Kamis, 14 November 2013

Me"miskin"kan Koruptor - Caranya ?*



(Suatu makalah pengantar untuk membuka cakrawala)



Pendahuluan

Suatu ungkapan mengatakan “crime does not pay”  (kejahatan tidak akan menguntungkan). Memang begitulah seharusnya dan yang kita harapkan, yaitu bahwa mereka yang melakukan tindak pidana korupsi tidak akan dapat menikmati hasil korupsinya.

Menurut observasi saya ungkapan di atas tidak/belum berlaku di Indonesia. Kalau diminta bukti, saya hanya dapat menunjuk pada tetap banyaknya kasus korupsi terungkap di Indonesia dan tentu saja perlu diperhatkan pula persepsi dunia bisnis yang masih menilai bahwa Indonesia berperingkat rendah dalam kemampuan memberantas korupsi.[1]

Makalah ini ingin mengajukan suatu alternatif solusi diantara berbagai solusi yang pernah diajukan pakar-pakar di Indonesia. Memang temanya tidak luar-biasa, yaitu “me-miskin-kan koruptor” – yaitu bagaimana agar koruptor kehilangan harta kekayaannya yang di “persangkakan” berasal dari  hasil perbuatan koruptif (proceeds of crime) ?. Bagaimana benar-benar kita dapat  meyakinkan koruptor di Indonesia, bahwa “korupsi tidak menguntungkan” (corruption does not pay) ??

Catatan MR/Penulis: Karena keterbatasan waktu, maka makalah ini tidak memberi rujukan lengkap kepada peraturan maupun bahan pustaka lain yang dipergunakan.[2]





Perampasan Aset Koruptor

Memang solusi sederhananya adalah merampas aset/harta kekayaan koruptor. Tetapi bagaimana caranya dan aset yang mana ? Menurut Pasal 10 sub-b KUHP kita, maka “perampasan” adalah pidana-tambahan, yang diatur lebih lanjut  melalui pasal-pasal 39 – 42 KUHP dan pasal 194 KUHAP. Caranya adalah diputuskan bersamaan dengan putusan bersalah terdakwa/pelaku korupsi dan yang dirampas merupakan aset yang terbukti hasil, digunakan, atau punya hubungan langsung dengan korupsi dan telah disita.[3] Bagaimana kalau terdakwa tidak terbukti bersalah  atau  memang terbukti bersalah tetapi aset yang disita terbukti tidak berasal/tidak dapat dibuktikan dari/digunakan/punya hubungan dengan korupsi ? (mengenai yang terakhir ini memang masih ada pidana “membayar ganti-rugi” – tetapi permasalahannya bukanlah fokus makalah ini). Membiarkan seorang koruptor tetap menikmati “hasil-korupsinya” (meskipun sudah menjalani pidana) sungguh menyakitkan kita semua. Dunia juga menyadari hal ini, dan upaya global sejak tahun 1997 mencapai puncaknya dengan lahirnya United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) tahun 2003.Dunia juga telah memandang korupsi sebagai “trans-national crime” (United Nations Convention Against Transnational Crime – UNTOC 2003). Indonesia telah meratifikasi UNCAC dengan UU No 7 Tahun 2006 dan UNTOC dengan UU No 5 Tahun 2009.





NCB Asset Forfeiture[4]

Salah satu lembaga hukum yang diandalkan oleh UNCAC 2003 adalah yang dikenal sebagai Non-Conviction Based Asset Forfeiture – perampasan aset pelaku kejahatan, tanpa melalui prosedur hukum pidana. Bagaimana mungkin ? Bukankah akan bertentangan dengan KUHP dan KUHAP kita? Ya dan tidak. Ya, kalau kita hanya melihat pada pemahaman tradisi hukum pidana nasional kita berdasarkan pasal 10 jo. pasal-pasal 39-42 KUHP/WvS Hindia Belanda 1918. Karena itulah akan ada UU Perampasan Aset Tindak Pidana, yang sudah dirancang sejak tahun 1997 (tetapi yang sampai sekarang belum juga disahkan oleh DPR –entah mengapa!).Tidak, kalau kita mau melihat pada keinginan masyarakat untuk membendung (menangkal) korupsi dan tidak membiarkan adanya pendapat bahwa di Indonesia “korupsi itu menguntungkan” (in Indonesia corruption does pay).

Konsep dasar perampasan aset ini adalah bahwa harus dimungkinkan untuk merampas harta-kekayaan koruptor, meskipun para koruptor ini    a) dinyatakan bebas oleh pengadilan (karena tidak terbukti), atau b) wafat selama sidang belum selesai (sebelum putusan pengadilan berkekuatan-pasti/in kracht van gewijsde), atau c) terdakwa melarikan-diri (ke luar negeri) sebelum sidang selesai (yang terakhir ini membawa pula persoalan peradilan in absentia). Ketiga kemungkinan ini menyulitkan penggunaan pasal 10 jo. pasal-pasal 39 – 42 KUHP dan pasal 194 KUHAP.

Karena terdakwa tidak dapat dijadikan pihak dalam perkara pidana tersebut, maka sebagai alternatif harta-kekayaannya  yang menjadi sasaran perampasan dan harus dapat diajukan ke pengadilan. Konsep yang dipergunakan adalah in rem action (gugatan terhadap benda – sebagai lawan dari action in personam – gugatan terhadap person/manusia).





In Rem Action[5]

Gugatan terhadap benda, menurut hukum perdata Indonesia (yang diwarisi dari Hindia Belanda), umumnya dilakukan terhadap “barang atau benda tidak-bertuan/tidak diketahui pemiliknya”. Pada masa-masa setelah Perang Dunia Kedua (1942-1945) dan Perang Kemerdekaan (1945-1950) selesai, maka banyak aset/harta yang ditinggalkan oleh pemiliknya yang harus diselesaikan status hukumnya (perhiasan dalam lemari besi bank; saham-atas-unjuk; rumah; tanah; perkebunan) – caranya adalah dengan meminta kepada Pengadilan Negeri menyatakannya sebagai milik negara.

Dalam hal aset/harta koruptor, maka apa alasannya untuk meminta pengadilan menyatakannya sebagai milik-negara, bila tidak ada putusan peradilan pidana ? Konstruksi hukumnya adalah untuk menggugatnya sebagai aset/harta yang “secara hukum tercemar” (legally tainted)- Mengapa ? Karena terdakwa dalam sidang pengadilan tidak dapat membuktikan bahwa dia telah memiliki harta-kekayaan tersebut secara sah menurut hukum – karena itu kuat dugaan bahwa aset tersebut   adalah hasil kejahatan korupsi. Bagaimana memperkuat dugaan ini ? Yaitu dengan proses “reversal of the burden of proof”( pembalikan beban pembuktian). Atas permintaan JPU, maka Terdakwa korupsi diminta membuktikan sahnya prosedur hukum dia dalam memiliki aset/harta kekayaan tersebut.





Pembalikan beban pembuktian[6]

Salah satu asas utama dalam hukum pidana adalah “siapa yang menuduh/ mendakwa dialah yang harus membuktikan tuduhan/ dakwaannya”. Asas ini adalah pelengkap dari asas “praduga tidak bersalah”. Namun, pembalikan beban pembuktian sama sekali tidak berhubungan dengan kedua asas tersebut. Kedua asas di atas berhubungan dengan “kesalahan seorang Terdakwa” – padahal dalam “pembalikan beban pembuktian”, yang dipermasalahkan adalah “kesahan/sahnya  pemilikan suatu aset/barang/harta-kekayaan” – apakah terdakwa/koruptor dapat menjelaskan prosedur pemilikannya atas aset tersebut ? Bilamana tidak,  maka aset tersebut harus dianggap “cacat secara hukum” prosedur pemilikannya dan karena itu dianggap “aset yang tercemar (secara hukum – legally tainted property)”. Aset koruptor seperti ini, melalui prosedur “NCB Asset Forfeiture” ,yaitu gugatan in rem dalam pengadilan perdata, dimintakan putusan hakim untuk dinyatakan sebagai “menjadi milik-negara”. Dan koruptor tersebut, seandainya pun ia bebas, wafat atau melarkan diri ke luar negeri, harus dianggap melalui “aset-tercemar” itu telah melakukan “illicit enrichment”- “memperkaya-diri secara haram”(seingat saya konsep ini ada dalam UU Pencucian Uang). Apakah ini merupakan akan merupakan tindak pidana tersendiri, tergantung pada hukum positif kita (undang-undang dan yurisprudensi).





Aset berada di Luar Negeri – MLA dan StAR

Prosedur di atas adalah “relatif sederhana”, kalau aset/harta tersebut terdapat di dalam negeri. Tetapi bagaimana bilamana aset/harta berada di luar negeri ? Disinilah pentingnya perjanjian-bilateral/multilateral MLA (Mutual Legal Assistance)[7]. Melalui perjanjian MLA ini Indonesia dapat meminta bantuan dalam “merampas” aset/harta koruptor Indonesia” yang dilarikan atau di “parkir” di luar negeri. Salah satu “prosedur” yang di “bayangkan” oleh PBB adalah melalui StAR (Stolen Asset Recovery) Initiative yang diluncurkan Juni 2007.  Inisiatif StAR ini  adalah dari Kelompok Bank Dunia (Governance and Anti-Corruption Strategy World Bank Group). Tujuannya adalah mencari dan  memberi bantuan kepada negara-negara berkembang dalam pengembalian “aset-curian” (hasil korupsi pejabat negara) yang dilarikan ke luar negeri (umumnya dibawa ke negara-negara maju). Salah satu kesulitan dalam pelaksanaan MLA dan StAR ini adalah perbedaan dalam sistem hukum negara-negara yang terlibat (negara-peminta dan negara-pemberi bantuan).[8]

Indonesia masih mempunyai masalah yang lain lagi (disamping sistem hukum yang berbeda), yaitu keragu-raguan pengadilan di luar negeri tentang telah berlangsungnya due process of law dalam kita mengadili seorang koruptor (atau aset/hartanya) – misalnya tentang “judicial independency” dan “peradilan in absentia”. Kendala-kendala seperti ini harus dapat kita selesaikan di Indonesia secepatnya.

Ternyata pengembalian “aset-curian” korupsi juga tidaklah mudah dan memakan waktu lama. Contoh adalah Philipina dalam upaya pengembalian aset  mantan Presiden Marcos yang di”parkir” (disembunyikan) di Amerika Serikat dan Eropa. Di Swiss proses melepas uang di Bank  dimulai tahun 1986 dan baru  berhasil ditransfer ke Philipina  tahun 2003, dan hanya sebesar 624 juta US Dollar (belum dipotong biaya proses hukum). Umumnya uang curian ini disimpan di pusat-pusat finansial di negara-negara maju. Negara maju tentu juga tidak mudah melepaskan harta kekayaan yang terkait dengan perekonomian warga negaranya tersebut. Diperlukan proses hukum melalui peradilan negara tersebut yang akan menilai proses hukum yang telah berlangsung di Indonesia, yang kita ajukan sebagai bagian dari bukti. Perlawanan dari pihak ketiga (bukan Terpidana/Koruptor kita) sebagai “innocent owner”  (pihak ke-3 beriktikad baik) juga harus diperhitungkan. Kendala-kendala seperti ini harus diperhitungkan dari sekarang, a.l dengan mempunyai sejumlah tenaga ahli hukum –penyidik dan penuntut umum- di Indonesia yang mahir menguasai bahasa asing negara di mana kekayaan tersebut disembunyikan (agar mudah komunikasi ke luar negeri). Juga Kejaksaan Agung kita harus punya tenaga-tenaga ahli yang mau dan mampu mempelajari hukum negara-negara asing tersebut, agar tidak hanya tergantung pada advokat asing (yang mahal biayanya dan akhirnya menghabiskan keuangan negara).[9]  

-00O00-

*Makalah telah disampaikan pada Seminar Nasional “National Moot Court Competition” -  Piala Jaksa Agung III ; Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Pancasila dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia.





[1] Banyaknya kasus yang terungkap, dapat juga ditafsirkan sebagai keberhasilan penegak hukum membongkar kasus-kasus korupsi yang “merajalela” di seluruh Nusantara kita.

[2] Dalam Era Reformasi kita mulai dengan UU 28/1999 tentang Pemerintah Yang Bersih dan Bebas KKN.

[3] Tanpa disita, pada dasarnya aset-koruptor tidak dapat dirampas. Harus diusahakan agar alat penegak hukum lebih cekatan mencari “aset-tersembunyi”, kalau tidak, maka koruptor akan tetap “untung”. Bagaimana dengan mengumumkan secara lebih luas LHK-PN seorang pejabat negara yang didakwa korupsi ? Diharapkan akan ada whistleblower yang memberitahu JPU adanya “aset2 tersembunyi”.

[4] Buku yang baik dibaca adalah Stefan D.Cassela, 2007, Asset Forfeiture Law in the United States, New York: Juris Net,LLC, terutama Part II:Administrative and Civil Forfeiture; hal.93 dst-nya.

[5] In Rem (Lat)-merupakan gugatan hk acara perdata terhadap benda (Res) – tujuan gugatan ini adalah penentuan status properti/harta kekayaan; dibedakan dengan gugatan In Personam (Lat) terhadap orang. Ada RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yang pernah coba dituntaskan dalam Rapat Kemhukham di Hotel Salak Bogor Agustus 2010 – tetapi sampai sekarang belum dibahas DPR.  

[6] Konsep hukum tentang kewajiban Terdakwa membuktikan sahnya harta-kekayaan, dan bukan menjadi kewajiban  JPU (“pembuktian terbalik”), sudah ada dalam UU Korupsi (2001) dan UU Pencucian Uang (2003).

[7] Untuk kerjasama internasional dalam pengembalian aset, lihat Theodore S.Greenberg dkk dalam Stolen Asset Recovery,Good Practice Guide,2009, hal.95 – 107 (dalam buku terjemahan),Bank Dunia. Indonesia sendiri punya UU No 1/2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana dan karena itu juga terikat pada StAR Inisiatif.

[8] Tahun 2004 juga telah disepakati Treaty on MLA in Criminal Matters Among ASEAN Countries – pesertanya adalah: Brunei Darrussalam – Indonesia – Kamboja – Laos – Malaysia – Philipina –Singapura – Viet Nam – dan Myanmar.


[9] Lihat selanjutnya Mardjono Reksodiputro,2010, “Tentang Perampasan Aset Tindak Pidana Sebagai Kebijakan Kriminal”  dan  2011, “Beberapa Catatan Singkat Tentang Pembuktian Terbalik Dikaitkan Dengan Perampasan Aset Dalam Kasus Delik Pencucian Uang”- keduanya makalah untuk Seminar PPATK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar