Sabtu, 20 Februari 2016

SPP Terpadu - Keterkaitan antara Penyidik – Penuntut Umum – dan Pengadilan


Pendahuluan

Penentuan bahwa seseorang adalah Tersangka  kejahatan (the charging decision) adalah suatu keputusan yang teramat penting. Akibat yang dialami oleh seseorang Tersangka ini sangat serius. Pertama, hal ini akan sangat membatasi kebebasannya, kedua, ini akan berakibat pada biaya ekonomi, seperti kehilangan penghasilan dan biaya yang diperlukan untuk pembelaannya. Ketiga, dari segi sosial ini juga akan merugikan Tersangka, sementara dia akan kehilangan harga diri dan posisinya dalam masyarakat, tetapi adalah pasti (mungkin untuk selamanya) dia akan kehilangan reputasinya.

Paling tidak perlu ada tiga faktor untuk menentukan bahwa seseorang  dapat dijadikan Tersangka. Pertama, adanya peristiwa yang diyakini merupakan kejahatan. Kedua, ada kemungkinan yang cukup besar  bahwa yang bersangkutan bersalah (probability of guilt – probable cause) dan ketiga, kejahatan (pasal UU atau ketentuan hukum pidana) yang akan dituduhkan kepada Tersangka sudah jelas unsur-unsur yang perlu dibuktikannya.

Faktor pertama mula-mula ditentukan oleh Penyidik melalui bukti fisik ataupun saksi (misalnya adanya seseorang yang mati, ada luka peluru dan saksi melihat orang di tempat kejadian yang dapat dituduh sebagai pembunuh). Tetapi apakah ini  pembunuhan berencana, atau pembunuhan biasa atau karena kesalahan menyebabkan matinya seseorang atau akibat pembelaan diri, masih harus dikumpulkan fakta-faktanya dan dirangkai oleh Penyidik. Faktor kedua, probability of guilt  dan probable cause ditentukan oleh keyakinan JPU apakah dia  berpendapat bahwa perkara itu sudah cukup bukti untuk dibawa ke Pengadilan. Seorang JPU yang profesional akan selalu waspada dan mempertimbangkan kemungkinan Terdakwanya diputuskan Pengadilan tidak terbukti dan bebas, karena kurang bukti (dapat juga berarti seorang yang tidak bersalah dibawa ke pengadilan pidana). Faktor ketiga, berkaitan erat dengan bukti-bukti yang perlu diajukan di Pengadilan dan berkaitan dengan unsur-unsur  perbuatan yang didakwakan. Bukti-bukti ini diperoleh dari Penyidik dan karena itu perlu kerjasama yang erat (a close and professional relationship) antara Penyidik dan JPU untuk menentukan apakah perkara itu sudah siap diajukan ke Pengadilan, dengan harapan kemungkinan besar mendapatkan persetujuan Pengadilan terhadap kesalahan Terdakwa berdasarkan pasal yang didakwakan dan bukti-bukti yang diajukan.

Pengadilan mempunyai fungsi menguji bukti-bukti kesalahan Terdakwa dengan mempertimbangkan pendapat, pembelaan dan bantahan Terdakwa/Advokatnya. Sering dikatakan bahwa setiap kasus yang diajukan di Pengadilan akan mempunyai dua sisi (seperti sebuah mata-uang) dan yang dihadapi oleh Pengadilan adalah suatu “re-konstruksi” dari suatu peristiwa yang telah terjadi pada suatu waktu yang sudah lama berlalu (terjadi beberapa bulan atau beberapa tahun yang lalu). JPU dengan bukti-buktinya mencoba merekonstruksikan satu sisi dari peristiwa yang lalu itu, sedangkan Terdakwa mencoba merekonstruksikan peristiwa itu dari sisi yang lain. Saya mencoba menggambarkan keadaan itu (dengan metafora) seperti penilaian terhadap sebuah “tangan” seorang  wanita. Yang melihat punggung-tangan menyatakannya sebagai kasar, sedangkan yang melihat telapak-tangan menyatakannya halus. Hakim harus memutuskan bagaimana tangan ini secara keseluruhan akan dinilai. Sering sekali usaha memutuskan ini tidaklah mudah, dan dalam hal peristiwa pidana putusan akan berakibat sangat besar , bagi bagi Terdakwa maupun bagi Korban.

Dalam proses peradilan pidana yang tergambar di atas ini timbul istilah “sistem peradilan pidana terpadu” (integrated criminal justice system). Sebenarnya suatu istilah yang “berlebihan” (superfluous), karena suatu sistem harus sudah terintegrasi/terpadu unsur-unsurnya. Suatu gambaran tentang “keterpaduan” ini dapat dimisalkan (dengan metafora) pada suatu arloji/jam, dimana masing-masing roda-roda kecil didalamnya, saling bekerja sama dengan fungsi masing-masing yang berbeda, tetapi untuk tujuan yang sama, yaitu “arloji yang menunjukkan waktu yang tepat”. Demikian juga pada SPP Terpadu, masing-masing unsur Kepolisian/Penyidik – unsur Kejaksaan/JPU – unsur Terdakwa/Advokat – dan unsur Pengadilan, yang masing-masing punya fungsi berbeda dalam SPP, wajib bekerja sama mencapai tujuan bersama SPP, yaitu “Keadilan bagi Terdakwa dan Korban”. Masing-masing unsur tersebut (sebagai organisasi/lembaga dengan fungsi masing-masing) mempunyai tujuan sendiri-sendiri (dapat dimisalkan dengan t-1; t-2; t-3; dan t-4). Keterpaduan berarti bahwa kerjasama mencapai tujuan SPP (dimisalkan T), harus berupa sinergi atau digambarkan: T > (lebih besar) dari penjumlahan { t-1 + t-2 + t-3 + t-4 }. Pesan inlah yang ingin disampaikan dengan istilah yang berlebihan “Sistem Peradilan Pidana yang Terpadu”.



Bagaimana KUHAP kita ?

Bagaimana pengaturan SPP Terpadu ini di KUHAP ? Kalau dilihat pada pasal-pasal 14 huruf b, 109 ayat (1), 138 ayat (1),dan (2),139, dan juga kemudian 14 huruf I UU No.8/1981 (tentang Hk Acara Pidana), maka akan diperoleh gambar sementara sebagai berikut:

1)Setelah Penyidik selesai memberkas hasil penyidikannya ke dalam suatu berkas perkara (Pasal 8), maka dokumen ini diserahkan kepada JPU. Menurut Pasal 14 huruf b, maka apabila JPU berpendapat masih ada kekurangan dalam dokumen tersebut, maka dia dapat memberikan petunjuk kepada Penyidik untuk menyempurnakan dokumen tersebut. Proses in dinamakan tahap “prapenuntutan” dan urutan langkah-langkahnya dapat dilihat di Pasal-pasal 110, 138 dan 139.

2)Dari butir 1) di atas akan terlihat bahwa JPU bersikap pasif, selama berkas perkara belum diserahkan kepadanya. Hal ini lebih jelas terlihat pada Pasal 109, di mana dinyatakan bahwa kewajiban Penyidik adalah (hanya) melaporkan apa yang terjadi, yaitu akan dimulainya penyidikan dan apabila terjadi penghentian penyidikan. Selama penyidikan berlangsung, maka tidak dianggap perlu ada komunikasi antara Penyidik dan JPU. Aktivitas JPU baru dimulai setelah dia menerima berkas perkara dan dia menilai dokumen tersebut. Apabila dia mengembalikan dokumen, maka terjadilah proses “prapenututan”.



Proses yang digambarkan dalam butir-butir 1) dan 2) di atas, tidak mencerminkan SPP Terpadu. Seperti digambarkan dalam Pendahuluan di atas, metafora sistem arloji/jam mengharuskan bahwa “roda-roda kecil arloji” itu saling terkait dan bergerak secara bersama dan sinkron. KUHAP kita menggambarkan suatu sistem yang terkotak-kotak, di mana Penyidik dan JPU digambarkan mempunyai fungsi yang berbeda dan dimonopoli oleh masing-masing lembaga (ini menurut saya adalah penafsiran yang keliru dari konsep “differential functions”).

Menurut saya terdapat kekeliruan dalam menafsirkan “fungsi-diferensial/berbeda” ini, dan terlihat dengan adanya Pasal 110 dan Pasal 138, karena sebenarnya norma yang ingin diaturnya sama, namun dipisahkan karena dianggap ada perbedaan yang besar dan tajam antara penyidikan (pasal 110) dan penuntutan (pasal 138). Seharusnya dianut penafsiran bahwa perbedaan penyidikan dan penuntutan tidak besar dan tajam, karena mereka adalah satu kesatuan dalam sistem (a close and professional relationship).



Bagaimana KUHAP Belanda ?

Adanya kesatuan antara penyidikan (opsporing) dengan penuntutan (vervolging) dapat dilihat dalam KUHAP Belanda (Wetboek van Strafvordering), yang dalam Pasal 141 menyatakan bahwa tugas penyidikan dibebankan kepada: a)para jaksa (officieren van justitie – selanjutnya dalam makalah ini akan dipakai istilah JPU), dan b) anggota kepolisian (ambtenaren van politie), serta c)para anggota tertentu dari marechaussee (polisi-khusus bercorak militer)  untuk kasus-kasus tertentu (ditentukan bersama oleh Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan).Dikatakan bahwa pimpinan dalam penyidikan ini berada pada lembaga kejaksaan dan hal ini ditafsirkan dari penempatan para jaksa (officieren van justitie/OvJ) sebagai yang pertama disebut dalam pasal 141 tersebut (Cleiren et.al.,2005,hal. 507 dan 601). Kewenangan JPU memimpin penyidikan ini dipertegas dalam Pasal 148 (2).

Meskipun tidak dijelaskan dalam undang-undangnya, namun Penyidik-Polisi Belanda tetap mempunyai juga wewenang untuk menghentikan penyidikan (Politiesepot – di Indonesia dikenal sebagai diskresi Polisi). Kewenangan ini dapat dilaksanakan secara mandiri oleh Penyidik-Polisi, namun umumnya dia akan mengikuti pedoman yang diberikan oleh JPU. Adalah wewenang JPU untuk memutuskan apakah berdasarkan hasil penyidikan, akan dilakukan penuntutan. Dia dapat memutuskan untuk tidak melakukan penuntutan, atas dasar kepentingan umum (op gronden aan het algemeene belang ontleend – Pasal 167).

Ketentuan Pasal 167(2) dikenal dalam bidang penuntutan sebagai asas oportunitas yang berlawanan dengan asas legalitas. Pada asas legalitas ada kewajiban untuk selalu menuntut apabila ada cukup bukti (verplichte vervolging in bewijsbare zaken), sedangkan dalam asas oportunitas JPU dapat meniadakan penuntutan, meskipun ada cukup bukti (dat onder omstandigheden bij een vastgesteld bewijsbaar strafbare feit van vervolging mocht worden afgezien). Asas oportunitas ini mengenal dua macam pendekatan/ajaran: 1)secara negatif, artinya penuntutan kalau ada cukup bukti adalah kewajiban umumnya, tetapi pengecualian dimungkinkan apabila ada dasar kepentingan umum; dan 2)secara positif, artinya penuntutan hanya dilakukan, apabila berdasarkan kepentingan umum hal ini memang diperlukan. Dalam praktek di Belanda, maka ajaran asas oportunitas yang positif yang dijalankan. Dengan cara ini maka reaksi hukum pidana memang dijalankan sebagai ultimum remedium (Cleiren et.al.,2005, hal.670-671).

Dalam hal asas oportunitas ini dipergunakan oleh JPU (istilahnya di Belanda adalah “seponeren” - di Indonesia menjadi “dideponir”), maka hal ini harus dilaporkan secara tertulis dengan disertai alasannya kepada pihak korban. Adalah kewajiban lembaga kejaksaan (openbare ministerie-OM) untuk menentukan suatu kebijakan hukum pidana (strafrechterlijk beleid – criminal policy) yang dapat memberikan pedoman dalam hal penyidikan dan penuntutan tindak pidana. Pedoman ini disertai dengan asas-asas proses yang baik (goede procesorde) dipergunakan oleh Pengadilan untuk mengawasi kewenangan penututan ini (monopoli kewenangan penuntutan ini dikenal sebagai dominus litis ).



Diskusi

Memperbandingkan KUHAP Indonesia dengan KUHAP Belanda dilakukan karena keduanya berasal dari rumpun yang sama, yaitu Code Penal Perancis. Dari uraian di atas terlihat bahwa SPP Belanda lebih “terpadu” dibanding dengan SPP Indonesia. Memang  penegakkan hukum yang efektif mengharuskan adanya hubungan antara Penyidik-Polisi dengan JPU yang erat, professional dan kokoh. Model KUHAP Belanda mencerminkan hal itu dengan menegaskan bahwa penyidikan dipimpin oleh JPU, tanpa mengurangi kewenangan Penyidik-Polisi untuk menutup perkara yang dianggapnya tidak perlu diteruskan ke penuntutan (dikenal sebagai politiesepot).

Pimpinan dan pengawasan JPU dimaksudkan untuk mengurangi kemungkinan Penyidik-Polisi terlalu fokus pada keinginan menghukum seorang yang diduga melakukan tindak pidana (Terduga dalam Penyelidikan), sehingga menutup diri pada fakta-fakta yang meringankan atau meniadakan kesalahan Terduga. Maksud lembaga pra-penututan dalam KUHAP kita, adalah memang mencegah hal semacam ini, namun akibat “birokrasi” dan “gengsi”,prosedur ini dapat menimbulkan “bulak-balik”-nya berkas perkara, dengan kemungkinan “hilang-tak-tentu-rimbanya” !

Oleh karena itu ada dua pendapat yang mencari solusi. Yang pertama adalah “model kotak-pos” yang terjadi sekarang (Penyidik-Polisi menyiapkan berkas perkara sendiri dan mengirimkannya ke JPU dengan harapan diterima sebagai telah sempurna – JPU dapat menolak dan mengirimkannya kembali dengan petunjuk perbaikan, dstnya), diubah menjadi “model ruang-komunikasi” (segera setelah Penyidik-Polisi melaporkan ke JPU akan memulai melakukan penyidikan, maka JPU sudah aktif membantu dengan petunjuk-petunjuk untuk membuat berita acara/berkas perkara yang sempurna). Solusi kedua adalah dengan “model menyatukan” lembaga penyidikan-polisi” dengan “lembaga penuntutan-jaksa” dalam “satu-atap” (ini yang dilakukan di Indonesia oleh lembaga KPK, Penyidik dan JPU bekerja-sama dalam satu lembaga).



Kesimpulan

Saya memilih “model ruang komunikasi” untuk KUHAP Indonesia. Hal ini diperoleh dengan memberi ketegasan bahwa pimpinan dalam penyidikan adalah pada JPU, karena sekarang JPU berfungsi hanya sekedar “kurir” pembawa berkas perkara Penyidik ke Pengadilan, dengan tugas tambahan mempertahankannya. Kewenangan JPU “mendeponir” perkara (misalnya Nenek Minah pencuri 2 buah Kakao) tidak diberikan lagi. Bagaimana dengan “model menyatukan” seperti di KPK ? Juga di sini kewenangan JPU-KPK untuk menilai berkas perkara Penyidik-KPK, tidak diberikan.

Kewenangan JPU untuk menolak perkara yang menurutnya tidak pantas untuk dibawa ke Pengadilan adalah bagian yang penting dalam suatu sistem peradilan pidana terpadu. Fungsi Penyidik-Polisi adalah mengumpulkan fakta-fakta, sebagai bukti adanya tindak pidana dan adanya kesalahan pada Tersangka. Fungsi dari JPU adalah menilai kecukupan pembuktian fakta dan memutuskan apakah akan mendakwakan Tersangka (the decision to charge). Kecuali untuk kejahatan yang sangat serius (korupsi, narkoba,pembunuhan,perkosaan,perampokan bersenjata dan penganiayaan berat), maka sebaiknya dianut ajaran oportunitas yang positif (hanya bila diperlukan demi kepentingan umum, dilakukan penututan). Ini akan mengurangi penghuni Lembaga Pemasyarakatan yang sekarang sudah penuh-sesak !(mr- Februari 2016)



 Daftar bahan pustaka terpilih:



1.Cleiren,C.P.M.,J.F.Nijboer,2005,Strafvordering,Tekst & Commentaar, Zesde druk, Kluwer,  Deventer.

2.Leonard,V.A.,1975,The Police,the Judiciary and the Criminal, Second Edition, Charles C.Thomas Publisher.

3.Miller,Frank W.,1969, Prosecution, The Decision to Charge a Suspect with a Crime, Little,Brown and Company, Boston.

4.Nusantara, Abdul Hakim G, dkk,1986,KUHAP, Penerbit Djambatan.

5.a.Reksodiputro,Mardjono,1999, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan, Buku Ketiga, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia.

   b.-----------------------------------,2007, Pembaruan Hukum Pidana, Kumpulan Karangan, Buku Keempat, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia.

6.Rosengart,Oliver, 1974, The Rights of Suspects, The American Civil Liberties Union,Inc.,Published by Avon,New York.   




--00O00--

Sambutan Pada Acara Mensyukuri Enam Dasawarsa Prof Harkristuti Harkrisnowo,PhD


 di Kampus Fakultas Hukum UI Depok, 25 Januari 2016

 Ass.Wr.Wb. Selamat Sejahtera untuk Kita semua,

Yth.Rektor Universitas Indonesia,
Yth.Dekan FHUI dan Ketua Panitia, beserta jajarannya,

Yth.Bapak Menteri Kehakiman RI – Bpk.Yasonna Laoly,

Yth.Ketiga Bapak Mantan-Menteri Kehakiman- Bpk.Amir Syamsudin, Bpk.Muladi dan
       Bpk.Andi Matalata

Yth.Ibu Harkristuti Harkrisnowo dan Hadirin sekalian.

Puji syukur kita sampaikan kepada Allah SWT/Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kesempatan kepada kita, menghadiri acara pagi ini dalam keadaan sehat walafiat. Pertama-tama saya menyampaikan: “Selamat ulang tahun Bu Tuti !” Semoga sehat-selalu – tetap ceria dengan sindiran2nya   tetap bahagia dan tetap berkarya positif dalam tahun-tahun yang akan datang ini ! All my best wishes for you !!!

Hadirin yang saya muliakan,
Saya bahagia, karena sekarang dapat menyampaikan terima kasih saya kepada Bu Tuti – kenapa ? Karena, beliau telah memenuhi harapan saya dan Ibu Koesriani Siswosoebroto, adanya Dosen Hukum Pidana di Universitas Indonesia, yang tertarik untuk mendalami (ilmu pengetahuan) Kriminologi. Artinya melakukan pendekatan inter-disiplin dalam pendidikan ilmu hukum di Indonesia. Beliau saya anggap penerus pendekatan ini.  Saya ingin menyampaikan sedikit penjelasan tentang hal ini – maaf kalau saya menengok sejarah sebentar.

Gagasan adanya pendekatan multi-disiplin di bidang ilmu  hukum, di Universitas Indonesia, dimulai dengan didirikannya Lembaga Kriminologi, pada tahun 1948 di Universiteit  van Indonesie. Tahun 1950, setelah UI diambil-alih oleh Pemerintah Republik Indonesia, Lembaga Kriminologi diteruskan eksistensinya di bawah Dekan Prof.Djokosoetono dan pengembangannya dipimpin oleh Bpk. Paul Moedikdo seorang sarjana hukum dan ahli kriminologi, serta Bpk Drs.F. Abels, seorang ahli farmasi forensik/Apoteker. Di Lembaga ini bekerja sama sejumlah tenaga ahli dari berbagai bidang ilmu, yaitu: hukum pidana (Bpk.Han Bin Siong),kriminologi (Bpk.Paul Moedikdo), ilmu kimia dan farmasi forensik (a.l.Bpk.Abels cs), ilmu kedokteran forensik (a.l Bpk.Handoko,cs). Selanjutnya Lembaga ini dilengkapi juga dengan laboratorium kimia dan kedokteran forensik, ruangan otopsi jenasah (di kamar jenasah RSCM), dan ruangan fotografi untuk presentasi alat bukti. Kerjasama erat dilakukan dengan Kepolisian (khususnya untuk bidang-bidang Daktiloskopi dan Balistik) dan dengan Kejaksaan Agung (khususnya dalam bidang pendidikan Jaksa). Ini adalah bukti pernah adanya pendekatan multi-disiplin di UI antara bidang-bidang ilmu: hukum, kriminologi, kedokteran, kimia dan farmasi, yang masing-masing di UI dikembangkan dalam fakultas yang berbeda.

Waktu Bu Tuti, masuk sebagai dosen di Fakultas Hukum (awal 1980 – sewaktu Dekan Ibu S.J.Hanifa), maka pendekatan ini masih  ada, meskipun perkembangannya agak tersendat-sendat. Tetapi di Fakultas Hukum ada kemajuan yang cukup berarti, dengan kerjasama inter-disiplin antara bidang-bidang: hukum pidana (FH), kriminologi (di FISIP-UI) dan Ilmu Pemasyarakatan di Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP) Kem. Kehakiman.Karena itu adalah suatu  kebahagiaan tersendiri bagi Ibu Koesriani Siswosoebroto (dosen Kriminologi di FH dan di FISIP) dan saya (dosen di FHUI dan AKIP), mengetahui Bu Tuti di pendidikan luar negeri di Amerika Serikat, memfokuskan studinya pada the Criminal Justice System dan the Correctional System, yang keduanya merupakan dua bidang perhatian utama dalam studi kriminologi. Lebih membahagiakan lagi, bagi kami, adalah ketika  beliau pulang dengan meraih gelar doktor/Phd (pada awal tahun 1990-an – semasa Dekan Bpk.Charles Himawan).Beliau menjadi ketua Program Studi Hukum Pidana semasa Dekan Girindro Pringgodigdo (pertengahan 1990-an). Sedangkan  sewaktu saya Dekan (1984-1990), Bu Tuti masih berada di Sam Houston College of Criminal Justice, di Texas, USA. Kami menganggap Bu Tuti adalah generasi ketiga dalam membawa Kriminologi sebagai disiplin mandiri di samping Hukum Pidana. Generasi kedua adalah Saya, Bu Koesriani, Pak Arif Gosita, Bu Suwantji dan Bu Estiana. Sedangkan generasi pertama adalah Pak Paul Moedikdo dan Ibu Mutiara Djokosoetono.

Hadirin yang mulia,
Pidato pengukuhan sebagai gurubesar Prof.Harkristuti Harkrisnowo, PhD, membahas masalah Rekonstruksi Konsep Pemidanaan” – suatu tema yang pada saat ini (menurut saya) urgen dibicarakan di lingkungan para Akademisi dan Praktisi hukum. Dengan mulai dibicarakannya R-KUHP dan R-KUHAP di DPR, maka adalah penting kita menjaga agar tidak terjadi pembiaran dalam menjatuhkan denda yang eksesif (excessive fines) ataupun penjatuhan pidana yang bengis dan tidak manusiawi (cruel and unusual punishments). Kecenderungan hal ini, menurut saya, ada pada SPP Indonesia, dalam kurun waktu 2-3 tahun terakhir ini.

Hadirin sekalian,
Buku dengan judul “DEMI KEADILAN”, yang disumbangkan para penulis, menggambarkan (menurut saya) apresiasi maupun harapan para penulisnya agar Prof Harkristuti secara konsisten tanpa ragu dan  tanpa henti-hentinya akan tetap memelopori pembangunan hukum pidana yang jujur dan adil. Saya pribadi mengharapkan agar generasi muda yang mengenal dan sepaham dengan Bu Tuti, meneruskan semangatnya ini, terutama dalam membela keadilan !

Pengalaman Bu Tuti, disamping di bidang Akademik, adalah juga sebagai birokrat di Kementerian Hukum dan HAM. Cukup lama, mungkin sekitar 15 (limabelas)  tahun. Dan sebagian besar waktu itu dihabiskannya memonitor dan memperjuangkan penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia. Selain itu beliau juga selama lebih dari tujuh tahun bertugas sebagai anggota Komisi Hukum Nasional (KHN), bersama Prof. Sahetapy, Prof.Frans Hendra Winarta, rekan Suhadibroto,SH, rekan Fadjrul Falaakh, SH.MSc, dan saya sendiri. Di sini beliau membimbing dan membantu staf peneliti muda KHN dalam berbagai pengkajian hukum dari KHN, sebagai suatu lembaga non-struktural yang memberikan masukan kritis kepada Presiden RI di bidang kebijakan hukum.


Hadirin dan Bu Tuti,

Apa yang terekam dalam Buku untuk Bu Tuti ini, merupakan sumbangan pemikiran dalam menghormati dan mensyukuri usia enam dasawarsa yang telah dicapai Bu Tuti. Tentu diharapkan juga bahwa karangan-karangan dalam Buku ini menjadi penerus gagasan-gagasan Bu Tuti di bidang pembangunan hukum dan perlindungan HAM. Semoga generasi muda di bidang hukum,dan tentunya juga kita semua, dapat memanfaatkan pemikiran-pemikiran yang terekam dalam buku ini sebagai modal bersama melaksanakan semboyan Buku ini “Demi Keadilan” !

Terima kasih dan Wass.Wr.Wb. – Salam sejahtera untuk kita semua ! MR-.   

Sambutan Mensyukuri Enam Dasawarsa Prof. Harkristuti Harkrisnowo, SH, MA, PhD Dan Mendoakan Perjalanan Karier Selanjutnya*


Saya sangat berbahagia diberi kesempatan untuk menyambut buku ini,  karena dengan begitu saya dapat menyampaikan apresiasi saya kepada perkembangan akademik dari Ibu Harkristuti Harkrisnowo. Mengapa ? Karena Ibu Tuti (begitu saya memanggilnya) adalah penerus dari keinginan saya bahwa di Universitas Indonesia terdapat sarjana hukum yang juga sekaligus mampu  mengembangkan bidang ilmu kriminologi. Pada waktu saya menjadi mahasiswa fakutas hukum, belum ada fakultas di bidang ilmu-ilmu sosial, dan pada waktu itu (1955) kriminologi dikembangkan di fakultas hukum oleh Bapak Paul Mudikdo Muliono,SH dan Ibu Mutiara Djokosutono,SH. Saya, dengan Bapak Arif Gosita,SH, Ibu Koesriani Siswosubroto,SH, Ibu Suwantji SH, dan Ibu Estiana Hermina,SH merupakan murid-murid Bapak Paul Mudikdo yang meneruskan cita-cita lama untuk mengembangkan Kriminologi di Universitas Indonesia, antara lain melalui Lembaga Kriminologi. Karena itu kami dapat dianggap sebagai generasi kedua (setelah Pak Paul Mudikdo dan Bu Mutiara, sebagai generasi pertama) dan Ibu Harkristuri sebagai generasi ketiga yang melanjutkan pengembangan Kriminologi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Bu Tuti, mulai masuk dalam dua akademik di Fakultas Hukum UI, dengan mengajar Kriminologi bersama dengan Ibu Koesriani dan kemudian juga membantu melakukan pengkajian Hukum Pidana melalui Pusat Studi Hukum Pidana (PSHP) FHUI, yang dimulai di Kampus Rawamangun, sekitar pertengahan tahun 1970-an, yang diketuai oleh Ibu Nayla Widharma, SH. Selanjutnya beliau meneruskan pendidikannya di Amerika Serikat di bidang Sistem Peradilan Pidana dan Kriminologi sampai mencapai gelar PhD.

Dalam tahun 2000, Bu Tuti menjadi anggota Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, bersama dengan Prof.J.E.Sahetapy (Ketua), saya (Sekretaris),dan dengan teman sejawat Suhadibroto, SH., Prof.Frans Hendra Winata dan Fadjrul Falakh,SH. Di sini beliau membimbing dan membantu dalam berbagai pengkajian yang dilakukan anggota staf KHN, dalam tugas KHN-RI sebagai salah satu lembaga non-struktural yang memberi masukan kritis kepada Presiden RI dibidang kebijakan hukum.  Ketika beliau diangkat menjadi birokrat menangani masalah-masalah HAM, maka beliau merasa bahwa etika jabatan mengharuskan beliau melepaskan keanggotaannya di KHN-RI.

Sekelumit perjalanan sejarah Bu Tuti di atas, yang saya ketahui dari dekat, membuat saya kagum atas prestasi beliau, baik sebagai akademikus maupun sebagai birokrat. Sebagai birokrat di bidang HAM beliau memonitor dan memperjuangkan penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia, dan sering harus ke luar negeri untuk menjelaskan dan membela pendirian Negara Indonesia di bidang HAM. Sebagai Akademikus beliau tidak lupa akan tugasnya, khususnya sebagai gurubesar, untuk membimbing kader-kader akademikus muda dan menyebarkan serta membagi pengetahuan beliau kepada lingkungan kerjanya. Saya kagum atas kegigihan beliau untuk tetap menghayati dan menjalani peranannya sebagai generasi ketiga akademikus di bidang Hukum Pidana dan Kriminologi.

Buku ini berisi sumbangan sejumlah karangan dari teman sejawat dan murid Bu Tuti, sebagai pernyataan mereka menghormati dan mensyukuri usia enam dasawarsa yang telah dicapai beliau. Sekaligus buku ini juga diharapkan dapat menjadi penerus dari gagasan-gagasan Bu Tuti di bidang hukum dan di bidang perlindungan HAM, baik yang telah dicapai beliau maupun yang masih merupakan cita-cita. Semoga generasi muda di bidang hukum pidana dan kriminologi dapat memanfaatkan pemikiran-pemikiran yang terekam dalam buku ini sebagai modal meneruskan perjuangan Bu Tuti.

Apa yang terekam dalam buku ini merupakan hasil pengalaman kita di masa yang lalu, dan apa yang akan kita lakukan selanjutnya  dengan rekaman ini akan menimbulkan akibatnya di masa yang akan datang, merupakan nasihat orang-orang  bijak kepada kita semua. Perjalanan membangun hukum yang berkeadilan di Indonesia masih jauh dan masih akan lama, namun orang-orang  bijak pun selalu mengingatkan kita : bahwa perjuangan untuk berjalan seribu mil, harus dimulai dengan langkah pertama, bagaimana pun kecilnya langkah itu. Bu Tuti telah memberi kita contoh, semoga teladan ini dapat kita ikuti !  Semoga karier dan masa depan Bu Tuti secerah dan sesukses seperti yang telah diperolehnya sampai saat ini. Semoga Allah SWTmemberi Ridho-Nya kepada kita semua. Aamiin !


Mardjono Reksodiputro         

*Disampaikan dalam Buku Peringatan Enam Dasawarsa Prof. Harkristuti Harkrisnowo, SH.MA.Ph.D

Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia


( Suatu kegagalan dalam Reformasi Hukum ? Jangan ada Dusta dalam Reformasi SPP Indonesia ! )*



Tentang Sistem Peradilan Pidana (SPP)

Istilah ini diambil dari bahasa Inggris Criminal Justice System. Apa sebenarnya yang dimaksud ? Kalau dilihat kepada unsur-unsurnya yang membuat sistem ini bekerja, maka akan dijelaskan tentang organisasi lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Kepengacaraan atau Advokat, Pengadilan dan Pemasyarakatan Terpidana. Tetapi kalau melihat kepada proses bekerjanya sistem ini, maka perlu juga dijelaskan tentang tahap pra ad-yudikasi dengan kewenangan kepolisian, kewenangan kejaksaan dan kewenangan advokat, tahap ad-yudikasi dengan kewenangan Peradilan yaitu:  kewenangan pemeriksaan dakwaan dan pembelaan  di sidang serta pemberian putusan, dan penentuan sanksi, serta kewenangan banding, kasasi, PK dan grasi, serta selanjutnya tahap purna ad-yudikasi yaitu kewenangan Pemasyarakatan Terpidana.

Secara umum, sistem dengan unsur-unsurnya serta proses bekerjanya di atas, dijelaskan di sebuah fakultas hukum, dalam kelompok mata-ajaran Hukum Acara Pidana di tingkat Strata-1 dan kelompok mata ajaran Sistem Peradilan Pidana di tingkat Strata-2.[1] Hukum acara pidana ini memang dapat di lihat dalam arti luas ataupun dalam arti sempit. Dalam arti luas, maka yang akan dibicarakan adalah tentang organisasi lembaga-lembaga peradilan pidana dan sekaligus tentang proses yang terjadi dalam peradilan pidana itu. Yang terakhir ini pada dasarnya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (disingkat KUHAP). Dalam arti sempit, perkuliahan tentang hukum acara pidana ini ditujukan kepada aturan-aturan dalam KUHAP. Sedangkan ketentuan tentang organisasi lembaga-lembaga sistem peradilan pidana tersebar dalam sejumlah undang-undang dan sebagian dari proses peradilan pidana juga berada di luar KUHAP, tersebar dalam beberapa undang-undang lainnya. Diperlukan keahlian untuk dapat mencari jalan melalui “hutan-belantara peraturan” hukum pidana dan hukum acara pidana ini. Menurut saya solusinya adalah dengan kodifikasi

Untuk jaminan penyelenggaraan peradilan pidana yang baik, menurut saya, kita harus menuju kepada kodifikasi, baik mengenai aturan-aturan organisasi peradilan pidana maupun tentang proses menyelenggarakan peradilan pidana. Mengapa ini perlu ? Menurut saya, agar masyarakat awam juga dapat memperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh tentang  kedudukan, keterkaitan dan wewenang lembaga-lembaga yang merupakan organisasi peradilan, sekaligus dapat pula memahami proses yang akan berlangsung, apabila sistem peradilan pidana bekerja.[2] Tujuan kodifikasi[3] suatu bidang hukum (disini adalah hukum pidana materiil dan hukum acara pidana) adalah untuk memudahkan dicarinya norma hukum tertentu (increase accessibility), memudahkan pemahamannya (improve its comprehension), menjadikannya konsisten (improve consistency) dan memberikannya kepastian (certainty). Dipergunakannya sistem kodifikasi dalam suatu bidang hukum tertentu, tidak menutup kemungkinan adanya undang-undang khusus (lex specialis) di luar kitab-kodifikasi. Lex specialis akan dapat  mengatur ketentuan-ketentuan yang lebih terperinci daripada norma-dasar yang diletakkan dalam kitab-kodifikasi.[4]   



Masalah yang kita hadapi sekarang

Debat yang sekarang ini ( dimulai pertengahan tahun 2014) dan meruncing di media massa,  tentang SPP Indonesia, pada dasarnya  berkisar pada: a)penolakan terhadap rancangan KUHP Nasional dan rancangan KUHAP Baru, dan b)penolakan terhadap Revisi UU KPK. Menurut saya ini semua berhubungan dengan pembaharuan sistem peradilan pidana yang telah lama diharapkan oleh masyarakat Indonesia.

Penolakan terhadap rancangan KUHP Nasional (R-KUHP) adalah antara lain, tentang dimasukkannya suatu bab tentang Korupsi di dalamnya. Dikatakan bahwa hal ini akan membuat Korupsi sebagai tindak pidana umum dan menghapus wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menanganinya. Hal lain yang juga dianggap sebagai usaha melawan gerakan anti-korupsi adalah antara lain, dimasukkannya ketentuan tentang perlunya ijin Pengadilan/Hakim untuk melakukan penyadapan-komunikasi didalam Rancangan KUHAP (R-KUHAP). Sekali lagi ini dianggap akan mengganggu wewenang KPK, yang selama ini mendapat wewenang melakukan penyadapan-komunikasi tanpa pembatasan. Penolakan terhadap usaha merevisi UU KPK adalah karena adanya sejumlah pasal yang dianggap akan melemahkan kewenangan KPK memberantas korupsi di Indonesia. Tulisan singkat ini ingin membahas permasalahan di atas. Tujuan tulisan ini bukanlah untuk mengecilkan arti “gawat-korupsi” atau “gawat-kejahatan” di Indonesia, tetapi bermaksud menempatkan permasalahannya dalam konteks pembaruan SPP untuk memajukan dan melindungi HAM.

Sesuai judul makalah ini, maka saya ingin memberi sumbangan pemikiran dalam rangka kita  akan melakukan pembaharuan SPP Indonesia. Usaha yang mencapai puncaknya pada 15 tahun yang lalu dengan dibangkitkannya Era Reformasi, menurut saya sekarang cenderung gagal, karena banyaknya kegiatan reformasi dibarengi dengan dusta dan sebenarnya melibatkan pertarungan kewenangan yang didasarkan kepada ambisi kekuasaan politik.[5]

Sikap represif yang timbul bersamaan dengan penolakan terhadap pembaruan SPP di Indonesia ini, juga meresahkan saya, karena penolakan ini menunjukkan adanya keikhlasan untuk mengorbankan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, khusus tersangka, terdakwa dan terpidana korupsi,maupun tindak pidana lain (narkoba, terorisme, dsb-nya), untuk memperoleh suatu cara yang dianggap efektif dalam memerangi tindak pidana tersebut. Sikap represif dibarengi ambisi kekuasaan ini, menurut saya, telah  melupakan sejarah SPP Indonesia yang pernah didominasi dengan semangat “pemulihan keamanan dan ketertiban” oleh Kopkamtib dalam masa Orde Baru (1967 – 1987),yang dibayangi oleh ketakutan (panik) atas “bahaya komunisme”.[6] Ketakutan akan sulitnya diberantas korupsi dan kebencian kepada koruptor, khususnya yang terdiri dari para pejabat/penyelenggara negara, akan menggagalkan usaha membangun SPP Indonesia ke arah “pelaksanaan peradilan pidana yang patut dan semestinya” (een behoorlijk strafrechtspleging – a decently administration of criminal justice). 

Sejak lama sekali komunitas hukum Indonesia ingin memodernisasi peraturan perundang-undangan yang ada dan merupakan dasar dari SPP Indonesia.[7] Cita-cita ini terkabul dengan penggantian HIR (khususnya aturan tentang hukum acara pidana Hindia Belanda) dengan KUHAP tahun 1981. Dalam tahap berikutnya telah disampaikan kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh suatu konsep rancangan KUHP nasional dalam tahun 1993 (bulan Maret – R-KUHP 1993) yang disusun oleh suatu Tim Kementerian Kehakiman selama 10 tahun (1983 – 1993).[8]Dengan berakhirnya Era Orde Baru dan mulainya Era Reformasi, maka kegiatan di atas dilanjutkan a.l. dengan mengusulkan Revisi atas KUHAP 1981, Revisi atas UU-KPK dan diserahkannya R-KUHP versi 2012 ke DPR. Permasalahan penolakan melalui tulisan di media massa, pernyataan tokoh-tokoh masyarakat dan demonstrasi aktivis LSM, bagi saya, terlihat sebagai suatu “intimidasi-politik” terhadap pembaruan SPP Indonesia yang tidak dibarengi dengan “debat-hukum” yang bermutu ilmiah, tetapi lebih mengarah kepada “debat-persaingan-kekuasaan”. Lebih buruk lagi, menurut saya yang subyektif, debat persaingan kekuasaan ini dibarengi juga dengan pencarian popularitas sebagai “pahlawan anti-korupsi” untuk pencitraan pribadi dan pencitraan politik kelompok. 



Dua Pendekatan tentang SPP[9]

Paling tidak ada dua pendekatan dalam kita memandang cara kerja dari suatu sistem peradilan pidana. Yang pertama adalah mengutamakan kepada efisiensi atau kecepatan (speed) dan kepastian atau ketuntasan (finality). Pendekatan ini percaya kepada kemampuan lembaga-lembaga dalam SPP untuk secara pasti dan jujur memilih dan menentukan mereka yang bersalah (dan membebaskan yang tidak bersalah), untuk dibawa ke pengadilan dan dihukum untuk kesalahannya itu. Diasumsikan SPP ditangani oleh penegak hukum yang profesional, jujur dan netral, sehingga proses SPP dapat disamakan dengan “ban berjalan dalam sebuah pabrik” (assembly line). Advokat sebagai pendamping dalam proses tidak seberapa perlu (tidak punya peranan berarti dalam proses). Berbeda adalah pendekatan kedua, yang mengutamakan pada keperluan tercapainya internalisasi kepercayaan dan ketaatan kepada hukum pada seorang Terpidana. Diharapkan dengan demikian para Terpidana memahami kesalahan mereka, dan tidak akan mengulanginya lagi. Oleh karena itu, pendekatan ini melihat kepada perlunya para Tersangka dan Terdakwa diberikan kesempatan untuk memahami proses yang sedang dijalaninya sebagai proses yang adil, dan untuk itu mereka perlu dibantu oleh seorang ahli hukum (advokat) dalam menjalani proses. Kecuali membantu Terdakwa dalam memahami proses yang sedang dijalaninya, advokat ini juga mengawasi dan membantu penyidik dan penuntut umum untuk menjalani proses sesuai dengan semangat “proses yang adil” (due process). Proses ini dapat dibayangkan sebagai “lari dengan rintangan dalam atletik” (obstacle course). Setiap tahap proses mendapat pemeriksaan dan pendapat dari advokat.

Pada pendekatan “ban-berjalan”, hak-hak Tersangka/Terdakwa tetap diakui dan diberikan sesuai undang-undang. Kepercayaan yang tinggi dari publik adalah kepada sifat profesional penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tugasnya secara cermat, dan  hanya membawa mereka yang benar-benar bersalah ke pengadilan. Menurut pendekatan ini, di pengadilan para Terdakwa harus mendapat kepastian akan  dihukum. Karena itu usaha membebaskan Terdakwa atau meringankan hukumannya akan dianggap sebagai bertentangan dengan perasaan keadilan masyarakat. Keadilan masyarakat menghendaki bahwa apabila ada Tersangka yang menjadi Terdakwa dan dinyatakan bersalah, hakim wajib memberikannya hukuman yang setimpal (sesuai dengan rasa keadilan dalam masyarakat). Kepatuhan pada hukum diperoleh dari ketakutan kepada pidana yang berat (the fear of severe punishment ).

Dalam pendekatan “lari-rintangan”, hak-hak Tersangka dan Terdakwa adalah utama, dan wajib diberikan kepadanya pada setiap kemungkinan yang diberikan undang-undang, untuk melawan dakwaan penuntut umum. Penyidik dan penuntut umum meskipun mereka bersifat profesional, selalu akan melihat perbuatan yang didakwakan dari satu sisi saja, karena mereka mewakili kepentingan negara. Kepentingan negara belum tentu sama atau mencerminkan kepentingan masyarakat.[10] Dalam setiap perbuatan akan terdapat dua sisi kepentingan dan pendapat, yaitu sisi pelaku dan sisi korban ataupun mungkin orang ketiga. Peradilan pidana yang adil akan memberi kesempatan kepada Tersangka/Terdakwa untuk memberikan penjelasan dari sisinya.   

Kalau sekarang kita melihat kepada sistem yang berlaku di negara-negara common law dengan negara-negara civil law, maka perbedaannya terletak pada penggunaan sistem akusator dan sistem inkuisitor. Dalam sistem peradilan pidana yang akusator, maka hakim lebih bersifat pasif dan memberikan kesempatan kepada penuntut umum dan Terdakwa untuk memberikan pendapat dan berdebat tentang fakta dan penafsiran hukum dari masing-masing sisinya. Namun dalam sistem inkuisitor, hal ini berbeda, karena hakim akan lebih aktif dalam mencoba memperoleh “kebenaran materiil” dengan menggali dari kedua sisi fakta dan hukum yang dipresentasikan. Tugas hakim adalah memberi pertimbangan[11] dan putusan yang adil tentang kesalahan Terdakwa berdasarkan fakta-fakta yang terbukti dan penafsiran hukum yang berkaitan.  Keadilan masyarakat memang juga mendapat perhatian dalam pendekatan ini, namun dalam mengutamakan ketertiban yang lebih langgeng, maka pendekatan ini lebih mengutamakan akan diperolehnya penghormatan dan kepatuhan kepada hukum (repect for the law)  dari seorang Terdakwa/Terpidana dibanding ketakutan akan pidana yang berat.

Saya harus mengakui, bahwa saya cenderung mendukung pendekatan kedua (“lari-rintangan”), karena pendekatan pertama (“ban-berjalan”) mengandung banyak bahaya dalam politik kriminal yang didukung oleh pemerintahan otoriter (seperti pernah dialami Indonesia). Dalam pendekatan kedua, maka “penjaga gawang” terhadap ketidakadilan berada di tangan profesi advokat. Memang kalau profesi advokat ini sudah tidak juga dapat diharapkan kenetralannya, maka pendekatan kedua juga tidak menjamin tercapainya peradilan yang adil (due process). Persaingan kedua pendekatan ini, menurut saya, sangat terasa dalam debat tajam antara mereka yang mendukung “reformasi” KUHP, KUHAP dan UU KPK dengan mereka yang menafikannya.



Penolakan terhadap R-KUHP Nasional

Seperti telah disampaikan di atas, R-KUHP ini merupakan rancangan terakhir dari pemerintah, yang diserahkan pada akhir tahun 2012 kepada DPR dan mendapat penolakan dengan alasan adanya Bab tentang Korupsi didalamnya.[12] Adapun argumentasi mereka yang menolak adalah masuknya ketentuan tentang korupsi dalam KUHP akan menjadikan korupsi suatu tindak pidana umum. Sebagai tindak pidana umum, maka hilanglah kewenangan KPK untuk menyidik dan menuntut korupsi, dan keadaan ini ditafsirkan sebagai usaha membubarkan lembaga KPK.

Argumentasi yang berlawanan menyatakan bahwa tujuan masuknya Bab tentang Korupsi adalah dalam rangka dipergunakannya sistem “kodifikasi” untuk menyatakan adanya “norma dasar” (basic norm) tentang korupsi dalam hukum pidana Indonesia. Pada dasarnya norma dasar dari korupsi adalah “merusak berfungsinya pemerintahan secara baik” (subvert the efficient functioning of the government), hal ini dilakukan oleh seorang pejabat negara (public official) dengan atau tanpa bekerja sama dengan orang atau korporasi swasta (private individual or corporation). Bentuk umum sebagai norma dasarnya adalah “suap” (bribery) dan “kejahatan jabatan”(ambtmisdrijven – serious offenses involving abuse of office). Menurut saya, adanya norma dasar korupsi di dalam KUHP, tidak akan menghapuskan dibuatnya undang-undang khusus di luar KUHP yang akan lebih merinci perbuatan seperti apa saja yang akan dikategorikan sebagai delik khusus (seperti yang ada sekarang dalam UU Korupsi). Melihat kepada model-model kodifikasi hukum pidana di luar negeri, maka mereka menggolongkannya antara lain sebagai “Crimes against the Governmental Order”; atau “Offenses against Public Administration”; yang dapat dibagi lagi dalam: “Corrupting Public Administration”; “Misleading Public Administration”; dan “Obstructing Public Administration”. Penggolongan lain adalah “Bribery and Corrupt Influence” yang dibagi dalam: “Bribery”; “Giving and receiving unlawful compensation”; “Giving and receiving improper gifts”; dan “Failing to disclose a conflict of interest”. Ini adalah sekedar contoh, tentang harus adanya norma dasar dalam KUHP untuk kemudian dapat diperinci dalam undang-undang yang lebih khusus.[13] Ketentuan yang lebih khusus (di luar KUHP) yang ada sekarang terdiri atas 30 (tigapuluh) bentuk/jenis perbuatan korupsi, yang dapat dibagi lagi dalam 7 (tujuh) kelompok yaitu Korupsi terkait dengan: 1)kerugian keuangan negara; 2)suap-menyuap; 3)penggelapan dalam jabatan; 4)perbuatan pemerasan; 5)perbuatan curang; 6)benturan kepentingan dalam pengadaan; dan 7)yang terkait dengan gratifikasi. Disamping ini masih ada pula 6 (enam) jenis tindak pidana lain yang masih berkaitan dengan delik korupsi (pada dasarnya berintikan merintangi proses penyidikan).[14]

Menurut pendapat saya, sekali lagi, adanya “norma-dasar” tentang pengertian tindak pidana korupsi dalam Bab Khusus R-KUHP, tidaklah menafikan adanya undang-undang khusus “korupsi” di luar KUHP. Yang mengherankan saya adalah bahwa para ahli/sarjana hukum memperdebatkan permasalahan ini menjadi isyu politik (pelemahan kegiatan anti-korupsi) dan tidak menjadikanya isyu hukum tentang pengertian kodifikasi hukum pidana dan perbedaan antara delik umum dengan delik khusus, beserta semua teori tentang menjadikan suatu perbuatan diancam pidana (strafbaarstelling). Sangat kental adalah perlawanan terhadap akan hilangnya “kewenangan-tanpa-batas” dari KPK, argumennya adalah “KPK memerlukan kewenangan yang besar” agar tidak mudah diintervensi dalam menyelidik dan menyidik serta memproses kasus korupsi seorang pejabat tinggi.[15]



Penolakan terhadap R-KUHAP

Sepanjang pengetahuan saya, ada dua materi utama yang diperdebatkan dalam R-KUHAP; pertama adalah tentang “hakim pemeriksa pendahuluan” (disingkat “HPP”, dahulu dinamakan “hakim komisaris” dari istilah Belanda “rechter commissaris”), dan kedua tentang perlunya ijin khusus untuk melakukan “penyadapan”. Tentang HPP, konsep ini dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan dalam proses SPP, yaitu adanya dominasi hakim pengadilan dalam seluruh proses. KUHAP 1981 dan “tradisi SPP Indonesia” membuat organ-organ SPP bekerja dalam posisi sejajar (seperti “gerbong kereta api”). Jalannya proses adalah perkara berpindah dari gerbong yang satu ke yang lainnya, tanpa ada pengawasan yang berarti dari gerbong berikutnya. Menurut pemahaman saya tentang jalannya SPP di negara-negara modern-demokratik, maka seharusnya pekerjaan dalam “ “gerbong-penyidikan” diawasi oleh “gerbong-penuntut umum”, dan kedua gerbong ini dawasi pula oleh “gerbong-hakim pidana”. Pada dasarnya seharusnya pusat atau “sentral” dari SPP berada pada pengadilan, sebagai kekuasaan kehakiman yang mandiri terlepas dari kekuasaan eksekutif (yang diwakili oleh penyidik dan penuntut umum).

Mengenai “penyadapan komunikasi-pribadi”, hal ini adalah pelanggaran terhadap hak asasi seorang warga (serupa dengan “kerahasiaan surat-pribadi”). Oleh karena itu diperlukan ijin dari seorang hakim (sebagai wasit yang independen) untuk menilai apakah “pelanggaran hak-pribadi (privacy)” ini memang diperlukan dalam mengungkap suatu kejahatan. Apakah perlindungan terhadap hak-pribadi boleh diterobos, dengan alasan perlindungan terhadap hak-masyarakat tentang keamanan dan ketertiban. Menurut pendapat saya, apabila Indonesia mau dianggap sebagai negara beradab dan demokratik, maka prosedur ijin hakim ini haruslah dilakukan.

Penolakan terhadap kedua ketentuan ini oleh mereka yang menamakan dirinya “kelompok anti-korupsi”, adalah, bahwa HPP dan ijin untuk penyadapan, hanya  akan menumpulkan “pedang pemberantasan korupsi”. Tentu hal ini mungkin saja terjadi, tetapi hal itu masalah teknis, seperti yang pernah saya sampaikan, bilamana ada ketakutan “bocornya” operasi penyelidikan atau penyidikan korupsi oleh KPK, karena HPP-nya tidak dapat dipercaya, maka KPK selalu dapat meminta kepada Mahkamah Agung seorang  “hakim kepercayaan” mereka yang akan bertugas khusus untuk KPK. Adalah absurd (tidak masuk akal sehat), apabila KPK tidak percaya kepada kejujuran hakim (HPP), namun, meminta agar masyarakat harus percaya bahwa prosedur internal dalam lembaga KPK akan lebih jujur dan lebih bersih. Menurut saya, debat di sini bukanlah debat hukum tentang perlindungan terhadap kemungkinan pelanggaran HAM seorang Tersangka, namun telah menjadi perdebatan tentang hilangnya kewenangan (tanpa batas) yang dipunyai KPK. Debat kewenangan yang dilandasi oleh takutnya hilang kekuasaan.

Pada awal tahun 2015 ini terjadi pula debat keras tentang lembaga “pra-peradilan”. Masalahnya adalah tentang dapatkah seorang yang dinyatakan Tersangka korupsi oleh KPK secara publik (melalui penyataan di muka pers/media massa), namun tidak ditangkap (atau telah dilepaskan) dan tidak ditahan, meminta kepada hakim pra-peradilan untuk menguji cukupkah bukti yang dipunyai KPK untuk menyatakan seseorang itu Tersangka ? Diterima permohonan pra-peradilan oleh hakim Sarpin dianggap oleh sebagian sebagai kebodohan “sang hakim”, tetapi ada pula yang mengganggapnya sebagai “terobosan hukum”. Saya adalah pengikut pendapat kedua. Mengapa ? Karena lembaga pra-peradilan diadakan justru untuk me”wasiti” apakah ada wewenang penyidik dan penuntut umum yang diberikan oleh undang-undang, tetapi telah disalahgunakan (abuse of power). Penafsiran undang-undang oleh hakim agar sesuai dengan rasa keadilan setempat adalah kewajibannya. Adalah menggelikan untuk berpendapat bahwa kewenangan menafsirkan adalah pelanggaran etika hakim.[16]

Menyatakan seseorang sebagai Tersangka, memang termasuk wewenang KPK, namun menyatakan hal tersebut di muka umum untuk menarik perhatian (pencitraan politik), dan kemudian berlarut-larut tidak menyerahkan perkaranya kepada penuntut umum, atau dalam hal KPK tidak menyerahkannya kepada Pengadilan Tipikor, tetapi terus menerus membatasi kebebasan Tersangka (diperiksa berulangkali, dilarang ke luar negeri, digeledah rumah dan kantornya, disita barang-barang tertentu, diblokir rekening banknya,dll), menurut saya, adalah penyalahgunaan terhadap kewenangan yang diberikan undang-undang (misbruik van recht). Seandainya belum ditemukan dua bukti permulaan yang cukup, yang diyakini KPK, maka seharusnya tidak dilakukan pengumuman terbuka sebagai Tersangka (boleh saja dia diberi status Tersangka dikalangan intern KPK). Begitu pula belum boleh dinaikkan status penyelidikannya ke tahap penyidikan. Hal ini patut untuk diuji oleh pengadilan, melalui proses pra-peradilan, di mana KPK seharusnya diwajibkan untuk mendalilkan perbuatan apa yang dipersangkakan dengan bukti permulaan apa. Ini adalah prosedur yang adil (due process) ! Pendapat yang dianut oleh mereka yang mencela tindakan hakim Sarpin, adalah karena KUHAP membatasi pra-peradilan hanya untuk memeriksa abuse of power dalam hal penangkapan dan penahanan, maka ditafsirkanlah bahwa  perbuatan abuse of power yang lain oleh KPK (menyatakan seseorang sebagai Tersangka di muka umum-tanpa bukti yang cukup), tidak boleh dilarang. Pendapat yang absurd (menggelikan) !  



Penolakan terhadap revisi UU KPK

Ada berbagai judul berita dan karangan yang dapat menggambarkan kegelisahan gerakan anti-korupsi dengan diusulkannya revisi UU KPK, misalnya: Save KPK; Lawan Upaya Melemahkan KPK [17]; Batalkan Revisi UU KPK; Revisi UU KPK Kontraproduktif; Revisi KPK: Penguatan vs Pelemahan KPK?[18]; Ketika KPK Berada di Tubir Jurang [19]. Sebaliknya usaha meredakan ketegangan datang dari pemerintah dan DPR, misalnya melalui judul berita: Wapres Desak KPK Patuhi KUHAP; Menteri Yasonna: Tak Ada Niat Pemerintah Lemahkan Komisi Antirasuah; dan DPR Klaim Revisi UU KPK Tak “Menggergaji” Pemberantasan Korupsi. Saya belum sempat membaca naskah rancangan revisi UU KPK, karena itu hanya akan memberi  pendapat tentang usul yang berkaitan dengan catatan saya di atas, sehubungan dengan R-KUHP dan R-KUHAP, berdasarkan pemahaman yang saya peroleh melalui media massa.

Dari bahan bacaan dalam media massa (Februari s/d Oktober 2015), saya mendapat kesan ada sekurang-kurangnya 3 (tiga) pendapat sehubungan dengan revisi UU KPK No.30/2002, yaitu: pertama, yang berpendapat bahwa kewenangan luas yang telah diberikan kepada KPK adalah berlebihan dan adalah tidak adil dibandingkan dengan kewenangan yang dipunyai lembaga kepolisian dan kejaksaan dan karena itu menginginkan agar waktu keberadaan KPK dibatasi saja. KPK dan kehususannya dalam acara pidana (menyimpang dari KUHAP 1981) dan peralatannya yang canggih serta anggarannya yang sangat besar, harus bersifat sementara dan tidak seterusnya berada dalam SPP Indonesia. Tidak berkurangnya korupsi di Indonesia, harus ditafsirkan bahwa politk kriminal pencegahannya tidak berhasil dan karena itu diberi batas waktu.  Kedua, yang berpendapat bahwa dasar pembentukan KPK adalah ketidakpercayaan publik kepada netralitas dan profesionalitas lembaga kepolisian,kejaksaan dan pengadilan untuk memberantas korupsi, pada awal Era Reformasi, lebih dari 15 tahun yang lalu. Keadaan sekarang tentu sudah berubah, reformasi di kepolisian, kejaksaan dan pengadilan tentu sudah berjalan, meskipun belum sempurna benar. Sebab itu sudah waktunya kewenangan pemberantasan korupsi secara bertahap diserahkan kembali kepada lembaga kepolisian dan kejaksaan atau KPK dgabungkan dalam organisasi Kepolisian dan Kejaksaan yang ada. Kedua lembaga terakhir ini diberikan juga  kewenangan dan anggaran dan peralatan yang serupa dengan KPK. Pendapat ketiga menilai, bahwa sentimen kepercayaan masyarakat kepada lembaga kepolisian dan kejaksaan belum pulih kembali, namun memang kewenangan yang sekarang diperoleh KPK perlu diawasi agar tidak menjadi “tirani” yang tidak terkendali. KPK memang perlu, namun politik kriminal mereka harus berisikan tiga unsur: preventieve, represieve, dan curatieve. Pimpinan KPK harus memahami, bahwa seperti semua kejahatan, tidak mungkin memberantas korupsi hingga habis-tuntas. Yang dituju adalah mengurangi jumlahnya dan berusaha agar para terpidana korupsi tidak mendapat untung dari perbuatannya dan juga tidak akan mengulanginya.  

Pendapat pertama, saya namakan “gerakan-keras”, yang menolak keberadaan KPK. Boleh jadi memang mereka “didukung” oleh para pengusaha dan birokrat Indonesia yang merasa nyaman dengan “ekonomi-rente” yang berlaku di Indonesia. Sistem ekonomi-rente ini adalah salah satu sumber terjadinya korupsi.  Pendapat kedua, kemungkinan didukung oleh “sentimen persaingan” yang sekarang berkembang. Publik  mengelu-elukan KHN sebagai “pahlawan anti-korupsi”, dan pejabat pimpinan KPK (dan eks-pimpinan KPK) mencitrakan KPK sebagai satu-satunya lembaga anti-korupsi yang bersih dan berhasil. Opini dibentuk agar berbagai tudingan kepada pimpinan KPK digambarkan sebagai “fitnah” dan “kriminalisasi”. Ini saya namakan “gerakan-persaingan”. Sedangkan pendapat ketiga adalah  “gerakan lihat-sejarah”, karena tidak melupakan sejarah dimana kekuasaan yang tidak terbatas dan berada langsung di bawah Presiden, pernah di Indonesia disalahgunakan dengan alasan melawan G30S. Pola “memulihkan ketertiban dan keamanan” (restoring order and security) diadakan untuk memanfaatkan kemarahan dan kepanikan rakyat terhadap ancaman komunisme, melalui lembaga Komando Pemulihan Keamanan Ketertiban (Kopkamtib) yang mempunyai kewenangan tidak terbatas menjadikan seseorang yang dicurigai, langsung sebagai Tersangka paham komunisme, sering tanpa perlu meminta bantuan pengadilan untuk memeriksa dan mengadilinya.

Pendapat ketiga ini takut KPK akan berubah menjadi lembaga yang serupa Kopkamtib, yang merasa “penyelidikannya” sudah benar dan tanpa menunggu adanya dua alat bukti yang cukup dan meyakinkan, berani untuk memberi “stempel Tersangka Korupsi” kepada seseorang , melalui media massa. Namun Tersangka ini tidak ditangkap ataupun ditahan, agar tidak mendapat pembatasan KUHAP tentang waktu dan kemungkinan digugat via proses pra-peradilan. Saya adalah pendukung pendapat ketiga, dan berpendapat bagaimanapun baiknya orang-orang pertama yang memimpin KPK, namun tidak ada jaminan pimpinan yang akan datang adalah serupa integritasnya. Karena itu janganlah sekali-kali melupakan sejarah kita ![20]  



Undang-undang adalah selalu kompromi politik

Penolakan suatu Rancangan undang-undang tentu saja boleh, karena itulah proses demokrasi. Di dalam sidang DPR para wakil rakyat akan beradu argumentasi tentang perlu tidaknya suatu ketentuan ataupun sudah atau belum tepatnya suatu perumusan kalimat. Tentu selalu akan ada “kompromi politik”. Namun apa yang terlihat sekarang adalah gerakan-gerakan massa (di dukung media massa tertentu) yang cenderung menguji dan “mengadili” R-KUHP dan R-KUHAP serta Rencana Revisi UU KPK dengan alasan-alasan yang bersifat politis. Dan juga, menurut saya, lebih didasarkan kecenderungan untuk “melanggengkan” kekuasaan tertentu, dengan tidak mengindahkan perjuangan lama sejak 1963, tentang  perlunya perbaikan hukum pidana Indonesia (materiil dan formil) agar menjadi lebih modern dan dalam prosesnya juga mengutamakan HAM bagi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana.

Suatu ungkapan yang harus dicamkan adalah: “bahwa kita dapat berusaha untuk tidak melanggar hukum, namun kita tidak dapat menjamin bahwa kita tidak akan pernah dilibatkan oleh  hukum dan menjadi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana” – “hukum pidana dan hukum acara pidana yang mengagungkan HAM pasti akan menguntungkan kita semua”.

Penolakan tentang ketiga rancangan tersebut di atas seharusnya dibawa dalam forum debat hukum yang lebih ilmiah/akademis, baik di perguruan tunggi, organisasi profesi, maupun DPR, yang antara lain dapat mempertanyakan hal-hal berikut:

1)Apakah Indonesia akan tetap menganut asas kodifikasi dalam sejumlah bidang hukum yang penting, seperti: Hukum Pidana, Hukum Acara Pidana, Hukum Perdata, Hukum Acara Perdata, Hukum Dagang, Hukum Tatausaha Negara, Hukum Acara Tatausaha Negara ? Dan apakah  kodifikasi akan berarti akan menutup kemungkinan dibuatnya “lex specialis” dalam bidang-bidang hukum yang telah dikodifikasi ?

2)Lembaga KPK yang ada di luar negeri, Hong Kong, Malaysia, Singapura, umumnya tetap bertahan, namun sebagai suatu “lembaga khusus” di bidang penyidikan korupsi dan ditempatkan sebagai bagian dari lembaga kepolisian. Apakah KPK direncanakan akan tetap merupakan lembaga yang terpisah dari kepolisian dan kejaksaan, dengan kewenangan khusus yang menyatukan wewenang penyidikan dan wewenang penuntut umum dalam satu lembaga ? Ataukah akan diteruskan seperti lembaga pemberantasan narkoba di Indonesia (BNN) ?

3)Apabila memang kepercayaan kepada kepolisian (sebagai lembaga penyidik) dan kejaksaan (sebagai lembaga penuntut umum), masih belum pulih kembali (setelah limabelas tahun reformasi), maka apakah dibentuknya  “hakim pemeriksa pendahuluan”  (HPP) dan sidang pra-peradilan yang dapat menerima gugatan Tersangka yang tidak ditangkap dan tidak ditahan, akan dapat mengurangi terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh penyidik dan penuntut umum, yang akan berarti pula mengurangi terjadinya peradilan sesat di kemudian hari ?

4)Kemungkinan penyidik menetapkan seorang sebagai tersangka tanpa mempunyai dua alat bukti yang sah menurut undang-undang, tentu selalu ada. Selama hal tersebut dinyatakan secara “tertutup” (dalam kalangan penyidik sendiri), hal ini masih dapat dianggap wajar sebagai hasil penyelidikan. Namun, apabila persangkaan tersebut dinyatakan secara terbuka dengan mengundang media pers, maka bukankah hal ini harus termasuk dalam perkara yang dapat dibawa ke hakim pra-peradilan, untuk menilai apakah telah terjadi abuse of power ? Terlebih lagi apabila kasus itu berlarut-larut tidak dilimpahkan kepada penuntut umum (sehingga justru disini akan dapat terjadi pemerasan dan penyuapan).

5)Didalam kita mendesain (kembali) SPP Indonesia, apakah kita akan memakai sebagai pedoman-kerja pendekatan “ban-berjalan” ataukah pendekatan “lari-dengan-rintangan” ? Dan meskipun kita akan tetap mempergunakan peran hakim yang bersifat “inkuisitor”, namun apakah tidak sepatutnya hakim memberi kedudukan sederajat antara penuntut umum dengan Terdakwa dan advokatnya (sifat “akusator”) ?.

Mudah-mudahan debat hukum yang terjadi, dilakukan tanpa dusta, dan  akan membantu dalam mencari arah reformasi di bidang sistem peradilan pidana Indonesia. Apa yang terjadi sekarang adalah “kebuntuan pemikiran hukum” dan timbulnya cara berpikir yang lebih  terbawa oleh emosi “panik gawat-korupsi” disertai “pertarungan kekuasaan dan kewenangan”.

-00O00-

Beberapa bahan rujukan yang dapat dipakai untuk melanjutkan pemeriksaan dan penelitian tentang argumentasi perdebatan di atas adalah antara lain:

Aler,G.P.A,1982,De Politiebevoegdheid bij Opsporing en Controle.Zwolle:Tjeenk Willink

Baker, Richard W, M.Hadi Soesastro, J.Kristiadi, Douglas E.Ramage (Editor), 2000, Indonesia The Challenge of Change. Singapore: Institute Of Southeast Asian Studies

Bemmelen,J.M.van,1979,Ons Strafrecht. Het Materiele Strafrecht, Algemene Deel. Alphen aan den Rijn: Tjeenk Willink

-----------------------,1982,Ons Strafrecht.Strafprocessrecht.Alphen aan den Rijn: Tjeenk Willink

Feeley,Malcolm M, 1982, Court Reform on Trial. Why Simple Solutions Fail.New York: Basic Books, Inc.

Goldstein,Abraham S,1981,The Passive Judiciary.Prosecutorial Discretion and the Guilty Plea. London: Lousiana State University Press

Molan,Mike,Duncan Bloy,Denis Lanser,2003,Modern Criminal Law.Fifth Edition. London: Cavendish Publishing

Raz,Joseph, 1970, The Concept of a Legal System. An Introduction to the Theory of Legal System. Oxford: Clarendon Press

The American Law Institute, 1972, A Model Code of Pre-Arraignment Procedure. Official Draft No.1,Philadelphia: The Executive Office The American Law Institute

Tobias, Marc Weber, R.David Petersen, Pre-Trial Criminal Procedure. A Survey of Constitutional Rights, 1972, Springfield, Illinois: Charles C Thomas



Jakarta, Oktober 2015



*Disampaikan sebagai sumbangan makalah dalam Buku Peringatan Enam Dasawarsa Prof. Harkristuti Harkrisnowo, SH.MA.Ph.D



00-MR-00



[1] Ini merupakan pengetahuan saya di Universitas Indonesia, dimana saya mengajar sejak tahun 1961 sampai sekarang dan pernah menjadi Dekan Fakultas Hukum serta Sekretaris Konsorsium Ilmu Hukum Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan R.I.
[2] Ini dapat dipersamakan dengan sistem yang berada dalam sebuah Mobil, “organisasi mobil” terdiri atas “organ”: Mesin – Kemudi – Roda, dll. Prosesnya adalah bagaimana organ-organ tersebut berinteraksi untuk mencapai maksud sistem Mobil ini, yaitu bergerak maju (atau mudur) kearah tujuan tertentu. Diperlukan pemahaman yang benar tentang fungsi “sistem Mobil” ini agar kita dapat memanfaatkannya.  
[3] Kodifikasi disini adalah dalam arti memuat semua norma hukum (atau sekurang-kurangnya norma dasarnya) secara tertulis dan sistematis dalam suatu buku undang-undang (wetboek), seperti telah dilakukan dalam Wetboek van Strafrecht dan Wetboek van Strafvordering Belanda.
[4] Misalnya norma-dasar perbuatan korupsi ditetapkan dalam kodifikasi di KUHP,yang kemudian dirinci melalui undang-undang khusus korupsi; begitu pula norma dasar melakukan penyadapan komunikasi diatur dalam kodifikasi KUHAP, dan selanjutnya prosedur pengcualian atau pengkhususan dapat diatur dalam undang-undang di luar KUHAP.
[5]Lihat Orasi Ilmiah saya: “Reformasi Peradilan Pidana Indonesia. Menghadapi Tantangan Untuk Perubahan” pada Acara Penyambutan Mahasiswa Baru dan Pembukaan Perkuliahan Tahun Akademik 2015/2016, Sekolah Tinggi  Hukum Indonesia JENTERA, Jakarta: 14 September 2015 di http://mardjonoreksodiputro.blogspot.com
[6] KOPKAMTIB atau Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban adalah lembaga yang langsung berada di bawah Presiden Suharto, terdiri dari tenaga-tenaga ABRI (termasuk Kepolisian) dan Kejaksaan yang bertugas dengan wewenang khusus menumpas pendukung Partai Komunis Indonesia, dalam tahun-tahun setelah terjadinya peristiwa yang dikenal dengan nama G30S/PKI.
[7]Cita-cita ini sudah mulai disampaikan untuk KUHP dalam Seminar Hukum Nasional Pertama tahun 1963 di Universitas Indonesia dan kemudian juga untuk KUHAP dalam Seminar HukumNasional Kedua tahun 1968 di Universitas Diponegoro, Semarang.
[8]Tim yang menyusun dan menyerahkan Konsep R-KUHP 1993 ini dipimpin mula-mula oleh Prof.Sudarto (1982-1986), kemudian Prof.Roeslan Saleh (1986-1987;anggota sejak 1982) dan terakhir Prof.Mardjono Reksodiputro (anggota sejak 1982 dan Ketua 1987-1993) dengan Wakil Ketua Budiarti,SH.Dan selama 10 tahun bekerjanya,yang menjadi Sekretaris Tim adalah Yusrida Erwin, SH.
[9] Kedua pendekatan ini mengacu kepada pandangan Herbert Packer, 1964, “Two Models of the Criminal Process”, namun telah ditambah dengan pendapat penulis sendiri berdasarkan pengalamannya.
[10]Kepentingan masyarakat juga sukar untuk ditentukan sumber dan kepentingannya. Sering sekali media massa dan demonstrasi menjadi “wakil” dalam menyuarakan kepentingan masyarakat, tetapi kita tahu juga bahwa sering yang dibawakan adalah kepentingan sekelompok orang yang berani vokal dan atau yang bersedia membiayai demonstrasi itu atau menguasai media massa bersangkutan.
[11] Pertimbangan ini adalah wajib (motiverings verplichting) karena memberikan penjelasan tentang fakta-fakta yang dianggap terbukti dan penafsiran tentang hukum yang diberlakukan atas kasus itu – ini memberikan pemahaman kepada Terpidana tentang kesalahan yang telah dibuatnya – di Indonesia banyak sekali  putusan Hakim yang tidak memberikan pertimbangan ini.
[12]Pada konsep R-KUHP yang diserahkan tahun 1993 (terdiri dari 485 pasal), bab tentang Korupsi ini tidak ada, begitu pula dalam konsep yang diterbitkan semasa Presiden Abdurrahman Wahid tahun 2000 (terdiri dari 646 pasal), bab tentang Korupsi ini timbul semasa Pemerintahan Megawati dan Pemerintahan SBY (diserahkan tahun 2012) dan terdiri dari 764 pasal (Bab tentang Korupsi adalah Pasal 688 – 701).
[13]Lihat misalnya dalam Judicial Council Of Hawaii,Penal Law Revision Project,1970, Hawaii Penal Code (Proposed Draft), hal. 275 – 281. dan Law Reform Commission of Canada,1987, Report Recodifying Criminal Law (Revised and Enlarged Edition), hal.164 – 167.
[14] Memahami Untuk Membasmi. Buku Saku Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi ,2006,Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi,Cetakan Kedua, hal.19 – 21.
[15]Sering dilupakan adalah kepentingan dari warganegara biasa, yang belum pernah melakukan pelanggaran hukum, yang mengharapkan bahwa dia dapat melaksanakan komunikasinya secara bebas, terbuka dan spontan, tanpa harus menimbang-nimbang apakah ucapannya nanti dapat ditafsirkan oleh KPK (yang melakukan penyadapan) sebagai suatu kegiatan korupsi.
[16]Lihat misalnya pendapat Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki dalam ,Forum Keadilan, 16-22 Maret 2015, hal.62
[17] Tjipta Lesmana-Eks Anggota Komisi Konstitusi MPR, dalam Suara Pembaruan,8 Oktober 2015,hal.A11
[18] Indriyanto Seno Adji-Plt Wakil Ketua KPK, Gurubesar Hukum Pidana, dalam Suara Pembaruan, 9 Oktober 2015, hal.A 11
[19] Saldi Isra-Gurubesar Hukum Tata Negara,dalam Media Indonesia, 1 Juni 2015, hal.6
[20] Indonesia pernah punya pemerintahan Orde Lama, yang akhirnya menuntut “Presiden Seumur Hidup” dan kita juga pernah punya pemerintahan Orde Baru, yang memegang kekuasaan selama 30 tahun, semuanya berdasarkan dalih “rakyat yang menuntut” dan kepercayaan palsu, bahwa “absolute power does not corrupt” !