Rabu, 23 April 2014

Arah Hukum Pidana Dalam Konsep RUU KUHPidana*



Pengantar
Sejak tahun anggaran 1981/1982 pemerintah telah secara serius menyusun konsep Kitab Undang-undang Hukum Pidana Baru. Konsep ke-1 ini diserahkan pada tanggal 13 Maret 1993 kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh. Dasar-dasar untuk Konsep ke-1 ini telah diletakkan antara lain oleh: Prof. R. Sudarto, SH (wafat 1986), Prof. Oemar Seno Adji, SH (wafat 1991) dan Prof. Mr. Roeslan Saleh (wafat 1998).(1) Sayangnya Konsep ke-1 ini terlupakan selama masa tugas Menteri Oetojo Oesman, dan baru teringat kembali pada masa tugas Menteri Kehakiman Muladi dan Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra. Pada waktu itulah terbit Konsep ke-2 (1999-2000) dan Konsep ke-3 (2004). Sekarang, setelah + 23 tahun sejak dimulai prakarsa penyusunan Konsep ke-1 oleh Prof. R. Sudarto, SH, Konsep ke-3 yang sudah jauh berubah (dari Konsep ke-1) mulai diajukan ke DPR untuk dibahas. Dalam perjalanan penyusunan selama 23 tahun ini memang konteks dan tantangan dalam masyarakat Indonesia (maupun dunia) sudah berbeda. Karena itu memang menarik untuk mengkaji apakah naskah Konsep ke-3 ini dapat menjawab konteks dan tantangan masyarakat Indonesia tahun 2005 dan selanjutnya.

 

Beberapa prinsip pembaruan WvS

WvS (Wetboek van Strafrecht, 1918) merupakan hukum positif di Indonesia di bidang hukum pidana materiil, dengan berbagai pengubahannya selama hampir 90 tahun ini. Ketika pada tahun 1993, pada saat WvS berumur 75 tahun, Konsep ke-1 diperkenalkan kepada masyarakat, oposisinya cukup keras. Oposisi ini datang dari mereka yang lebih cenderung berada di bawah naungan WvS, ketimbang Konsep ke-1 Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Gagasan-gagasan baru yang dimasukkan dalam Konsep ke-1 misalnya tentang pemidanaan serta delik-delik baru seperti pencucian uang dan perzinahan (kumpul kebo), menimbulkan reaksi keras, baik dari pihak pemerintah maupun dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM).(2)   Yang perlu dicatat adalah bahwa Konsep ke-1 yang diajukan tahun 1993 ini, telah juga memperhatikan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga masyarakat, dengan didukung oleh tiga prinsip (Reksodiputro; Januari, 1994):
(a)        hukum pidana (juga) dipergunakan untuk menegaskan atau menegakkan kembali nilai-nilai sosial dasar (fundamental social values) perilaku hidup bermasyarakat (dalam negara kesatuan Republik Indonesia, yang dijiwai oleh falsafah dan ideologi negara Pancasila);
(b)        hukum pidana (sedapat mungkin) hanya dipergunakan dalam keadaan di mana cara lain melakukan pengendalian sosial (social control) tidak (belum) dapat diharapkan keefektifannya; dan
(c)                hukum pidana (yang telah mempergunakan kedua pembatasan (a dan b di atas) harus diterapkan dengan cara seminimal mungkin mengganggu hak dan kebebasan individu, tanpa mengurangi perlunya juga perlindungan terhadap kepentingan kolektifitas dalam masyarakat demokratik yang modern.

Di samping ketiga prinsip tersebut, Konsep ke-1 juga mengusahakan, agar perumusan:
(i)     perbuatan apa yang merupakan tindak pidana; dan
(ii)   kesalahan (schuld; culpability) macam apa yang disyaratkan untuk meminta pertanggungjawaban pidana (criminal liability) kepada seorang pelaku, dilakukan secara jelas dan dalam bahasa yang dapat dipahami oleh warga.

Agar sistem peradilan pidana tidak terlalu terganggu, maka merumuskan hukum pidana Indonesia oleh orang Indonesia untuk masyarakat Indonesia ini, dilakukan dengan cara re-kodifikasi terhadap WvS 1918 (sebagaimana telah diubah sampai tahun 1993).
Konsep ke-1 RUU KUHP ini telah diusahakan agar mencerminkan asas-asas utama hukum pidana dan aturan-aturan umum penerapannya. Hal ini dirumuskan dalam Buku Kesatu – Ketentuan Umum, yang terbagi dalam sejumlah bab. Begitu juga Konsep ke-1 ini mencoba merumuskan sejumlah tindak pidana yang dianggap serius dan yang merupakan keprihatinan masyarakat Indonesia, khususnya dalam masyarakat yang sedang beralih dari masyarakat tradisional ke masyarakat industri modern. Dalam masyarakat transisi inilah terlihat adanya keinginan menegakkan kembali nilai-nilai moral dan agama, untuk perilaku hidup bermasyarakat. Bagian ini dirumuskan dalam Buku Kedua – Tindak Pidana, yang juga terbagi dalam beberapa bab dan sub-bab.

Pengaruh kriminologi pada re-kodifikasi WvS

Aspek yang menonjol dalam kriminologi sebagai suatu ilmu pengetahuan empirik, adalah penelitiannya mengenai tindak pidana (crimes) dan pelakunya (criminals). Sumbangan kriminologi pada pembaruan politik kriminal (criminal policy), melalui kesimpulan yang diperoleh dari penelitian-penelitiannya, telah terasa pula pada re-kodifikasi WvS 1918 menjadi Konsep ke-1 (lihat Reksodiputro, Nopember 1994). Pengaruh kriminologi ini terlihat baik dalam Buku Kesatu - Ketentuan Umum, maupun dalam Buku Kedua - Tindak Pidana.
Para sarjana pada umumnya memahami tujuan hukum pidana itu sebagai suatu pernyataan celaan resmi masyarakat tentang perilaku yang dilarang. Celaan resmi ini didukung oleh sanksi pidana, dengan maksud mencegah terjadinya atau terulangnya perilaku tersebut. Perilaku yang dicela dan dilarang ini tentunya sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial dasar (fundamental social values) yang hidup dan ditaati masyarakat Indonesia. Dalam konteks pengakuan atas kemajemukan masyarakat Indonesia, dengan budaya-budayanya masing-masing, maka asas legalitas yang tetap merupakan salah satu sendi hukum pidana Indonesia, ditafsirkan meliputi pula “delik adat”. Unsur kesalahan, tetap merupakan persyaratan dalam memidana pelaku dan dijatuhkan dalam bentuk “pemenuhan kewajiban adat” (Reksodiputro, Desember 1994).
Sendi hukum pidana Indonesia yang lain, adalah perlu adanya kesalahan (schuld; dolus atau culpa), dan ini berakibat adanya konsep pertanggungjawaban pidana (criminal liability). Disamping keadaan tidak dapat dipertanggungjawabkan, karena “mental defect” dan “mental abnormality”, maka keadaan kurang bertanggungjawab (diminished responsibility) digagaskan pula sebagai suatu alat pembelaan (defense) bagi pelaku. Masih dalam rangka asas “criminal liability”, maka Konsep ke–1 juga mengajukan adanya “corporate criminal liability”, yang terutama ditujukan untuk melawan “crime by corporations” (kejahatan oleh korporasi/organisasi – KOO) (Reksodiputro, Juni 1993).
Selanjutnya, dengan memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan tentang perilaku anak serta perlunya perlindungan terhadap hak-hak anak  (rights of the child), maka dalam Konsep ke–1 diajukan ketentuan ditiadakannya pertanggungjawaban pidana anak di bawah umur 12 (duabelas) tahun. Juga dalam bab khusus diatur tentang jenis-jenis pidana khusus (dibedakan dari orang dewasa) untuk anak antara 12 – 18 tahun. Hal ini adalah sesuai dengan “the Beijing Rules” yang disponsori PBB dalam tahun 1985.
Yang juga merupakan hal baru dalam re-kodifikasi WvS adalah dirumuskannya Tujuan Pemidanaan, Pedoman Pemidanaan dan Pedoman Penerapan Pidana Penjara. Pengaturan ini dimaksudkan untuk memberikan kepada hakim pegangan dalam memilih sanksi pidana yang tersedia dalam Konsep ke–1. Disini perlu juga dicatat bahwa dalam Konsep ke–1 ini pidana mati (death sentence) dijadikan pidana khusus di luar pidana pokok. Juga diatur bahwa disamping sanksi berupa pidana, terdapat sanksi berupa “tindakan” (maatregel).

Penegasan atau penegakan kembali nilai sosial dasar

Kritik yang pada awal tahun 1990-an ditujukan kepada Konsep ke–1 adalah berkisar pada :
(a)     masih tetap dipertahankannya bab tentang keamanan negara dan pejabat negara;
(b)     diperluasnya perbuatan yang dilarang dalam bab tentang kesusilaan;
(c)     dalam kaitan dengan butir b ini, dipermasalahkan pula kurang pekanya para penyusun pada permasalahan jender, khususnya korban perempuan.
Pada tahun 2004 dan 2005 ini kritik ditambah pula pada masalah :
(d)    Pembatasan yang terlalu ketat terhadap kebebasan menyampaikan pendapat (freedom of speech) dan kemerdekaan pers (freedom of the press).
Dibawah ini akan dicoba dijelaskan bagaimana pemikiran dalam Konsep ke–1 tersebut tentang hal-hal yang memperoleh kritik.
a.      Tentang bab keamanan negara dan pejabat negara
Dalam WvS 1918, empat bab pertama dalam Buku Kedua tentang Tindak Pidana adalah sehubungan dengan: keamanan negara, martabat presiden dan wakil presiden, kepala negara sahabat dan terhadap dewan perwakilan rakyat. Pada dasarnya kepentingan yang dilindungi adalah memang “kepentingan negara”, yaitu berfungsinya organisasi negara (termasuk hubungan dengan negara sahabat). Dalam beberapa negara asing, tindak pidana seperti ini dikenal sebagai “crimes against state security”.
Tindak pidana yang paling serius disini adalah yang dikategorikan sebagai “high treason” (membunuh presiden, membantu musuh yang berperang dengan Indonesia, dll) dan “treason” (menggulingkan pemerintahan yang sah, pemberontakan, dll). Rumusan dari keempat bab ini dalam konsep ke–1 (dan sebenarnya + 75% dari RUU KUHP) pada dasarnya diambil dari rumusan lama WvS (karena itu dilakukan re-kodifikasi), dengan pengecualian 4 – 5 pasal pertama dalam Bab–1 Buku Kedua. Pasal-pasal tersebut berhubungan dengan ajaran komunisme dan marxisme. Adapun maksud dari masuknya pasal-pasal tersebut adalah untuk mengganti atau mempersiapkan ganti bagi aturan undang-undang subversi. Tim perumus Konsep ke–1 tidak punya mandaat untuk mengusulkan pencabutan UU Subversi (pada awal tahun 1990-an) dan dengan masuknya pasal-pasal tersebut, mengharapkan pemerintah dapat menerima dicabutnya undang-undang yang oleh Tim perumus dianggap sebagai tidak sejalan dengan pembaruan undang-undang pidana nasional.
Meskipun tetap berpedoman pada rumusan tindak pidana bab-bab 1 sampai dengan 4 Buku Kedua WvS, namun perumusan tindak pidana dalam bahasa Indonesia telah diusahakan agar jelas dan dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh warga (clearly and understandably) perbuatan apa yang dilarang dan unsur-unsur apa yang diperlukan untuk pertanggungjawab pidana pelaku. Sejumlah perbuatan yang dilarang juga dirumuskan sebagai delik materiil, yang berarti bahwa dalam perumusan harus disebut apa yang merupakan akibat dari perbuatan tersebut, yang dianggap membahayakan kepentingan keamanan negara. Remmelink juga menyebut tindak pidana ini sebagai “kejahatan politik” (dibedakan dari “kejahatan umum”), apabila motivasi yang melandasi perbuatan pelaku adalah “keyakinan politik” (Remmelink, 2003, hal. 73 dstnya). Diakui bahwa tindak pidana ini dapat disalahgunakan oleh negara (pemerintah) untuk menghambat “kebebasan berbicara” (speech), yang dijamin Konstitusi kita (pasal 28 dan 28E ayat 3).
Konsep ke-1 mengakui adanya “kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan” (pasal 28 UUD 1945), namun juga berpendapat tetap harus dibatasi “free speech” yang melampaui batas-batas perlindungan konstitusi. Kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan tetap harus dilindungi, namun penyalahgunaannya yang (dapat) menimbulkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat tentunya sudah melampaui batas perlindungan konstitusi. Terutama yang harus diancam pidana adalah “penyebaran kebencian” (inciting hate), yang menimbulkan keonaran dan kerusuhan dalam masyarakat. Penyebaran “kebencian” ini adalah pernyataan pikiran  dengan lisan atau tulisan yang sama sekali tidak ada artinya, kecuali mengekspresikan kebencian terhadap pemerintah atau kelompok orang tertentu dan (dapat) menimbulkan kekerasan terhadap manusia atau barang. Disini penting untuk merumuskan tindak pidana ini menjadi delik materiil. Dalam delik materiil yang dicegah adalah timbulnya suatu bahaya konkret, karena itu yang dilarang adalah suatu tindakan (misalnya: menghina atau menghasut) dan munculnya suatu akibat yang menimbulkan bahaya bagi kepentingan hukum tertentu (misalnya: keonaran dalam masyarakat yang memecah kesatuan bangsa atau membahayakan jiwa atau barang).
Struktur Buku Kedua dapat saja diganti dan disesuaikan dengan alam demokrasi yang sedang berkembang di Indonesia, sehingga strukturnya menjadi mendahulukan ancaman terhadap hak-hak individu (crimes against the person, seperti a.l.: tindak pidana terhadap nyawa, penganiayaan, kemerdekaan orang, kesusilaan, penghinaan, hak asasi manusia, dll), kemudian ancaman terhadap hak-hak kebendaan (crimes against property, seperti: a.l. tindak pidana pencurian, penggelapan, perbuatan curang/penipuan, merugikan kreditor, korupsi), selanjutnya ancaman terhadap hak-hak masyarakat (communal rights, seperti a.l. : tindak pidana terhadap ketertiban umum, penyelenggaraan peradilan, agama dan kehidupan beragama, keamanan umum bagi orang, kesehatan, barang dan lingkungan hidup, dll), baru terakhir ancaman terhadap kepentingan negara (crimes against state’s policy and governmental order, seperti a.l. : tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat presiden, kewajiban dan hak kenegaraan, kekuasaan umum dan lembaga negara, dll).
b.   Tentang diperluasnya perbuatan yang dilarang dalam bab tentang tindak pidana kesusilaan.
Bab tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan dalam WvS, berasal dari judul bahasa Belanda: “Misdrijven tegen de zeden”. Bagian awal dari bab ini memuat tindak pidana yang berkaitan dengan kesusilaan dalam pengertian “kehidupan seksual”, namun pada akhir bab terdapat tindak pidana yang berkaitan dengan penganiayaan hewan (dieren mishandeling), perjudian (kansspelen), pemabukan dan pengemisan. Pengertian “zeden” memang tidak selalu harus berkaitan dengan kehidupan seksual. Dapat diartikan pula tata-susila, sopan santun, kesopanan dan karena itu berkaitan pula dengan “moral masyarakat” atau “akhlak” (crimes against public morals).
Kehidupan seksual yang merupakan inti perbuatan yang dilarang dalam bab ini semula memang ditujukan hanya pada “integritas badan dan jiwa” (bodily and psychological integrity) dan karena itu mengatur tindak pidana perkosaan, pengguguran kandungan, perbuatan cabul, incest (persetubuhan dengan anggota keluarga sedarah), pelacuran dan perzinahan. Yang bersinggungan dengan kehidupan seksual adalah pornografi (tulisan, gambar atau benda, serta menyanyikan dan mengucapkan pidato yang melanggar kesusilaan).
Perzinahan atau permukahan (overspel) memang berada juga di “daerah perbatasan” tentang “crimes against public morality”. Pertama, karena tidak ada “kekerasan” terhadap “bodily and psychological integrity”, dan juga kedua tidak dilakukan di muka umum atau tempat umum. Oleh karena itu sifat delik ini adalah delik pengaduan (klacht delict). Pengaduan dilakukan oleh suami/istri yang “tercemar” atau keluarga, kepala adat atau kepala desa/lurah setempat. Ini cara Konsep ke-1 melindujngi “privacy”, agar tidak mudah  “private trouble” menjadi  “public trouble”.
b.      Tentang kepekaan pada permasalahan jender, khususnya korban perempuan
Kritik yang diberikan kepada perumusan dalam Konsep ke-1, dalam masalah jender dan korban perempuan adalah: (a) kurangnya perhatian kepada korban kejahatan kesusilaan seksual (sexual violence victims) dan (b) kurangnya perhatian kepada korban kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence victims).(3)
Tim perumus Konsep ke-1 menyadari pula permasalahan ini dan mencoba untuk memberi perhatian dengan cara memperluas dan memperinci pengertian tentang perkosaan. Terdapat 8 (delapan) perbuatan yang diancam pidana sebagai perkosaan dan disamping ancaman maksimum 12 (duabelas) tahun, untuk pertama kali dalam sejarah hukum pidana Indonesia dirumuskan ancaman pidana minimum 3 (tiga) tahun. Dirumuskan pula perbuatan yang dikenal sebagai “statutory rape”, laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan persetujuan perempuan yang belum berusia 14 tahun. Untuk melindungi perempuan, juga diancam pidana laki-laki yang ingkar janji mengawini perempuan yang berzina dengannya, ataupun tidak mau mengawini perempuan yang hamil karena berzina dengannya.
Memang cara yang dilakukan di atas diakui belum dapat sepenuhnya melindungi perempuan korban kejahatan kesusilaan, maupun korban kekerasan dalam rumah tangga. Di luar negeri perlindungan ini dilakukan a.l. melalui : (a) perlindungan terhadap korban sebagai saksi, dengan peraturan perlindungan saksi dan larangan untuk mempublikasi identitas korban/saksi; (b) menyediakan “guidance centers” dan “shelters” untuk para korban; (c) erat kaitan dengan di atas adalah memberikan bantuan dana untuk pengobatan, rehabilitasi dan juga melakukan gugatan kepada pelaku (litigation expenses), (d) mempersiapkan tenaga-tenaga yang ahli (expert) dalam menangani kasus, sejak dari pengaduan, rehabilitasi sampai ke pengadilan, dan (e) mempermudah pengaduan sehubungan dengan kekerasan rumah tangga, khususnya pengaduan terhadap kekerasan oleh suami, yang tidak memerlukan prosedur hukum acara pidana yang biasa (Purnianti, 2002). Tim berpendapat bahwa cara perlindungan seperti diuraikan di atas bukanlah wewenang Tim dan tempatnya bukan dalam hukum pidana materiil (substansi), tetapi dalam hukum acara pidana (prosedural) atau peraturan tersendiri.

d.   Tentang pembatasan terhadap kebebasan berpendapat maupun kemerdekaan pers
Kritik terhadap rumusan yang dianggap membatasi kebebasan berpendapat dan/atau kemerdekaan pers, baru diajukan dalam + 2 tahun terakhir. Kritik ini tidak mempergunakan Konsep ke-1 sebagai acuan melainkan Konsep ke-3 (2004). Namun sebagian besar dari rumusan RUU KUHP yang dikritik berasal dari Konsep ke-1 dan karena itu dapat dijawab makalah ini.(4)
Terdapat 49 (empatpuluh sembilan) rumusan tindak pidana yang oleh para pengeritik dianggap membatasi atau mengancam “kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan atau tulisan” (pasal 28 UUD) maupun “kebebasan mengeluarkan pendapat” (pasal 28E ayat 3 UUD). Rumusan perbuatan yang dilarang itu tersebar dalam 18 (delapan belas) jenis tindak pidana. Dengan mempergunakan sistematik dan penomoran pasal-pasal dalam Konsep ke-3 (2004), akan diperoleh gambaran seperti di bawah ini. Ternyata bahwa dari 49 pasal tersebut : 9 pasal adalah baru dan 40 pasal lainnya berasal dari WvS.
1.      Tindak pidana terhadap ideologi negara (4 pasal): Pasal 209, 210, 211, 212 (tidak ada padanan dalam WvS);
2.      Tindak pidana terhadap pertahanan dan keamanan negara (3 pasal): Pasal 218, 226, 227 (118, 112 dan 113 WvS);
3.      Penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden (3 pasal): Pasal 262, 263, 264 (131, 137, -- WvS);
4.      Penghinaan terhadap kepala negara sahabat (3 pasal): Pasal 269, 270, 271 (142, 143 dan 144 WvS);
5.      Penghinaan terhadap simbol negara dan pemerintah (3 pasal): Pasal 284, 285, 287 (154, 155, 157 WvS);
6.      Penghasutan (4 pasal): Pasal 288, 289, 290, 291 (160, 161, 162 dan 163 WvS);
7.      Gangguan terhadap ketertiban dan ketenteraman umum (2 pasal): Pasal 307, 308 (--, -- WvS);
8.      Tindak pidana terhadap agama ( 3 pasal)¨Pasal 336, 339 , 340 (156a WvS, -- WvS);
9.      Penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara (2 pasal): Pasal 400, 401 (207 dan 208 WvS);
10.    Pornografi dan porno aksi (5 pasal): Pasal 469, 470, 471, 472, 473 (282 WvS, -- WvS);
11.    Mempertunjukkan pencegahan kehamilan dan pengguguran kandungan (3 pasal): Pasal 481, 482, 483 (283 WvS, -- WvS);
12.    Pencemaran (1 pasal): Pasal 511 (310 WvS);
13.    Fitnah (1 pasal): Pasal 512 (311 WvS);
14.    Penghinaan ringan (2 pasal): Pasal 514, 515 (315 dan 316 WvS);
15.    Persangkaan palsu (1 pasal): Pasal 517 (318 WvS);
16.    Pencemaran orang mati (2 pasal): Pasal 519, 520 (320 WvS);
17.    Tindak pidana pembocoran rahasia (4 pasal): Pasal 522, 523, 524, 525 (322, 323, -- WvS);
18.    Tindak pidana penerbitan dan pencetakan (3 pasal): Pasal 723, 724, 725 (483, 484, 485 WvS);
            Dari perincian di atas dapat terlihat bahwa sebagian besar pasal yang ditakuti akan mengancam “freedom of speech” dan/atau “freedon of the press”, adalah sebenarnya juga bertujuan untuk melindungi warga masyarakat terhadap pengingkaran haknya oleh sesama warga masyarakat lainnya. Permasalahan tentang butir 1 sampai dengan 4 telah didiskusikan sebelumnya, mungkin juga butir 5 dapat diperiksa kembali.
Namun, sehubungan dengan butir 6 sampai dengan 18, perlu kita sadari  bahwa:
(1)   Perbuatan penghinaan terhadap golongan penduduk dan penghasutan terhadap publik pada dasarnya adalah “crimes against society in general”, karena bertujuan untuk mengganggu keharmonisan dalam masyarakat (social harmony). Tujuan pelaku adalah “to promote feelings of  ill will and hostility between different groups in the community” (ingat kasus Ambon dan Poso!).
(2)   Perbuatan yang berkaitan dengan pornografi dan pencegahan kehamilan, memang menyangkut masalah “public morals”. Justru apabila kita ingin lebih baik melindungi perempuan dari korban pelecehan dan kekerasan, maka jenis tindak pidana ini harus dianggap tidak mengganggu kebebasan berekspresi.
(3)   Pencemaran (slander, smaad), penghinaan (belediging) dan fitnah (libel, defamation, laster) selalu ada dalam setiap Kitab Undang Undang Pidana (Penal Code) dari negara demokratik dan modern. Selama “perbuatan” tersebut bukan “hate crimes” dan selama dilakukan untuk membela diri (in his own necessary defense) atau dengan iktikad baik pelaku berasumsi bahwa tuduhannya adalah benar dan diperlukan untuk kepentingan umum (required in the public interest), maka perbuatannya bukanlah pencemaran, penghinaan atau fitnah.
(4)   Tindak pidana pembocoran rahasia ditujukan kepada seseorang dalam profesi (beroep) tertentu atau karena jabatan (by reason of his office) dan dimaksudkan agar publik yang memerlukan bantuan mereka tersebut tidak takut memberitahu permasalahannya, karena pasal ini mencegah dibukanya rahasia atau permasalahannya kepada umum (misal dokter, advokat dan pendeta). Karena itu pasal ini sama sekali tidak mengancam “freedom of speech” dan/atau “freedom of the press”.
(5)   Tindak pidana penerbitan dan pencetakan termasuk dalam bab tentang pemudahan (beganstiging, cooperation after the fact) dan ditujukan kepada penerbit dan pencetak yang menerbitkan atau mencetak bahan yang menurut sifatnya telah dapat dipidana (of a criminal nature). Apakah pasal ini akan dipertahankan atau dihapus karena sudah ada undang-undang pers dapat didiskusikan.

Penutup – Kesimpulan

Uraian di atas ingin menunjukkan bahwa tuduhan seakan-akan Konsep RUU KUHP adalah anti–demokrasi, atau inkonstitusional adalah keliru sekali. Apalagi pendapat yang meminta agar DPR menolak seluruh RUU KUHP. Dua pepatah mungkin dapat menjelaskan cara berpikir keliru dari pemuat saran terakhir ini : “Ia mendengar bunyi lonceng, tetapi tidak tahu dimana adanya” dan atau “Secara sembrono membuang bayi bersama-sama dengan air mandinya”.(5)  Apa yang seharusnya dilakukan adalah mengkaji apakah memang perbuatan yang dilarang itu benar, kemudian melihat apakah perumusannya tidak keliru karena terlalu luas jangkauannya, Kalau begitu sempurnakan perumusannya!
          
*Disampaikan dalam Pertemuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia: “Pembaruan KUHP: Melindungi HAM, Kepentingan Umum dan Kebijakan Negara”.  (Jakarta, 24 November 2005).



 
Daftar Pustaka

Mardjono Reksodipuro, “Tindak Pidana Korporasi dan Pertanggung-jawabannya. Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan di Indonesia“, Pidato Dies Natalis Ke-47 Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Juni 1993.

______________, “Rekodifikasi Hukum Pidana: Beberapa Catatan Awal”, makalah di Fakultas Hukum Universitas Mataram, Januari 1994.

______________,  “Pengaruh Pemikiran Kriminologi Dalam Rancangan KUHP Baru”, makalah di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Nopember 1994.

______________,  “Delik Adat Dalam Rancangan KUHP Nasional”. Makalah di Fakultas Hukum Universitas Udayana, Desember 1994.

Purnianti dan Rita Serena Kolibonso, Menyingkap Tirai Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Mitra Perempuan, 2003.

Remmelink, J. HukumPidana : Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, 2003.


(1) Untuk daftar lengkap Panitia Penyusunan Konsep ke-1 RUU KUHP, lihat Mardjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Pidana, Lembaga Kriminologi UI, Jakarta 1995, hal. 13.
(2)  Dalam harian Kompas, 24 Pebruari 1997, Menteri Kehakiman Oetojo Oesman mengatakan telah “mengembalikan”(?) konsep RUU KUHP Nasional, mengingat materinya masing mengandung banyak kelemahan.
(3)  Lihat misalnya kritik Nursyabani Katjasungkana, “Revisi KUHP Bias Gender dan Bias Kelas”, wawancara Kamis, 9 Oktober 2003 dengan Kajian Islam Utan Kayu (KIUK).
(4)  Antara lain kritik yang diajukan oleh Nursyahbani Katjasungkana, loc.cit.,  yang berpendapat bahwa pasal 310 dan 311 WvS, yang tetap dipertahankan, pada umumnya digunakan untuk “merepresi dunia pers dan insan pers”. R.H. Siregar dalam “RUU KUHP dan Kebebasan Pers”, Suara Pembaruan 27 April 2005, menyatakan bahwa RUU KUHP bukannya menghilangkan “ranjau-ranjau pers”, bahkan sebaliknya menambah “pasal-pasal karet” yang bisa mengancam kebebasan pers. Ketua Dewan Pers Ichlasul Amal, membacakan Memorandum Dewan Pers dan menyebut adanya 49 pasal karet dalam RUU KUHP yang berpotensi membelenggu hak-hak masyarakat untuk berpendapat, berekspresi dan berkomunikasi (Kompas, 4 Maret 2005). Pendapat serupa dikemukakan oleh mantan Ketua Dewan Pers, Atmakusumah Astraatmadja dalam “Misteri Di Balik RUU KUHP” (September 2005).

(5) Pepatah Belanda : “Hij hoort de bel luiden, maar weet niet waar de klepel hangt” dan pepatah Inggris : “Throw the baby out with the bathwater”.