Minggu, 24 November 2013

Pembaharuan Pendidikan Tinggi Kepolisian di Indonesia Menghadapi Tantangan Abad Ke-21*



Pengantar

Dalam bulan September 2004, ketika diadakan peringatan “Sewindu KIK-UI”, dilontarkan pendapat bahwa profesionalisme Polri akan terwujud atas “kesiapan aparat kepolisian, yaitu kesiapan SDM, sarana dan prasarana serta anggaran”. Tersirat dan tersurat pula dalam pendapat itu bahwa profesionalisme Polri tidak cukup dilakukan hanya dengan meningkatkan ilmu kepolisian.(1)  Ada benarnya pandangan tersebut, namun bagaimana sebenarnya keterkaitan antara profesionalisme Polri dan ilmu kepolisian? Bagaimana ilmu kepolisian dapat membantu Polri menghadapi tantangan abad ke 21 (2001-3000) ini? Apakah tantangan itu? Untuk Indonesia tantangan pertama adalah era globalisasi dan tantangan kedua melakukan reformasi.

Sebelum kita bahas pertanyaan di atas, saya perlu menjelaskan dahulu pengertian saya tentang globalisasi dan pembaharuan (reformasi) itu. Melihat perkembangan di Indonesia dalam 8 tahun terakhir ini, maka globalisasi dan reformasi mempunyai makna khusus. Globalisasi merujuk pada kesediaan dan kesiapan kita menuju pada keterbukaan pada nilai dan norma dunia internasional, dan karena itu mengandung makna “visi”, yaitu dalam hal ini bagaimana Polri melihat masa depan Indonesia dan dunia secara arif. Sedangkan reformasi mengandung makna “introspeksi”, bagaimana kita melihat dan belajar dari kekeliruan masa lalu, termasuk kekeliruan dalam tubuh Polri.


Profesionalisme Polisi
Membicarakan profesionalisme harus mengacu pada beberapa hal, antara lain: (a) adanya sejumlah kemahiran dan pengetahuan khusus yang menjadi ciri perilaku, tujuan dan kualitas pekerjaan tersebut, dan (b) adanya harapan masyarakat tentang peranan apa yang ingin dilakukan oleh profesi tersebut. Ini berlaku untuk semua profesi: dokter, advokat, hakim, jaksa, polisi dst-nya. Dalam hal polisi, ini berarti bahwa anggota polisi untuk dapat bertindak profesional harus punya kemahiran (skill) dan pengetahuan (knowledge) yang khusus, yang diperolehnya melalui persiapan akademik dalam ilmu pengetahuan tertentu. Kata “profesional” disini bukan dalam arti lawan kata “amatir”, tetapi mengandung makna keterkaitan pada suatu “profesi akademik” (suatu “learned profession”), setara dengan profesi dokter, advokat, akuntan, apoteker dll.

Dari uraian sederhana di atas, dapat terlihat keterkaitan antara profesi kepolisian, profesionalisme polisi dan ilmu kepolisian. Memang profesionalisme polisi tidak dapat semata-mata ditingkatkan melalui “pemahaman ilmu kepolisian”, tetapi juga tidak dapat dengan hanya meningkatkan sarana dan anggaran! Tanpa SDM yang profesional dengan pengetahuan kepolisian yang cukup, maka sarana di tangan polisi dapat menakutkan. Kenapa? Karena mereka adalah “orang sipil bersenjata” yang diberikan kewenangan upaya hukum, dengan kemungkinan melakukan kekerasan kepada sesama warga. Sejarah tigapuluh tahun yang telah berjalan, harus membuat kita mau melakukan introspeksi dan reformasi dalam pendidikan anggota kepolisian.(2)  Agar memang profesional dalam arti yang diinginkan masyarakat.

Apa yang merupakan harapan masyarakat tentang  peranan profesi kepolisian? Pandangan sederhana masyarakat adalah pada dua fungsi kepolisian (sebagai organisasi – lihat juga UU Kepolisian 2002, pasal 13-16), yaitu: penegakan hukum (law enforcement) dan penyelesaian masalah (conflict management). Dalam fungsinya yang pertama, masyarakat mengharapkan sosok polisi profesional yang berani, menghargai atasan, dapat dipercaya menyelesaikan tugas dan taat pada perintah. Sosok seperti ini yang dikedepankan pada pendidikan polisi yang lalu, sebagai bagian dari organisasi militer (ABRI). Yang terbentuk adalah suatu “quasimilitary administrative structure”. Struktur seperti ini memang ada perlunya, misalnya dalam penyergapan perampokan bersenjata, terorisme dan sebagainya. Sosok ini menampilkan “muka angker”.

Tetapi masyarakat juga ingin melihat sosok polisi yang lain. Sosok polisi dalam fungsinya yang kedua: “penyelesaian masalah” (conflict management). Disini gambar polisinya lain, yaitu sosok polisi yang pandai (inteligent), punya “akal-sehat” (common sense), bersikap ramah (friendly), menghormati sesama warga (courtesy) dan punya kesabaran (patience).  Wajah “polisi tersenyum“ seperti ini yang masyarakat ingin temukan dalam hal mereka mendapat “musibah” yang memerlukan bantuan polisi (seperti: menjadi korban kejahatan, atau korban kecelakaan, atau memerlukan bantuan lain di jalan, dsb-nya). Polisi yang pandai dan ramah diharapkan dapat menyelesaikan konflik tanpa kekerasan. Profesionalisme polisi seperti ini tidak tergantung pada sarana, prasarana atau anggaran atau jumlah polisi dibanding penduduk. Dia hanya dapat dibentuk melalui seleksi rekrutmen dan pendidikan kepolisian yang benar. Yang masih perlu diusahakan dengan sungguh-sungguh adalah pendidikan kepolisian untuk profesi kepolisian, sebagai “profesi akademik” (learned profession), yang menghasilkan polisi yang memahami fungsinya adalah membantu masyarakat (conflict management).


Hubungan Polisi-Masyarakat dan Program KIK-UI
Cita-cita era reformasi adalah pemerintahan demokratis. Cita-cita masyarakat reformasi tentang polisi adalah, polisi sipil yang profesional dan modern serta demokratis. Dalam pemahaman tentang demokrasi ini ada dua unsur utama yang mutlak diperhatikan.  Yang pertama adalah asas “kebebasan” dan yang kedua asas “persamaan”. Kedua asas ini harus mendapat perlindungan hukum, dan yang pertama-tama diharapkan untuk melakukan itu, adalah organ kepolisian.

Masyarakat Indonesia yang kompleks dan majemuk ini, memerlukan kedua asas ini untuk dapat melangkah dengan mantap menghadapi berbagai tantangan yang datang dari “arus globalisasi” dan “arus reformasi”. Organ kepolisian diharapkan dapat melindungi asas kebebasan ini, yaitu kebebasan menyatakan pikiran dan pendapat (dengan tidak mengurangi kebebasan orang lain), kebebasan berkelompok dengan orang-orang yang sepaham, dan kebebasan warganegara mengatur hidupnya sesuai dengan keyakinannya. Juga organ kepolisian diharapkan dapat melindungi asas persamaan, yaitu yang mencakup persamaan di muka hukum untuk semua warganegara (berarti tidak ada keistimewaan untuk kategori warganegara tertentu, baik menurut keturunan, agama, suku, jender dsb-nya.).

Karena itu sosok polisi dengan “wajah tersenyum” dan profesional, harus disiapkan menghadapi masyarakat Indonesia yang kompleks dan majemuk ini. Apalagi bila kita mengharapkan pula bahwa sosok polisi ini dapat bersikap positif terhadap asas kebebasan dan asas persamaan. Hal ini tidaklah mudah seperti ternyata dari berbagai peristiwa konflik yang terjadi dalam masyarakat kita.

Pendidikan dalam Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian di Universitas Indonesia, bermaksud menghasilkan seorang polisi intelektual dengan tampilan sosok di atas, yang sanggup menjadi “problem solver” (conflict manager) dalam masyarakatnya.  Yang dimaksud dengan seorang polisi intelektual adalah yang mampu dan mau melakukan studi tentang masalah-masalah warga dalam komuniti di mana dia bertugas, melakukan refleksi atas pekerjaan kepolisian (pemolisian) yang telah dilakukannya, dan secara kreatif dapat “berspekulasi” tentang sebab-sebab masalah tersebut dan mencari solusi bersama-sama anggota komuniti bersangkutan. Seperti pernah saya kemukakan tiga tahun setelah berdirinya program ini (tahun 1999):

“Para lulusan program ini diharapkan sudah ada kemampuan melakukan pendekatan interdisiplin (keterbukaan pada disiplin non-kepolisian), pemecahan masalah, serta merancang dan melaksanakan penelitian mandiri. Penelitian dapat diarahkan pada pencegahan dan penanggulangan kejahatan, maupun yang berhubungan dengan peranan polisi dalam masyarakat Indonesia, khususnya sehubungan dengan arah baru tentang community policing  dan community problem solving role dalam organisasi kepolisian Indonesia. Pemikiran tentang model (paradigma), fungsi, peranan dan tugas kepolisian di dalam masyarakat Indonesia abad ke-21 dapat pula merupakan obyek penelitian di sini”. (3)

Pendidikan Magister Ilmu Kepolisian dan Program Doktor Ilmu Kepolisian di Universitas Indonesia telah didesain ke arah sosok polisi intelektual yang akan menjadi kader-kader pimpinan kepolisian yang akan datang. Pada saat ini, adanya pemahaman yang lebih baik dari pimpinan Polri tentang perlunya pengembangan ilmu kepolisian, telah sangat membantu cita-cita Harsja W. Bachtiar untuk “berusaha jauh lebih banyak agar Ilmu Kepolisian ... dapat sungguh-sungguh disejajarkan sama dengan pengetahuan keahlian profesi-profesi yang sekarang ini jauh lebih maju”.(4)


Ilmu Kepolisian Indonesia

Penelitian ilmiah tentang organisasi kepolisian telah dimulai di Eropah pada pertengahan abad ke-19 dan di Jerman dikenal; sebagai “polizeiwissenschaff”, sedangkan di Belanda dinamakan “politie-wetenschap”. Mengenai yang terakhir ini dikenal pada waktu itu dua pendekatan: tatanegara dan kriminologi. Sedangkan pendekatan kriminologi dapat dipisahkan lagi antara yang difokuskan pada ilmu pengetahuan alam (menjadi kriminalistik) dan yang mempunyai fokus pada ilmu pengetahuan tentang manusia dan masyarakat. Pemisahan ini terjadi antara lain di Amerika Serikat (Universitas California, Berkeley, sekitar tahun 1960-an), khusus untuk pendidikan akademik tenaga kepolisian. (5)

Tidak jelas pendekatan apa yang dipergunakan oleh Prof. Djokosoetono, gurubesar hukum tata negara pada Universitas Indonesia, mendesain kurikulum Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dalam tahun 1950, ketika beliau menjadi dekan (ketua dewan gurubesar). Namun yang patut diperhatikan adalah bahwa beliau mempunyai hasrat agar pendidikan perwira kepolisian itu mencakup pula pemahaman mereka tentang masyarakat Indonesia. Pemahaman tentang hukum adat (Prof. Hazairin), hukum Islam (Prof. Tjan Tjoe Siem) serta tentang kebudayaan dan bahasa Indonesia (Prof. Prijono) masuk dalam kurikulum waktu itu. Pendekatan ilmu kepolisian sebagai bagian dari ilmu-ilmu sosial (sociale wetenschappen) yang rupanya dianut Prof. Djokosoetono. Arah ini dikembangkan lebih lanjut oleh Prof. Harsja W. Bachtiar, gurubesar sosiologi, yang menjadi dekan PTIK selama 7 tahun (1980-1987).

Pemikiran Harsja Bachtiar tentang arah pengembangan ilmu kepolisian dijadikan titik awal untuk mendesain kurikulum Program Magister KIK-UI. Sangat berperan dalam pendirian dan pengembangan Program Studi ini adalah Prof. Awaloeddin Djamin, gurubesar Ilmu Administrasi di Universitas Indonesia dan PTIK. Dikatakan oleh Harsja Bachtiar bahwa perkembangan Ilmu Kepolisian ini harus “... berakar pada kenyataan di masyarakat dan kebudayaan Indonesia sendiri sesuai dengan masalah-masalah di lapangan yang dihadapi anggota-anggota kepolisian Indonesia ...”(6)   Tesis-tesis Program Magister dan kemudian juga disertasi-disertasi Program Doktor KIK-UI diarahkan secara sengaja untuk memenuhi pemikiran di atas. Sangat berperan dalam hal ini adalah Prof. Parsudi Suparlan, gurubesar Antropologi pada Universitas Indonesia dan PTIK.(7)

Pengembangan kurikulum Program Magister Ilmu Kepolisian dan Program Doktornya di Universitas Indonesia, telah diusahakan agar secara konsisten mengembangkan pula Ilmu Kepolisian Indonesia. Sesuai dengan pendapat Harsja Bachtiar, ilmu pengetahuan ini berusaha “... untuk mengembangkan suatu kerangka teori yang sesuai dengan asas keteraturan berpikir logika dan juga sesuai dengan kenyataan-kenyataan ... di Indonesia, sebagai pengatur fakta-fakta, konsep-konsep serta generalisasi-generalisasi...”(8) Untuk pemahaman dasar tentang Ilmu Kepolisian yang akan dikembangkan dalam program kajian ini, telah dipergunakan sebagai pedoman definisi Parsudi Suparlan (1999): “Sebuah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah-masalah sosial dan isu-isu penting serta pengelolaan keteraturan sosial dan moral dari masyarakat, mempelajari upaya-upaya penegakan hukum dan keadilan dan mempelajari teknik-teknik penyelidikan dan penyidikan berbagai tindak kejahatan serta cara-cara pencegahannya”.(9)

Dengan berpedoman pemikiran Harsja Bachtiar dan Parsudi Suparlan tersebut, maka telah dilakukan penelitian tentang masalah sosial dan isu penting yang menggambarkan kenyataan di masyarakat, kebudayaan dan lingkungan alam Indonesia, yang relevan dengan tugas Polri. Hasil penelitian dan pemikiran ini juga telah dipublikasikan melalui Jurnal Polisi Indonesia dan sejumlah buku terbitan Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian (YPKIK). Melalui publikasi ini yang disebarluaskan kejajaran kepolisian, diharapkan bahwa lulusan Program Magister S-2 KIK-UI mempunyai pemahaman yang baik dan mendalam tentang permasalahan sosial dalam masyarakat Indonesia. Pemahaman mereka ini haruslah setara dengan lulusan S-2 yang belajar di suatu fakultas ilmu-ilmu sosial yang berakreditasi A.
 
Penutup
Beberapa kesimpulan kiranya dapat ditarik dari uraian di atas:
(1)   Untuk dapat menghadapi tantangan abad ke-21, maka Polri harus mempersiapkan kader-kader pimpinan yang mempunyai visi, berani melakukan introspeksi dan mau memahami kompleksitas dan kemajemukan masyarakat Indonesia.
(2)   Profesionalisme Polri yang merupakan tuntutan masyarakat harus dilandasi oleh kemajuan pengembangan Ilmu Kepolisian Indonesia, sehingga menjadi ilmu pengetahuan yang dapat disejajarkan dengan pengetahuan keahlian profesi-profesi yang sekarang ini jauh lebih maju.
(3)   Pembaharuan pendidikan tinggi kepolisian di Indoensia, harus terus dilaksanakan, khususnya untuk pendidikan perwira Polri, baik di lingkungan universitas maupun di luar lingkungan universitas.
 
*Tulisan ini telah disampaikan pada Seminar tentang “Perkembangan Ilmu Kepolisian dalam Menghadapi Tantangan Tugas Yang Semakin Kompleks”, diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian, di Gedung Mutiara Djokosoetono PTIK (Jakarta, 31 Mei 2006).

Catatan

1)  Lihat, Pidato Arahan (Keynote Speech) Kapolri Dr. Da’i Bachtiar, SH, pada Peringatan Sewindu Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia, 2 September 2004, di Hotel Hilton, Jakarta.

2)  Mardjono Reksodiputro (2001), “Undang-undang Kepolisian: Siapa Takut?”. Dalam Parsudi Suparlan (Editor), 2004, Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, YPKIK, hal. 260 dst-nya.

3)  Mardjono Reksodiputro (1999), “Catatan Untuk Kurikulum Pendidikan Polri”. Dalam Parsudi Suparlan (Editor), 2004, Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, YPKIK, hal. 51.

4)  Harsja W. Bachtiar (1994), Ilmu Kepolisian, Suatu Cabang Ilmu Kepolisian Yang Baru, Grasindo, hal. 34-356.

5)  Lihat juga Mardjono Reksodiputro (2004), “Ilmu Kepolisian dan Perkembangannya di Indonesia”, tidak diterbitkan (disampaikan dalam seminar sewindu KIK-UI, 2 September 2004), hal. 3.

6)  Harsja W. Bachtiar (1994), op.cit., hal. 36.

7)  Pemikiran yang sejalan tetapi juga berbeda dengan Prof. Harsja Bachtiar adalah dari Prof. Parsudi Suparlan, yang berpendapat bahwa Ilmu Kepolisian harus (sudah ) menjadi ilmu pengetahuan antar – bidang - lihat a.l. “Ilmu Kepolisian dan Dinamika Masyarakat”, (1999). Dalam Parsudi Suparlan (Editor), 2004, Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, YPKIK, hal. 25-26.

8)  Harsja W. Bachtiar (1994), Ibid.

9)  Parsudi Suparlan (2001), “Kajian Ilmu Kepolisian”, dalam Parsudi Suparlan (Editor), 2004, Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, YPKIK, hal. 12.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar