Kamis, 05 September 2019

Makalah Pengarah Seminar Nasional: Mendorong Pendekatan Keadilan Restoratif Dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia




Pengantar
Keadilan Restoratif (Restorative Justice) bukan hal baru lagi di Indonesia. Berbagai tulisan dan diskusi telah disampaikan mengenai hal ini. Dari TOR yang disampaikan Panitia saya menyimpulkan bahwa  kali ini “keadilan restoratif” (selanjutnya K-R) ingin didekati dengan sudut pandang “korban-kejahatan” (K-K). Dan dalam sesi ke-1,diskusi ingin menggali bagaimana K-R dapat membantu pemberian keadilan kepada K-K. Sedangkan dalam sesi ke-2 diharapkan dapat didiskusikan cara mencegah terjadinya “K-K berulang”.

K-R memang penting dikaitkan dengan K-K, karena memang K-R dikatakan terbentuk antara lain sebagai kritik terhadap Sistem Peradilan Pidana yang cenderung mengabaikan peranan korban. Dan dalam situasi sekarang di mana DPR dengan Pemerintah berada dalam tahap terakhir mendiskusikan suatu Rancangan KUHP Nasional, yang akan merupakan pembaruan Hukum Pidana di Indonesia, maka sudah tepat bahwa gagasan K-R dengan sudut pandang K-K kita diskusikan di seminar ini..

Tentang Korban Kejahatan
Perhatian internasional terhadap K-K dalam Sistem Peradilan Pidana, tercatat sudah ada sejak tahun 1940-an, misalnya oleh ahli kriminologi Hans von Hentig (1949) dan Benjamin Mendelsohn (1956). Dalam periode ini sejumlah tokoh kriminologi internasional sudah meminta perhatian dan memperjuangkan agar korban dberikan pula perlakuan adil dari masyarakat, dibanding perhatian yang sangat besar yang telah diberikan oleh para ahli kriminologi kepada hak-hak tertuduh dan narapidana, sebagai akibat diterimanya pemikiran bahwa tujuan pemidanaan adalah rehabilitasi pelanggar hukum (dan bukan bertujuan pembalasan dendam). Kemudian perhatian dunia ilmu pengetahuan mulai meningkat pula dengan dilangsungkannya Simposium Internasional Pertama tentang Viktimologi (1973) yang diselenggarakan oleh World Society of Victimology. Sejak itu penelitian tentang korban delik mendapat perhatian serius, antara lain tentang: peranan korban dalam terjadinya delik, hubungan antara pelaku dengan korban delik, mengenai mudah “diserangnya” korban, kemungkinan menjadi korban-kembali/terulang, peranan korban dalam proses peradilan pidana, ketakutan korban terhadap terulangnya kejahatan, sikap korban terhadap peraturan hukum pidana dan acara pidana serta proses penegakan hukum pada umumnya.[1]

Dalam kaitan penelitian seperti ini timbullah pemahaman tentang posisi korban dalam suatu peristiwa kejahatan, antara lain adanya “latent victims” (mereka yang lebih cenderung menjadi korban daripada orang lain, seperti: anak-anak dan perempuan) dan “victim-prone occupations” (pekerjaan yang cenderung lebih banyak menimbulkan korban, seperti: supir taxi dan pelacur). Studi-studi seperti ini bertujuan untuk melaksanakan usaha perlindungan dan pencegahan warga masyarakat menjadi  korban. Penelitian juga menunjuk adanya perbedaan dalam derajat kesalahan pada diri korban, seperti: yang sama sekali tidak bersalah – yang menjadi korban karena kelalaiannya – yang sama salahnya dengan pelaku – yang lebih bersalah daripada pelaku – dan di mana korban adalah satu-satunya yang bersalah. Selanjurnya studi-studi dalam bentuk “survai terhadap korban” (victim surveys) juga menjadi penting, karena antara lain dapat mengungkapkan: bagaimana masyarakat yang pernah jadi korban bersikap terhadap masalah kejahatan, misalnya: mengapa mereka tidak melapor – bagaimana risiko seseorang untuk menjadi korban-kejahatan – adakah rasa takut dan tidak aman terhadap kemungkinan terulangnya kejahatan pada mereka (meluasnya “fear of crime’).

Di Indonesia perhatian terhadap korban ini dapat ditelusuri dari perhatian kriminolog Paul Moedikdo dengan Teori Dialog-nya (awal 1960-an), dan kemudian diteruskan oleh kriminolog Arif Gosita dengan makalahnya dalam Seminar Kriminologi Ke-III (Oktober 1976) di Universitas Diponegoro, Semarang. Juga PBB telah memberi perhatiannya kepada masalah korban ini dengan menerbitkan UN Declaration on the Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power (1985). Dan dalam tahun 2002 diselenggarakan suatu Seminar Khusus tentang Victims and Criminal Justice – Asian Perspective, di Keio University di Jepang, di mana diajukan dua makalah dari Indonesia oleh Purnianti “Protection of Female Victim of Violence in Indonesia” , dan oleh Mardjono Reksodiputro dan Mudzakkir “Victimization in Indonesia: An Expensive Lesson”.[2] Dalam tahun 2011 Departemen Kriminologi FISIP-UI menerbitkan buku yang disunting oleh Prof. Adrianus Meliala, yang berisi 12 karangan para Dosen, berjudul Viktimologi – Bunga Rampai Kajian Tentang Korban Kejahatan.[3]

Gambaran singkat dan pasti tidak lengkap di atas, hanya ingin menjelaskan bahwa perhatian ilmu pengetahuan Kriminologi dan Hukum Pidana di Indonesia terhadap masalah korban-kejahatan ini, sudah berjalan lama. Namun, perhatiannya memang masih sekedar dalam memahami peranan, sikap dan perasaan korban saja. Mengenai kaitannya dengan Restorative Justice (K-R) belum terlihat dalam bahan pustaka di atas. Selanjutnya akan dicoba menjelaskan tentang K-R ini.


Tentang Keadilan Restoratif
Pemahaman tentang situasi yang dihadapi korban tersebut di atas, telah menimbulkan keinginan para ahli kriminologi dan hukum pidana, untuk membangun suatu sistem peradilan pidana yang peka tentang masalah korban (a victim sensitive criminal justice system). Mengapa ? Salah satu alasannya adalah bahwa peranan korban-kejahatan untuk turut-serta menentukan bagaimana proses perkaranya itu, telah ter-abaikan dalam sistem yang berlaku.. Dalam sistem ini korban hanyalah sekedar pelapor dan saksi yang diperlukan negara. Proses selanjutnya telah diambil alih oleh negara, dalam hal ini oleh kepolisian dan kejaksaan. Pertanyaan yang timbul adalah: mengapa korban tidak dapat ikut menentukan jalannya proses penyelesaian perkaranya ? Pengecualian hanya ada pada delik-aduan, di mana proses baru berjalan dengan pengaduan korban, dan yang masih dapat dicabut oleh korban pada tahap sebelum sidang pengadilan. Jawaban yang umum diberikan adalah: bahwa memberikan wewenang kepada korban turut menentukan proses peradilan pidana, akan membuka kesempatan proses yang lebih bersifat emosional (amarah korban dan publik- hal ini dapat menimbulkan “lynch justice”- “main-hakim- sendiri”) dan menghalangi keinginan kita mempunyai sistem peradilan pidana yang bersifat rasional.   

Dalam kriminologi saya ingin merujuk kepada mashab kritikal (critical criminology) di mana terdapat pemikiran tentang “kriminologi konflik”. Menurut mashab kritikal, maka penanggulangan kejahatan (dalam arti luas) seharusnya dapat dilakukan melalui masyarakat yang lebih demokratis (berarti dengan mengurangi proses konflik antara yang “berkuasa” dengan yang “dikuasai”).Dalam mashab kritikal ini terdapat berbagai macam teori kriminologi, yang dapat dinamakan teori-teori konflik-sosial, yang melihat kejahatan itu sebagai fungsi dari konflik-konflik-sosial yang ada dalam masyarakat. Misalnya, dalam tahun 1971, William Chambliss dan Robert Seidman menerbitkan karangan mereka yang terkenal juga di Indonesia: “Law, Order and Power”, yang merupakan referensi pula dari Prof.Satjipto Rahardjo dalam teori hukumnya yang dikenal sebagai :Teori Hukum Progresif. Menurut Chambliss dan Seidman antara lain: “penguasaan atas sistem politik dan ekonomi akan mempengaruhi bagaimana peradilan pidana dilaksanakan, dan definisi tentang kejahatan akan dipengaruhi secara menguntungkan oleh mereka yang menguasai sistem peradilan, oleh karena itu, peranan konflik dalam masyarakat perlu dianalisa oleh ilmu pengetahuan yang netral[4]..

Dengan mendasari pemikiran bahwa konflik-sosial adalah salah satu penyebab kejahatan, maka diajukan pemikiran bahwa dengan meredusir konflik-sosial,kejahatan dapat dikurangi dan salah satu caranya adalah melalui “restorative justice”. Pendekatan K-R ini menekankan pada “non-punitive strategies to prevent and control crime”, dan mengedepankan peranan korban kejahatan dalam mewujudkan strategi ini.[5] Disinilah terdapat hubungan antara Restorative Justice (K-R) dengan Viktimologi (ilmu pengetahuan mengenai korban-kejahatan). 

Eva Achyani Zulfa memandang K-R ini sebagai suatu filosofi pemidanaan.Dan sebagai falsafah ini, K-R dapat diterapkan dengan membingkainya pada berbagai kebijakan, gagasan program dan penanganan perkara pidana. Cara ini diharapkan akan menimbulkan hasil yang menciptkan keadilan bagi pelaku, korban dan masyarakat  dan dengan itu menjawab berbagai masalah yang dihadapi sistem peradilan pidana[6]. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan hukum pidana, maka disinilah harus dilihat hubungan antara Viktimologi, Keadilan Restoratif dan Sistem Peradilan Pidana. Penelitian-penelitian di Indonesia dalam tema ini masih perlu banyak dilakukan.   

Mendorong K-R dalam Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia (Tema seminar ini)
Seperti disampaikan sebelumnya, maka K-R dapat juga didekati dengan pandangan viktimologi, dalam arti bahwa dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP), korban dan orang yang selamat dari suatu kejahatan (survivor) sering kali terlupakan atau terabaikan. Agar SPP memperhatikan pula korban, maka di beberapa negara dalam hukum acara pidananya dinyatakan tentang hak korban untuk mendapat victim impact statement (VIC) dalam sidang peradilannya.Isinya menyatakan kerugian dan penderitaan yang dialami korban akibat kejahatan tersebut. VIC ini harus diperhatikan oleh hakim dalam memberi keputusannya. Dengan memperhatikan VIC, maka hakim dapat memberikan kompensasi (bantuan keuangan dari negara - compensation) dan atau “restitusi” (ganti-rugi dari pelaku - restitution ).Disini, maka K-R digambarkan bertujuan “to restore the health of the community, repair the harm done, meet victim’s needs and require the offender to contribute to those repairs” (mengembalikan kesejahteraan komuniti, memperbaiki kerusakan yang terjadi, dan mewajibkan pelaku untuk turut menyumbang guna perbaikan tersebut). Dasar pemikiran dalam K-R di sini adalah bahwa negara turut bersalah dalam terjadinya kejahatan terhadap seorang warganya.

Pendapat yang lebih keras diajukan oleh John Braithwaite (2003) dalam Principles of Restorative Justice, di mana dikatakannya bahwa dengan Restorative Justice”, perlu diadakan: “a radical redesign of legal institutions, whereby the justice of the people will more meaningfully bubble up into the justice of the law, and the justice of the law will more legimately filter down to place limits on the justice of the people” (diperlukan perombakan radikal dari lembaga-lembaga hukum, agar rasa- keadilan-masyarakat akan meresap ke dalam rasa-keadilan-hukum secara lebih berarti, dan rasa-keadilan-hukum akan lebih secara-sah meresap untuk membatasi rasa-keadilan -masyarakat). Pendekatan Braithwaite di sini lebih cenderung menggunakan teori-teori konflik-sosial yang melihat adanya diskriminasi dalam penegakan hukum terhadap kelompok-kelompok “kelas-bawah” (lower class groups).

Kembali kepada pendapat Zulfa Achyani dalam disertasinya, perlu diperhatikan bahwa kehadiran K-R dalam hukum pidana tidak bermaksud mengabolisi hukum pidana, tetapi justru harus dilihat sebagai mengembalikan fungsi hukum pidana pada jalurnya semula, yaitu pada fungsi  ultimum remedium. 




            Penutup
Tidak ada kesimpulan yang akan ditarik dari uraian saya ini, kecuali mengatakan bahwa masih banyak yang perlu diteliti dan  didiskusikan bilamana kita menginginkan agar Hukum Pidana Indonesia (hukum materiil dan hukum formilnya) lebih memperhatikan korban-kejahatan. Namun demikian akan diajukan juga beberapa saran:

A)Mungkin kita dapat mulai dengan memperluas tujuan SPP kita; dari yang tradisional (dengan pendekatan offender centered) yaitu :

1)Mencegah warga masyarakat menjadi korban-kejahatan;
2)Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan
3)Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi kembali kejahatannya;

dengan menambahnya melalui pendekatan korban (optik-korban), misalnya:

4)Memberikan kepada korban hak menerima kompensasi dan restitusi dan melindunginya dari menjadi korban kembali;

B)Tetapi disamping itu, kita juga dapat menyempurnakan KUHP/WvS kita dalam pasal 82 (transaksi tentang hapusnya kewenangan penuntutan) ke dalam pasal baru dalam R-KUHP Nasional yang masih ada di DPR, dengan pasal yang memungkinkan dilakukannya penyelesaian kasus kejahatan diluar jalur peradilan pidana (seperti dalam lembaga diversi pada UU No.11/2012 tentang Peradilan Anak). Contoh dapat diambil dari pasal 74 KUHP Belanda, yang berbunyi (terjemahan bebas intinya): “…Penuntut Umum berwenang sebelum dimulainya sidang pengadilan mengajukan satu atau lebih syarat untuk mencegah penuntutan suatu tindak pidana. Dengan dipenuhinya syarat (-syarat) tersebut, maka kewenangan menuntut menjadi hapus. Adapun syarat (syarat) yang dapat diajukan adalah: …. (di sini dimasukkan syarat-syrat dilakukannya proses Keadilan Restoratif dengan Korban dan Masyarakat).” Namun, dengan melihat kondisi kepercyaan masyarakat terhadap kepolisian dan kejaksaan sekarang ini, maka  K-R ini sebaiknya juga diawasi oleh hakim.

-Sekian dan terima kasih untuk perhatian yang telah diberikan-.


 Universitas Pancasila, Jakarta 17 Juli 2019
          



[1] Lihat Mardjono Reksodiputro, 2007,Kriminologi dan Sistem Peradilan-Kumpulan Karangan –Buku Kedua, Lembaga Kriminologi UI, hlm.71
[2] Tatsuya Ota (Editor),2003, Victims and Criminal Justice – Asian Perspective, Tokyo:Keio University
[3] Adrianus Meliala (Penyunting),2011, Viktimologi – Bunga Rampai Kajian Tentang Korban Kejahatan, Jakarta: Penerbit FISIP UI Press.
[4] Mardjono Reksodiputro (2010), Pemikiran Kriminologi:Restorative Justice, Makalah tidak diterbitkan, disampaikan di Departemen Kriminologi FISIP-UI.
[5] Ibid
[6] Ibid

Pendidikan Hukum di Indonesia dalam Dilema



(Suatu Ajakan untuk Era Revolusi Industri 4.0)

Pengantar
Saya diminta untuk menyumbang suatu karangan untuk buku yang akan terbit sehubungan dengan 70 tahun Prof. Dr Maria Farida Indrati Soeprapto, SH.MH. Bidang ilmu yang beliau tekuni adalah Hukum Konstitusi, dengan pengkhususan pada Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan. Saya mulai kenal beliau sebagai Asisten Dosen Prof.Prajudi gurubesar Ilmu Administrasi Negara pada sekitar tahun 1970-an. Pada waktu itu Dekan FHUI adalah Prof.Padmo Wahjono yang menggantikan Dekan Prof.R. Soekardono. Dan selanjutnya beliau menjadi Asisten Dosen Dr.A.Hamid S.Attamimi[1] yang mengajar matakuliah “Ilmu Pengetahuan Per-UU-an” dan mengintrodusir ke dalam Bahasa Indonesia Hukum, istilah “peraturan perundang-undangan” sebagai terjemahan Bahasa Belanda hukum “wettelijke regels”  dan “wetelijke regeling”. Karangan ini terinspirasi oleh keadaan suasana-politik setelah Pemilu kita 17 April 2019.

Manusia Indonesia
Dalam bulan April tahun 1977 (32 tahun yang lalu) dalam suatu ceramah di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Mochtar Lubis (wartawan senior dan pejuang HAM) membuat geger masyarakat Indonesia dengan kritik tajamnya tentang “manusia Indonesia”. Judul asli ceramah ini adalah “Situasi Manusia Indonesia Kini: Dilihat dari Segi Kebudayaan dan Nilai Manusia”, yang kemudian diterbitkan dibawah judul “Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungan Jawab” (Idayu Press,Jakarta,1977). Pandangan Mochtar Lubis mendapat banyak kritik dalam perdebatan antara teman-teman saya di diskusi-diskusi Lembaga Kriminologi UI di Kampus Salemba. Kebetulan pula pada waktu itu di media cetak banyak diberitakan tentang “kasus Sawito” seorang guru kebatinan Jawa.

Meskipun saya juga merasa “orang Jawa” (ayah kelahiran Rembang dan ibu dari Sumedang, tetapi dibesarkan di Betawi-Jakarta), tetapi saya tidak tersinggung dengan gambaran Mochtar tentang manusia Indonesia dengan “perilaku Jawa”-nya. Ceramah Mochtar kemudian diterjemahkan dengan judul “The Indonesian Dillemma” (Singapore: Graham Brash Ltd, 1983). Saya berpendapat setuju bahwa tahun-tahun pada akhir 1970-an dan awal 1980-an memang merupakan masa di mana masyarakat Indonesia menghadapi “situasi sulit yang mengharuskan orang menentukan pilihan antara dua kemungkinan yang sama-sama tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan – situasi sulit yang membingungkan” – (inilah arti dilema dari Kamus Besar BI,hlm.329). Dan keadaan kebingungan dalam dunia politik dan dunia ekonomi ini dihadapi oleh masyarakat Indonesia yang sedang membangun bangsa dan negaranya.

Saya berpendapat bahwa semacam itulah “dilemma” yang dihadapi kita sekarang ini, pasca Pemilu 17 April 2019. Dan saya merasa bahwa pandangan Mochtar Lubis menjadi relevan kembali dengan 6 (enam) sifat-sifat manusia Indonesia[2] yang menimbulkan “situasi sulit yang membingungkan” ini. Tetapi tulisan saya di bawah ini hanya “menyerempet” (bersinggungan dengan lembut) saja ceramah Mochtar Lubis. Saya ingin bicara tentang pendidikan hukum di Indonesia, atau lebih fokus lagi bicara tentang “Dilema di Indonesia tentang Pendidikan Hukum”.

Dilema Pendidikan Hukum di Indonesia
Dalam tahun 2006 (13 tahun yang lalu), saya menyampaikan penghargaan saya kepada Dekan Padmo Wahjono (1970 -1978), melalui karangan berjudul “Padmo Wahjono Teman Sejawat yang Mendukung Inovasi”[3] .Inovasi yang saya maksudkan dalam karangan tersebut adalah keterbukaan beliau kepada pemikiran di bidang pranata hukum yang menunjang pendidikan tinggi hukum. Pada waktu itu disetujui melepaskan Lembaga Kriminologi dari Fakultas Hukum agar menjadi lembaga multi-disiplin yang independen di bawah Rektor UI di bidang Ilmu-ilmu Forensik (forensic sciences) untuk mendukung sistem peradilan pidana, agar menggunakan ilmu-ilmu forensik dari ahli-ahli independen lembaga  tersebut. Beliau juga menyetujui dibentuknya dua pusat penelitian untuk memajukan ilmu hukum Indonesia, yaitu Pusat Hukum Pidana dan Pusat Hukum Ekonomi (yang kemudian menjadi cikal-bakal dibentuknya Kekhususan Hukum Pidana dan Kekhususan Hukum Ekonomi pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum di Universitas Indonesia). Disetujuinya pula serta diberikannya tempat untuk pendirian Pusat Dokumentasi Hukum yang pendanaannya dibantu oleh Yayasan Asia (The Asia Foundation).Pusat ini dimaksudkan untuk membantu “pencari-hukum” menemukan hukum tertulis yang relevan dengan masalahnya. Gagasan-gagasan di atas dimaksudkan untuk mendorong pendidikan di Fakultas Hukum menjadi lebih relevan dengan perkembangan dunia. Diprakarsai pula oleh beliau agar FHUI mempunyai majalah hukum sendiri yang terbit secara teratur dan memuat tulisan-tulisan para sarjana hukum dari dalam maupun luar FHUI. Beliau menginginkan agar tulisan di bidang hukum dapat membantu pemahaman perlunya pembaruan hukum Indonesia kearah yang lebih sesuai dengan masyarakat Indonesia.Beliau meyakini, bahwa hanya menerjemahkan hukum yang berasal dari masa Hindia-Belanda ke dalam Bahasa Indonesia tidaklah cukup, apalagi kalau norma-norma hukum terjemahan tersebut diajarkan tanpa penilaian dalam pendidikan tinggi hukum kita. FHUI waktu itu mulai merintis kerjasama-erat dengan Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung. Juga dengan para advokat melalui PERADIN. Dalam bidang ekonomi dirintis kerja sama dengan BKPM (Badan Penanaman Modal Asing) dan Sekretariat Kabinet. Pada waktu itu pula dadakan kerjasama di bidang hukum dengan Belanda dan diperoleh kerjasama antar fakultas-fakultas hukum melalui Konsorsium Ilmu Hukum.

Untuk ukuran jaman sekarang (abad ke-21 – tahun 2019) gagasan-gagasan tersebut mungkin dapat dianggap “remeh”, tetapi pada tahun 1970-an (hampir 50 tahun yang lalu), model pendidikan tinggi hukum masih mengacu pada model RH (Rechts Hogeschool). Pada jaman itu pendidikan hukum mulai merasakan awal masuknya penanaman modal asing dengan UU Penanaman Modal Asing (PMA) yang pertama, serta mulai tumbuhnya profesi konsultan hukum yang membantu usaha pemerintah di bidang pembangunan ekonomi. Untuk waktu itu, maka gagasan-gagasan di atas memang membantu menghidupkan dunia hukum di Indonesia dan tentunya juga pendidikan tinggi hukum.

Tetapi apakah pendidikan hukum kita telah terus berkembang dan menghasilkan pemikiran-pemikiran yang cemerlang untuk membantu pembentukan dan pelaksanaan hukum yang adil bagi para pihak yang behadapan di muka pengadilan ? Menurut saya belum, karena sepertinya di dunia hukum Indonesia, “inovasi-hukum” masih dilihat sebagai mimpi atau angan-angan saja. Dalam pemikiran saya di bawah ini adalah beberapa saran atau gagasan untuk melakukan  “inovasi-hukum” di Indonesia, khususnya menghadapi Era Revolusi Industri 4.0 [4]:

1)Perubahan atau penambahan pada kurikulum fakultas/sekolah tinggi hukum <masalahnya adalah perlunya meningkatkan mutu SDM bidang hukum>;

2)Mengajak sejumlah kantor hukum di Jakarta untuk membuat dan mendanai suatu Yayasan mandiri (independen) Pro-bono Hukum <masalahnya adalah kesediaan kantor hukum untuk bekerja sama menyediakan dana bagi bantuan hukum cuma-cuma> ;

3)Mengajak sejumlah kantor hukum di Jakarta untuk membuat dan mendanai suatu Yayasan mandiri (independen) untuk Penelitian Hukum <masalahnya adalah kesediaan kantor hukum untuk bekerjasama dengan fakultas-fakultas hukum menyediakan dana untuk penelitian hukum yang akan membuka cakrawala baru di bidang hukum>;

Di bawah ini pemikiran singkat-sementara tentang saran atau gagasan saya.Untuk mewadahi saran tersebut, saya ingin menempatkannya dalam sebuah rencana Konsorsium Ilmu Hukum membentuk Laboratorium Hukum di setiap fakultas hukum.

Laboratorium Hukum
Salah satu dari sejumlah kritik yang diajukan kepada lulusan fakultas hukum (negeri dan swasta) adalah bahwa mereka sering “kurang-siap bekerja di bidang hukum” (di kantor hukum/law firm, pengadilan dan kejaksaan). Untuk itu mencontoh apa yang dilakukan di beberapa fakultas ekonomi/bisnis (ilmu non- eksakta) yang mempunyai laboratorium (seperti:laboratorium statistik, laboratorium Bursa/Pasar Modal) dan tentunya fakultas bidang ilmu pasti dan ilmu alam (ilmu eksakta) serta ilmu kesehatan, maka dalam tahun 1994, Konsorsium Ilmu Hukum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (disingkat KIH), menawarkan adanya laboratorium hukum (Lab-hukum) .Tentu saja dalam 25 tahun sejak tawaran tersebut, telah terjadi banyak perubahan yang dibawa oleh perkembangan yang pesat di bidang teknologi-komunikasi (seperti internet, e-commerce dan sejenisnya).Tetapi tujuannya tetap sama,yaitu mempersiapkan lulusan melalui pendidikan dengan pendekatan terapan (applied approach), seperti telah dinyatakan dalam tahun 1993 “perlunya perkuliahan diberikan dengan mencakup tidak saja teori, tetapi juga mengenalkan mahasiswa pada ketentuan-ketentuan hukum positif (seperti putusan pengadilan yang memuat pertimbangan hukum hakim yang memuat perubahan atau penambahan atas penafsiran norma hukum lama) dan kasus-kasus yang dianggap menimbulkan perdebatan atau kontroversi dalam masyarakat hukum atau bahan dokumentasi hukum lainnya (seperti misalnya peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan pusat). Bahan-bahan hukum ini tidak dapat ditemukan oleh dosen-dosen dengan mudah, tetapi dapat dipersiapkan oleh staf dosen/asisten dosen yang bekerja di laboratorium hukum. Dengan kemampuan internet dan komputer pencarian dan persiapan bahan ini harusnya sekarang menjadi lebih mudah.

Dikatakan dalam tahun 1994 tugas Lab-Hukum adalah: a)menyelenggarakan pendidikan kemahiran dan b)membina pendidikan hukum dengan pendekatan terapan. Dalam kerngka pemikiran seperti itu, maka Lab-Hukum akan mempunyai unit-unit kerja seperti:
(1)Unit latihan kemahiran berlitigasi  dengan sub-unit “moot court” ;
(2)Unit latihan kemahiran non-litigasi; dan
(3)Unit latihan memberi bantuan kepada orang tidak mampu (legal aid).
Disamping ketiga unit-kerja inti ini, diusulkan pula dua unit- kerja pembantu, yaitu:
4)Unit Penulisan Hukum; dan
5)Unit Pengajaran Bahasa.

   



[1] Prof.Dr.Hamid Attamimi, SH, kemudian disamping menjadi dosen juga menjabat sebagai Wakil Sekretaris Kabinet RI sampai wafatnya. Disertasi beliau berjudul “Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara” (1990).
[2] Menurut saya (secara singkat) enam sifat manusia Indonesia yang digambarkan Mochtar Lubis adalah: hipokrit,tidak satu,kata dengan perbuatan – tidak berani tanggung jawab,selalu salahkan orang lain – masih bersikap feodal,merasa diri paling benar – sangat percaya pada mistik yang bersifat tahyul – lebih percaya pada intuisi dari pada fakta – tidak berani membuat keputusan sendiri, lebih percaya pada bisikan penasihat (dari The Indonesian Dillema, terjemahan Florence Lamoureux, 1983)
[3] Diterbitkan dalam buku Ari Wahjudi Hertanto dan Sugito Sujadi (2007), Mengenang Prof.Padmo Wahjono,SH: Ilmu Negara, Konstitusi dan Keadilan, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm.21 – 41.
[4]Lihat juga tulisan Prof.Sulistyowati Irianto (Maret 2019), “Tantangan Pendidikan Tinggi Hukum di Era 4.0”, diunduh dari <https://kelembagaan.ristekdikti.go.id/> dan tulisan Prof.Mayling Oey-Gardiner (September, 2018), “Tantangan Pendidikan Tinggi Indonesia di Era Disrupsi dan Globalisasi”, diunduh dari <https://www.ristekdikti.go.id/menristekditi-persaingan-global-di-era-revolusi-industri-4-0-semakin-ketat/>

Jumat, 08 Maret 2019

Reformasi Lembaga Pemasyarakatan*


Implikasi Partisipasi Swasta
oleh:Prof.Mardjono Reksodiputro
dan Dr.Surastini Fitriasih[1]

Pengantar
Lembaga Pemasyarakatan (selanjutnya Lapas) mendapat falsafah baru tentang fungsi penjara di Indonesia, melalui pidato penerimaan gelar Doktor Honoris Causa Menteri Kehakiman Sahardjo,SH di Istana Negara pada tahun 1963. Setelah melalui sejumlah tahap pengembangan a.l. melalui tulisan Koesnoen, SH, Bahrudin Suryobroto dan Waliman,SH dan sejumlah lokakarya yang diselenggarakan bersama kalangan akademisi dan praktisi,maka terakhir kita punya UU 1995 No.12 tentang Pemasyarakatan Terpidana untuk menggantikan peraturan Hindia Belanda (Gestichten  Reglement, Staatsblad No. 708 tahun 1917) tentang kepenjaraan[2].Istilah “pemasyarakatan” ini, menurut saya, dipilih oleh Dr.Sahardjo sebagai terjemahan dari istilah dan konsep yang dikenal dalam bahan pustaka kriminologi dengan kata “resocialization”.

Dalam sejarah “kepenjaraan” jaman Hindia Belanda, maka penjara-penjara di Indonesia mempunyai “tempat-kerja” atau “bengkel-kerja” bagi para narapidana (selanjutnya “napi”). Pada waktu itu bengkel-kerja ini dipergunakan sebagai a)penghasil produk yang akan dipergunakan oleh kantor-kantor “gubernemen” atau diambil sebagai hasil pertanian/perkebunan dan pertambangan untuk diekspor, dan b)sekaligus sebagai tempat latihan-kerja napi untuk mencari penghasilan setelah selesai pidananya.[3]

Semasa konsep pemasyarakatan napi sedang mulai dikembangkan oleh Kementerian Kehakiman pada waktu itu, maka perlu dicatat adanya dua proyek untuk sosialisasi konsep baru ini di Indonesia. Pertama, dibukanya “lapas terbuka di Kalimantan Barat” dan Kedua, adanya pembuatan film dengan judul “Dari Sangkar ke Sanggar”.[4] Uraian singkat di atas ini dimaksudkan untuk menguraikan bahwa keinginan membuat “pidana penjara” lebih manusiawi dan bersifat mendidik sudah berjalan lama di Indonesia. Tujuan untuk membuka pendidikan khusus petugas pemasyarakatan melalui Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP – didirikan tahun 1963/1964 ) juga adalah dalam rangka politik kriminal ini. Hal ini juga tentunya tidak lepas dari perkembangan dunia, a.l. PBB yang mensponsori dikeluarkannya ketentuan tentang “pemberlakuan terhadap napi di lapas”.[5]

Permasalahan dan Pertanyaan Penelitian
Keadaan Lapas di Indonesia saat ini mengkhawatirkan. Permasalahannya (statement of the problem) secara singkat adalah sbb: Pertama, pertambahan penghuni Lapas, terutama di daerah urban/perkotaan, menyebabkan banyak Lapas di daerah perkotaan yang “penuh-sesak” (overcrowded) dihuni napi, sehingga konsep Pemasyarakatan Napi tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Kedua, pembangunan Lapas baru atau pun renovasi Lapas lama membutuhkan biaya anggaran yang belum mendapat prioritas dalam pembangunan ekonomi Indonesia, dan ketiga konsep kemitraan antara Pemerintah dan Swasta diharapkan dapat berjalan juga untuk mengatasi kedua masalah di atas.Yang terakhir ini dikenal sebagai “swastanisasi Lapas” dan untuk penelitian sementara ini dapat difokuskan kepada 3 (tiga) pertanyaan penelitian (research questions):
1)Apakah yang dimaksud dengan “swastanisasi Lapas” dan bagaimana kaitannya dengan konsep menghukum pelaku kejahatan dengan “pidana hilang kebebasan” ?;
2)Mengapa terjadi kelebihan penghuni dan mungkinkah diambil kebijakan menghindari hal ini atau sekurang-kurangnya meringankan penderitaan napi dalam Lapas ?;
3)Apakah “swastanisasi Lapas” merupakan solusi terbaik dan apa persyaratannya ?  

Selayang Pandang tentang Prison Privatization
Swastanisasi Lapas bukanlah konsep baru dalam penology (ilmu pengetahuan tentang pemidanaan). Buku-buku kriminologi sudah membahasnya terutama untuk pelaksanaannya di Amerika Serikat dan Inggris, dengan berbagai permasalahannya.  Pembahasan tentang kerjasama dalam pemidanaan antara pemerintah/penegak hukum dengan swasta di Inggris dapat dibaca dalam bahan pustaka dengan tekanan pada kritik terhadap pelaksanaannya. Pertama, adanya kemungkinan penyalahgunaan oleh pihak swasta (exploitation and mistreatment), kedua tidak efektifnya pengawasan (oversight) pemerintah terhadap pihak swasta, dan ketiga, kemungkinan terjadinya korupsi (penyalahgunaan kekuasaan) antara pejabat pemerintah, petugas pengawasan, petugas Lapas dan pihak swasta. [6]

Pada awal 1970-an politik kriminal untuk melakukan “swastanisasi” Lapas dilakukan di Inggris pada rumah-tahanan untuk “suspected illegal immigrants” tetapi kemudian juga dilanjutkan pada tempat tahanan untuk “remand prisoners” (tahanan pengadilan). Namun, sampai tahun 1987 masih ada perbedaan pendapat antara Pemerintah yang tidak menyetujui “privatizing the prisons or handing over the business of keeping prisoners safe to anyone other than government servants” dengan DPR Inggris (House of Commons) yang menyetujui “for private firms to be allowed to tender for the construction and management of custodial institutions” (Cavadino, 2003: 230). Tetapi kemudian dalam “the Criminal Justice Bill 1991”, pasal 84 memperluas kewenangan Pemerintah untuk melibatkan swasta dalam rumah tahanan (remand centers) dan lapas (prisons), yang menghasilkan lapas-lapas “DCMF” (designed – constructed – managed – financed by the private sector). Model ini yang kemudian dipergunakan dalam mendirikan lapas-lapas baru dengan melakukan kerjasama melalui kontrak. Menurut Cavadino dalam kontrak-kontrak ini “the private contractors arrange finance to meet the capital cost and only start to receive payments when the first places become available. Thereafter, the Prison Service pays a set fee for each available place over a 25-year period” (Cavadino & Dignan, 2003: 232).

Di Indonesia, kemungkinan partisipasi publik dalam bidang pemasyarakatan narapidana sebagai suatu kebijakan resmi pemerintah dapat dilihat dalam kebijakan Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata dalam peraturan No. M.HH-OT.02.02 Tahun 2009, tentang Cetak Biru Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan dengan Lampiran sepanjang 183 halaman, yang terbagi atas 10 Bab. Dalam Bab IX tentang Manajemen Perubahan Sistem Pemasyarakatan terdapat sub-bab no.7 tentang Kemitraan. Perlunya kemitraan dilihat sebagai sarana menunjang perubahan yang dituju dalam peraturan tersebut. Dikatakan :”Selain membantu dari aspek pembiayaan, kemitraan juga menunjang perumusan strategi yang lebih efektif” (Per.Men.02.02/2009: 174). Meskipun kebijakan ini sudah berumur 10 tahun, namun, partisipasi publik seperti digambarkan di atas di Inggris, dengan kerjasama melalui kontrak,  belum terlihat dilakukan di Indonesia (observasi tahun 2019).

Sedikit tentang Pidana Kehilangan Kebebasan
Bila melihat kepada media massa, maka sikap masyarakat Indonesia dewasa ini dengan dukungan kebijakan kriminal pemerintah adalah “highly punitive” dengan dasar “law and order ideology”. Strategi menghadapi kejahatan ini terutama ditujukan kepada tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika dan tindak pidana terorisme. Namun, strategi dengan “general deterrence” sebagai pembenaran pemidanaan ini dalam prakteknya juga ditujukan kepada kejahatan dan pelanggaran hukum lainnya. Rancangan KUHP Nasional telah mencoba untuk mengurangi pidana kehilangan kemerdekaan (pidana penjara) dengan menekankan pada pidana alternatif, antara lain pidana denda. Namun, dengan lambatnya pembicaraan tentang RKUHP ini di DPR, maka pidana penjara masih merupakan pidana–utama yang dijatuhkan oleh pengadilan-pengadilan di Indonesia. Kalau mau dikaji secara jujur, maka praktek pelaksanaan pidana penjara dewasa ini belumlah sejalan dengan konsep “Pemasyarakatan Narapidana Sahardjo”. Dengan menjalankan konsep Sahardjo yang tidak menghendaki Lapas menjadi “sekolah tinggi kejahatan” dan berpegang pada prinsip “negara tidak berhak membuat narapidana menjadi lebih buruk sifatnya, dibanding sebelum dijatuhi pidana penjara”, maka kebijakan kriminal yang dianut haruslah to protect and uphold the human rights of offenders, victims and potential victims of crime” (Cavadino & Dignan 2003: 5-6). Dengan memperhatikan tujuan pidana penjara yaitu mengembalikan narapidana ke dalam masyarakat sebagai “law-abiding citizens”, maka program latihan kerja dalam Lapas dan Community Based Corrections haruslah utama.[7]  

Overcrowded (Kelebihan Penghuni)  dalam Lapas di Indonesia
Dari laporan-laporan di media massa diketahui bahwa banyak lapas-lapas di kota-kota besar telah mengalami kelebihan penghuni narapidana.[8] Jumlah seluruh penghuni di Lapas-lapas di Indonesia per September 2014 adalah 159.704 orang (narapidana: 110.035 dan tahanan: 49.669), yang terbagi lagi atas Dewasa Pria: 147.031, Dewasa Wanita: 8.226, Anak Pria: 4.369 dan Anak Wanita: 78.[9] Kelebihan penghuni ini disebabkan tingginya jumlah populasi Lapas, karena “kiriman” dari Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan, sedangkan fasilitas yang tersedia tidak cukup untuk menampung jumlah tersebut.

Lapas-lapas di Indonesia sebagian besar adalah warisan jaman Hindia Belanda dan karena itu fasilitasnya juga sudah tidak memadai lagi, apalagi kalau terjadi “overcrowding”. Dengan kelebihan penghuni ini, ditambah dengan fasilitas yang tidak memadai lagi, ada kemungkinan pula terdapat penambahan beban-kerja karena kekurangan petugas pemasyarakatan (understaffing) dan hal ini dapat menimbulkan pula “keresahan” pada petugas. Dengan kondisi seperti ini maka kemungkinan terjadi pelangaran disiplin ataupun pelanggaran hukum menjadi lebih besar. Pelanggaran seperti pemilikan dan penggunaan HP, Narkoba, dan barang-barang terlarang lainnya lebih mudah terjadi. Juga kemungkinan perkelahian dan kerusuhan antar narapidana menjadi lebih besar pula. Dan tentunya kemungkinan larinya narapidana dari Lapas.  



Penjara Terbuka untuk Napi dengan “Keamanan Minimum”
Dengan mengutamakan “to protect and uphold the human rights of offenders” dalam politik atau kebijakan kriminal negara, maka Pemerintah seharusnya dapat mulai melaksanakan “penjara terbuka" (open prisons). Pembangunan Lapas-lapas terbuka akan lebih murah dan dapat dipergunakan untuk menampung “kelebihan penghuni” dari lapas-lapas disekitarnya. Tentunya penghuni lapas-lapas terbuka ini adalah para narapidana yang termasuk “berisiko-kecil akan melarikan diri” dari lapas atau napi yang perlu pengawasan keamanan minimum (minimum security prisoners). Apabila lapas menyediakan program pendidikan dan program latihan kerja yang baik dan bermanfaat bagi napi, maka dapatlah diharapkan akan adanya insentif bagi napi untuk menyelesaikan “tanggungjawab pidananya” dan tidak melarikan diri.

Lapas-terbuka juga adalah lebih manusiawi dan memberikan kepada napi juga rasa harga-diri kembali. Kenyon J.Scudder yang memimpin sebuah Lapas terbuka di Amerika Serikat, mengatakan bahwa falsafah yang harus dianut oleh para petugas dari Lapas-terbuka ini adalah “prisoners are people and that they must be returned to society wirh a better attitude than when they entered prison, that they must be taught the dignity of honest work, given the opportunity to acquire new skills by which they may make an honest living and stay out of trouble”[10].Dikatakannya pula, adalah keliru pendapat bahwa dengan menghukum seseorang dalam penjara dengan tembok-tembok tinggi, maka dia akan pasti bertaubat. Ada kemungkinan  dia akan keluar dari lapas dengan rasa marah dan benci terhadap masyarakat yang telah “mengurung”nya tanpa memberi dia kesempatan untuk memperbaiki nasibnya. Sikapnya kemudian terhadap masyarakat di mana dia harus kembali, akan banyak tergantung pada bagaimana dia merasa diperlakukan di dalam lapas.   

Swastanisasi Lapas (Penjara) Terbuka
Dengan minimnya anggaran yang mungkin akan diperoleh dari Pemerintah untuk membangun lapas-lapas baru dengan model bangunan dengan tembok tinggi dan pengamanan yang ketat untuk menghindari pelarian napi, maka adalah suatu kesempatan untuk mengajak swasta berpartisipasi dalam bidang pemasyarakatan narapidana. Swasta yang merupakan perusahaan komersial tentunya mengharapkan adanya keuntungan dari partisipasi ini.Sebagai percobaan dalam pembangunan dan pengelolaan Lapas, maka disarankan untuk memulai kerjasama dengan perusahaan swasta atau BUMD di bidang pertanian dan perkebunan.

Kerjasama ini dilakukan dengan kontrak (mungkin dengan model “build-operate-transfer” - BOT), yang secara rinci menguraikan hak dan kewajiban masing-masing pihak (Kementerian Hukum dan HAM  serta  Perusahaan Swasta). Secara garis besar Perjanjian (Kontrak) kerjasama ini memuat (A) tentang Bangunan Lapas dan fasilitas bekerja untuk napi, (B) tentang Narapidana dalam Lapas, (C) tentang Pengelolaan (management) Lapas, (D) tentang Petugas Pemasyarakatan dan Staf Perusahaan, dan (E) tentang Keuangan.

Bangunan Lapas (A) dapat merupakan bangunan lama yang direnovasi menjadi Lapas-Terbuka atau dapat merupakan lapas baru yang dibangun serupa dengan “asrama TNI”.Fasilitas kerja dapat berupa bengkel-kerja di dalam atau di luar lapas atau merupakan lahan pertanian atau perkebunan milik perusahaan swasta.  Narapidana dalam Lapas (B) akan mengikuti peraturan disiplin yang sekarang berlaku di lapas (atau bagian dari lapas) dengan “minimum security”, dan mereka tetap memperoleh hak dan kewajiban sesuai peraturan yang ada.Kewajiban mereka adalah bekerja di fasilitas yang disediakan perusahaan swasta dan untuk itu mereka mendapat “upah” yang memenuhi ketentuan dari Kementerian Tenaga Kerja-uang tersebut dimasukkan dalam tabungan yang dikelola bank pemerintah. Pengelolaan lapas terbuka (C) tetap berada ditangan Ditjen Pemasyarakatan dengan Kepala lapas yang diangkat oleh MenKumHam dan merupakan Aparat Sipil Negara. Bengkel-kerja dan Pertanian serta Perkebunan yang merupakan milik perusahaan swasta tetap dikelola secara mandiri dengan para napi bekerja di bawah pengawasan bersama Petugas Pemasyarakatan dan Staf Perusahaan. Petugas Pemasyarakatan yang dipilih bekerja di Lapas-terbuka (D) harus melalui seleksi dan pelatihan khusus, begitu pula anggota Staf Perusahaan harus diseleksi dan dilatih khusus dalam membimbing dan mengawasi narapidana yang bekerja di bagiannya.Tentang keuangan (E) diperlukan peraturan khusus bilamana terjadi kontrak dengan model BOT, penambahan gaji Petugas Pemasyarakatan dan pengaturan gaji narapidana yang bekerja pada Perusahaan dilakukan dengan pengawasan Kementerian Keuangan.


Swastanisasi Lapas Solusi atau “Kotak Pandora” ?
Cavadino dan Dignan mengingatkan adanya tiga kemungkinan utama yang dapat menggagalkan kerjasama Lapas dengan perusahaan swasta. Pertama adalah “penyalahgunaan kekuasaan”, kedua adalah “tidak efektifnya pengawasan” dan ketiga adalah “korupsi”. Terlalu luas untuk menguraikan ketiga hal ini, cukup dengan mengatakan bahwa ketiga hal ini memang dapat menjadi “batu sandung” di bidang “management”, bagi kerjasama dalam suatu “joint venture” yang diharapkan menguntungkan kedua belah pihak (mitra kerjasama). Yang berbeda dengan kerjasama dalam usaha bisnis umum adalah di sini “tenaga kerja”  tidak bebas dan lingkungan di mana kerjasama ini berlangsung belum tentu “mendukung”. Kemungkinan ada napi yang melarikan diri dari lapas-terbuka memang harus diantisipasi, namun hal itu jangan sampai menggangu falsafah lapas-terbuka yang didasarkan atas rasa penghormatan pada individu dan saling mempercayai. Begitu juga rasa cemas lingkungan terhadap kemungkinan seorang napi melarikan diri dan “mengulang kejahatannya” di lingkungan tersebut, tentu harus pula diperhatikan. Karena itu, sering pula dikatakan, bahwa menyelenggarakan lapas- terbuka ditengah masyarakat akan serupa dengan membuka suatu “kotak Pandora”. Artinya, akan timbul berbagai masalah yang tidak mudah diselesaikan, apalagi sekarang dengan adanya mitra-kerja berupa perusahaan swasta akan timbul pula benturan kepentingan dengan tenaga kerja penduduk di sekitar lapas-terbuka tersebut.     
                                                          
Penutup: Kesimpulan dan Saran
Dengan memperhatikan permasalahan dan pertanyaan penelitian pada awal makalah ini, akan diambil kesimpulan sebagai berikut:
1)Swastanisasi lapas adalah suatu “joint venture” (selanjutnya “J-V” )antara Kementerian Hukum dan HAM dengan pihak swasta, khususnya perusahaan swasta, untuk mengelola bersama suatu lapas-terbuka. Mengapa lapas-terbuka ? Karena kerjasama dalam bentuk “J-V” ini membutuhkan bantuan dana dari pihak swasta untuk “merenovasi” bangunan lapas lama atau membangun lapas-lapas baru, untuk menambah daya-tampung lapas untuk napi yang mendapat “pidana hilang kebebasan”. Sebagai lapas-terbuka diharapkan biaya renovasi atau pembangunan baru akan lebih murah, sehingga perusahaan swasta yang harus investasi lebih tertarik.   

2)Kelebihan penghuni yang terjadi sekarang adalah karena lapas-lapas yang ada sebagian besar adalah lapas lama yang dibangun berdasarkan falsafah Reglemen Kepenjaraan 1917 Hindia Belanda (lebih dari 100 tahun yang lalu). Kalau kita konsekuen menerapkan Konsep Pemasyarakatan Narapidana dari Sahardjo 1963 (46 tahun yang lalu) melalui UU 12/1995 (24 tahun yang lalu), maka lapas-lapas tersebut sudah tidak layak untuk program-program pembinaan napi untuk memungkinkan mereka berintegrasi kembali ke dalam masyarakat. Kelebihan penghuni ini juga disebabkan kebijakan kriminal yang dipakai di Indonesia adalah “highly punitive approach” yang menggantungkan diri pada “pidana hilang kebebasan”.  

3)Untuk kondisi Indonesia masa kini, dengan minimnya anggaran yang dapat disediakan untuk pembangunan lapas-lapas baru dan tidak mudahnya mengubah kebijakan kriminal yang dianut negara dan masyarakat umum (general public), maka “swastanisasi lapas-terbuka” memang masih akan
 merupakan solusi terbaik. Memang untuk memulai “pembaruan/reformasi” di bidang pemasyarakatan narapidana di Indonesia tidak mudah. Diperlukan “kemauan politik” yang kuat (seperti untuk pemberantasan korupsi) dan adanya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang tangguh dan didukung oleh organisasi masyarakat (seperti dukungan terhadap KPK). Buku “Refleksi 50 Tahun Sistem Pemasyarakatan (Narapidana) – Anatomi Permasalahan dan Upaya Mengatasinya” yang disusun tahun 2015, seharusnya menjadi awal dari suatu perjuangan reformasi ! SARAN-nya: Mulailah dengan hati-hati, tetapi dengan tekad yang kuat bahwa swastanisasi lapas-terbuka di Indonesia bertujuan :”to protect and uphold the human rights of offenders, victims and potential victims of crime”.



*Makalah ini disampaikan dalam “Seminar Reformasi Fungsi Lembaga Pemasyarakatan Sebagai Institusi Pembinaan Terpidana”

Pusat Kajian Lembaga Pemasyarakatan – Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia
Jakarta, 6 Maret 2019 




Daftar Pustaka:

Aranoval, M.Ali,  Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Pemasyarakatan” dalam Hasanudin Massaile dkk,(2015) Refleksi 50 Tahun Sistem Pemasyarakatan – Anatomi Permasalahan dan Upaya Mengatasinya, Jakarta: Center for Detention Studies.

Cavadino, Michael &James Dignan (2003), The Penal System – An Introduction (A Brief History of Prison Privatization).Third Edition, SAGE Publications.

Kenyon J.Scudder (1952), Prisoners Are People, Garden City N.Y.: Doubleday & Company

Mardjaman dkk,  “Perlindungan dan Penghormatan Hak Pelanggar Hukum” dalam Hasanudin Massaile dkk (2015),  Refleksi 50 Tahun Sistem Pemasyarakatan – Anatomi Permasalahan dan Upaya Mengatasinya, Jakarta: Center for Detention Studies.

Sudirman, Dindin Sudirman “Permasalahan Yang Dihadapi Pemasyarakatan” dalam Hasanudin Massaile dkk (2015), Refleksi 50 Tahun Sistem Pemasyarakatan – Anatomi Permasalahan dan Upaya Mengatasinya, Jakarta: Center for Detention Studies.





[1]Garis-besar Makalah dibuat oleh Prof.Mardjono Reksodiputro dan dikembangkan oleh Dr.Surastini Fitriasih, yang juga melakukan penelitian bahan pustaka dan diskusi.
[2] Ada pendapat bahwa asal kata “penjara” adalah dari kata “jera” (lihat Kamus Besar Bah.Ind);
[3] Kata “gubernemen” dipakai untuk pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia. Menurut informasi lisan dari Bpk Koesnoen,Bahrudin Suryobroto dan Waliman kepada MR (pada sekitar tahun 1962), maka Lapas Cipinang (Jakarta) dan Lapas Kalisosok (Surabaya) menghasilkan “perabot kayu untuk kantor”, Lapas Sukamiskin dan Lapas Tangerang menghasilkan produk pertanian, serta Lapas Sawahlunto (Sumatera Barat) menghasilkan batu-bara.
[4] Lapas Terbuka di Air Itam Kalbar dibuka oleh Direktur Jendral Pemasyarakatan Bahrudin Suryobroto dan film sosialisasi dibuat semasa DirJen Ibnu Susanto – sedangkan Direktur Waliman adalah “sponsor” pemasyarakatan napi pemuda di Tangerang dengan konsep lahan pertanian.
[5]Kongres PBB di Jenewa, yang menghasilkan keputusan Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners dalam UN Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders ke-1 tahun 1955 – sering disingkat SMR .
[6] Michael Cavadino & James Dignan (2003),The Penal System – An Introduction.Third Edition, hlm.229 - 234 (A Brief History of Prison Privatization), SAGE Publications
[7] Lihat juga M.Ali Aranoval “Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Pemasyarakatan” dalam Hasanudin Massaile dkk,(2015) Refleksi 50 Tahun Sistem Pemasyarakatan – Anatomi Permasalahan dan Upaya Mengatasinya, Jakarta: Center for Detention Studies, hlm.187 -193
[8] Mardjaman dkk “Perlindungan dan Penghormatan Hak Pelanggar Hukum” dalam Hasanudin Massaile dkk (2015) op.cit. hlm 240
[9] Dindin Sudirman “Permasalahan Yang Dihadapi Pemasyarakatan” dalam Hasanudin Massaile dkk (2015),0p.cit. hlm.163
[10] Kenyon J.Scudder (1952), Prisoners Are People, Garden City N.Y.: Doubleday & Company, hlm.5