Jumat, 08 September 2017

Menoleh Ke Belakang dan Mengantisipasi Ke Depan*



Menoleh Ke Belakang dan Mengantisipasi Ke Depan
(Suatu Catatan Tentang Beberapa Isyu Jaminan Hukum Untuk Tersangka)


Pengantar
Dalam perdebatan di bidang hukum, maka perbedaan pendapat yang terjadi sering sekali disebabkan adanya perbedaan dalam menafsirkan sejumlah konsep dan asas dalam ilmu hukum. Karena itu di sini akan saya mulai dengan memberikan penafsiran saya tentang beberapa hal yang perlu diketahui untuk dapat mengikuti pemikiran saya.

Yang diminta kepada saya adalah Kuliah Pembuka tentang Sejarah Hukum Acara Pidana di Indonesia. Kalau mau sempurna, maka menurut saya kita  harus bicara tentang 1)Jaman Hindia-Belanda: IR dan HIR; 2)Jaman RI: Terjemahan HIR (RIB) – KUHAP 1981 – sampai RKUHAP 2012; 3)UU Kepolisian – UU Kejaksaan – UU Pemasyarakatan - UU Mahkamah Agung – dan UU Pokok Kehakiman serta semua perubahannya; ditambah lagi dengan 4)peranan Komisi-komisi Pengawasan (oversight dan bukan supervision): Komisi Kepolisian – Komisi Kejaksaan – Komisi Yudisial; dan juga tentu tentang 5)lembaga-lembaga baru: KPK – TIPIKOR – dan PPATK.

Pembahasan seluas dan sedalam itu tidak akan mampu saya lakukan, karena itulah saya memilih judul di atas. Kita “menoleh” ke Belakang, tidak “menengok” karena “menengok” itu akan memerlukan pendalaman sejarah. Dan kita “mengantisipasi” ke Depan, dengan memahami kata-kata bijak: “Apa yang kita peroleh sekarang adalah hasil dari yang lalu, dan apa yang kita lakukan sekarang akan berakibat kepada yang akan datang”. Jadi kita “ backward looking” sedikit dan kemudian “ forward looking”.
*Gurubesar Emiritus Kriminologi dan Hukum Pidana Universitas Indonesia dan Universitas Pancasila.-



Karena itu pembicaraan saya dalam makalah ini akan memakai sebagai pedoman dan acuan lima karangan-lama saya, yaitu:

1)1993 – Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan Dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi) – Pidato pengukuhan Gurubesar, 30 Oktober;

2)2010 – Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Makalah Kuliah Umum UNBARI, Jambi dan  yang pertama kali disampaikan pada Seminar Komisi Hukum Nasional RI  Desember 2009);

3) 2015a - Beberapa Catatan tentang Perkembangan dan Permasalahan dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Disampaikan pada Penataran FHUI di Depok, 6 Mei);

4) 2015b - Reformasi Sistem Peradilan Pidana Indonesia – Menghadapi Tantangan Untuk Perubahan (Disampaikan pada Upacara Penerimaan Mahasiswa Baru Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera 14 September);

5) 2017 – Beberapa Catatan Untuk Perjalanan Sejarah Hukum Pidana Indonesia (Disampaikan sebagai Kuliah Umum pada STHI Jentera 7 April 2016 dan 16 Maret 2017).


Tentang Tujuan Hukum Pidana dan Acara Pidana

-Hukum Pidana materiil (substantive – disingkat HPid) memuat norma-norma berperilaku warga masyarakat Indonesia. Pelanggaran atas norma-norma berperilaku itu di ancam dengan pidana. Tujuan HPid ini adalah menjaga ketertiban berperilaku dalam hidup bermasyarakat. Asumsinya adalah bahwa HPid juga bermanfaat menjaga moralitas masyarakat (moralitas tentang kehidupan, susila, kejujuran, profesi, dll).   

-Bila seseorang melakukan pelanggaran HPid, maka dia akan diperiksa (dinamakan Tersangka) oleh Polisi untuk menentukan bukti-bukti pelanggarannya, diserahkan kepada JPU untuk didakwa (dinamakan Terdakwa) di muka sidang Pengadilan dan kemudian diperiksa oleh Majelis Hakim tentang kebenaran fakta kesalahannya, dan bila ini terbukti akan dijatuhkan hukuman (dinamakan Terpidana) serta bila hukumannya adalah pidana penjara akan diserahkan kepada Lembaga Pemasyarakatan.

-Yang dinamakan Hukum Acara Pidana ( disingkat HAP – hukum pidana formil) adalah norma-norma: hak dan kewajiban  jalannya proses yang harus diikuti mulai dari menjadi Tersangka sampai dengan menjadi Terpidana oleh seorang warga masyarakat.

-Tujuan HAP adalah: 1)mengatur batas kewenangan alat penegak hukum (Polisi dan JPU) serta Majelis Hakim (dan seharusnya juga Petugas LAPAS); dan 2)melindungi seorang warga masyarakat dari kesewenang-wenangan yang mungkin terjadi pada seorang warga yang menjadi Tersangka atau Terdakwa atau Terpidana. Tujuan kedua ini “melindungi warga dari kesewenang-wenangan” (dapat dan juga sebaiknya) dibantu oleh seorang Advokat (juga dinamakan Penasihat Hukum atau Pengacara). Perlunya dibicarakan tentang tujuan kedua ini, adalah karena sering sekali tujuan kedua ini terabaikan, karena masyarakat cenderung merasa marah kepada seorang Pelaku-kejahatan dan lebih mengutamakan perhatiannya kepada pemberian “pembalasan/imbalan  setimpal” (just desert) kepada Pelaku dalam usaha melakukan “penghindaran oleh calon-pelaku” (deterrence). Pengabaian tujuan kedua ini dapat sangat merugikan seorang Tersangka, karena adanya “upaya paksa” (dwangmiddelen) yang dipunyai oleh Polisi, JPU dan Pengadilan. Melalui upaya-paksa ini seorang warga dapat dinyatakan Tertuduh dan/atau  Tersangka untuk kemudian ditangkap, ditahan, digeledah badan dan rumah/kantornya, disita/dirampas hartanya, dibuka surat/dokumennya, diikuti segala perbuatannya dan didengar secara rahasia semua pembicaraannya.

Upaya-paksa ini memang adalah kewenangan Negara untuk melindungi warganya dari ancaman keamanan perilaku orang lain dan dinamakan “kewenangan kepolisian” yang didelegasikan oleh Pemerintah (kekuasaan Eksekutif) kepada dua lembaga penegak hukum (law enforcement agencies), yaitu Kepolisian dan Kejaksaan (yang terakhir ini juga punya “kewenangan pendakwaan”). Harus dibedakan adalah “kewenangan kehakiman” yang berada pada Pengadilan (kekuasaan Yudikatif)  dan yang juga berbeda adalah “kewenangan membuat undang-undang” yang berada pada DPR (kekuasaan Legislatif). Ini adalah pembagian secara umum tentang kekuasaan Negara  “mengatur dan melindungi” warganya (division of powers, bukan separation of powers). Sekarang di Indonesia ada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang mempunyai juga “kewenangan kepolisian” (mempunyai kewenangan upaya-paksa),karena itu (menurut saya) lembaga ini adalah bagian dari Kekuasaan Eksekutif (namun mereka menolaknya, dengan menafsirkan secara keliru istilah “independen”- sebagai berarti “bebas” (dari kekuasaan eksekutif ???) – seharusnya adalah “tidak berpihak” atau “netral” !!!

Tentang Sejarah Singkat KUHAP 1981

-Ada IR (Inlands Reglement - Reglemen Bumiputera) – yang tidak manusiawi memperlakukan Tersangka/Terdakwa/Terpidana penduduk Golongan Bumiputera – beda dengan Sv (Strafvordering) yang berlaku untuk penduduk Golongan Eropah;

-Kemudian diganti oleh HIR ( Herziene Indonesich Reglement – Reglemen Indonesia yang diperBarui – RIB) – diundangkan setahun sebelum Militer Jepang menduduki Indonesia – RIB dinyatakan berlaku dengan “semangat lama kolonial Belanda” dicampur dengan “semangat militer Jepang”;

-Semangat inilah yang diwarisi lembaga penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) dan lembaga peradilan (PN-PT-MA) Indonesia mulai tahun 1945 ! Diprotes dalam Seminar Hukum Nasional Kedua di UNDIP-Semarang tahun 1968 dan oleh Lembaga Bantuan Hukum (diprakarsai Buyung Nasution, Yap Thiam Hien, dkk PERADIN) - Diteruskan sampai tahun 1981 dengan KUHAP 1981 – Terjadi sejumlah “miscarriage of justice” (peradilan sesat) – karena semangat  KUHAP 1981 yang ingin mengedepankan HAM Tersangka /Terdakwa /Terpidana, kalah oleh tradisi semangat IR (kolonial Hindia-Belanda yang memandang rendah seorang rakyat Bumiputera yang berbuat salah) dan warisan semangat militer Kempetai-Jepang (yang memakai penyiksaan fisik atau pemaksaan psikis untuk medapat  pengakuan).

-Sekarang  mulai tahun 2017 ingin diperbaiki kesalahan dan kekeliruan yang lalu melalui RKUHAP 2012 – tetapi prosesnya lambat dengan banyak hambatan, antara lain adanya “benturan kepentingan memperoleh kekuasaan” – antara lembaga –lembaga penegak hukum (Kepolisian – Kejaksaan – KPK), dengan lembaga peradilan – dan sekarang juga dengan lembaga legislatif (DPR). Menurut saya keinginan untuk mempunyai suatu sistem peradilan pidana (SPP) yang rasionil (tidak emosionil), dan manusiawi (tidak sewenang-wenang) masih memerlukan waktu lama (mungkin masiih perlu  satu generasi ?!).


 Tentang Jaminan terhadap hak-hak Tersangka, Terdakwa dan Terpidana

Di atas telah dikatakan bahwa tujuan kedua HAP adalah untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan oleh Eksekutif dalam  menjalankan “kewenangan kepolisian” dan “kewenangan penuntutan”.Pada dasarnya mencegah kesewenang-wenangan dalam proses SPP (arbitrary process), dan ini dilakukan melalui due process of law (proses hukum yang adil). Konsep lain yang juga penting dalam HAP adalah asas legalitas yang berbeda dengan asas oportunitas. Dalam asas pertama, maka semua pelanggaran hukum pidana harus diselesaikan melalui seluruh proses SPP, sedangkan dalam asas kedua, maka JPU mempunyai kewenangan “menutup perkara” atas dasar kepentingan umum. Ada dua macam asas oportunitas: “negatif” (dilakukan sangat terbatas – seperti dalam KUHAP Indonesia), tetapi ada pula yang “positif” (apabila tidak diperlukan oleh kepentingan umum, maka penuntutan dihentikancontoh, seharusnya untuk Nenek Minah yang diadili atas pencurian 3 buah Kakao di PN Malang).

Untuk dapat membantu menyusun suatu UU HAP yang memenuhi tujuan kedua di atas, yang dapat menjamin proses hukum yang adil dan menganut asas oportunitas positif, maka diperlukan suatu “desain prosedur” (procedural design) yang mengarah ke tujuan tersebut.

Saya bukan ahli desain (bangun-rancang), tetapi ada beberapa asas atau hak Tersangka/Terdakwa/Terpidana yang ingin saya usulkan (mengantisipasi ke depan):

A)Hak untuk tidak menjawab
Dalam pemeriksaan di muka Polisi dan JPU (dikenal dengan istilah “interogasi”), maka kepada Tersangka diajukan sejumlah pertanyaan yang harus dijawabnya. Dalam beberapa kasus yang dapat dibaca di media cetak, maka di muka Majelis Hakim, Terdakwa “menarik-kembali” jawabannya yang telah diketik dan ditandatanganinya dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Alasannya adalah karena jawaban yang diberikannya itu Terdakwa lakukan karena merasa “ditekan”. Dalam bahan pustaka asing, asas ini dikenal sebagai “the right to be silent” (hak untuk berdiam diri)-kalau ditelusuri sejarahnya, maka timbulnya asas ini dari pengalaman dipergunakannya “aniaya fisik” (torture) untuk membuat seorang Tersangka mengakui apa  yang dituduhkan Penyidik kepadanya. Asas ini seharusnya diawali dengan kewajiban Penyidik untuk “sebelum dilakukan interogasi, Tersangka diberitahukan bahwa dia tidak berkewajiban menjawab pertanyaan”. Kewajiban ini bersandar kepada dua asas lain:1)adalah kewajiban Penegak Hukum yang akan mendakwa Tersangka untuk membuktikan dakwaannya, dan apa yang dikatakan Tersangka dalam BAP dapat dipergunakan sebagai bukti di persidangan Pengadilan; 2)tidak ada kewajiban Tersangka untuk membantu Penyidik untuk memecahkan masalah dalam peristiwa kejahatan tersebut. Dari sini timbul pertanyaan: Bolehkah Terdakwa menarik kembali semua jawabannya dalam BAP, dengan alasan jawabannya diberikan karena ada tekanan dari Penyidik” ?

B)Hak untuk melindungi privasi badan
Dalam hal sesorang dicurigai oleh Polisi telah melakukan pelanggaran hukum pidana, maka Polisi berhak menggledah badan/pakaian orang tersebut. Wewenang yang dilakukan Polisi haruslah berdasarkan adanya “dugaan keras” (strong suspicion) telah terjadi tindak pidana. Orang yang dicurigai tersebut bukanlah seorang Tersangka, karena belum ada “bukti permulaan yang cukup” (diperlukan dua alat bukti), karena itu kewenangan ini harus dilakukan dengan hati-hati dan dengan alasan “adanya kecurigaan (suspicion) yang menimbulkan dugaan (expectation) keras”. Privasi badan adalah salah satu unsur HAM yang dilindungi. Pertanyaan: 1)pemeriksaan dalam razia senjata di jalan ?-2)pemeriksaan urine dalam razia narkoba di Diskotek ?-3)pengambilan DNA untuk perbandingan ? (Perlukah ijin Hakim ?)

C)Hak untuk melindungi privasi rumah tempat tinggal
Rumah tempat tinggal seseorang dilindungi oleh hukum, karena memasuki pekarangan tempat tinggal seseorang diancam pidana dalam KUHP kita Ada beberapa alasan kenapa Polisi merasa perlu memasuki rumah tinggal: 1)dalam rangka penyidikan kejahatan; 2)untuk menyita sejumlah barang; dan  3)menangkap seorang Tersangka /Terduga. Pada dasarnya memasuki ini haruslah dengan ijin Penghuninya, atau dapat juga dengan ijin Hakim. Namun, dalam keadaan “darurat” maka Polisi dapat memasuki rumah tempat tinggal tanpa ijin Penghuni atau Hakim.Pertanyaan: apakah dalam perlindungan privasi ini, juga termasuk gedung tempat bekerja (gudang, bengkel, kantor)?

D)Hak untuk melindungi privasi komunikasi lisan dan tulisan
Pertama di sini adalah perlindungan atas surat (komunikasi tulisan) yang dikirim melalui kantor Pos/kurir. Disini belaku ketentuan tentang “rahasia-surat” (briefgeheim). Selama dalam “transit” antara pengirim dengan penerima, maka surat ini dilindungi hukum. Kedua adalah surat dan komunikasi dengan tulisan lain yang diperlukan Penegak Hukum dalam rangka penyidikan (berada pada penerima atau pihak ketiga). Ini dapat disita dengan menyerahkan tanda terima. Dalam hal komunikasi lisan melalui telepon atau alat komunikasi lain, maka mendengarkan tanpa diketahui oleh para pembicara dinamakan “penyadapan”. Untuk melakukan penyadapan ini , diperlukan ijin dari Hakim. Ijin ini pada dasarnya harus khusus (menyebut nama orang, alasan dan batas waktu).Biasanya dalam penyadapan ini akan terambil/tersadap juga informasi yang tidak berkaitan dengan kejahatan yang sedang disidik. Informasi semacam itu harus segera dimusnahkan.Pertanyaan: Bolehkah dilakukan penyadapan secara “acak” ?


Tentang Asas-Asas  Yang Ditegaskan dalam Penjelasan KUHAP 1981
-Asas-asas Umum:
1)Perlakuan yang sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun;
2)Praduga tidak bersalah;
3)Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi;
4)Hak untuk mendapat Bantuan Hukum;
5)Hak untuk kehadiran terdakwa di muka pengadilan;
6)Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana;
7)Peradilan yang terbuka untuk umum.

-Asas-asas khusus:
8)Pelanggaran atas hak-hak individu (penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan denga surat perintah (tertulis);
9)Hak seorang tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya;
10)Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan-putusannya.



*Telah disampaikan sebagai Kuliah Pengantar pada mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum Jentera -
Jakarta, Senin 4 September 2017.