Pengantar
Dalam bulan September
2004, ketika diadakan peringatan “Sewindu KIK-UI”, dilontarkan pendapat bahwa
profesionalisme Polri akan terwujud atas “kesiapan aparat kepolisian, yaitu
kesiapan SDM, sarana dan prasarana serta anggaran”. Tersirat dan tersurat pula
dalam pendapat itu bahwa profesionalisme Polri tidak cukup dilakukan hanya
dengan meningkatkan ilmu kepolisian.(1) Ada benarnya pandangan tersebut, namun
bagaimana sebenarnya keterkaitan antara profesionalisme Polri dan ilmu
kepolisian? Bagaimana ilmu kepolisian dapat membantu
Polri menghadapi tantangan abad ke 21 (2001-3000) ini? Apakah tantangan itu?
Untuk Indonesia tantangan pertama adalah era globalisasi dan tantangan kedua
melakukan reformasi.
Sebelum kita bahas pertanyaan di atas,
saya perlu menjelaskan dahulu pengertian saya tentang globalisasi dan
pembaharuan (reformasi) itu. Melihat perkembangan di Indonesia dalam 8 tahun
terakhir ini, maka globalisasi dan reformasi mempunyai makna khusus.
Globalisasi merujuk pada kesediaan dan kesiapan kita menuju pada keterbukaan
pada nilai dan norma dunia internasional, dan karena itu mengandung makna “visi”,
yaitu dalam hal ini bagaimana Polri melihat masa depan Indonesia dan dunia
secara arif. Sedangkan reformasi mengandung makna “introspeksi”, bagaimana kita
melihat dan belajar dari kekeliruan masa lalu, termasuk kekeliruan dalam tubuh
Polri.
Profesionalisme
Polisi
Membicarakan
profesionalisme harus mengacu pada beberapa hal, antara lain: (a) adanya
sejumlah kemahiran dan pengetahuan khusus yang menjadi ciri perilaku, tujuan
dan kualitas pekerjaan tersebut, dan (b) adanya harapan masyarakat tentang peranan
apa yang ingin dilakukan oleh profesi tersebut. Ini berlaku untuk semua
profesi: dokter, advokat, hakim, jaksa, polisi dst-nya. Dalam hal polisi, ini
berarti bahwa anggota polisi untuk dapat bertindak profesional harus punya
kemahiran (skill) dan pengetahuan
(knowledge) yang khusus, yang
diperolehnya melalui persiapan akademik dalam ilmu pengetahuan tertentu. Kata
“profesional” disini bukan dalam arti lawan kata “amatir”, tetapi mengandung
makna keterkaitan pada suatu “profesi akademik” (suatu “learned profession”), setara dengan profesi dokter, advokat,
akuntan, apoteker dll.
Dari uraian sederhana di atas, dapat
terlihat keterkaitan antara profesi kepolisian, profesionalisme polisi dan ilmu
kepolisian. Memang profesionalisme polisi tidak dapat semata-mata ditingkatkan
melalui “pemahaman ilmu kepolisian”, tetapi juga tidak dapat dengan hanya
meningkatkan sarana dan anggaran! Tanpa SDM yang profesional dengan pengetahuan
kepolisian yang cukup, maka sarana di tangan polisi dapat menakutkan. Kenapa?
Karena mereka adalah “orang sipil bersenjata” yang diberikan kewenangan upaya
hukum, dengan kemungkinan melakukan kekerasan kepada sesama warga. Sejarah
tigapuluh tahun yang telah berjalan, harus membuat kita mau melakukan
introspeksi dan reformasi dalam pendidikan anggota kepolisian.(2) Agar memang profesional dalam arti yang
diinginkan masyarakat.
Apa yang merupakan harapan masyarakat
tentang peranan profesi kepolisian?
Pandangan sederhana masyarakat adalah pada dua fungsi kepolisian (sebagai
organisasi – lihat juga UU Kepolisian 2002, pasal 13-16), yaitu: penegakan
hukum (law enforcement) dan penyelesaian masalah (conflict management). Dalam
fungsinya yang pertama, masyarakat mengharapkan sosok polisi profesional yang
berani, menghargai atasan, dapat dipercaya menyelesaikan tugas dan taat pada
perintah. Sosok seperti ini yang dikedepankan pada pendidikan polisi yang lalu,
sebagai bagian dari organisasi militer (ABRI). Yang terbentuk adalah suatu
“quasimilitary administrative structure”. Struktur seperti ini memang ada
perlunya, misalnya dalam penyergapan perampokan bersenjata, terorisme dan
sebagainya. Sosok ini menampilkan “muka angker”.
Tetapi masyarakat juga ingin melihat
sosok polisi yang lain. Sosok polisi dalam fungsinya yang kedua: “penyelesaian
masalah” (conflict management). Disini gambar polisinya lain, yaitu sosok
polisi yang pandai (inteligent), punya “akal-sehat” (common sense), bersikap
ramah (friendly), menghormati sesama warga (courtesy) dan punya kesabaran
(patience). Wajah “polisi tersenyum“
seperti ini yang masyarakat ingin temukan dalam hal mereka mendapat “musibah”
yang memerlukan bantuan polisi (seperti: menjadi korban kejahatan, atau korban
kecelakaan, atau memerlukan bantuan lain di jalan, dsb-nya). Polisi yang pandai dan ramah diharapkan dapat
menyelesaikan konflik tanpa kekerasan. Profesionalisme
polisi seperti ini tidak tergantung pada sarana, prasarana atau anggaran atau
jumlah polisi dibanding penduduk. Dia
hanya dapat dibentuk melalui seleksi rekrutmen dan pendidikan kepolisian yang
benar. Yang masih perlu diusahakan dengan sungguh-sungguh adalah pendidikan
kepolisian untuk profesi kepolisian, sebagai “profesi akademik” (learned
profession), yang menghasilkan polisi yang memahami fungsinya adalah membantu
masyarakat (conflict management).
Hubungan
Polisi-Masyarakat dan Program KIK-UI
Cita-cita era reformasi adalah
pemerintahan demokratis. Cita-cita masyarakat reformasi tentang polisi adalah,
polisi sipil yang profesional dan modern serta demokratis. Dalam pemahaman
tentang demokrasi ini ada dua unsur utama yang mutlak diperhatikan. Yang pertama adalah asas “kebebasan” dan yang
kedua asas “persamaan”. Kedua asas ini harus mendapat perlindungan hukum, dan
yang pertama-tama diharapkan untuk melakukan itu, adalah organ kepolisian.
Masyarakat Indonesia yang kompleks dan
majemuk ini, memerlukan kedua asas ini untuk dapat melangkah dengan mantap
menghadapi berbagai tantangan yang datang dari “arus globalisasi” dan “arus
reformasi”. Organ kepolisian diharapkan dapat melindungi asas kebebasan
ini, yaitu kebebasan menyatakan pikiran dan pendapat (dengan tidak mengurangi
kebebasan orang lain), kebebasan berkelompok dengan orang-orang yang sepaham,
dan kebebasan warganegara mengatur hidupnya sesuai dengan keyakinannya. Juga
organ kepolisian diharapkan dapat melindungi asas persamaan, yaitu yang
mencakup persamaan di muka hukum untuk semua warganegara (berarti tidak ada
keistimewaan untuk kategori warganegara tertentu, baik menurut keturunan,
agama, suku, jender dsb-nya.).
Karena itu sosok polisi dengan “wajah tersenyum” dan
profesional, harus disiapkan menghadapi masyarakat Indonesia yang kompleks dan
majemuk ini. Apalagi bila kita mengharapkan pula bahwa sosok polisi ini dapat
bersikap positif terhadap asas kebebasan dan asas persamaan. Hal ini tidaklah
mudah seperti ternyata dari berbagai peristiwa konflik yang terjadi dalam
masyarakat kita.
Pendidikan dalam
Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian di Universitas Indonesia, bermaksud
menghasilkan seorang polisi intelektual dengan tampilan sosok di atas, yang
sanggup menjadi “problem solver” (conflict manager) dalam
masyarakatnya. Yang dimaksud dengan
seorang polisi intelektual adalah yang mampu dan mau melakukan studi tentang
masalah-masalah warga dalam komuniti di mana dia bertugas, melakukan refleksi
atas pekerjaan kepolisian (pemolisian) yang telah dilakukannya, dan secara
kreatif dapat “berspekulasi” tentang sebab-sebab masalah tersebut dan mencari
solusi bersama-sama anggota komuniti bersangkutan. Seperti pernah saya
kemukakan tiga tahun setelah berdirinya program ini (tahun 1999):
“Para lulusan
program ini diharapkan sudah ada kemampuan melakukan pendekatan interdisiplin
(keterbukaan pada disiplin non-kepolisian), pemecahan masalah, serta merancang
dan melaksanakan penelitian mandiri. Penelitian dapat
diarahkan pada pencegahan dan penanggulangan kejahatan, maupun yang berhubungan
dengan peranan polisi dalam masyarakat Indonesia, khususnya sehubungan dengan
arah baru tentang community policing
dan community problem solving role dalam organisasi kepolisian
Indonesia. Pemikiran tentang model (paradigma), fungsi, peranan dan tugas
kepolisian di dalam masyarakat Indonesia abad ke-21 dapat pula merupakan obyek
penelitian di sini”. (3)
Pendidikan
Magister Ilmu Kepolisian dan Program Doktor Ilmu Kepolisian di Universitas
Indonesia telah didesain ke arah sosok polisi intelektual yang akan menjadi
kader-kader pimpinan kepolisian yang akan datang. Pada saat ini, adanya
pemahaman yang lebih baik dari pimpinan Polri tentang perlunya pengembangan
ilmu kepolisian, telah sangat membantu cita-cita Harsja W. Bachtiar untuk
“berusaha jauh lebih banyak agar Ilmu Kepolisian ... dapat sungguh-sungguh
disejajarkan sama dengan pengetahuan keahlian profesi-profesi yang sekarang ini
jauh lebih maju”.(4)
Ilmu Kepolisian Indonesia
Penelitian ilmiah tentang organisasi
kepolisian telah dimulai di Eropah pada pertengahan abad ke-19 dan di Jerman
dikenal; sebagai “polizeiwissenschaff”, sedangkan di Belanda dinamakan “politie-wetenschap”.
Mengenai yang terakhir ini dikenal pada waktu itu dua
pendekatan: tatanegara dan kriminologi. Sedangkan pendekatan kriminologi dapat
dipisahkan lagi antara yang difokuskan pada ilmu pengetahuan alam (menjadi
kriminalistik) dan yang mempunyai fokus pada ilmu pengetahuan tentang manusia
dan masyarakat. Pemisahan ini terjadi antara lain di Amerika Serikat (Universitas
California, Berkeley, sekitar tahun 1960-an), khusus untuk pendidikan akademik
tenaga kepolisian. (5)
Tidak jelas pendekatan apa yang dipergunakan oleh Prof.
Djokosoetono, gurubesar hukum tata negara pada Universitas Indonesia, mendesain
kurikulum Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dalam tahun 1950, ketika
beliau menjadi dekan (ketua dewan gurubesar). Namun yang patut diperhatikan
adalah bahwa beliau mempunyai hasrat agar pendidikan perwira kepolisian itu
mencakup pula pemahaman mereka tentang masyarakat Indonesia. Pemahaman tentang
hukum adat (Prof. Hazairin), hukum Islam (Prof. Tjan Tjoe Siem) serta tentang
kebudayaan dan bahasa Indonesia (Prof. Prijono) masuk dalam kurikulum waktu
itu. Pendekatan ilmu kepolisian sebagai bagian dari ilmu-ilmu sosial (sociale
wetenschappen) yang rupanya dianut Prof. Djokosoetono. Arah ini
dikembangkan lebih lanjut oleh Prof. Harsja W. Bachtiar, gurubesar sosiologi,
yang menjadi dekan PTIK selama 7 tahun (1980-1987).
Pemikiran Harsja Bachtiar tentang arah pengembangan ilmu
kepolisian dijadikan titik awal untuk mendesain kurikulum Program Magister
KIK-UI. Sangat berperan dalam pendirian dan pengembangan Program Studi ini
adalah Prof. Awaloeddin Djamin, gurubesar Ilmu Administrasi di Universitas
Indonesia dan PTIK. Dikatakan oleh Harsja Bachtiar bahwa perkembangan Ilmu
Kepolisian ini harus “... berakar pada kenyataan di masyarakat dan kebudayaan
Indonesia sendiri sesuai dengan masalah-masalah di lapangan yang dihadapi
anggota-anggota kepolisian Indonesia ...”(6) Tesis-tesis Program Magister dan kemudian
juga disertasi-disertasi Program Doktor KIK-UI diarahkan secara sengaja untuk
memenuhi pemikiran di atas. Sangat berperan dalam hal ini adalah Prof. Parsudi
Suparlan, gurubesar Antropologi pada Universitas Indonesia dan PTIK.(7)
Pengembangan kurikulum Program Magister Ilmu Kepolisian
dan Program Doktornya di Universitas Indonesia, telah diusahakan agar secara
konsisten mengembangkan pula Ilmu Kepolisian Indonesia. Sesuai dengan pendapat
Harsja Bachtiar, ilmu pengetahuan ini berusaha “... untuk mengembangkan suatu
kerangka teori yang sesuai dengan asas keteraturan berpikir logika dan juga
sesuai dengan kenyataan-kenyataan ... di Indonesia, sebagai pengatur
fakta-fakta, konsep-konsep serta generalisasi-generalisasi...”(8)
Untuk pemahaman dasar tentang Ilmu Kepolisian yang akan dikembangkan dalam
program kajian ini, telah dipergunakan sebagai pedoman definisi Parsudi
Suparlan (1999): “Sebuah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari
masalah-masalah sosial dan isu-isu penting serta pengelolaan keteraturan sosial
dan moral dari masyarakat, mempelajari upaya-upaya penegakan hukum dan keadilan
dan mempelajari teknik-teknik penyelidikan dan penyidikan berbagai tindak
kejahatan serta cara-cara pencegahannya”.(9)
Dengan berpedoman pemikiran Harsja Bachtiar dan Parsudi
Suparlan tersebut, maka telah dilakukan penelitian tentang masalah sosial dan
isu penting yang menggambarkan kenyataan di masyarakat, kebudayaan dan
lingkungan alam Indonesia, yang relevan dengan tugas Polri. Hasil penelitian
dan pemikiran ini juga telah dipublikasikan melalui Jurnal Polisi Indonesia
dan sejumlah buku terbitan Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian
(YPKIK). Melalui publikasi ini yang disebarluaskan kejajaran kepolisian,
diharapkan bahwa lulusan Program Magister S-2 KIK-UI mempunyai pemahaman yang
baik dan mendalam tentang permasalahan sosial dalam masyarakat Indonesia.
Pemahaman mereka ini haruslah setara dengan lulusan S-2 yang belajar di suatu
fakultas ilmu-ilmu sosial yang berakreditasi A.
Penutup
Beberapa kesimpulan kiranya dapat ditarik dari uraian di
atas:
(1)
Untuk dapat menghadapi tantangan abad ke-21, maka Polri
harus mempersiapkan kader-kader pimpinan yang mempunyai visi, berani melakukan
introspeksi dan mau memahami kompleksitas dan kemajemukan masyarakat Indonesia.
(2)
Profesionalisme Polri yang merupakan tuntutan masyarakat
harus dilandasi oleh kemajuan pengembangan Ilmu Kepolisian Indonesia, sehingga
menjadi ilmu pengetahuan yang dapat disejajarkan dengan pengetahuan keahlian
profesi-profesi yang sekarang ini jauh lebih maju.
(3)
Pembaharuan pendidikan tinggi kepolisian di Indoensia,
harus terus dilaksanakan, khususnya untuk pendidikan perwira Polri, baik di
lingkungan universitas maupun di luar lingkungan universitas.
*Tulisan ini telah disampaikan pada Seminar tentang “Perkembangan Ilmu Kepolisian dalam Menghadapi Tantangan Tugas Yang Semakin Kompleks”, diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian, di Gedung Mutiara Djokosoetono PTIK (Jakarta, 31 Mei 2006).
Catatan
1)
Lihat, Pidato Arahan (Keynote
Speech) Kapolri Dr. Da’i Bachtiar, SH, pada Peringatan Sewindu Program
Studi Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia, 2 September 2004, di Hotel
Hilton, Jakarta.
2)
Mardjono
Reksodiputro (2001), “Undang-undang Kepolisian: Siapa Takut?”. Dalam Parsudi
Suparlan (Editor), 2004, Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, YPKIK,
hal. 260 dst-nya.
3)
Mardjono
Reksodiputro (1999), “Catatan Untuk Kurikulum Pendidikan Polri”. Dalam Parsudi
Suparlan (Editor), 2004, Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, YPKIK,
hal. 51.
4)
Harsja
W. Bachtiar (1994), Ilmu Kepolisian, Suatu Cabang Ilmu Kepolisian Yang Baru,
Grasindo, hal. 34-356.
5)
Lihat
juga Mardjono Reksodiputro (2004), “Ilmu Kepolisian dan Perkembangannya di
Indonesia”, tidak diterbitkan (disampaikan dalam seminar sewindu KIK-UI, 2
September 2004), hal. 3.
6)
Harsja
W. Bachtiar (1994), op.cit., hal. 36.
7)
Pemikiran
yang sejalan tetapi juga berbeda dengan Prof. Harsja Bachtiar adalah dari Prof.
Parsudi Suparlan, yang berpendapat bahwa Ilmu Kepolisian harus (sudah ) menjadi
ilmu pengetahuan antar – bidang - lihat a.l. “Ilmu Kepolisian dan
Dinamika Masyarakat”, (1999). Dalam Parsudi Suparlan (Editor), 2004, Bunga
Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, YPKIK, hal. 25-26.
8)
Harsja
W. Bachtiar (1994), Ibid.
9)
Parsudi
Suparlan (2001), “Kajian Ilmu Kepolisian”, dalam Parsudi Suparlan (Editor),
2004, Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, YPKIK, hal. 12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar