi atau mencatat pengeluaran untuk menyuap pejabat publik atau membuat pembukuan ganda untuk manipulasi pajak).Dalam usaha Indonesia membongkar kejahatan Korupsi, Narkoba, Pencucian-Uang dan Perdagangan-Manusia (kejahatan yang sangat tersembunyi), maka “pengadu-pembocor-rahasia “ ini akan sangat membantu Penyidik.

Dalam bahan pustaka luar negeri ada kewenangan memberi “immunity grants”,JPU Indonesia dengan persetujuan Pengadilan harusnya dapat memberikan “imunitas terhadap penuntutan” kepada seorang “peniup-pluit”  berdasarkan diskresi yang harusnya dipunyai seorang JPU ![5] LaFave mengatakan sebagai berikut: “The immunity grant may be used to gain information … (from) a lower-level participant in organized crime in order to obtain testimony against higher-level participants … (and) it also often is used to force testimony from witnesses who are not themselves involved in criminal activities, but desire not to give testimony that may hurt others.”[6]Adanya kewenangan seperti ini sebaiknya dimasukkan dalam Rancangan KUHAP kita yang sekarang ada di DPR, karena akan sangat membantu usaha kita melawan “mafia” Korupsi, Narkoba, Pencucian-Uang dan Perdagangan-Manusia. Penyempurnaan pengertian “peniup-pluit”  oleh KUHP yang akan datang ini juga diperlukan untuk memperbaiki kekeliruan Surat Edaran MA.

Peniup-pluit yang bukan pelaku harus mendapat “pujian”, tetapi juga harus dilindungi agar tidak mendapat ancaman dari orang/kelompok yang terbongkar perilaku jahatnya.Apalagi kalau orang ini kemudian menjadi saksi di Pengadilan.Rancangan KUHAP harus mengatur hal ini ![7]


Justice Collaborator
Sebagai konsep istilah ini tidak pernah saya temukan dalam bahan pustaka hukum pidana dan kriminologi berbahasa Inggris yang saya baca.. Dalam Surat Edaran MA yang sama dengan di atas (2011) dipergunakan istilah penerjemahan “Saksi-Pelaku Yang Bekerjasama”. Saya menafsirkannya  bahwa yang dimaksud oleh MA adalah seorang Pelaku kejahatan yang koperatif dengan Penyidik untuk membongkar kejahatan yang dipersangkakan kepadanya. Saya tidak berkeberatan bila benar tafsiran saya ini. Tetapi yang mengherankan saya adalah bahwa mereka akan mendapat “imbalan” (reward ?).Hukum acara pidana kita menjelaskan bahwa hakim dalam putusannya harus juga mempertimbangkan hal-hal atau faktor-faktor yang meringankan untuk seorang Terdakwa yang akan menjadi Terpidana. Bukankah hal ini sudah jelas dan cukup ? Jangan lupa Terdakwa/Terpidana ini adalah seorang Pelaku kejahatan yang tertangkap dan terbukti kesalahannya dalam penyidikan dan proses pemeriksaan di muka pengadilan, jadi kalau orang ini koperatif (mau bekerjasama) ini bukan karena “bertobat”, tetapi semata-mata “strategi” mendapat hukuman yang lebih ringan. Tentu hal ini baik saja, dan Hakim akan mempertimbangkannya. Tetapi secara khusus “diiming-iming” dengan “imbalan” oleh MA dan Kejagung, menurut saya keliru sekali. Malahan “whistleblower” (peniup-pluit) yang seorang Pelaku kejahatan, tetapi yang secara moral dapat dianggap “merasa tobat” dan secara sukarela datang “membocorkan rahasia” kelompoknya ke penegak hukum, tidak diberi “penghargaan “ oleh MA dan Kejagung ! Malahan dengan datang secara sukarela ini dia justru mendapat risiko dituntut dan dihukum. Dalam usaha memberantas kejahatan yang “sangat tersembunyi” (a.l Korupsi dan organized crime), maka Penyidik memang sering sekali memerlukan “justice collaborator” ini.

Bagi saya di Indonesia perlu sekali diperjelas perbedaan antara “pengadu-pembocor-rahasia” (whistleblower) yang umumnya terlibat dalam kejahatan (kalau tidak, informasinya tidak dapat banyak membantu Penyidik membongkar kejahatan yang sangat tertutup)  dengan  “pelaku-tersangka yang koperatif” (justice collaborator) yang menjadi saksi membuka rahasia teman-temannya (dan melakukan hal itu tentunya dengan menharap imbalan (sesuai SEMA 4/2011). Menurut konsepnya seorang “pengadu-pembocor-rahasia” melakukanya secara sukarela (dan kalau dia terlibat kejahatan tersebut secara serius, maka ada dua risiko besar  bagi dia - hukuman Negara dan hukuman Teman). Menurut konsepnya juga seorang “pelaku-tersangka yang koperatif” melakukannya secara tidak-sukarela, tetapi dengan mengharapkan “imbalan”. Secara moral yang pertama lebih baik dari yang kedua, karena yang pertama melakukan dengan risiko tetapi secara sukarela, sedangkan yang kedua melakukan “tawar-menawar” menjual informasi tentang teman-temannya untuk keuntungan pribadi. Tidak dibedakannya hal ini dapat membingungkan publik, karena bagaimana masyarakat Indonesia dapat menghargai Mahkamah Agung-nya, kalau “mahkamah keadilan” ini tidak dapat “membedakan antara berbagai derajat kesalahan dan moral” ( antara baik dan buruk)?

Dalam prakteknya, pelaksanaan SEMA 4/2011 ini, akan (telah?) menjadi prosedur “tawar-menawar” antara Penyidik/JPU dengan Tersangka/Terdakwa yang (akan) menjadi Justice Collaborator.. Konsep tawar-menawar ini dikenal di luar negeri (Amerika Serikat) sebagai  praktek plea bargaining”. Di luar negeri, maka JPU dapat “menawarkan” hukuman yang lebih ringan, asalkan Terdakwa mengakui saja bahwa ia memang bersalah melalukan kejahatan yang didakwakan (plead guilty). Tetapi di Amerika Serikat hal ini tidak diatur dalam peraturan, tetapi hanya merupakan “kebiasaan-praktek”[8].Melalui SEMA tersebut, maka “praktek” ini sekarang menjadi bagian hukum acara pidana kita. Bagaimana perkembangannya di masa yang akan datang menarik untuk disimak bersama. Kabar terakhir adalah bahwa dengan adanya SEMA ini sekarang banyak Terpidana dalam Lapas-lapas di Indonesia meminta surat-keterangan kepada JPU untuk dinyatakan  sebagai “Justice Collaborator”.Bagaimana akan sikap Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung kita? Apa nilai surat seperti ini? Akankah berpengaruh pada remisi yang menjadi wewenang Lembaga Pemasyarakatan dan Kementerian Hukum dan HAM? Tantangan  bagi para ahli hukum Indonesia (akademisi dan praktisi) untuk menulis tentang hal in.


Reversal of the Burden of Proof
Asas universal adalah beban pembuktian (onus probandi) wajib selalu ada pada pihak yang memulai perkara (semper necessitas probandi incumbit ei qui agit). Karena itu banyak yang mempunyai harapan yang besar terhadap ketentuan “omkering van de bewijslast”(pembalikan beban pembuktian) untuk perkara korupsi yang merajalela di Indonesia.Terutama setelah ketentuan ini masuk dalam peraturan pemberantasan korupsi dan pencucian-uang. Yang dilupakan adalah,bahwa sebenarnya konsep ini sudah ada secara “tersamar” dalam KUHP Hindia Belanda kita, yaitu yang menyatakan dalam Pasal 59, bahwa “… pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak-ikut campur melakukan pelanggaran (perusahaan yang bersangkutan), tidak dipidana”. Tentu pengurus dan komisaris bersangkutan harus membuktikan “ketidaksalahannya” – ini contoh lama tentang konsep Belanda (dulu) mengenai “pembalikan beban pembuktian” (yaitu: kalau perusahaan melanggar hukum, semua pengurus dan komisaris (diasumsikan) bertanggungjawab pidana, kecuali mereka yang dapat membuktikan ketidaksalahannya). Tetapi sekarang ada kekeliruan pemikiran tentang pengertian konsep “pembalikan beban pembuktian” yang dianut dalam peraturan pemberantasan korupsi dan pencucian-uang. Kalau Pasal 59 memang merujuk pada kesalahan seorang Tersangka/Terdakwa, dan berkaitan dengan asas universal “presumption of innocence”, tetapi dalam konsep sekarang untuk korupsi dan pencucian uang, tidak dipergunakan pendekatan Pasal 59 (“Anda dianggap bersalah, kecuali dapat membutikan sebaliknya”), tetapi pendekatan lain, yaitu: “Anda harus membuktikan asal-usul harta yang Anda kuasai, kalau tidak kami anggap itu harta yang tercemar secara hukum” (tainted property). Jadi sasaran pembuktian bukan “kesalahan orang”, tetapi “kesahan pemilikan barang” (bahwa harta bersangkutan punya hak kebendaan yang sah!). Jadi ketentuan pembalikan pembuktian ini sama sekali tidak bertentangan dengan asas pra-duga tidak bersalah !

Apa untungnya “pembalikan beban pembuktian” terhadap barang ini (di luar negeri dikenal sebagai “in rem action”- gugatan terhadap benda/hak kebendaan) ? Yaitu untuk merampas harta-kekayaan dari para penjahat besar (korupsi – narkoba – pencucian uang – perdagangan manusia – perdagangan gelap senjata – pedanaan terorisme). Agar ungkapan “crime does not pay” tidak menjadi seperti di Indonesia “korupsi itu kejahatan yang menguntungkan, asalkan dilakukan secara besar-besaran jumlah uangnya”! [9]

Pembuktian memang adalah unsur pokok atau titik pusat (sentral) dalam hukum acara pidana maupun hukum acara perdata. Memang ada perbedaan antara tatacara dan konsep pembuktian dalam hukum acara pidana antara negara-negara common law dengan negara-negara civil law  (dan ada pendapat bahwa perbedaan  itu cukup besar-tapi saya berbeda pendapat !). Di Amerika Serikat, maka untuk pembuktian kesalahan hukum pidana seseorang melakukan kejahatan dipergunakan konsep wajib beyond a reasonable doubt” (artinya keyakinan kesalahan besar-kemungkinan kekeliruan Hakim kurang dari 5%). Sedangkan untuk membuktikan dalil dan fakta yang diajukan dalam gugatan perdata dipergunakan konsep “by a preponderance of the evidence” atau “balance of probabilities” (hakim cukup menemukan bahwa dalil dan fakta A cukup meyakinkan 51% atau lebih dari yang dikemukakan B - untuk membuat putusan).

Hal ini (menurut saya) tidaklah terlalu berbeda dengan konsep Belanda yang kita anut, yaitu untuk Hukum Pidana kita mencari “kebenaran materiel” (materiele waarheid) dan untuk Hukum Perdata  yang dicari (cukup) “kebenaran formil” (formele waarheid). Untuk apa saya tunjukkan kesamaan ini? Yaitu, karena untuk membuktikan kepemilikan barang/ kesahan barang, di Pengadilan Korupsi atau dalam hal Pencucian-uang, seorang Terdakwa (atas permintaan Hakim) cukup membuktikan bahwa harta yang dikuasainya adalah sah dengan mengajukan bukti-bukti formil (meyakinkan Hakim secara 51%) – tetapi bila ini saja tidak dapat dilakukannya dengan “melawan pendapat/bantahan JPU”, maka logislah bila ada dugaan kuat bahwa harta tersebut berasal dari kejahatan dan karena itu harus dianggap “harta tercemar secara hukum” (tainted property). Selanjutnya Hakim Pidana memerintahkan JPU untuk melalui Jaksa Pengacara Negara (JPN) meminta ke Pengadilan Perdata untuk memeriksa  kesahan dari hak kebendaan yang diakui oleh Terdakwa (atau orang lain yang punya hubungan hukum dengan Terdakwa). Prosedur ini merupakan “gugatan perdata terhadap benda/hak kebendaan” dan di kenal di negara-negara “common law” maupun di negara-negar “civil law”.[10]

Perampasan asset yang dikuasai oleh Terdakwa melalui prosedur di atas, secara hukum tidak berpengaruh pada proses pidana yang sedang berjalan terhadap Terdakwa. Dijelaskan tentang prosedur perampasan aset ini (yang dikenal sebagai Non-Conviction Based Asset Forfeiture), bahwa : “…NCB asset forfeiture is a critical tool for recovering the proceeds and instrumentalities of corruption … A procedure that provides for the seizure and forfeitureof stolen assets without the need for a criminal conviction. [This]… can be essential when the wrongdoer is dead, has fled the jurisdiction, or is immune from prosecution.”[11]

Sebenarnya konsep tentang kewajiban Terdakwa membuktikan sahnya perolehan hartanya, bukan sebaliknya JPU harus membuktikan harta itu berasal dari kejahatan, telah ada dalam Pasal 37A dan 38B UU No.20/2001 tentang Korupsi dan Pasal 77 dan 78 UU No.8/2010 tentang Pencucian-Uang. Sayangnya karena kurang cerdasnya JPU dan Hakim Indonesia (dan kadang kala ada “kecerdasan” kolusi mafia peradilan), menyebabkan pasal-pasal ini tidak “bergigi”, sehingga di Indonesia memang “Korupsi dan Pencucian Uang sangat menguntungkan” (malah dapat dinamakan sejenis “ekonomi kreatif”).


NCB Asset Forfeiture
Sebenarnya kita sudah punya Rencana Undang Undang Perampasan Aset. Sepengetahuan saya sudah ada pada pertengahan tahun 2008 dan pernah akan dituntaskan oleh Kementerian Hukum dan HAM pada pertengahan tahun 2010.[12] Namun, hingga saat ini tidak ada berita lagi pada saya tentang kemajuan RUU Perampasan Aset ini. Seperti dijelaskan di atas “Perampasan aset (dengan) NCB” ini mempegunakan jalur hukum perdata dan bukan hukum pidana, meskipun dasar kasusnya berasal dari dugaan peristiwa kejahatan. Menurut bahan pustaka, asal dari prosedur ini di Amerika Serikat adalah dalam usaha untuk “menyita dan kemudian merampas” alat transportasi mewah (mobil – kapal air – pesawat udara) yang diduga berasal dari kejahatan narkoba maupun rumah-rumah mewah para “tersangka” tindak pidana narkoba. Harta kekayaan ini umumnya tidak dilaporkan dalam SPT Pajak warga bersangkutan dan kalaupun warga itu diajukan ke pengadilan, bukti-bukti sering tidak cukup untuk memutuskan mereka bersalah melakukan tindak pidana narkoba. Tetapi karena hartanya tidak dapat dijelaskan sumber uang pembeliannya, maka harta itu dianggap “tainted property” dan dimintakan kepada pengadilan perdata mengumumkann rencana perampasannya untuk Negara. Bila ada yang menyanggah, maka dia harus membuktikan diri sebagai “innocent owner”. Bila tidak dapat, maka pengadilan memutuskan untuk merampasnya menjadi milik negara. Dengan cara ini diusahakan agar perdagangan illegal narkoba tidak menguntungkan karena telah dilakukan “perampasan keuntungan”.[13]
Sayang bahwa RUU Perampasan Aset ini masih “terganjal” di DPR ataupun di Kementerian Hukum dan HAM – prosedur perampasan aset dengan NCB ini akan merupakan senjata ampuh untuk membuktikan bahwa di Indonesia “crime does not pay”.Tetapi memang harus diakui bahwa melalui jalur hukum pajak dan bersamaan dengan perampasan asset NCB ini akan banyak warga di Indonesia dapat terancam kehilangan harta-kekayaan yang olehnya  tidak dapat dibuktikan sumber keuangan untuk pembeliannya. [14] Sebenarnya pola dasar pemikiran ini sudah ada di Pasal 38C UU No.20/2001 tentang Korupsi, yang memungkinkan melalui prosedur perdata merampas harta Koruptor, yang sebelumnya tidak diketahui oleh JPU terkait kejahatan yang didakwakan(ini termasuk pengerian “illicit enrichment”). Tetapi ketidakcerdasan KA dan MA menyebabkan pasal ini menjadi “dode letter in de wet” (huruf mati dalam UU kita). Seandainya saja KA dan MA punya JPU dan Hakim Agung yang kreatif dan reformatif, maka sudah harus ada yurisprudensi tetap MA tentang penafsiran pasal ini yang dapat juga dikaitkan dengan StAR.


Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative
Dalam bukunya Theodore S.Greenberg membuka Bab-1 dengan mengatakan:

   The theft of public assets is a development problem of the greatest magnitude. The exact value of state assets that have been stolen from developing countries is impossible to determine with any precision. Between $1trillion and $1.6 trillion is lost each year to various illegal activities. Corrupt public officials in developing and transition countries loot as much as $40 billion each year, concealing these funds overseas where they are extremely difficult to recover.This figure is equivalent to the annual GDP of the world’s 12 poorest countries,where 240 million people live”[15]  

Komisi Hukum Nasional dalam bulan November 2007 telah membahas permasalahan StAR ini dan a.l. berpendapat bahwa Pemerintah perlu : 1)Melakukan audit institusi dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan denganperbuatan korupsi dan menyempurnakannya secara bertahap untuk disesuaikan dengan “internationally accepted legal standards”; 2)Menetapkan satu kasus “grand corruption” menjadi studi kasus empirik; 3)Membuka kemungkinan dalam hukum pidana Indonesia melakukan perampasan keuntungan yang berasal dari kejahatan (deprivation of profits as a result of corruption); dan 4)Membuka kemungkinan dalam hukum pidana Indonesia melakukan penyelesaian hukum di luar proses pengadilan (afdoening buiten process) terhadap kasus korupsi tertentu (sesuai politik kriminal Pemerintah dan secara transparan dan akuntabel). Kembali lagi, saya berpendapat bahwa  patut sangat disayangkan ternyata tidak ada tanggapan (ataupun bantahan apapun) dari Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung maupun Mahkamah Agung terhadap saran KHN ini. Saya ingin menjelaskan lebih lanjut saran-saran KHN -/+ 5 tahun yang lalu ini.[16]

Penyempurnaan secara bertahap undang-undang kita (terutama yang menyangkut Korupsi, Pencucian Uang dan Narkoba) memang telah dilakukan (meskipun lambat dan tersandera kepentingan politik), namun praktek aparat penegak hukum (Polisi dan JPU) dan aparat penegak keadilan kita (MA dan jajaran Pengadilannya) masih sering menimbulkan ketidakpercayaan publik (mafia peradilan: kolusi hakim – advokat – JPU). Kepercayaan ini penting dalam masalah StAR, karena kita akan meminta bantuan pengadilan di luar negeri untuk “ membantu merampas” aset kita yang dicuri Koruptor dan dijadikan asetnya di luar negeri atau “membantu merampas” keuntungan seorang penjahat di Indonesia yang di bawa ke luar negeri (misalnya Narkoba). Bagaimana pengadilan di luar negeri dapat berpihak pada kita, kalau mereka kurang percaya bahwa pengadilan di Indonesia telah menjalankan due process of law ?!

Studi ilmiah oleh Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung (dibantu akademisi perguruan tinggi) tentang keberhasilan mengadili beberapa “grand corruption cases” memang perlu dilakukan untuk melihat kelemahan hukum kita. Sikap a’prori pejabat-pejabat hukum puncak kita di MA dan KA bahwa mereka sudah “tahu hukum” karena berpengalaman dan tidak perlu “belajar lagi dari orang lain” (dalam negeri dan luar negeri) telah membuat hukum kita ini “terbelakang dalam praktik hukum”.[17] Salah satu contoh yang sangat menyolok dari pandangan seorang akademisi, adalah bahwa JPU dan Hakim tidak dapat memberdayakan ketentuan bahwa seorang Terpidana kejahatan harta benda (termasuk korupsi) wajibmembayar ganti-rugi” kepada negara, dan melarang mereka “memasang badan” mengganti dengan tambahan pidana penjara, cara Terpidana agar tetap dapat menikmati keuntungan yang berasal dari kejahatannya.

Untuk membantu keuangan Negara yang telah dirugikan oleh seorang penjahat harta benda (property crimes including corruption), maka di Belanda dikenal ketentuan “afdoening buiten process” (setlement out of court – penyelesaian-tuntas di luar pengadilan).Cara ini memang tidak akan populer di mata publik, tetapi dalam hal-hal tertentu praktek di luar negeri menunjukkan bahwa acap kali biaya menjalankan perkara di muka pengadilan tidak menguntungkan (berdasarkan cost-benefit atau cost effective principle) – sehingga kalau seorang Terdakwa bersedia membayar seluruh “kerugian negara”(uang yang dikorupsi + keuntungan,bunga, dll + denda yang ditetapkan negara + biaya-biaya yang telah dikeluarkan negara untuk melacak dan menggugat kekayaan Terdakwa di luar negeri),maka Jaksa Agung dapat mempergunakan haknya untuk men”seponir” perkara berdasarkan hak oportunitas yang dimilikinya. Tentu banyak yang akan menentang pendapat ini, disatu pihak adalah mereka yang berorientasi falsafah retribution dalam pemidanaan, dan di pihak lain mereka yang akan merasa dirugikan karena tidak dapat lagi (menikmati) berkeliling-dunia mencari asset koruptor (seperti mencari harta-karun ?) di luar negeri !

Penutup
Sudah waktunya bahwa Indonesia mempunyai sejumlah tenaga ahli hukum – Penyidik-Penuntut Umum-dan Hakim – yang mahir menguasai bahasa Inggris dan mau serta mampu mempelajari hukum dari negara-negara dimana kekayaan hasil kejahatan di Indonesia itu disembunyikan. Bersedia dan mampu memperdalam juga hukum pidana internasional dan hukum pidana trans-nasional, sehingga tidak hanya tergantung pada advokat asing dalam mengejar harta curian ini.Kalau tidak, maka biaya StAR dan Perampasan Aset NCB akan sangat mengurangi atau malah menghabiskan harta koruptor yang seharusnya dibawa kembali ke Indonesia.

*Tulisan ini dibuat untuk buku tentang Prof.Dr.Etty R.Agoes, SH.LLM; Juli 2013

Daftar Pustaka

-Abraham S.Goldstein (1981) The Passive Judiciary.Prosecutorial Discretion  and the Guilty Plea, Louisiana State University Press.


-Arief Amrullah (2004) Tindak Pidana Pencucian Uang, Malang:Bayumedia Publishing.


-Garry Slapper & David Kelly (1993) English Legal System, Cavendish Publishing Ltd.


-Mardjono Reksodiputro (2010) “Tentang Perampasan Aset Tindak Pidana Sebagai Kebijakan Kriminal (Ceramah di DivKum POLRI);

------------------------------   (2011)  “Beberapa Catatan Singkat tentang Pembuktian Terbalik Dikaitkan dengan Perampasan Aset dalam Kasus Delik Pencucian Uang (Seminar Fakultas Hukum UI dengan PPATK);

------------------------------   (2013)  “Me’miskin’kan Koruptor Caranya ?” dalam majalah Forum Keadilan No.05,26 Mei,2013;

------------------------------     (2013)    “Apakah kita serius memiskinkan Koruptor ?” (Diskusi Komunitas Hukum KHN-RI).


-Stefan D.Cassela (2007) Asset Forfeiture Law in the United States, Juris Nett,LLC.


-TheodoreS.Greenberg, Linda H.Samuel, Wingate Grant, Larissa Grey (2009) Stolen Asset Recovery. A Good Practice Guide for Non-Conviction Based Asset Forfeiture, The IBRD/The World Bank.


-Wayne R.Lafave & Jerold H Israel (!984) Criminal Procedure, West Publishing Co.


-Yunus Husein (2007) Bunga Rampai Anti Pencucian Uang, Bandung: Book Terrace & Library.





[1] Untuk bantuan catatan terhadap naskah awal serta bantuan rujukan peraturan per-uu-an di Indonesia,  disampaikan  terima kasih kepada Dr.Surastini Fitriasih,SH.MH Ketua BagianHukum Pidana FHUI.

[2] Putusan MA No.1986 K/Pid/1989,tanggal 21 Maret 1990.

[3] Wayne R.Lafave & Jerold H.Israel (1984) Criminal Procedure, West Publishing Co,hal.883.

[4] Dalam Rancangan KUHAP (sekarang di DPR) Pasal 200 diatur secara khusus tentang Saksi Mahkota ini – sebagai Terdakwa yang paling ringan peranannya atau yang mau mengaku bersalah, dan akan dibebaskan dari penuntutan ataupun dikurangi pidananya oleh JPU.

[5] Sekarang ini hanya  JAGUNG  yang punya “hak oportunitas”, sedangkan JPU terlihat hanya sebagai “kurir” pembawa BAP Penyidikan ke Pengadilan. Di Belanda setiap JPU mempunyai hak oportunitas ini !

[6] Wayne Lafave ,op.cit, hal.355

[7] Kita memang punya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) – tapi tugasnya sebaiknya jelas terbagi dua: a)melindungi Saksi termasuk Korban yang terancam jiwanya oleh Pelaku, dan b)mendampingi Saksi (yang tidak terancam jiwanya) agar mau dan berani bersaksi secara jujur.

[8] Hal ini berkaitan dengan kewenangan yang dipunyai penuntut umum di sana yang dikenal sebagai “prosecutorial discretion” – bandingkan dengan di Indonesia di m ana JPU dianggap publik  hanya sebagai  “kurir  BAP”  ke Pengadilan. 

[9] Lihat juga Mardjono Reksodiputro (Juli 2011) Beberapa Catatan Singkat Tentang Pembuktian Terbalik Dikaitkan dengan Perampasan Aset dalam Kasus Delik Pencucian Uang (Seminar FHUI dengan PPATK).

[10] Untuk uraian yang lebih luas lihat Theodore S.Greenberg,Linda M.Samuel,Wingate Grant,Larissa Grey (2009) Stolen Asset Recovery, A Good Practices Guide for Non-Conviction Based Asset Forfeiture, The IBRD/The World Bank, hal.5-25

[11] Greenberg, op.cit. hal. Xv – Konsep ini adalah bagian dari StAR dan direkomendasikan dalam Pasal 54 (l)(c) dari United Nations Conventions against  Corruption (2003) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No.7 Th.2006.Lihat juga Stefan D.Cassela (2007) Asset Forfeiture Law in the United States, Juris Net,LLC, terutama Part II,Administrative and Civil Forfeiture,hal.93 dstnya.

[12] Bahan rapat pertama yang saya punya disetujui Tim 24 Juli  2008 dan dan yang terakhir adalah Hasil Rapat Konsinyir Tim Kerja 28-30 Juli 2009. Pernah pula dibawa ke Komisi-3 DPR.

[13] KUHP Belanda dalam tahun 1992 menambahkan Pasal 33a yang dalam ayat (!) menyatakan: “The following are subject to forfeiture: … f.rights in rem and rights in personam pertaining to the objects specified in a through e” – Dengan pasal ini maka Belanda telah memungkinkan perampasan rights in rem (zakelijke rechten) atas suatu barang/harta kekayaan.

[14] Lihat juga Mardjono Reksodiputro (Des.2010) Tentang Perampasan Aset Tindak Pidana Sebagai Kebijakan Kriminal (Ceramah di DivKum Polri) dan (2013) Me”miskin”kan Koruptor-Caranya ? dalam Majalah Forum Keadilan No.05, 26 Mei 2013, hal.24-25.

[15] Greenberg op.cit. Hal.7 – dengan merujuk pula kepada UNODC and The World Bank,”Stolen Asset Recovery (StAR) Innitiative:Challenges, Opportunities, and Action Plan, World Bank 2007.

[16] Dari http://www.komisihukum.go.id  - Pendapat KHN tentang Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative. Friday,30 November 2007.


[17] Lihat juga  Mardjono Reksodiputro (Juni 2013) Apakah kita serius memiskinkan Koruptor ? (Diskusi Komunitas Hukum di KHN-RI).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar