(Suatu makalah pengantar
untuk membuka cakrawala)
Pendahuluan
Suatu ungkapan mengatakan “crime does not pay” (kejahatan tidak akan menguntungkan). Memang begitulah seharusnya dan yang
kita harapkan, yaitu bahwa mereka yang melakukan tindak pidana korupsi tidak
akan dapat menikmati hasil korupsinya.
Menurut observasi saya ungkapan di atas tidak/belum berlaku di Indonesia. Kalau diminta bukti, saya
hanya dapat menunjuk pada tetap banyaknya
kasus korupsi terungkap di Indonesia dan tentu saja perlu diperhatkan pula persepsi
dunia bisnis yang masih menilai bahwa Indonesia berperingkat rendah dalam
kemampuan memberantas korupsi.[1]
Makalah ini ingin mengajukan suatu alternatif
solusi diantara berbagai solusi yang pernah diajukan pakar-pakar di
Indonesia. Memang temanya tidak luar-biasa, yaitu “me-miskin-kan koruptor” –
yaitu bagaimana agar koruptor kehilangan harta kekayaannya yang di
“persangkakan” berasal dari hasil
perbuatan koruptif (proceeds of crime)
?. Bagaimana benar-benar kita dapat meyakinkan koruptor di Indonesia, bahwa “korupsi tidak menguntungkan” (corruption does not pay) ??
Catatan MR/Penulis: Karena keterbatasan waktu, maka
makalah ini tidak memberi rujukan lengkap kepada peraturan maupun bahan pustaka
lain yang dipergunakan.[2]
Perampasan Aset Koruptor
Memang solusi sederhananya adalah merampas aset/harta
kekayaan koruptor. Tetapi bagaimana caranya dan aset yang mana ? Menurut Pasal
10 sub-b KUHP kita, maka “perampasan” adalah pidana-tambahan, yang diatur lebih
lanjut melalui pasal-pasal 39 – 42 KUHP
dan pasal 194 KUHAP. Caranya adalah diputuskan bersamaan dengan putusan
bersalah terdakwa/pelaku korupsi dan yang dirampas merupakan aset yang terbukti
hasil, digunakan, atau punya hubungan langsung dengan korupsi dan telah disita.[3]
Bagaimana kalau terdakwa tidak
terbukti bersalah atau memang terbukti bersalah tetapi aset yang
disita terbukti tidak berasal/tidak
dapat dibuktikan dari/digunakan/punya hubungan dengan korupsi ? (mengenai yang
terakhir ini memang masih ada pidana “membayar ganti-rugi” – tetapi
permasalahannya bukanlah fokus makalah ini). Membiarkan seorang koruptor tetap
menikmati “hasil-korupsinya” (meskipun sudah menjalani pidana) sungguh
menyakitkan kita semua. Dunia juga menyadari hal ini, dan upaya global sejak
tahun 1997 mencapai puncaknya dengan lahirnya United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) tahun 2003.Dunia juga telah memandang
korupsi sebagai “trans-national crime”
(United Nations Convention Against Transnational Crime – UNTOC 2003). Indonesia telah meratifikasi UNCAC
dengan UU No 7 Tahun 2006 dan UNTOC dengan UU No 5 Tahun 2009.
NCB Asset Forfeiture[4]
Salah satu lembaga hukum yang diandalkan oleh UNCAC
2003 adalah yang dikenal sebagai Non-Conviction
Based Asset Forfeiture – perampasan aset
pelaku kejahatan, tanpa melalui prosedur hukum pidana. Bagaimana mungkin ? Bukankah akan
bertentangan dengan KUHP dan KUHAP kita? Ya
dan tidak. Ya, kalau kita hanya
melihat pada pemahaman tradisi hukum pidana nasional kita berdasarkan pasal 10
jo. pasal-pasal 39-42 KUHP/WvS Hindia Belanda 1918. Karena itulah akan ada
UU Perampasan Aset Tindak Pidana, yang sudah dirancang sejak tahun 1997 (tetapi
yang sampai sekarang belum juga disahkan oleh DPR –entah mengapa!).Tidak, kalau kita mau melihat pada keinginan
masyarakat untuk membendung (menangkal) korupsi dan tidak membiarkan adanya
pendapat bahwa di Indonesia “korupsi itu menguntungkan” (in Indonesia corruption does pay).
Konsep dasar perampasan aset ini adalah bahwa harus dimungkinkan
untuk merampas harta-kekayaan koruptor,
meskipun para koruptor ini a) dinyatakan
bebas oleh pengadilan (karena tidak
terbukti), atau b) wafat selama sidang
belum selesai (sebelum putusan pengadilan berkekuatan-pasti/in kracht van gewijsde), atau c) terdakwa melarikan-diri (ke luar negeri) sebelum sidang selesai (yang
terakhir ini membawa pula persoalan peradilan in absentia). Ketiga kemungkinan ini menyulitkan penggunaan pasal
10 jo. pasal-pasal 39 – 42 KUHP dan pasal 194 KUHAP.
Karena terdakwa
tidak dapat dijadikan pihak dalam perkara pidana tersebut, maka sebagai
alternatif harta-kekayaannya yang menjadi sasaran perampasan dan harus dapat diajukan ke pengadilan.
Konsep yang dipergunakan adalah in rem
action (gugatan terhadap benda – sebagai lawan dari action in personam – gugatan terhadap person/manusia).
In Rem Action[5]
Gugatan terhadap benda,
menurut hukum perdata Indonesia (yang diwarisi dari Hindia Belanda), umumnya
dilakukan terhadap “barang atau benda tidak-bertuan/tidak diketahui pemiliknya”.
Pada masa-masa setelah Perang Dunia Kedua (1942-1945) dan Perang Kemerdekaan
(1945-1950) selesai, maka banyak aset/harta yang ditinggalkan oleh pemiliknya yang
harus diselesaikan status hukumnya (perhiasan dalam lemari besi bank; saham-atas-unjuk;
rumah; tanah; perkebunan) – caranya adalah dengan meminta kepada Pengadilan
Negeri menyatakannya sebagai milik negara.
Dalam hal aset/harta koruptor,
maka apa alasannya untuk meminta pengadilan menyatakannya sebagai milik-negara,
bila tidak ada putusan peradilan pidana ? Konstruksi hukumnya adalah untuk
menggugatnya sebagai aset/harta yang “secara
hukum tercemar” (legally tainted)- Mengapa ? Karena terdakwa dalam sidang
pengadilan tidak dapat membuktikan
bahwa dia telah memiliki harta-kekayaan tersebut secara sah menurut hukum – karena
itu kuat
dugaan bahwa aset tersebut adalah hasil kejahatan korupsi. Bagaimana
memperkuat dugaan ini ? Yaitu dengan proses
“reversal of the burden of proof”( pembalikan
beban pembuktian). Atas
permintaan JPU, maka Terdakwa korupsi diminta membuktikan sahnya prosedur hukum dia dalam memiliki aset/harta kekayaan tersebut.
Pembalikan beban
pembuktian[6]
Salah satu asas utama dalam hukum pidana adalah “siapa yang menuduh/ mendakwa dialah yang harus membuktikan tuduhan/ dakwaannya”. Asas ini adalah
pelengkap dari asas “praduga tidak
bersalah”. Namun, pembalikan beban
pembuktian sama sekali tidak
berhubungan dengan kedua asas tersebut. Kedua asas di atas berhubungan dengan “kesalahan seorang Terdakwa” – padahal
dalam “pembalikan beban pembuktian”, yang
dipermasalahkan adalah “kesahan/sahnya pemilikan suatu aset/barang/harta-kekayaan” – apakah
terdakwa/koruptor dapat menjelaskan prosedur
pemilikannya atas aset tersebut ? Bilamana tidak, maka aset tersebut harus dianggap “cacat secara
hukum” prosedur pemilikannya dan karena itu dianggap “aset yang tercemar
(secara hukum – legally tainted property)”. Aset koruptor seperti ini, melalui prosedur “NCB Asset Forfeiture” ,yaitu gugatan in rem dalam pengadilan
perdata, dimintakan putusan hakim untuk dinyatakan sebagai “menjadi
milik-negara”. Dan koruptor tersebut, seandainya pun ia bebas, wafat
atau melarkan diri ke luar negeri, harus dianggap melalui “aset-tercemar” itu
telah melakukan “illicit enrichment”-
“memperkaya-diri secara haram”(seingat saya konsep ini ada dalam UU Pencucian
Uang). Apakah ini merupakan akan merupakan tindak pidana tersendiri, tergantung
pada hukum positif kita (undang-undang dan yurisprudensi).
Aset berada di Luar Negeri
– MLA dan StAR
Prosedur di atas adalah “relatif sederhana”, kalau
aset/harta tersebut terdapat di dalam negeri. Tetapi bagaimana bilamana aset/harta
berada di luar negeri ? Disinilah pentingnya perjanjian-bilateral/multilateral MLA (Mutual Legal Assistance)[7].
Melalui perjanjian MLA ini Indonesia dapat meminta bantuan dalam “merampas”
aset/harta koruptor Indonesia” yang dilarikan atau di “parkir” di luar negeri.
Salah satu “prosedur” yang di “bayangkan” oleh PBB adalah melalui StAR (Stolen Asset Recovery) Initiative yang diluncurkan Juni 2007. Inisiatif StAR ini adalah dari Kelompok Bank Dunia (Governance and Anti-Corruption Strategy
World Bank Group). Tujuannya adalah mencari dan memberi bantuan kepada negara-negara
berkembang dalam pengembalian “aset-curian” (hasil korupsi pejabat negara) yang
dilarikan ke luar negeri (umumnya dibawa ke negara-negara maju). Salah satu
kesulitan dalam pelaksanaan MLA dan StAR ini adalah perbedaan dalam sistem
hukum negara-negara yang terlibat (negara-peminta dan negara-pemberi bantuan).[8]
Indonesia masih mempunyai masalah yang lain lagi (disamping
sistem hukum yang berbeda), yaitu keragu-raguan pengadilan di luar negeri
tentang telah berlangsungnya due process
of law dalam kita mengadili seorang koruptor (atau aset/hartanya) –
misalnya tentang “judicial independency” dan
“peradilan in absentia”. Kendala-kendala
seperti ini harus dapat kita selesaikan di Indonesia secepatnya.
Ternyata pengembalian “aset-curian” korupsi juga
tidaklah mudah dan memakan waktu lama. Contoh adalah Philipina dalam upaya
pengembalian aset mantan Presiden Marcos
yang di”parkir” (disembunyikan) di Amerika Serikat dan Eropa. Di Swiss proses
melepas uang di Bank dimulai tahun 1986
dan baru berhasil ditransfer ke
Philipina tahun 2003, dan hanya sebesar
624 juta US Dollar (belum dipotong biaya proses hukum). Umumnya uang curian ini
disimpan di pusat-pusat finansial di negara-negara maju. Negara maju tentu juga
tidak mudah melepaskan harta kekayaan yang terkait dengan perekonomian warga
negaranya tersebut. Diperlukan proses hukum melalui peradilan negara tersebut
yang akan menilai proses hukum yang telah berlangsung di Indonesia, yang kita
ajukan sebagai bagian dari bukti. Perlawanan dari pihak ketiga (bukan
Terpidana/Koruptor kita) sebagai “innocent
owner” (pihak ke-3 beriktikad baik)
juga harus diperhitungkan. Kendala-kendala seperti ini harus diperhitungkan
dari sekarang, a.l dengan mempunyai sejumlah tenaga ahli hukum –penyidik dan
penuntut umum- di Indonesia yang mahir menguasai bahasa asing negara di mana
kekayaan tersebut disembunyikan (agar mudah komunikasi ke luar negeri). Juga
Kejaksaan Agung kita harus punya tenaga-tenaga ahli yang mau dan mampu
mempelajari hukum negara-negara asing tersebut, agar tidak hanya tergantung
pada advokat asing (yang mahal biayanya dan akhirnya menghabiskan keuangan negara).[9]
-00O00-
*Makalah telah disampaikan pada Seminar Nasional “National
Moot Court Competition” - Piala Jaksa Agung III ; Kerjasama Fakultas Hukum Universitas
Pancasila dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
[1] Banyaknya kasus yang terungkap, dapat juga ditafsirkan sebagai keberhasilan penegak hukum membongkar
kasus-kasus korupsi yang “merajalela” di seluruh Nusantara kita.
[2] Dalam Era Reformasi kita mulai dengan UU 28/1999 tentang Pemerintah
Yang Bersih dan Bebas KKN.
[3] Tanpa disita, pada dasarnya aset-koruptor tidak dapat dirampas.
Harus diusahakan agar alat penegak hukum lebih cekatan mencari
“aset-tersembunyi”, kalau tidak, maka koruptor akan tetap “untung”. Bagaimana
dengan mengumumkan secara lebih luas LHK-PN seorang pejabat negara yang didakwa
korupsi ? Diharapkan akan ada whistleblower
yang memberitahu JPU adanya “aset2 tersembunyi”.
[4] Buku yang baik dibaca adalah Stefan D.Cassela, 2007, Asset
Forfeiture Law in the United States, New York: Juris Net,LLC, terutama Part II:Administrative and Civil Forfeiture;
hal.93 dst-nya.
[5] In Rem (Lat)-merupakan
gugatan hk acara perdata terhadap benda (Res)
– tujuan gugatan ini adalah penentuan status properti/harta kekayaan;
dibedakan dengan gugatan In Personam (Lat)
terhadap orang. Ada RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yang pernah coba dituntaskan
dalam Rapat Kemhukham di Hotel Salak Bogor Agustus 2010 – tetapi sampai
sekarang belum dibahas DPR.
[6] Konsep hukum tentang kewajiban Terdakwa membuktikan sahnya
harta-kekayaan, dan bukan menjadi kewajiban JPU (“pembuktian terbalik”), sudah ada dalam UU
Korupsi (2001) dan UU Pencucian Uang (2003).
[7] Untuk kerjasama internasional dalam pengembalian aset, lihat Theodore
S.Greenberg dkk dalam Stolen Asset Recovery,Good Practice Guide,2009,
hal.95 – 107 (dalam buku terjemahan),Bank Dunia. Indonesia sendiri punya UU No
1/2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana dan karena itu juga
terikat pada StAR Inisiatif.
[8] Tahun 2004 juga telah disepakati Treaty on MLA in Criminal Matters Among ASEAN Countries – pesertanya
adalah: Brunei Darrussalam – Indonesia – Kamboja – Laos – Malaysia – Philipina
–Singapura – Viet Nam – dan Myanmar.
[9] Lihat selanjutnya Mardjono Reksodiputro,2010, “Tentang Perampasan
Aset Tindak Pidana Sebagai Kebijakan Kriminal”
dan 2011, “Beberapa Catatan
Singkat Tentang Pembuktian Terbalik Dikaitkan Dengan Perampasan Aset Dalam
Kasus Delik Pencucian Uang”- keduanya makalah untuk Seminar PPATK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar