Pengantar(1)
Dua tahun terakhir ini (antara tahun
2004 dan 2006) telah terjadi pengubahan paradigma (kerangka berpikir)
kepolisian (sebagai organisasi) yang signifikan. Perubahan (peralihan) tersebut
tentunya memerlukan proses, tetapi langkah awal telah terayunkan dengan ucapan
Kapolri Drs. Sutanto yang menginginkan perubahan pada: “… pola pemolisian yang
konvensional … reaktif dalam birokrasi paternalistik … yang lebih menekankan
pada crime fighter dan law enforcement, menuju pemolisian yang proaktif dan
bersikap problem solving, … menekankan pada crime prevention dan … mengurangi
rasa ketakutan akan adanya kriminalitas, dan senantiasa berupaya untuk
meningkatkan kualitas hidup masyarakat…”(2)
Dalam makalah ini berturut-turut saya
ingin membicarakan tentang polisi-sipil, tantangan abad ke-21 dan mengenai
program magister serta doktor dalam pendidikan kepolisian.
Polisi sipil:
mengapa perlu ditekankan?
Paradigma baru di atas menekankan (kalau
boleh saya tafsirkan) bahwa yang utama dalam tugas kepolisian adalah crime
prevention dan mengurangi fear of crime! Ini tidak berarti bahwa criminal law
enforcement, dimana tugas polisi adalah sebagai crime fighter tidak
atau kurang penting. Mengambil misal
dunia ilmu kesehatan, maka “pengobatan penyakit pasien” tetap penting, tetapi
bukankah lebih utama para dokter membantu masyarakat untuk hidup sehat (preventive
medicine)?
Dalam makalah-makalah yang lalu saya
sering menggambarkan ambivalensi
masyarakat terhadap peran dan fungsi polisi dengan merujuk pada dua muka
(penampilan) polisi: “muka angker” dan “muka tersenyum”. Saya ingin
menghubungkan kedua penampilan polisi ini dengan fungsi polisi melakukan “penegakan
hukum” (criminal law enforcement) dan “pemeliharaan
keamanan dan ketertiban” (maintenance of safety and order).
Untuk fungsi pertama, memang
perlu “muka angker” dan sosok polisi profesional yang berani, menghargai
atasan, dapat dipercaya menyelesaikan tugas dan taat pada perintah. Karakter seorang polisi yang diperoleh
melalui suatu birokrasi yang mempunyai “quasimilitary administrative
structure”. Pendidikan kepolisian yang lalu, terutama sejak 1967 atau
masuknya Kepolisian sebagai unsur ABRI, adalah memang sama dengan militer.
Kebudayaan militer yang sangat menekankan ketaatan pada perintah atasan
(disiplin militer) dan tidak membenarkan adanya pertimbangan dan diskresi
individu militer, menurut saya tidak perlu untuk seluruh jajaran kepolisian.
Mungkin hanya sebagian kecil anggota polisi yang memang disiapkan dengan
disiplin seperti itu. Kelompok polisi khusus inipun masih tetap harus
diingatkan bahwa mereka “polisi sipil”, yang meskipun sedang “bertempur” dengan
penjahat tidak dibenarkan “tembak-mati”, tetapi sekedar hanya “tembak-lumpuh”
(tembak untuk melumpuhkan, bukan untuk membunuh!)(3)
Sedangkan dalam hal fungsi kedua,
pemeliharaan keamanan dan ketertiban, saya mempergunakan istilah “penyelesaian
masalah” (problem solving) atau mungkin sekarang saya lebih cenderung
memakai istilah conflict management.
Dalam conflict management kita perlu polisi profesional dengan
“muka tersenyum”. Sosok polisi ideal disini adalah seorang yang pandai
(inteligen), mempunyai “akal sehat” (common sense), menunjukkan
keramahan (friendliness), mau menghargai warga individu (courtesy)
dan punya kesabaran (patience).(4) Untuk sebagian besar pekerjaan seorang
polisi: menerima laporan atau pengaduan warga (korban), mengatur lalu-lintas ,
menjaga ketertiban di tempat umum (stasiun, pasar) dan melakukan patroli
(sepeda, sepeda motor dan mobil), maka polisi-sipil dengan muka-tersenyum ini
yang diperlukan. Apalagi bilamana polisi mengutamakan “pencegahan” masalah yang
cenderung membawa konflik. Pemahaman tentang permasalahan warga dan
komunitinya, tidak saja masalah ekonomi (pengangguran, kemiskinan) atau hukum
(hukum pidana), tetapi juga masalah-masalah sosial-kultural perlu diperolehnya,
agar dapat menjadi “orang pandai dengan akal-sehat”.
Pindah dari paradigma yang mengutamakan “crime
fighter” dan “law enforcement”, ke paradigma yang menekankan pada “crime
prevention” dan “conflict
management” memerlukan keterbukaan untuk mendiskusikan konsep polisi-sipil
ini (yang bukan hanya berarti polisi-mandiri di luar ABRI).
Tantangan pada ilmu kepolisian dalam abad ke-21
Tantangan jangka-pendek dari ilmu
kepolisian Indonesia adalah bagaimana melakukan transformasi dari paradigma
lama ke paradigma baru tersebut di atas. Tantangan jangka-panjang adalah
permasalahan globalisasi (kaburnya batas-batas negara dan pengaruh teknologi
informasi) serta permasalahan reformasi di Indonesia (perjuangan untuk mencapai
masyarakat demokratis).
Orang bijak
mengatakan : “perjalanan seribu mil harus dimulai dengan satu langkah
pertama”. Sekarang ini langkah pertama sudah diayunkan oleh Kapolri
Sutanto, sedangkan dalam 10 tahun keberadaannya Program Studi Kajian Ilmu
Kepolisian Universitas Indonesia (PS KIK-UI) telah menghasilkan lebih dari 250
Magister Ilmu Kepolisian (S-2 KIK). Pernah saya katakana bahwa saya “mengharapkan
angkatan muda perwira Polri mempunyai kecenderungan dalam hati (niat kuat,
calling) untuk mengubah secara teratur organisasi Polri, ke arah kepolisian
sipil”. Karena itu, menurut saya, transformasi dari paradigma lama
ke baru, mungkin dapat selesai dalam 2-3 tahun y.a.d. ini. Karena itulah
saya memakai judul tambahan tersebut di atas : “Mengharapkan Keterpanggilan
Angkatan Muda Polri Dalam Transformasi Organisasi Kepolisian”.(5)
Tantangan
jangka-panjang, khususnya permasalahan globalisasi, memerlukan (menurut
pandangan saya) hubungan polisi dengan masyarakat yang erat. Perbatasan
Indonesia yang sangat panjang dan keterbatasan kita untuk memonitor dengan baik
pengaruh “buruk” teknologi informasi, meng-haruskan polisi benar-benar bermitra
dengan masyarakat.
Tetapi ambivalensi masyarakat terjadi
pula disini. Polisi juga menunjukkan ambivalensi ini. Fungsi penegakkan hukum (law
enforcement) oleh polisi ditafsirkan sebagai kewajiban masyarakat
membantu polisi mengendalikan kejahatan, memberi kesaksian pada penyidikan
kejahatan dan melaporkan bilamana ada orang-orang yang mencurigakan dalam
lingkungan tempat tinggal atau pekerjaan warga. Ini adalah orientasi lama dari
Binkamtibmas! Bilamana dipergunakan
fungsi penyelesaian masalah (problem solving) maka kemitraan
polisi-masyarakat akan berbeda, yaitu saling membantu sebagai mitra-sederajat.
Apabila polisi mencari informasi, maka sifatnya adalah timbal-balik (mutual
exchange) dan bukan semata-mata sebagai bagian dari kegiatan
intelejen-polisi. Keinginan Kapolri
untuk menggiatkan “pemolisian komuniti” (community policing) dan makin
dipahaminya konsep sekaligus strategi ini oleh kalangan kepolisian, merupakan
kemajuan besar dalam menafsirkan hubungan kemitraan polisi-sipil dengan
masyarakat (dengan komunitinya). Dalam pendekatan “problem solving”,
hubungan ini didasarkan pada saling mempercayai dan menghormati (mutual
trust and respect), dimana masyarakat diberdayakan untuk melindungi diri,
dan “membantu polisi”, dan akan diartikan oleh warga sebagai membantu diri
sendiri menciptakan komunitas yang lebih baik untuk kehidupan seluruh warga. (6)
Kalau tadi kita bicarakan tentang
tantangan dalam rangka globalisasi, khususnya yang berhubungan dengan pengaruh
dan aktivitas dari luar Indonesia dan dikaitkan dengan batas negara serta
teknologi informasi, maka agak lain adalah tantangan yang dibawa oleh gerakan
reformasi di Indonesia sejak 1997/1998. Dalam reformasi ini sangat dikedepankan
cita-cita pemerintahan demokrastis, dengan dua unsur utamanya, yaitu: asas
kebebasan dan asas persamaan. Organ kepolisian diharapkan dapat melindungi
kedua asas ini. Asas kebebasan mengandung a.l.: kebebasan menyatakan
pikiran dan pendapat, kebebasan berkelompok dengan orang-orang yang sepaham,
dan kebebasan warga mengatur hidupnya sesuai dengan keyakinannya. Dalam asas persamaan
terkandung a.l. persamaan di muka hukum untuk semua warga (berarti tidak
ada keistimewaan untuk kategori warga tertentu, baik menurut keturunan, agama,
suku, jender, dsb-nya).(7)
Kesimpulan saya menghadapi
tantangan-tantangan abad ke-21 ini, adalah perlunya kita mempersiapkan sosok
polisi dengan “wajah tersenyum” dan profesional, yang mampu menghadapi
masyarakat Indonesia yang kompleks (ruwet) dan majemuk ini. Sosok polisi
Indonesia ini juga harus bersikap positif terhadap asas kebebasan dan asas
persamaan, meskipun kadang-kadang tidak mudah seperti terlihat dalam berbagai
peristiwa konflik yang terjadi dalam masyarakat kita (misalnya di: Aceh, Ambon,
Sambas, Poso dan Papua).
Pendidikan Magister dan Doktor Ilmu Kepolisian
Pendidikan Sarjana
Ilmu Kepolisian, telah mengalami perubahan yang cukup besar sejak tahun 1980,
dengan penekanan pada matakuliah ilmu-ilmu sosial dalam kurikulumnya, atas prakarsa
Prof. Harsja W. Bachtiar (dekan PTIK: 1980-1987). Tahun
1996, Prof. Awaluddin Djamin meneruskan cita-cita Prof. Harsja W. Bachtiar
(wafat Desember 1995) dengan membuka Program
Magister (S-2) Ilmu Kepolisian di Universitas Indonesia. Empat tahun kemudian
(tahun 2000) atas dorongan Prof. Parsudi Suparlan dan dengan persetujuan Ketua
Program Pascasarjana (PPs) Universitas Indonesia Prof. Wahyuning Ramelan, maka
Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian (PS KIK) membuka Program Doktor Ilmu Kepolisian.
Berkat ketekunan
kerja para mahasiswanya, maka hasil program magister ini tidak mengecewakan.
Hingga saat ini telah dihasilkan 264 Magister Ilmu Kepolisian (Msi) yang
tersebar di seluruh Indonesia (berasal dari sepuluh angkatan, dengan jumlah
mahasiswa: 289 orang). Program Doktor pun tidak mengecewakan, melalui tiga
angkatan: 2001, 2002 dan 2003 dengan 15 peserta, telah lulus: 3 doktor (2 dari
luar kepolisian), dan yang diharapkan selesai tahun 2006 ini ada 2 orang lagi.
Mengapa hal
tersebut di atas perlu diungkapkan? Dalam makalah yang terdahulu saya
mengharapkan bahwa dalam jajaran kepolisian ini akan terdapat juga “polisi
intelektual”. Yang utama disini bukanlah gelarnya Msi atau Dr, tetapi
kualitas sosok polisi tersebut. Sesuai dengan pembaharuan paradigma Polri oleh
Kapolri Sutanto, serta keinginan untuk memodernisasi Polri dengan a.l. konsep
Pemolisian Komuniti, maka saya berpendapat :
“Yang
dimaksud dengan seorang polisi intelektual adalah yang mampu dan mau melakukan
studi tentang masalah-masalah warga dalam komuniti di mana dia bertugas,
melakukan refleksi atas pekerjaan kepolisian (pemolisian), yang telah
dilakukannya, dan secara kreatif dapat “berspekulasi” tentang sebab-sebab
masalah tersebut dan mencari solusi bersama-sama anggota komuniti bersangkutan”.(8)
Mudah-mudahan
harapan tentang sosok polisi intelektual ini tidaklah berlebihan, karena dalam
catatan saya untuk kurikulum pendidikan Polri, saya pernah menulis tentang PS
KIK-UI: (9)
“Para
lulusan program ini diharapkan sudah ada kemampuan melakukan pendekatan
interdisiplin (keterbukaan pada disiplin non-kepolisian), pemecahan masalah,
serta merancang dan melaksanakan penelitian mandiri”.
Harapan ini mengacu pada dua rujukan, pertama dari Prof.
Harsja W. Bachtiar dan kedua dari Prof. Parsudi Suparlan. Adapun Harsja W.
Bachtiar menulis:(10)
“(perkembangan ilmu kepolisian di Indonesia, harus) … berakar
pada kenyataan di masyarakat dan kebudayaan Indonesia sendiri sesuai dengan
masalah-masalah di lapangan yang dihadapi anggota-anggota kepolisian …” (dan
akhirnya beliau meminta agar ilmu pengetahuan ini juga berusaha)” … untuk
mengembangkan suatu kerangka teori yang sesuai dengan tata keteraturan berpikir
logika dan juga sesuai dengan kenyataan … di Indonesia”.
(selanjutnya beliau berharap agar kita semua)” … berusaha
jauh lebih banyak agar Ilmu Kepolisian … dapat sungguh-sungguh disejajarkan
sama dengan pengetahuan keahlian profesi-profesi yang sekarang ini jauh lebih
maju”.
Mengenai pengertian
Ilmu Kepolisian ini, PS KIK-PPs Universitas Indonesia telah sepakat
mempergunakan definisi yang diajukan Parsudi Suparlan dalam tahun 1999,
yaitu: (11)
“Sebuah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari
masalah-masalah sosial dan isu-isu penting untuk pengelolaan keteraturan sosial
dan moral dari masyarakat., (dan juga)
mempelajari upaya-upaya penegakan hukum dan keadilan (serta) dan
mempelajari teknik-teknik penyelidikan dan penyidikan berbagai tindak kejahatan
serta cara-cara pencegahannya”.
Pendekatan yang
diambil dalam pembinaan kurikulum PS KIK adalah dengan berpedoman
kutipan-kutipan di atas. Seperti pernah saya tulis
pada awal bulan ini: (12)
“Pada
awal dan pertengahan abad ke-20 (1930-1950) pengertian Police Science memang
cenderung didiskusikan melalui pendekatan criminal law enforcement through
scientific crime detection and criminal investigation
(Rollin M. Perkins, 1942). Tetapi menjelang akhir abad ke-20 (1960-1980)
pengertian Police Science juga berkembang ke arah pendekatan social sciences
(ilmu-ilmu sosial), seperti criminology (social deviance), police
(public) administration, forensic psychology dan criminal justice (John
Jay College of Criminal Justice, SUNY, 1964),”
Penutup
Saya ingin
menyimpulkan pemikiran di atas, dengan pandangan sebagai berikut:
(1) Diperlukan
keterpanggilan angkatan muda Polri untuk melaksanakan transformasi kepolisian
Indonesia. Panggilan jiwa atau kecenderungan hati ini bermaksud mengerjakan
suatu pekerjaan mulia, membangun polisi-sipil. Melalui transformasi dilakukan
pengubahan yang teratur (ajek), dalam era Reformasi Indonesia.
(2) Untuk
dapat menghadapi tantangan abad ke-21, maka Polri harus mempersiapkan
kader-kader pimpinan yang mempunyai visi, berani melakukan introspeksi dan mau
memahami kompleksitas dan kemajemukan masyarakat Indonesia.
(3) Profesionalisme
Polri yang merupakan tuntutan masyarakat harus dilandasi oleh kemajuan
pengembangan Ilmu Kepolisian Indonesia, agar dapat disejajarkan dengan
pengetahuan keahlian profesi lainnya di Indonesia.(13)
(4) Pembaharuan
pendidikan tinggi kepolisian di Indonesia (program sarjana, magister dan
doktor), harus terus dilakukan, khususnya untuk pendidikan perwira Polri, baik
di lingkungan universitas maupun di luar lingkungan universitas.
*Tulisan ini telah disampaikan
dalam Seminar Dasawarsa Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian - UI dengan
tema “Ilmu Kepolisian dan Implementasinya dalam Tugas Polri” (Jakarta,
12 September 2006).
(1) Tulisan ini telah disampaikan dalam Seminar
Dasawarsa PS KIK-UI tanggal 12 September 2006. sebagian materi tulisan ini juga
telah pernah disampaikan. Lihat Mardjono Reksodiputro, 2004, “Ilmu
Kepolisian dan Perkembangannya Di Indonesia”, (2 September); dan 2006, “Pembaharuan
Pendidikan Tinggi Kepolisian Di Indonesia Menghadapi Tantangan Abad Ke-21 –
Tantangan Globalisasi dan Reformasi”, (31 Mei); serta
“Keterpanggilan Angkatan Muda Polri Dalam Transformasi Organisasi Kepolisian”,
(4 September).
(2) Kata Pengantar (hal. ix) dalam buku POLRI
Menuju Era Baru, Pacu Kinerja Tingkatkan Citra – Refleksi Pemikiran Jenderal
Polisi Drs. Sutanto, 2005, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian
(YPKIK).
(3)
Untuk bahan bandingan terhadap pandangan ini, baca juga Jerome H.
Skolnick & James J. Fyfe, 1994, Above The Law: Police and The Excessive
Use of Force, terjemahan/suntingan Jen. Pol (Purn) Drs. Kunarto, 2000, Brutalitas
Polisi: Penggunaan Kekerasan Yang Berlebihan, khususnya Bab VI :”Polisi
sebagai Prajurit”, Jakarta: Cipta Manunggal.
(4) Mardjono Reksodiputro, 2004, Op.cit,
hal,. 14-15.
(5) Mardjono Reksodiputro (4
September 2006), Op,cit., hal. 4.
(6) Mardjono Reksodiputro,
2004, Op.cit, hal. 15-16.
(7) Mardjono Reksodiputro (31
Mei 2006), op.cit,
hal. 4-5.
(8) Loc.cit., hal. 5.
(9) Ibid.
(10) Harsja W.
Bachtiar, 1994, Ilmu Kepolisian, Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan Yang Baru,
hal. 36.
(11) Parsudi Suparlan,
2001, “Kajian Ilmu Kepolisian”, dalam Parsudi Suparlan (Edtior), 2004, Bunga
Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, YPKIK, hal. 12.
(12) Mardjono Reksodiputro (4 September 2006), hal. 2 (butir
2).
(13) Saya berpendapat bahwa anggota polisi untuk
dapat bertindak profesional harus punya kemahiran (skill) dan
pengetahuan (knowledge) yang
khusus, yang diperoleh melalui persiapan akademik dalam ilmu pengetahuan
tertentu. Kata “profesional” disini bukan dalam arti lawan kata
“amatir”, tetapi mengandung makna keterkaitan pada suatu :”profesi akademik”
(suatu “learned profession”), setara dengan profesi dokter, advokat,
akuntan, apoteker, insinyur, dll. Lihat pula Mardjono Reksodiputro (31 Mei
2006), Op.cit. hal. 2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar