Kamis, 05 September 2019

Makalah Pengarah Seminar Nasional: Mendorong Pendekatan Keadilan Restoratif Dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia




Pengantar
Keadilan Restoratif (Restorative Justice) bukan hal baru lagi di Indonesia. Berbagai tulisan dan diskusi telah disampaikan mengenai hal ini. Dari TOR yang disampaikan Panitia saya menyimpulkan bahwa  kali ini “keadilan restoratif” (selanjutnya K-R) ingin didekati dengan sudut pandang “korban-kejahatan” (K-K). Dan dalam sesi ke-1,diskusi ingin menggali bagaimana K-R dapat membantu pemberian keadilan kepada K-K. Sedangkan dalam sesi ke-2 diharapkan dapat didiskusikan cara mencegah terjadinya “K-K berulang”.

K-R memang penting dikaitkan dengan K-K, karena memang K-R dikatakan terbentuk antara lain sebagai kritik terhadap Sistem Peradilan Pidana yang cenderung mengabaikan peranan korban. Dan dalam situasi sekarang di mana DPR dengan Pemerintah berada dalam tahap terakhir mendiskusikan suatu Rancangan KUHP Nasional, yang akan merupakan pembaruan Hukum Pidana di Indonesia, maka sudah tepat bahwa gagasan K-R dengan sudut pandang K-K kita diskusikan di seminar ini..

Tentang Korban Kejahatan
Perhatian internasional terhadap K-K dalam Sistem Peradilan Pidana, tercatat sudah ada sejak tahun 1940-an, misalnya oleh ahli kriminologi Hans von Hentig (1949) dan Benjamin Mendelsohn (1956). Dalam periode ini sejumlah tokoh kriminologi internasional sudah meminta perhatian dan memperjuangkan agar korban dberikan pula perlakuan adil dari masyarakat, dibanding perhatian yang sangat besar yang telah diberikan oleh para ahli kriminologi kepada hak-hak tertuduh dan narapidana, sebagai akibat diterimanya pemikiran bahwa tujuan pemidanaan adalah rehabilitasi pelanggar hukum (dan bukan bertujuan pembalasan dendam). Kemudian perhatian dunia ilmu pengetahuan mulai meningkat pula dengan dilangsungkannya Simposium Internasional Pertama tentang Viktimologi (1973) yang diselenggarakan oleh World Society of Victimology. Sejak itu penelitian tentang korban delik mendapat perhatian serius, antara lain tentang: peranan korban dalam terjadinya delik, hubungan antara pelaku dengan korban delik, mengenai mudah “diserangnya” korban, kemungkinan menjadi korban-kembali/terulang, peranan korban dalam proses peradilan pidana, ketakutan korban terhadap terulangnya kejahatan, sikap korban terhadap peraturan hukum pidana dan acara pidana serta proses penegakan hukum pada umumnya.[1]

Dalam kaitan penelitian seperti ini timbullah pemahaman tentang posisi korban dalam suatu peristiwa kejahatan, antara lain adanya “latent victims” (mereka yang lebih cenderung menjadi korban daripada orang lain, seperti: anak-anak dan perempuan) dan “victim-prone occupations” (pekerjaan yang cenderung lebih banyak menimbulkan korban, seperti: supir taxi dan pelacur). Studi-studi seperti ini bertujuan untuk melaksanakan usaha perlindungan dan pencegahan warga masyarakat menjadi  korban. Penelitian juga menunjuk adanya perbedaan dalam derajat kesalahan pada diri korban, seperti: yang sama sekali tidak bersalah – yang menjadi korban karena kelalaiannya – yang sama salahnya dengan pelaku – yang lebih bersalah daripada pelaku – dan di mana korban adalah satu-satunya yang bersalah. Selanjurnya studi-studi dalam bentuk “survai terhadap korban” (victim surveys) juga menjadi penting, karena antara lain dapat mengungkapkan: bagaimana masyarakat yang pernah jadi korban bersikap terhadap masalah kejahatan, misalnya: mengapa mereka tidak melapor – bagaimana risiko seseorang untuk menjadi korban-kejahatan – adakah rasa takut dan tidak aman terhadap kemungkinan terulangnya kejahatan pada mereka (meluasnya “fear of crime’).

Di Indonesia perhatian terhadap korban ini dapat ditelusuri dari perhatian kriminolog Paul Moedikdo dengan Teori Dialog-nya (awal 1960-an), dan kemudian diteruskan oleh kriminolog Arif Gosita dengan makalahnya dalam Seminar Kriminologi Ke-III (Oktober 1976) di Universitas Diponegoro, Semarang. Juga PBB telah memberi perhatiannya kepada masalah korban ini dengan menerbitkan UN Declaration on the Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power (1985). Dan dalam tahun 2002 diselenggarakan suatu Seminar Khusus tentang Victims and Criminal Justice – Asian Perspective, di Keio University di Jepang, di mana diajukan dua makalah dari Indonesia oleh Purnianti “Protection of Female Victim of Violence in Indonesia” , dan oleh Mardjono Reksodiputro dan Mudzakkir “Victimization in Indonesia: An Expensive Lesson”.[2] Dalam tahun 2011 Departemen Kriminologi FISIP-UI menerbitkan buku yang disunting oleh Prof. Adrianus Meliala, yang berisi 12 karangan para Dosen, berjudul Viktimologi – Bunga Rampai Kajian Tentang Korban Kejahatan.[3]

Gambaran singkat dan pasti tidak lengkap di atas, hanya ingin menjelaskan bahwa perhatian ilmu pengetahuan Kriminologi dan Hukum Pidana di Indonesia terhadap masalah korban-kejahatan ini, sudah berjalan lama. Namun, perhatiannya memang masih sekedar dalam memahami peranan, sikap dan perasaan korban saja. Mengenai kaitannya dengan Restorative Justice (K-R) belum terlihat dalam bahan pustaka di atas. Selanjutnya akan dicoba menjelaskan tentang K-R ini.


Tentang Keadilan Restoratif
Pemahaman tentang situasi yang dihadapi korban tersebut di atas, telah menimbulkan keinginan para ahli kriminologi dan hukum pidana, untuk membangun suatu sistem peradilan pidana yang peka tentang masalah korban (a victim sensitive criminal justice system). Mengapa ? Salah satu alasannya adalah bahwa peranan korban-kejahatan untuk turut-serta menentukan bagaimana proses perkaranya itu, telah ter-abaikan dalam sistem yang berlaku.. Dalam sistem ini korban hanyalah sekedar pelapor dan saksi yang diperlukan negara. Proses selanjutnya telah diambil alih oleh negara, dalam hal ini oleh kepolisian dan kejaksaan. Pertanyaan yang timbul adalah: mengapa korban tidak dapat ikut menentukan jalannya proses penyelesaian perkaranya ? Pengecualian hanya ada pada delik-aduan, di mana proses baru berjalan dengan pengaduan korban, dan yang masih dapat dicabut oleh korban pada tahap sebelum sidang pengadilan. Jawaban yang umum diberikan adalah: bahwa memberikan wewenang kepada korban turut menentukan proses peradilan pidana, akan membuka kesempatan proses yang lebih bersifat emosional (amarah korban dan publik- hal ini dapat menimbulkan “lynch justice”- “main-hakim- sendiri”) dan menghalangi keinginan kita mempunyai sistem peradilan pidana yang bersifat rasional.   

Dalam kriminologi saya ingin merujuk kepada mashab kritikal (critical criminology) di mana terdapat pemikiran tentang “kriminologi konflik”. Menurut mashab kritikal, maka penanggulangan kejahatan (dalam arti luas) seharusnya dapat dilakukan melalui masyarakat yang lebih demokratis (berarti dengan mengurangi proses konflik antara yang “berkuasa” dengan yang “dikuasai”).Dalam mashab kritikal ini terdapat berbagai macam teori kriminologi, yang dapat dinamakan teori-teori konflik-sosial, yang melihat kejahatan itu sebagai fungsi dari konflik-konflik-sosial yang ada dalam masyarakat. Misalnya, dalam tahun 1971, William Chambliss dan Robert Seidman menerbitkan karangan mereka yang terkenal juga di Indonesia: “Law, Order and Power”, yang merupakan referensi pula dari Prof.Satjipto Rahardjo dalam teori hukumnya yang dikenal sebagai :Teori Hukum Progresif. Menurut Chambliss dan Seidman antara lain: “penguasaan atas sistem politik dan ekonomi akan mempengaruhi bagaimana peradilan pidana dilaksanakan, dan definisi tentang kejahatan akan dipengaruhi secara menguntungkan oleh mereka yang menguasai sistem peradilan, oleh karena itu, peranan konflik dalam masyarakat perlu dianalisa oleh ilmu pengetahuan yang netral[4]..

Dengan mendasari pemikiran bahwa konflik-sosial adalah salah satu penyebab kejahatan, maka diajukan pemikiran bahwa dengan meredusir konflik-sosial,kejahatan dapat dikurangi dan salah satu caranya adalah melalui “restorative justice”. Pendekatan K-R ini menekankan pada “non-punitive strategies to prevent and control crime”, dan mengedepankan peranan korban kejahatan dalam mewujudkan strategi ini.[5] Disinilah terdapat hubungan antara Restorative Justice (K-R) dengan Viktimologi (ilmu pengetahuan mengenai korban-kejahatan). 

Eva Achyani Zulfa memandang K-R ini sebagai suatu filosofi pemidanaan.Dan sebagai falsafah ini, K-R dapat diterapkan dengan membingkainya pada berbagai kebijakan, gagasan program dan penanganan perkara pidana. Cara ini diharapkan akan menimbulkan hasil yang menciptkan keadilan bagi pelaku, korban dan masyarakat  dan dengan itu menjawab berbagai masalah yang dihadapi sistem peradilan pidana[6]. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan hukum pidana, maka disinilah harus dilihat hubungan antara Viktimologi, Keadilan Restoratif dan Sistem Peradilan Pidana. Penelitian-penelitian di Indonesia dalam tema ini masih perlu banyak dilakukan.   

Mendorong K-R dalam Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia (Tema seminar ini)
Seperti disampaikan sebelumnya, maka K-R dapat juga didekati dengan pandangan viktimologi, dalam arti bahwa dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP), korban dan orang yang selamat dari suatu kejahatan (survivor) sering kali terlupakan atau terabaikan. Agar SPP memperhatikan pula korban, maka di beberapa negara dalam hukum acara pidananya dinyatakan tentang hak korban untuk mendapat victim impact statement (VIC) dalam sidang peradilannya.Isinya menyatakan kerugian dan penderitaan yang dialami korban akibat kejahatan tersebut. VIC ini harus diperhatikan oleh hakim dalam memberi keputusannya. Dengan memperhatikan VIC, maka hakim dapat memberikan kompensasi (bantuan keuangan dari negara - compensation) dan atau “restitusi” (ganti-rugi dari pelaku - restitution ).Disini, maka K-R digambarkan bertujuan “to restore the health of the community, repair the harm done, meet victim’s needs and require the offender to contribute to those repairs” (mengembalikan kesejahteraan komuniti, memperbaiki kerusakan yang terjadi, dan mewajibkan pelaku untuk turut menyumbang guna perbaikan tersebut). Dasar pemikiran dalam K-R di sini adalah bahwa negara turut bersalah dalam terjadinya kejahatan terhadap seorang warganya.

Pendapat yang lebih keras diajukan oleh John Braithwaite (2003) dalam Principles of Restorative Justice, di mana dikatakannya bahwa dengan Restorative Justice”, perlu diadakan: “a radical redesign of legal institutions, whereby the justice of the people will more meaningfully bubble up into the justice of the law, and the justice of the law will more legimately filter down to place limits on the justice of the people” (diperlukan perombakan radikal dari lembaga-lembaga hukum, agar rasa- keadilan-masyarakat akan meresap ke dalam rasa-keadilan-hukum secara lebih berarti, dan rasa-keadilan-hukum akan lebih secara-sah meresap untuk membatasi rasa-keadilan -masyarakat). Pendekatan Braithwaite di sini lebih cenderung menggunakan teori-teori konflik-sosial yang melihat adanya diskriminasi dalam penegakan hukum terhadap kelompok-kelompok “kelas-bawah” (lower class groups).

Kembali kepada pendapat Zulfa Achyani dalam disertasinya, perlu diperhatikan bahwa kehadiran K-R dalam hukum pidana tidak bermaksud mengabolisi hukum pidana, tetapi justru harus dilihat sebagai mengembalikan fungsi hukum pidana pada jalurnya semula, yaitu pada fungsi  ultimum remedium. 




            Penutup
Tidak ada kesimpulan yang akan ditarik dari uraian saya ini, kecuali mengatakan bahwa masih banyak yang perlu diteliti dan  didiskusikan bilamana kita menginginkan agar Hukum Pidana Indonesia (hukum materiil dan hukum formilnya) lebih memperhatikan korban-kejahatan. Namun demikian akan diajukan juga beberapa saran:

A)Mungkin kita dapat mulai dengan memperluas tujuan SPP kita; dari yang tradisional (dengan pendekatan offender centered) yaitu :

1)Mencegah warga masyarakat menjadi korban-kejahatan;
2)Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan
3)Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi kembali kejahatannya;

dengan menambahnya melalui pendekatan korban (optik-korban), misalnya:

4)Memberikan kepada korban hak menerima kompensasi dan restitusi dan melindunginya dari menjadi korban kembali;

B)Tetapi disamping itu, kita juga dapat menyempurnakan KUHP/WvS kita dalam pasal 82 (transaksi tentang hapusnya kewenangan penuntutan) ke dalam pasal baru dalam R-KUHP Nasional yang masih ada di DPR, dengan pasal yang memungkinkan dilakukannya penyelesaian kasus kejahatan diluar jalur peradilan pidana (seperti dalam lembaga diversi pada UU No.11/2012 tentang Peradilan Anak). Contoh dapat diambil dari pasal 74 KUHP Belanda, yang berbunyi (terjemahan bebas intinya): “…Penuntut Umum berwenang sebelum dimulainya sidang pengadilan mengajukan satu atau lebih syarat untuk mencegah penuntutan suatu tindak pidana. Dengan dipenuhinya syarat (-syarat) tersebut, maka kewenangan menuntut menjadi hapus. Adapun syarat (syarat) yang dapat diajukan adalah: …. (di sini dimasukkan syarat-syrat dilakukannya proses Keadilan Restoratif dengan Korban dan Masyarakat).” Namun, dengan melihat kondisi kepercyaan masyarakat terhadap kepolisian dan kejaksaan sekarang ini, maka  K-R ini sebaiknya juga diawasi oleh hakim.

-Sekian dan terima kasih untuk perhatian yang telah diberikan-.


 Universitas Pancasila, Jakarta 17 Juli 2019
          



[1] Lihat Mardjono Reksodiputro, 2007,Kriminologi dan Sistem Peradilan-Kumpulan Karangan –Buku Kedua, Lembaga Kriminologi UI, hlm.71
[2] Tatsuya Ota (Editor),2003, Victims and Criminal Justice – Asian Perspective, Tokyo:Keio University
[3] Adrianus Meliala (Penyunting),2011, Viktimologi – Bunga Rampai Kajian Tentang Korban Kejahatan, Jakarta: Penerbit FISIP UI Press.
[4] Mardjono Reksodiputro (2010), Pemikiran Kriminologi:Restorative Justice, Makalah tidak diterbitkan, disampaikan di Departemen Kriminologi FISIP-UI.
[5] Ibid
[6] Ibid

Pendidikan Hukum di Indonesia dalam Dilema



(Suatu Ajakan untuk Era Revolusi Industri 4.0)

Pengantar
Saya diminta untuk menyumbang suatu karangan untuk buku yang akan terbit sehubungan dengan 70 tahun Prof. Dr Maria Farida Indrati Soeprapto, SH.MH. Bidang ilmu yang beliau tekuni adalah Hukum Konstitusi, dengan pengkhususan pada Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan. Saya mulai kenal beliau sebagai Asisten Dosen Prof.Prajudi gurubesar Ilmu Administrasi Negara pada sekitar tahun 1970-an. Pada waktu itu Dekan FHUI adalah Prof.Padmo Wahjono yang menggantikan Dekan Prof.R. Soekardono. Dan selanjutnya beliau menjadi Asisten Dosen Dr.A.Hamid S.Attamimi[1] yang mengajar matakuliah “Ilmu Pengetahuan Per-UU-an” dan mengintrodusir ke dalam Bahasa Indonesia Hukum, istilah “peraturan perundang-undangan” sebagai terjemahan Bahasa Belanda hukum “wettelijke regels”  dan “wetelijke regeling”. Karangan ini terinspirasi oleh keadaan suasana-politik setelah Pemilu kita 17 April 2019.

Manusia Indonesia
Dalam bulan April tahun 1977 (32 tahun yang lalu) dalam suatu ceramah di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Mochtar Lubis (wartawan senior dan pejuang HAM) membuat geger masyarakat Indonesia dengan kritik tajamnya tentang “manusia Indonesia”. Judul asli ceramah ini adalah “Situasi Manusia Indonesia Kini: Dilihat dari Segi Kebudayaan dan Nilai Manusia”, yang kemudian diterbitkan dibawah judul “Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungan Jawab” (Idayu Press,Jakarta,1977). Pandangan Mochtar Lubis mendapat banyak kritik dalam perdebatan antara teman-teman saya di diskusi-diskusi Lembaga Kriminologi UI di Kampus Salemba. Kebetulan pula pada waktu itu di media cetak banyak diberitakan tentang “kasus Sawito” seorang guru kebatinan Jawa.

Meskipun saya juga merasa “orang Jawa” (ayah kelahiran Rembang dan ibu dari Sumedang, tetapi dibesarkan di Betawi-Jakarta), tetapi saya tidak tersinggung dengan gambaran Mochtar tentang manusia Indonesia dengan “perilaku Jawa”-nya. Ceramah Mochtar kemudian diterjemahkan dengan judul “The Indonesian Dillemma” (Singapore: Graham Brash Ltd, 1983). Saya berpendapat setuju bahwa tahun-tahun pada akhir 1970-an dan awal 1980-an memang merupakan masa di mana masyarakat Indonesia menghadapi “situasi sulit yang mengharuskan orang menentukan pilihan antara dua kemungkinan yang sama-sama tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan – situasi sulit yang membingungkan” – (inilah arti dilema dari Kamus Besar BI,hlm.329). Dan keadaan kebingungan dalam dunia politik dan dunia ekonomi ini dihadapi oleh masyarakat Indonesia yang sedang membangun bangsa dan negaranya.

Saya berpendapat bahwa semacam itulah “dilemma” yang dihadapi kita sekarang ini, pasca Pemilu 17 April 2019. Dan saya merasa bahwa pandangan Mochtar Lubis menjadi relevan kembali dengan 6 (enam) sifat-sifat manusia Indonesia[2] yang menimbulkan “situasi sulit yang membingungkan” ini. Tetapi tulisan saya di bawah ini hanya “menyerempet” (bersinggungan dengan lembut) saja ceramah Mochtar Lubis. Saya ingin bicara tentang pendidikan hukum di Indonesia, atau lebih fokus lagi bicara tentang “Dilema di Indonesia tentang Pendidikan Hukum”.

Dilema Pendidikan Hukum di Indonesia
Dalam tahun 2006 (13 tahun yang lalu), saya menyampaikan penghargaan saya kepada Dekan Padmo Wahjono (1970 -1978), melalui karangan berjudul “Padmo Wahjono Teman Sejawat yang Mendukung Inovasi”[3] .Inovasi yang saya maksudkan dalam karangan tersebut adalah keterbukaan beliau kepada pemikiran di bidang pranata hukum yang menunjang pendidikan tinggi hukum. Pada waktu itu disetujui melepaskan Lembaga Kriminologi dari Fakultas Hukum agar menjadi lembaga multi-disiplin yang independen di bawah Rektor UI di bidang Ilmu-ilmu Forensik (forensic sciences) untuk mendukung sistem peradilan pidana, agar menggunakan ilmu-ilmu forensik dari ahli-ahli independen lembaga  tersebut. Beliau juga menyetujui dibentuknya dua pusat penelitian untuk memajukan ilmu hukum Indonesia, yaitu Pusat Hukum Pidana dan Pusat Hukum Ekonomi (yang kemudian menjadi cikal-bakal dibentuknya Kekhususan Hukum Pidana dan Kekhususan Hukum Ekonomi pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum di Universitas Indonesia). Disetujuinya pula serta diberikannya tempat untuk pendirian Pusat Dokumentasi Hukum yang pendanaannya dibantu oleh Yayasan Asia (The Asia Foundation).Pusat ini dimaksudkan untuk membantu “pencari-hukum” menemukan hukum tertulis yang relevan dengan masalahnya. Gagasan-gagasan di atas dimaksudkan untuk mendorong pendidikan di Fakultas Hukum menjadi lebih relevan dengan perkembangan dunia. Diprakarsai pula oleh beliau agar FHUI mempunyai majalah hukum sendiri yang terbit secara teratur dan memuat tulisan-tulisan para sarjana hukum dari dalam maupun luar FHUI. Beliau menginginkan agar tulisan di bidang hukum dapat membantu pemahaman perlunya pembaruan hukum Indonesia kearah yang lebih sesuai dengan masyarakat Indonesia.Beliau meyakini, bahwa hanya menerjemahkan hukum yang berasal dari masa Hindia-Belanda ke dalam Bahasa Indonesia tidaklah cukup, apalagi kalau norma-norma hukum terjemahan tersebut diajarkan tanpa penilaian dalam pendidikan tinggi hukum kita. FHUI waktu itu mulai merintis kerjasama-erat dengan Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung. Juga dengan para advokat melalui PERADIN. Dalam bidang ekonomi dirintis kerja sama dengan BKPM (Badan Penanaman Modal Asing) dan Sekretariat Kabinet. Pada waktu itu pula dadakan kerjasama di bidang hukum dengan Belanda dan diperoleh kerjasama antar fakultas-fakultas hukum melalui Konsorsium Ilmu Hukum.

Untuk ukuran jaman sekarang (abad ke-21 – tahun 2019) gagasan-gagasan tersebut mungkin dapat dianggap “remeh”, tetapi pada tahun 1970-an (hampir 50 tahun yang lalu), model pendidikan tinggi hukum masih mengacu pada model RH (Rechts Hogeschool). Pada jaman itu pendidikan hukum mulai merasakan awal masuknya penanaman modal asing dengan UU Penanaman Modal Asing (PMA) yang pertama, serta mulai tumbuhnya profesi konsultan hukum yang membantu usaha pemerintah di bidang pembangunan ekonomi. Untuk waktu itu, maka gagasan-gagasan di atas memang membantu menghidupkan dunia hukum di Indonesia dan tentunya juga pendidikan tinggi hukum.

Tetapi apakah pendidikan hukum kita telah terus berkembang dan menghasilkan pemikiran-pemikiran yang cemerlang untuk membantu pembentukan dan pelaksanaan hukum yang adil bagi para pihak yang behadapan di muka pengadilan ? Menurut saya belum, karena sepertinya di dunia hukum Indonesia, “inovasi-hukum” masih dilihat sebagai mimpi atau angan-angan saja. Dalam pemikiran saya di bawah ini adalah beberapa saran atau gagasan untuk melakukan  “inovasi-hukum” di Indonesia, khususnya menghadapi Era Revolusi Industri 4.0 [4]:

1)Perubahan atau penambahan pada kurikulum fakultas/sekolah tinggi hukum <masalahnya adalah perlunya meningkatkan mutu SDM bidang hukum>;

2)Mengajak sejumlah kantor hukum di Jakarta untuk membuat dan mendanai suatu Yayasan mandiri (independen) Pro-bono Hukum <masalahnya adalah kesediaan kantor hukum untuk bekerja sama menyediakan dana bagi bantuan hukum cuma-cuma> ;

3)Mengajak sejumlah kantor hukum di Jakarta untuk membuat dan mendanai suatu Yayasan mandiri (independen) untuk Penelitian Hukum <masalahnya adalah kesediaan kantor hukum untuk bekerjasama dengan fakultas-fakultas hukum menyediakan dana untuk penelitian hukum yang akan membuka cakrawala baru di bidang hukum>;

Di bawah ini pemikiran singkat-sementara tentang saran atau gagasan saya.Untuk mewadahi saran tersebut, saya ingin menempatkannya dalam sebuah rencana Konsorsium Ilmu Hukum membentuk Laboratorium Hukum di setiap fakultas hukum.

Laboratorium Hukum
Salah satu dari sejumlah kritik yang diajukan kepada lulusan fakultas hukum (negeri dan swasta) adalah bahwa mereka sering “kurang-siap bekerja di bidang hukum” (di kantor hukum/law firm, pengadilan dan kejaksaan). Untuk itu mencontoh apa yang dilakukan di beberapa fakultas ekonomi/bisnis (ilmu non- eksakta) yang mempunyai laboratorium (seperti:laboratorium statistik, laboratorium Bursa/Pasar Modal) dan tentunya fakultas bidang ilmu pasti dan ilmu alam (ilmu eksakta) serta ilmu kesehatan, maka dalam tahun 1994, Konsorsium Ilmu Hukum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (disingkat KIH), menawarkan adanya laboratorium hukum (Lab-hukum) .Tentu saja dalam 25 tahun sejak tawaran tersebut, telah terjadi banyak perubahan yang dibawa oleh perkembangan yang pesat di bidang teknologi-komunikasi (seperti internet, e-commerce dan sejenisnya).Tetapi tujuannya tetap sama,yaitu mempersiapkan lulusan melalui pendidikan dengan pendekatan terapan (applied approach), seperti telah dinyatakan dalam tahun 1993 “perlunya perkuliahan diberikan dengan mencakup tidak saja teori, tetapi juga mengenalkan mahasiswa pada ketentuan-ketentuan hukum positif (seperti putusan pengadilan yang memuat pertimbangan hukum hakim yang memuat perubahan atau penambahan atas penafsiran norma hukum lama) dan kasus-kasus yang dianggap menimbulkan perdebatan atau kontroversi dalam masyarakat hukum atau bahan dokumentasi hukum lainnya (seperti misalnya peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan pusat). Bahan-bahan hukum ini tidak dapat ditemukan oleh dosen-dosen dengan mudah, tetapi dapat dipersiapkan oleh staf dosen/asisten dosen yang bekerja di laboratorium hukum. Dengan kemampuan internet dan komputer pencarian dan persiapan bahan ini harusnya sekarang menjadi lebih mudah.

Dikatakan dalam tahun 1994 tugas Lab-Hukum adalah: a)menyelenggarakan pendidikan kemahiran dan b)membina pendidikan hukum dengan pendekatan terapan. Dalam kerngka pemikiran seperti itu, maka Lab-Hukum akan mempunyai unit-unit kerja seperti:
(1)Unit latihan kemahiran berlitigasi  dengan sub-unit “moot court” ;
(2)Unit latihan kemahiran non-litigasi; dan
(3)Unit latihan memberi bantuan kepada orang tidak mampu (legal aid).
Disamping ketiga unit-kerja inti ini, diusulkan pula dua unit- kerja pembantu, yaitu:
4)Unit Penulisan Hukum; dan
5)Unit Pengajaran Bahasa.

   



[1] Prof.Dr.Hamid Attamimi, SH, kemudian disamping menjadi dosen juga menjabat sebagai Wakil Sekretaris Kabinet RI sampai wafatnya. Disertasi beliau berjudul “Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara” (1990).
[2] Menurut saya (secara singkat) enam sifat manusia Indonesia yang digambarkan Mochtar Lubis adalah: hipokrit,tidak satu,kata dengan perbuatan – tidak berani tanggung jawab,selalu salahkan orang lain – masih bersikap feodal,merasa diri paling benar – sangat percaya pada mistik yang bersifat tahyul – lebih percaya pada intuisi dari pada fakta – tidak berani membuat keputusan sendiri, lebih percaya pada bisikan penasihat (dari The Indonesian Dillema, terjemahan Florence Lamoureux, 1983)
[3] Diterbitkan dalam buku Ari Wahjudi Hertanto dan Sugito Sujadi (2007), Mengenang Prof.Padmo Wahjono,SH: Ilmu Negara, Konstitusi dan Keadilan, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm.21 – 41.
[4]Lihat juga tulisan Prof.Sulistyowati Irianto (Maret 2019), “Tantangan Pendidikan Tinggi Hukum di Era 4.0”, diunduh dari <https://kelembagaan.ristekdikti.go.id/> dan tulisan Prof.Mayling Oey-Gardiner (September, 2018), “Tantangan Pendidikan Tinggi Indonesia di Era Disrupsi dan Globalisasi”, diunduh dari <https://www.ristekdikti.go.id/menristekditi-persaingan-global-di-era-revolusi-industri-4-0-semakin-ketat/>