Makalah ini merupakan
penyempurnaan dari sebuah makalah lama yang pernah saya sampaikan di Auditorium PTIK
pada Upacara Dies
Natalis PT1K Ke-47 dan Wisuda Sarjana Ilmu Kepolistan Angkatan XXVIIIISoekamo
Djojonegoro, pada 17 Juni 1993.Duapuluh
tahun yang lalu, RKUHP baru saja diserahkan kepada Menteri Kehakiman Ismail
Saleh (Maret 1993) yang kemudian meneruskannya kepada Menteri Kehakiman Oetojo
Oesman (April 1993).[1]
Pada waktu makalah Pidato Dies PTIK ini disampaikan, belum banyak tulisan di Indonesia
tentang pertanggungjawaban korporasi[2].
Tentu lain halnya sekarang (tahun 2014),
karena itu saya merasa bahwa pengertian tentang “pertanggungjawaban pidana
korporasi” dan “kejahatan korporasi”sudah sangat dikenal dalam dunia ilmu hukum
di Indonesia. Namun,yang mengherankan saya adalah tidak adanya Yurisprudensi Mahkamah Agung yang memberi pencerahan
bagaimana pengadilan harus menangani kasus-kasus di mana perbuatan perorangan (natural
person) harus dipertanggungjawabkan oleh korporasi (legal person).Sebaliknya
banyak sekali peraturan perundang-undangan kita menyatakan bahwa tindak pidana
yang dirumuskan di dalamnya dapat dilakukan oleh korporasi dengan meningkatkan
ancaman pidananya[3].
Pengantar
Sebagai
sarjana yang lebih banyak menekuni masalah Kriminologi daripada Hukum Pidana
dan Hukum Acara Pidana, maka pendekatan saya tidaklah terlalu yuridis[4].
Perrnasalahan
yang ingin dibahas disini adalah berubahnya
wajah pelaku kejahatan di Indonesia, yang disebabkan oleh perkernbangan
pembangunan nasional kita. Malahan ada benarnya bilarnana dikatakan bahwa
masyarakat yang lebih rnakrnur dan ciri negara yang ingin rneratakan
pernbangunan, telah rnembuka dimensi-dimensi
baru
tentang kejahatan dan pelakunya. Perubahan yang akan
dibahas di sini adalah tentang tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.
Pelaku kejahatan di sini bukanlah manusia, tetapi suatu kesatuan yang disamakan
dengan rnanusia.
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (Rancangan KUHP Nasional) yang telah diserahkan kepada Menteri
Kehakirnan Ismail Saleh,SH[5],
pada tanggal 17 Maret 1993 dan akhirnya sampai di DPR Desember 2012 (setelah 19 tahun !), telah
rnempertirnbangkan perubahan ini. Salah satu contoh tentang hal ini adalah
diakuinya dalam hukum pidana umum, bahwa korporasi dapat merupakan subyek hukum
pidana. Hal ini berbeda dengan apa yang dikenal sekarang dalarn KUHP kita yang
berasal dari jaman Hindia Belanda (mulai berlaku tahun 1918; dan dengan segala perubahannya sarnpai 8 Maret 1942 kemudian
dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dengan UU No. 73
tahun 1958). Dari penafsiran urnum
yang berlaku berdasarkan sifat KUHP, maka yang dapat menjadi pelaku kejahatan hanyalah
manusia. Dan berdasarkan pasal 59 KUHP
kita, pengurus korporasilah yang harus bertanggungjawab. Hal ini berbeda
dengan Rancangan KUHP Nasional yang telah memungkinkan suatu korporasi menjadi
subyek hukum pidana dan dimintakan langsung mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Apabila Rancangan ini nani menjadi kenyataan sebagai peraturan
perundang-undangan Indonesia, maka akan mulai berubah pulalah pelaksanaan
peradilan pidana di Indonesia. Marilah kita masuki permasalahan ini secara
historis dan sistematis.
Sejarah
singkat
Para perancang KUHP yang sekarang
berlaku (yang nama resminya adalah Wetboek
van Strafrecht
voor Nederlandsch-Indie)
menyatakan pada waktu itu, bahwa sebaiknya untuk Hindia-Belanda diberlakukan
satu KUHP saja, yang berlaku bersama untuk golongan Eropa dan golongan
Indonesia (Bumiputera) dan Timur-Asing. Model yang diambil adalah KUHP yang
berlaku di Belanda sejak 1886 (yang menggantikan Code Penal, yang sebelum 1886 berlaku di Belanda). Perlunya
kesatuan KUHP untuk Hindia-Belanda ini, mengalami perbedaan pendapat. Pendapat
yang menentang kesatuan (unifikasi) menyatakan, bahwa kesederhanaan masyarakat
Bumiputera belum memungkinkan mereka dapat menyesuaikan diri pada asas-asas
hukum yang berlaku untuk golongan Eropa di Hindia Belanda. Sebaliknya mereka
yang mendukung kesatuan berpendapat, bahwa dalam perkembangan kekuasaan
administrasi Belanda di HindiaBelanda, KUHP untuk golongan Bumiputera dan Timur-Asing
(mulai berlaku 1873), dalam praktek
peradilan, telah disamakan (dengan beberapa
perkecualian) dengan KUHP untuk golongan Eropa (mulai berlaku 1866).[6]
Dengan alasan-alasan tambahan, bahwa sejak tahun 1873 "hukum pidana bumiputera" atau "hukum pidana
adat" telah dihapuskan oleh Pemerintah Hindia Belanda, maka antara tahun 1909-1913 disusunlah rancangan KUHP
yang berlaku untuk semua golongan, dengan mempergunakan sebagai contoh KUHP
Belanda 1886, dan kemudian diajukan kepada pemerintah di Belanda pada tahun 1914. Rancangan ini, dengan beberapa
perubahan,
diumumkan di Hindia-Belanda pada bulan Desember 1915, dan kemudian pada tanggal
31 Oktober 1917, dinyatakan akan berlaku mulai tanggal 1 Januari 1918 di Hindia-Belanda. Inilah riwayat singkat KUHP yang sekarang
berlaku di wilayab Republik Indonesia.
Dalam rancangan KUHP Hindia-Belanda 1918
tersebut, maka pasaI 59 samasekali tidak mengaIami perubahan daIam sejarah pembentukannya. Rumusannya tepat sama dengan pasal 51 lama
KUHP Belanda 1886. Pasal 59
(dan pasaI
51) ini memuat suatu aIasan penghapus
pidana untuk pengurus yang tidak terlibat daIam terjadinya tindak pidana.
Sejak semula pasaI ini telab mengundang pertanyaan:
"apakah
suatu kesatuan-orang atau korporasi (seperti pribadi hukum atau "zakelijk
lichaam", perkumpulan orang atau "collectieve persoon", serta
badan hukum dan komunitas) dapat merupakan subyek hukum pidana. Jawaban
yang diberikan oleh para ahli menunjukkan tidak
adanya kesepakatan. Namun untuk KUHP
Belanda (1886) memang dianut pendapat, bahwa tidak mungkin dalam hukum pidana
umum suatu korporasi menjadi subyek dari suatu tindak pidana. Yang dapat
meniadi subyek hukum pidana hanyalah manusia. Perkecualiannya adalah
apabila haI tersebut diatur secara
khusus daIam suatu undangundang di luar KUHP Belanda. Permasalaban ini
sudah dapat dibaca daIam buku pelajaran hukum pidana daIam tahun 1920-an.[7]
Karena hubungan yang ada antara KUHP Hindia-Belanda dengan KUHP Belanda, maka
di Indonesia dianut pula pendapat yang sama.
Penafsiran
terhadap Pasal 59 KUHP
Karena itu dalam pendidikan tinggi hukum
di Indonesia, dan demikian pula diikuti oleh pelaksanaan peradilan pidana
Indonesia, selalu dikatakan bahwa beban
"tugas mengurus" (zorgplicht)
suatu "kesatuanorang" atau korporasi harus berada pada pengurusnya.
Korporasi bukan subyek tindak pidana. Dengan begitu, maka apabila pengurus tidak
memenuhi kewajiban yang merupakan beban "kesatuan-orang" atau
korporasi itu, maka mereka yang bertanggungjawab menurut hukum pidana. Di dalam
praktek, ajaran pertama ini masih
menimbulkan permasalahan. Pertanyaan
yang timbul adalah, bagaimana kalau ketentuan
pidana yang bersangkutan memang telah mernberikan kewajiban kepada seeorang
pemilik perusahaan atau pengusaha, sedangkan
pemilik atau pengusahanya adalah suatu korporasi, akan tetapi ketentuan pidana tersebut tidak menyatakan bahwa
penguruslah yang harus bertanggungjawab. Siapakah yang harus dianggap sebagai
pelaku tindak pidana itu? Untuk mengatasi hal tersebut, maka timbul ajaran kedua yang menyatakan bahwa "korporasi dapat diakui sebagai pelaku
(dader), tetapi pertanggungjawaban pidananya (penuntutan dan pemidanaan) berada
pada pengurus", Oleh karena itu pasal 59 KUHP kita (=pasal 51 lama
KUHP Belanda) harus ditafsirkan menurut ajaran kedua ini, yaitu bahwa korporasi
dapat melakukan tindak pidana,
hanya saja pertanggungjawaban pidananya dibebankan kepada pengurus. Yang
dapat dihapus pidananya hanyalah pengurus yang dapat membuktikan dirinya tidak
terlibat, sedangkan pengurus yang lain dapat dipidana. Namun belum tentu
pengurus ini adalah pelaku menurut hukum pidana. Apabila ketentuan pidana yang
bersangkutan memberikan kewajiban kepada pengusaha yang berupa korporasi, maka
korporasi inilah yang menurut hukum pidana harus dianggap sebagai pelaku.[8] Apabila dianut penafsiran seperti ini, maka
seharusnya di pendidikan tinggi hukum dan di pengadilan kita, pandangan bahwa KUHP kita hanya mengenal
manusia sebagai subyek hukum pidana haruslah diubah.
Korporasi
sebagai subyek tindak pidana
Perkembangan selanjutnya berada di luar
KUHP kita. Di atas telah dikemukakan bahwa perkecualian dari asas bahwa hanya
manusia yang merupakan subyek hukum pidana, dapat dilakukan dalam ketentuan
pidana di luar KUHP. Perkecualian ini
merupakan dasar dari ajaran ketiga,
yaitu bahwa korporasi dapat menjadi pelaku tindak pidana dan sekaligus
bertanggungjawab atas tindakan tersebut. Di Belanda, perkecualian ini
diterapkan dalam tahun 1950 melalui
undang-undang delik ekonomi (Wet op de
Economische Delicten), yang kemudian diambil aIih daIam peraturan
perundang-undangan Indonesia pada tahun 1955
(UU No. 7 Drt/1955, tentang tindak pidana
ekonomi). Sejak 13 Mei 1955 ini, maka khusus untuk tindak pidana ekonomi,
telah dijadikan subyek hukum
pidana yang dapat dituntut dan dipidana: "badan hukum, perseroan, perserikatan yang
lainnya atau yayasan" (pasal 15). Dalam tahun 1976 Belanda melangkah lebih jauh lagi dan merubah sama sekali
pasal 51 mereka, sehingga pasal yang baru menyatakan dengan tegas bahwa dalam
hukum pidana umum (KUHP) Belanda "tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia (natuurlijke personen) dan badan hukum (rechtspersonen)". Apabila nanti
Rancangan KUHP Nasional diterima menjadi peraturan perundang-undangan
Indonesia, dan memuat ketentuan bahwa korporasi dapat merupakan subyek hulcum
pidana, maka ajaran ketiga di atas
telah masuk pula dalam hukum pidana umum Indonesia.[9]
Dengan (akan) diterimanya korporasi
sebagai subyek hukum pidana, maka hal ini berarti telah terjadi perluasan dari
pengertian siapa yang merupakan pelaku
tindak pidana (dader). Permasalahan
yang segera muncul adalah sehubungan dengan pertanggungjawaban pidana dari
korporasi ini. Asas utama dalam
pertanggungjawaban pidana adalah harus adanya kesalahan (schuld) pada pelaku. Bagaimanakah
kita harus mengkonstruksikan kesalahan dari suatu korporasi ? Ajaran yang
banyak dianut sekarang ini memisahkan antara perbuatannya yang melawan hukum
(menurut hukum
pidana) dengan pertanggungjawabannya menurut hukum pidana.[10] Perbuatan melawan hukum ini dilakukan
oleh suatu korporasi. Ini sekarang telah dimungkinkan. Tetapi bagaimana kita
mempertimbangkan tentang pertanggungjawabannya? Dapatkah dibayangkan pada
korporasi terdapat unsur kesalahan (baik kesengajaan atau dolus ataupun
kelalaian atau culpa)? Dalam keadaan pelaku adalah manusia, maka kesalahan ini
dikaitkan dengan celaan (verwijtbaarheid;
blameworthiness) dan karena itu berhubungan dengan mentalitas atau psyche pelaku. Bagaimana halnya dengan
pelaku yang bukan manusia, yang dalam hal ini adalah korporasi?
Dalam kenyataan kita mengetahui bahwa
korporasi berbuat atau bertindak melalui
manusia
(yang dapat pengurus maupun orang lain). Jadi pertanyaan yang pertama adalah, bagaimana konstruksi hukumnya bahwa perbuatan pengurus (atau orang
lain) dapat dinyatakan sebagai perbuatan
korporasi yang melawan hukum (menurut hukum pidana?. Dan pertanyaan kedua adalah, bagaimana konstruksi hukumnya bahwa pelaku korporasi dapat dinyatakan
mempunyai kesalahan dan karena itu dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana? Pertanyaan kedua menjadi lebih
sulit apabila dipahami bahwa hukum pidana kita mempunyai asas yang sangat mendasar yaitu, bahwa: "tidak dapat diberikan pidana, apabila tidak ada kesalahan (dalam
arti celaan)".
Kedua pertanyaan di atas untuk Indonesia
mungkin dianggap masih belum dijawab dengan memuaskan oleh dan untuk kalangan
ahli hukum. Dikatakan mungkin, karena sebenarnya sudah cukup banyak pendapat
kalangan ilmu hukum yang membicarakannya secara lisan (misalnya melalui
seminar) maupun tulisan (makalah ataupun dalam buku teks). Tetapi yang
mengherankan adalah bahwa sangat sedikit sekali yurisprudensi
perkara pidana Indonesia (sekurang-kurangnya yang dikumpulkan dan dicatat),
dimana korporasi menjadi terdakwa. Tidak pula mengenai tindak pidana ekonomi,
padahal kemungkinan menuntut dan memidana korporasi telah dimungkinkan sejak
tahun 1955 (hampir 40 tahun yang lalu!)[11] Keanehan ini mengundang pertanyaan apakah kalangan
penegak hukum di Indonesia, khususnya kepolisian dan kejaksaan, sudah siap
menerima korporasi sebagai tersangka dan terdakwa di sidang pengadilan?.
Sebagai indikator belum tertariknya kalangan penegak hukum menguji kemungkinan
suatu korporasi menjadi tersangka ataupun terdakwa adalah bahwa permasalahan
inipun tidak pernah terungkap pada waktu kalangan hukum (para teoretisi maupun
praktisi) menperdebatkan penyusunan KUHAP 1981 lebih dari tigapuluh tahun yang lalu! Bukankah dalam KUHAP seharusnya diatur siapa yang mewakili apabila korporasi
menjadi tersangka dan terdakwa ? Apakah dengan demikian harus disimpulkan bahwa wajah pelaku
kejahatan di Indonesia tidak megalami perubahan yang berarti sejak tahun 1955,
ketika undang-undang tindak pidana ekonomi dinyatakan berlaku di Indonesia?
Atau dengan perkataan lain apakah dalam pembangunan selama masa Orde Lama (1955 – 1967) dan Orde Baru
(1967 – 1998) korporasi
tidak memainkan peranan penting dalam kualitas kejahatan yang terjadi di negara
kita?(7Dan
bagaimana sekarang dalam masa Era
Reformasi yang sudah berjalan -/+ 15 tahun ? Marilah kita
membahas pertanyaan ini dahulu secara singkat.
White Collar Crime & Corporate Crime
Tindak pidana korporasi, menurut
pendapat kami, adalah sebagian dari "white
collar criminality" (WCC). Istilah WCC dilontarkan di Amerika Serikat
dalam tahun 1939, dengan batasan: "suatu pelanggaran hukum pidana oleh
seseorang dari kelas sosial-ekonomi atas, dalam pelaksanaan kegiatan
jabatannya". Perdebatan ilmiah yang kemudian timbul, antara lain
menyangkut pengertian tentang apa 'yang sebenarnya dimaksudkan dengan "crime of corporations",
karena dalam rumusan di atas, yang dimaksud dengan: " ... oleh seseorang
... dalam pelaksanaan kegiatan jabatannya", adalah pengurus perusahaan (management). Meskipun WCC memang ditujukan kepada pelaku
manusia (natuurlijk persoon), namun
pada akhirnya yang dianggap melakukan perbuatan tercela dan karena itu harus
dimintakan pertanggungjawaban pidana adalah perusahaan atau korporasi tempat
manusia yang bersangkutan bekerja. Rumusan pengertian WCC di atas kemudian ditambah dengan
unsur "penyalahgunaan kepercayaan" (violation of trust). Yang dimaksud dengan kepercayaan ini adalah
yang diberikan oleh masyarakat. Suatu perusahaan dianggap telah menerima
kepercayaan masyarakat, untuk melakukan kegiatannya (dalam bidang perekonomian)
secara jujur dan beritikad baik. Ini yang dinamakan etika bisnis yang baik.
Perusahaan-perusahaan yang melakukan kegiatan yang merugikan masyarakat
(misalnya penipuan atau kolusi), telah menyalahgunakan kepercayaan tersebut dan
kegiatannya termasuk dalam pengertian WCC.
Kegiatan yang dianggap sebagai kejahatan
atau tindak pidana korporasi, yang menimbulkan keresahan luas dalam masyarakat,
adalah tindak pidana yang menimbulkan kerugian besar. Kerugian ini tidak saja
yang dapat dihitung dengan uang, tetapi juga yang tidak dapat dihitung, yaitu
misalnya hilangnya kepercayaan masyarakat pada sistem perekonomian yang
berlaku. Dua kategori besar dapat diambil sebagai contoh. Yang pertama adalah,
penipuan terhadap masyarakat (defrauding
the public), seperti: penentuan harga secara tidak wajar (fixing prices) dan berbohong tentang
mutu atau khasiat barang (misrepresenting products). Sedangkan
kategori yang lain adalah membahayakan masyarakat (endangering the public), seperti dalam hal pencemaran.dan perusakan
lingkungan atau membahayakan keselamatan dan kesehatan pekerja. Semua kegiatan
ini harus berhubungan dengan kegiatan ekonomi (perekonomian) dan atau berkaitan
dengan dunia
bisnis.[12]
Pendapat kami yang menyatakan bahwa
tindak pidana korporasi harus dilihat sebagai bagian dari WCC, adalah untuk membedakannya dari
pelanggaran hukum pidana atau ketentuan pidana yang dilakukan oleh perusahaan
atau usaha dagang yang berlingkup kegiatan ekonomi atau bisnis dengan skala kecil atau terbatas.[13]
Tidak ingin dimasukkan dalam pengertian tindak pidana korporasi dalam uraian
ini, misalnya penipuan atau perbuatan membahayakan yang dilakukan oleh warung
atau toko di lingkungan pemukiman kita atau oleh bengkel reparasi kendaraan
bermotor yang berskala kecil. Permasalahan
hukum pidana yang timbul sehubungan dengan pertanggungjawaban dan kesalahan,
justru ditimbulkan oleh perusahaan-perusahaan berskala kegiatan besar. Dalam
kegiatan pembangunan perekonomian kita selama masa Presiden Suharto dan sekarang dalam Era
Reformasi, yang telah menumbuhkan berbagai
perusahaan besar, maka hukum, termasuk hukum pidana, dituntut untuk turut
berkembang agar dapat mengantisipasi penyalahgunaan kemajuan yang telah dicapai
itu, yang berakibat merugikan masyarakat dan negara.
Permasalahan hukum pidana, sebagaimana
telah disampaikan pada awal uraian ini, justru disebabkan oleh karena perbuatan tindak pidana korporasi ini selalu
dilakukan secara rahasia, sukar diketahui dan seringkali para korbanpun tidak
mengetahui kerugian yang dialaminya. Apa yang biasanya terlihat hanyalah
"puncak gunung es" saja. Karena hanya sedikit kasus-kasus tindak
pidana korporasi yang dapat diungkapkan untuk diajukan ke pengadilan, maka
menuntut pertanggungjawaban korporasi akan memberikan efek pencegahan yang
lebih besar, ketimbang meminta pertanggungjawaban dari pengurusnya[14].
Tentunya tidak ditutup kemungkinan untuk secara bersama juga menuntut orang
yang langsung bertanggungjawab atas perbuatan korporasi tersebut.
Konstruksi
hukum
Kebijaksanaan dalam penegakan hukum pidana
(politik kriminal; criminal policy)
untuk menuntut pertanggungjawaban korporasi, memerlukan perkembangan dalam ilmu
hukum pidana yang lebih maju dari keadaan sekarang. Dua pertanyaan di bagian
muka uraian ini masih harus dijawab. Yaitu,
pertama tentang perbuatan pengurus (atau orang lain) yang harus
dikonstruksikan sebagai perbuatan korporasi dan kedua tentang kesalahan pada korporasi.Saya tidak dapt memberikan uraian ilmiah
mendalam dalam permasalahan (ilmu) hukum ini. Cukup kiranya dikemukakan alur
pikiran utama yang berhubungan dengan pasal-pasal baru yang menyangkut
korporasi dalam Rancangan KUHP Nasional.[15]
Bagiamana
dapat kita katakan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh satu atau lebih anggota
pengurus korporasi,
atau oleh seorang pegawai korporasi, atau oleh seorang yang bukan pegawai
korporasi tetapi mempunyai kuasa dari pengurus korporasi, adalah perbuatan yang harus
dianggap sebagai perbuatan korporasinya sendiri? Atau secara singkat, bilamanakah dapat kita katakan bahwa
korporasi bersangkutan telah melakukan tindak pidana ?
Suatu pendapat yang rupanya merujuk ke
bahan pustaka hukum pidana Inggris mempergunakan "teori
identifikasi”. Rupanya perbuatan pengurus atau
pegawai suatu korporasi, diidentifikasikan (dipersamakan) dengan perbuatan
korporasi itu sendiri. Sayangnya tidak ada penjelasan mendalam lebih lanjut tentang
asas ini.[16]
Karena pengertian korporasi dan badan hukum (rechtspersoon) adalah suatu konsep
hukum perdata, maka sebaiknya pada awal pun dicari pemahaman dari asas di atas
dalam hukum perdata. Pada mulanya dalam hukum perdata juga terjadi perbedaan
pendapat apakah suatu badan hukum dapat melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatig handelen). Namun, melalui asas kepatutan (doelmatigheid) dan keadilan (billijkheid) sebagai dasar utama, maka ilmu
hukum perdata menerima bahwa suatu badan hukum harus dapat dianggap bersalah
melakukan perbuatan melawan hukum, lebih-Iebih dalam lalu lintas perekonomian.
Ajaran ini mendasarkan diri pada pemikiran bahwa apa yang dilakukan oleh
pengurus harus dapat dipertanggung jawabkan kepada badan hukum, karena pengurus dalam bertindak tidak
melakukannya atas hak atau kewenangan sendiri, tetapi atas hak atau kewenangan
badan hukum bersangkutan. Dengan demikian, maka badan hukum juga tidak
dapat melepaskan diri dari kesalahan yang dilakukan oleh pengurus. Kesengajaan
(dolus) atau kelalaian (culpa) dari pengurus harus dianggap
sebagai kesengajaan dan kelalaian dari badan hukum sendiri.[17]
Menurut saya, cara
berpikir dalam hukum perdata ini harus
dapat
diambil alih ke dalam hukum pidana.
Dalam ilmu hukum pidana Indonesia
gambaran tentang pelaku tindak pidana masih sering dikaitkan dengan perbuatan yang
secara fisik dilakukan oleh pembuat (fysieke dader).
Dalam literatur ilmu hukum pidana sekarang, diingatkan bahwa dalam lingkungan
sosial-ekonomi seorang pembuat tidaklah perlu selalu melakukan perbuatan tindak
pidana itu secara fisik. Dapat saja perbuatan tersebut dilakukan oleh
pegawainya. Karena perbuatan korporasi selalu diwujudkan melalui perbuatan
rnanusia, maka pelimpahan pertanggungjawaban dari perbuatan manusia ini menjadi
perbuatan korporasi, dapat dilakukan apabila
perbuatan tersebut dalam lalu-lintas
kehidupan-bermasyarakat
berlaku sebagai perbuatan korporasi yang bersangkutan.
Ini yang dikenal dalam bahan pustaka hukum pidana sebagau "pelaku
fungsional" (functionele dader)[18]. Dengan konstruksi yang dipinjam
dari hukum perdata di atas, ditambah dengan ajaran mengenai "pelaku
fungsional", maka bagi penegak hukum di Indonesia seharusnya tidak ada permasalahan hukum lagi untuk mengajukan suatu
korporasi sebagai tersangka dan terdakwa dalam sistem peradilan pidana
Indonesia, sejauh hal itu dibenarkan oleh undang-undang (misalnya undang-undang
tindak pidana ekonomi). Cukuplah kalau dapat dibuktikan bahwa perbuatan pengurus atau pegawai korporasi itu dalam
lalu-lintas
kehidupan-bermasyarakat
berlaku sebagai perbuatan korporasi yang bersangkutan.
Kesalahan (dolus atau culpa) mereka harus dianggap sebagai kesalahan korporasi.[19]
Tadi sudah dikatakan bahwa perbuatan
korporasi selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia. Perlu diperhatikan bahwa
perbuatan manusia yang dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi dapat
dipisahkan antara: pengurus, orang di
luar badan pengurus tetapi mempunyai wewenang mewakili korporasi berdasarkan
anggaran dasar, dan mereka yang mewakili korporasi secara lain. Mengenai
pengurus dan orang lain yang mewakili sesuai anggaran dasar korporasi,
konstruksi hukum yang disarnpaikan di atas dapat dipergunakan. Tetapi bagaimana
dengan mereka yang mewakili korporasi secara lain. Mengenai yang terakhir
ini, dalam praktek sering terjadi bahwa pelaku secara fisik adalah orang (dapat
manusia atau korporasi lain) yang secara organisatoris tidak mempunyai hubungan
sama sekali dengan korporasi yang dituduhkan melakukan tindak pidana. Dalam hal
ini maka konstruksi hukum perdata mengenai "perwakilan" (vertegenwoordiging) dan "pemberian
kuasa" (lastgeving) juga dapat
dipergunakan. Dan karena itu melalui konstruksi hukum "siapa secara nyata memimpin atau memberi perintah" (feitelijke leidinggever en
opdrachtgever), yaitu orang dalam korporasi, maka
perbuatan "orang lain" tersebut juga dapat dipertanggung jawabkan
kepada korporasi yang bersangkutan.[20]
Masih dapat dipermasalahkan pula, apakah
alasan penghapus pidana (atau kesalahan)
dapat juga diajukan oleh korporasi ? Dan selanjutnya apakah alasan penghapus
pidana (kesalahan) yang dapat diajukan oleh pelaku manusia (pengurus, pegawai atau kuasa) yang
sebenarnya melakukan perbuatan itu untuk korporasi, dapat pula diajukan oleh
korporasi dalam pembelaannya ? Mengenai pertanyaan pertama jawabannya adalah positif, juga bagi korporasi harus
berlaku asas "tidak dapat diberikan
pidana apabila tidak ada kesalahan". Pengertian kesalahan pada
korporasi namun jangan dibayangkan serupa dengan keadaan batin (psyche) manusia. Untuk korporasi pengertian kesalahan harus dilihat dari dicelanya perbuatan
tertentu, karena korporasi mempunyai kemungkinan (dalam situasi perbuatan
tertentu) untuk bertindak lain (tindakan alternatif) sedangkan tindakan alternatif
tersebut secara wajar dapat diharapkan untuk dilakukan oleh korporasi (dalam
situasi perbuatan bersangkutan). Karena tidak
dipilihnya tindakan alternatif tersebut, maka korporasi dapat dicela atau
disalahkan.[21]
Mengenai pertanyaan kedua dapat
diterima pendapat, bahwa alasan penghapus pidana (kesalahan) harus dicari pada korporasi sendiri dan
bukan melalui pelaku manusia (pengurus, pegawai, atau kuasa) yang sebenarnya
bertindak. Dengan demikian apabila pelaku manusia (yang mewakili korporasi)
tersebut dapat mengajukan alasan penghapus pidana (kesalahan), maka belum tentu hal tersebut dapat diajukan
oleh korporasi sebagai pembelaannya.
----------
PERKEMBANGAN DI LUAR INDONESIA
Perkembangan di Belanda[22]
Pasal yang
mengatur pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi yang lama adalah pasal 51-lama
(sejak 1886) dan diperbaharui menjadi pasal 50a (sejak 1965).Tahun 1976 pasal tersebut diperbaharui
kembali menjadi pasal 51-baru, yang
menyatakan:
“1.There are two categories of criminal offenders:
natural persons and legal entiries;
2.Where a
criminal offense is committed by a legal entity, criminal proceedings may be
instituted and such penalties and measures as prescribed by law, where
applicable, may be imposed:
(1)against
the legal entity; or
(2)against
those who have ordered the
commission of the criminal offence, and against
those in control of the unlawful
conduct; or
(3)against
the persons mentioned under (1) and (2) jointly.
3.In the
application of the preceding section, the following are deemed to be equivalent
to
legal entities : unincorporated companies,
partnerships, ship owning firms and special
funds.”
Berdasarkan
perumusan di atas ini, maka kata “Barangsiapa (Hij die …)” dalam setiap perumusan delik harus dibaca sebagai
termasuk korporasi.[23]
Hoge Raad (HR) dalam tahun 2003 telah memberikan ikhtisar tentang case law yang lalu, sehubungan dengan kriteria untuk pelaku-korporasi, dengan berpendapat bahwa pelaku tersebut harus
dapat memenuhi satu atau lebih faktor
berikut :
“-Has there been an act or omission of someone
who either because of his employment or for
other reasons
was working for the legal entity ?;
-Did the
conduct fit in the normal business
of the legal entity ?;
-Was the
conduct beneficial to the business
of the legal entity ?;
-Was the legal
entity able to decide whether the
conduct should take place or not ?;
-Was, as appears
from the actual course of things, this conduct or similar conduct accepted
or usually
accepted by the legal entity ? (Acceptance includes: not properly taking care of
preventing
such conduct, as cold reasonably be demanded from the legal entity”.
Sehubungan
dengan mens rea dikatakan
oleh Keijzer : “In the case law it has
been accepted,…, that also corporations may act intentionally or negligently.We then use the words in a slightly
different sense than in relation to natural persons: they do not refer to a psychological state of the human mind but they only contain judgements regarding the conduct of the
corporation”. Untuk menjelaskan lebih lanjut Keijzer mengutip KUHP
Australia (1995) Paragraf 12.3-(1):”If
intention, knowledge or recklessness is a fault element in relation to a
physical element of an offense, that fault element must be attributed to a body
corporate that expressly, tacitly or
impliedly authorized or permitted the commission of the offense”. Dengan
penjelasan ini, - menurut saya - Keijzer ingin menjelaskan bahwa Belanda tidak
lagi mempermasalahkan apakah korporasi dapat punya mens rea – yang penting adalah bahwa perbuatan itu “diakui” atau
“diterima” (accepted) sebagai
perbuatan korporasi oleh lalu-lintas (bisnis) di masyarakat (Kasus Department Store Bijenkorf – diputus HR
tahun 1952).
Kriteria
mengenai “being in control of the commission of the offense” menurut Keijzer ada beberapa:
“ a)He
omits to take such measures, and knowingly
accepts the considerable risk that such
prohibited conduct will occur;
b)Ordering the offense to be committed – generally considered a special form of
being in
control;
c) It is not
a requirement, for being considered having been in control of the
commission the offense, that one holds a
specific position in the organization of the corporation –
even outsiders, people who did not appear on
her pay-roll, have been deemed in
controle
of offenses committed by a corporation.”
Adanya
beberapa teori/model tentang cara menjelaskan pertanggungjawaban pidana
korporasi, membuat Keijzer mencoba membedakannya
dengan teori/model/ajaran HR (yang diberinya nama legal-reality model.
Dikatakannya :
“A difference with:
-the vicarious-liability model – is that the
Dutch view the corporation herself is the actor;
-the strict-liability model – is that under
Dutch law, corporations can commit all kinds of
offenses,
including crimes with an element of mens rea (intent or negligent);
-the aggregation
model – is that under Dutch law the liability may be based on the conduct
of the
corporation herself, e.g. her not complying with licence conditions;
-the identification model – is that under
Dutch law the courts are not required to establish
which organ
has made a certain decision or committed a certain act;
-the corporate culture model – is that the
culture of a corporation is under Dutch law not
more than
one element next to others on which basis it may be decided whether the
the
corporation has committed a certain offense.
Hal
terakhir yang dibicarakan Keijzer adalah tentang kekebalan badan-badan Negara, dikatakannya: “According to the present Dutch case law, decentralized governmental
bodies are immune from prosecution regarding
conduct concerning the performance of exclusively
governmental task. Dan dalam sebuah kasus pencemaran lingkungan tahun
1996, HR telah memutuskan bahwa :”civil
servants are immune from prosecution for having been in control of the offense
committed by the State or committed by a decentralized governmental body which
itself enjoys immunity from prosecution for that offense”. Yurisprudensi
ini mungkin akan berubah, karena ada rencana
mengubah ayat 3 pasal 51 KUHP Belanda, menjadi:
“3.Public
legal entities are subject to
prosecution on equal terms as other legal entities.”
Dan ayat 3
lama, menjadi ayat 4 dari pasal 51 KUHP Belanda.
----------
Mencari
dalam sistem hukum Common
Law Countries (Amerika Serikat)
Masalah kesalahan dan pertanggungjawaban
pidana korporasi dapat pula dipecahkan dengan cara lain. Terdapat pandangan bahwa meskipun
korporasi tidak mungkin mempunyai kesalahan, akan tetapi pemidanaan korporasi
harus dimungkinkan.[24]
Dikatakan
oleh LaFave:
“Contrary
to the early common law view, it is now generally conceded that a corporation
may be held criminally liable for conduct
performed by an agent of the corporation acting in its behalf within the scope
of his employment….Under the better
view, called the “superior agent”
rule, corporate criminal liability for other
than strict-liability regulatory offenses is limited to situations in which the conduct is performed or
participated in by the board of directors or a high managerial agent”[25]
=Pada dasarnya pemikiran ini
datangnya dari para ahli hukum Anglo-Amerika (common law countries - CLC) dengan mempergunakan konsep
"strict liability". Konsep ini khusus dimaksudkan untuk
menanggulangi tindak pidana yang melanggar kesejahteraan masyarakat (public welfare offenses).
Dan umumnya pelanggaran-pelanggaran
besar terhadap ketentuan-ketentuan tentang kesejahteraan masyarakat dilakukan
oleh korporasi. Kewajiban negara modern untuk secara lebih luas melindungi
kesejahteraan masyarakatnya, menimbulkan berbagai pengaturan mengenai misalnya:
bidang keselamatan dan kesehatan di tempat
kerja dan tempat pemukiman,serta dalam pengolahan makanan dan obat-obatan,
dan sebagainya. Meskipun pengaturan dapat disertai sanksi perdata ataupun
sanksi administratif, namun terdapat kecendrungan kuat untuk mengaturnya pula
melalui ketentuan-ketentuan (sanksi) pidana. Yang terakhir inilah yang sering
dinamakan "administrative penal
law" atau
" verwaltungsstrafrecht ".Untuk bidang hukum pidana inilah,
konsep "strict liability" umumnya dipergunakan.
Alasan penggunaannya a.l.adalah :
“The
reason usually given for strict-liability crimes is that in some areas of
conduct it is difficult to obtain convictions if the prosecutions must prove
fault…”[26]
Penggunaannya adalah umumnya untuk tindak pidana dengan ancaman hukuman ringan atau dengan
mempertimbangkan besarnya kerugian pada masyarakat (seriousness of harm to the public).Terdapat perbedaan pendapat
tentang apakah tindak pidana yang tidak
mensyaratkan mens rea adalah
konsitusional. Inti perbedaan pendapat berkisar pada perlu adanya sifat blameworthy (tercela) pada perbuatan
yang dilarang tersebut, untuk dapat diancam pidana.
Dalam hal sistem hukum kita tidak
mengenal ajaran "strict
liability" (tanggungjawab mutlak; absolute
liability),
maka mungkin dapat dipergunakan ajaran "fait materiel", Dalam kedua ajaran itu tidaklah penting adanya unsur kesalahan
dalam perbuatan korporasi. Ajaran "fait
materiel" dikenal di Indonesia melalui bahan pustaka hukum Belanda. Tidak demikianlah halnya dengan ajaran
"strict liability", namun
demikian konsep ini mulai
diperkenalkan juga dalam tulisan-tulisan hukum Indonesia. Konsep "strict liability" ini dalam
hukum Anglo-Amerika mengajarkan adanya pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault)
dan ditujukan kepada tindak pidana yang tidak membutuhkan "mens rea" (keadaan batiniah yang salah). Karena itu
konsep ini hanya dipergunakan untuk tindak pidana ringan (regulatory offenses)
yang hanya mengancamkan pidana denda, seperti pada kebanyakan "public welfare offenses".
Yang menarik untuk kalangan hukum pidana di Indonesia adalah bahwa Rancangan
KUHP telah mengambil alih pula konsep ini.
Pengambilan konsep yang berasal dad
sistem hukum yang berlainan akarnya ke dalam sistem hukum di Indonesia (melalui
Belanda kita menganut sistem hukum Eropa Kontinental atau dari civil law countries),
merupakan tindakan yang berani. Tetapi hal ini memerlukan pula ketekunan dari
para ahli hukum pidana Indonesia untuk kemudian menjelaskan konsep ini, dengan
mengkaitkannya pada asas-asas yang sudah melembaga dalam hukum pidana
Indonesia. Hanya mengatakan bahwa ajaran "strict
liability" adalah serupa dengan ajaran "fait materiel" tidaklah cukup. Menarik pula bagaimana
sistem peradilan pidana Indonesia, khususnya Mahkamah Agung Indonesia, dan pula
pembuat undang-undang di Indonesia, akan bereaksi terhadap ketentuan dalam
Rancangan KUHP Nasional nantinya.
----------
=Masih mengenai pengambilan konsep
dari
sistem hukum AngloAmerika ke dalam sistem hukum pidana kita oleh Rancangan
KUHP Nasional, adalah konsep "vicarious liability".
Dikatakan
oleh LaFave:
“A
vicarious-liability crime is one wherein one person, though without personal
fault, is made liable for the conduct of another (usually his employee).Vicariou-lability
was virtually unknown at the common law, but not infrequently has been
expressly or impliedly imposed by statute”[27]
Undang-undang yang memuat ketentuan seperti ini juga telah diperdebatkan di
Amerika Serikat: apakah ini konstitusional ? Pendapat
terbesar adalah menganggap ketentuan itu konstitusional selama majikan itu
mempuyai kewenangan pengendalian atas pelaku. Permasalahan penggunaan vicarious-liability bersamaan dengan strict-lability dapat timbul dalam kasus
seperti ini : Seorang Pegawai telah
melakukan pelanggaran (menjual alcohol pada remaja) dan Majikan turut
dipermasalahkan meskipun tidak dapat dibuktikan majikan itu lalai dalam
mengendalikan kemungkinan pelanggaran tersebut (Majikan turut bersalah
berdasarkan vicarious-liability dan
juga strict-liability ). Permasalahan lain yang diajukan oleh LaFave
adalah : “Corporate criminal lability is a
form of vicarious-lability…it has been termed ‘vicarious-laibility twice
removed’ in that the shareholders may suffer for the criminal acts of the
corporate management … and also for those of lesser employees”. Kerugian
yang diderita oleh para Pemegang Saham
(apabila korporasi dihukum “denda “tinggi, karena pelanggaran hukum oleh
manajemen) seringkali diberikan pembenaran, bahwa hal tersebut adalah untuk
“memaksa” Pemegang Saham lebih berhati-hati memilih manajemen korporasi dalam Rapat
Umum Pemegang Saham).
Perdebatan
yang terjadi di Amerika Serikat dapat pula disimak dari dua pendapat berbeda yang diajukan LaFave dibawah ini :
(A)“Unfortunately, (in) most of the court
decisions … the tort principle of
respondeat superior is applied without question, so that the crimes of any employee—no
matter what his position in the corporate hierarchy—becomes the crime of the
corporation. And if the crimes requires ‘intent’,
‘knowledge’, or some other mental state, it is often said that such a mental
state by ‘subordinate, even menial, employees’ suffices”.
(B)”…generally
the imposition of criminal liability on corporations for acts of any and all
employees which constitute violations of strict-liability
regulatory offenses is sound….these statutes…impose a duty upon the corporation
not to act in such a way as to endanger the health, safety or welfare of the
general public …. But if the crime is
one for which mens rea is required, should the mental state of any corporate
employee suffice?”
Akhirnya LaFave
berpendapat : “.. the mind or brain of
the corporation consist only of ‘those
officers, whether elected or appointed, who
direct, supervise and manage the corporation within its business sphere and
policy wise, ‘the inner cicle’”
----------
Konsep “vicarious-liability”
ini pun muncul dalam perbendaharaan ilmu hukum pidana Indonesia berhubung dengan maksud membantu dalam masalah
pertanggungjawaban pidana korporasi. Dalam ajaran "vicarious liability" (tanggungjawab yang dialihkan; imputed liability), maka
pertanggungjawaban pidana dialihkan
kepada orang lain (manusia atau korporasi) oleh pelaku fisik, karena adanya
hubungan antara orang yang dipertanggungjawabkan dengan pelaku fisik. Dalam
hukum perdata kita mengenal pula bangunan yang serupa, dimana korporasi
sebagai majikan bertanggung jawab atas
kerugian yang ditimbulkan oleh pegawainya dalam rangka pekerjaan korporasi[28], yang disebabkan oleh perbuatan
melawan hukum (perdata) dari pegawai tersebut (pasal 1367 KUHPerdata
Indonesia). Namun dalam ajaran "vicarious
liability" ini, maka
hubungannya tidak selalu perlu hubungan majikan dengan pegawai, karena dapat
juga dengan "orang lain" yang mewakili korporasi.
Pengalihan tanggung jawab ini penting,
justru karena dalam korporasi yang besar
dengan struktur organisasi yang rumit, tidak selalu jelas hubungan antara
pelaku fisik dengan korporasi yang bersangkutan. Yang penting dalam bangunan
hukum "tanggung jawab yang dialihkan" ini adalah bahwa tidak perlu terdapat kesalahan pada pelaku
fisik (dan tidak perlu pula ada kewajiban hukum), karena yang menentukan adalah adanya kewajiban hukum (yang dilanggar)
pada korporasi. Seperti juga pada ajaran "strict liability"
, maka ajaran "vicarious
liability" dari sistem hukum Anglo-Amerika ini perlu diadaptasikan (atau dicangkokkan) pada sistem hukum Indonesia
yang berasal dari sistem hukum Eropa Kontinental. Legislator telah membuka perkembangan
pertanggungjawaban pidana korporasi, namun Kepolisian dan Kejaksaan Indonesia
rupanya masih ragu-ragu dan Mahkamah Agung kita rupanya juga masih ragu-ragu atau “tertidur”.
Penutup
Demikianlah telah dicoba diuraikan sejumlah catatan yang dapat membantu
pemahaman atas keinginan Rancangan KUHP Nasional menjadikan korporasi sebagai
subyek hukum pidana. Dibanding dengan Belanda (dari mana KUHP yang sekarang
berlaku, bersumber), maka Indonesia telah ketinggalan 38 (tigapuluh delapan) tahun
untuk memungkinkan mendakwa korporasi sebagai pelaku tindak pidana di dalam hukum pidana umum. Ketinggalan ini
mungkin disebabkan oleh karena belum
siapnya penegak hukum kita melihat korporasi secara mandiri sebagai pelaku
kejahatan.(Mudah-mudahan bukan karena kuatnya lobby
politik perusahaan besar-konglomerasi!).Hal
ini terbukti bahwa meskipun banyak peraturan
perundang-undangan di luar KUHP
telah menerima korporasi sebagai subyek hukum pidana (sejak 1955, hampir 60
tahun yang lalu!), namun belum ada yurisprudensi MA Indonesia tentang hal ini. Keadaan
ini patut disayangkan, karena dapat ditafsirkan sebagai kekurangtanggapan para penegak
hukum dan pengadilan di Indonesia
memantau secara
serius perubahan wajah pelaku kejahatan di
Indonesia.
Rancangan KUHP Nasional (konsep rancangan pertama Maret 1993) berusaha untuk
memperbaiki keadaan ini dengan menyatakan babwa dalam hukum pidana umum yang
akan datang, korporasi merupakan subyek
tindak pidana (pasal 45· Rancangan). Karena itu, penuntutan dapat dilakukan dan pidananya dijatuhkan terhadap korporasi
itu sendiri, atau korporasi dan pengurusnya, atau pengurusnya saja (pasal
46 Rancangan). Namun demikian, pertanggungjawaban pelaksana atas tindakan
korporasi dibatasi sedemikian rupa,
sejauh pelaksana dalam perbuatan yang dituduhkan mempunyai kedudukan fungsional
dalam struktur organisasi korporasi (Pasal 48 Rancangan). Tidak selamanya
korporasi harus dipertanggungjawabkan (dalam hukum pidana) terhadap suatu
perbuatan yang dilakukan atas nama atau untuk korporasi. Untuk dapat
dipertanggungjawabkan, maka perbuatan
tersebut harus secara khusus termasuk dalam lingkungan usaha korporasi
bersangkutan, yang ternyata dari anggaran dasar atau ketentuan-ketentuan
lainnya (Pasal 47 Rancangan). Untuk pembelaannya, korporasi dapat mengajukan alasanalasan penghapus pidana (atau kesalahan)
yang dapat diajukan oleh orang yang berbuat atas nama korporasi, sepanjang
alasan-alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan
kepada korporasi (pasal 50 Rancangan). Tidak semua tuntutan pidana terhadap
korporasi harus diterima oleh pengadilan. Dalam hal ini hakim harus mempertimbangkan, apakah bagian hukum lainnya telah
memberikan perlindungan (kepada masyarakat - penulis) yang lebih berguna
dibanding dengan dipidananya suatu korporasi (pasal 49 Rancangan).
Rancangan KUHP Nasional tetap
mempertahankan asas "tidak dapat diberikan pidana apabila tidak ada
kesalahan”,
sebagai asas fundamental (pasal 35 Rancangan). Namun demikian sebagai
pengecualian, undang-undang .dapat menentukan bahwa untuk tindak pidana
tertentu pembuat dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya
unsur-unsur tindak pidana oleh perbuatannya, tanpa memperhatikan lebih jauh
kesalahan pembuat dalam melakukan tindak pidana tersebut (Pasal 37 Rancangan).
Di samping itu, undang-undang dapat juga menentukan bahwa dalam hal-hal
tertentu orang (dalam arti
yuridis – penulis) juga bertanggung jawab atas perbuatan orang lain (pasal 36).
(20)
Pembaharuan atas undang-undang hukum
pidana Indonesia ini, tentunya masih akan diperdebatkan
oieh kaiangan ahli hukum Indonesia dan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Kelak kita akan mengetahui bagaimana hasil perdebatan ini.
*Makalah ini telah disampaikan
dalam Pelatihan Dosen Hukum
Pidana dan Kriminologi di FH UGM - Yogyakarta,
24 Februari 2014
Catatan:
(A)-Lihat,
Geschiedenis
van het Wetboek van Strafrecht voor NederlandschIndie, Amsterdam: I.H.
de Bussy, 1918; bal. 8-18. Di Belanda sendiri sejak tahun 1810 yang berlaku
adalah Code Penal Perancis (dengan dimasukkannya Kerajaan Holland dalam
Kekaisaran Perancis). Tetapi mulai tabun 1870 Belanda berusaha untuk menyusun
suatu KUHP Nasional Belanda yang rancangannya selesai dalam tahun 1878 (di
bawah Menteri Kehakiman
H.I. Smidt) dan dalam tahun 1880 dibicarakan dalam Parlemen Belanda (di bawah
Menteri Kehakiman Modderman). Pada bulan Maret 1881 KUHP Belanda ini disetujui,
tetapi baru berlaku sejak 1 September 1886. (Lihat, G.A. van Hamel, Inleiding
tot de studie van het Nederlandsche Strafrecht, Cetakan Keempat, Haarlem:
De Erven F. Bohn, 1927; hal.
73-85). Karena itu dalam banyak buku pelajaran hukum pidana kita, sering
dirujuk buku sejarah KUHP Hindia Belanda di atas (yang memuat teks lengkap
rancangan KUHP Hindia Belanda 1918), buku Menteri Kehakiman H.I. Smidt, Geschiedenis van het Wetboek van
Strafrecht (kemudian dilanjutkan dan diperbaiki oleh E.A. Smidt dan J.
W. Smidt) dan juga rancangan perubahan dan jawaban penjelasan di Parlemen
Belanda oleh Menteri Kehakiman Modderman.
(B)-Lihat
misalnya, G.A. van Hamel, loc.cit.,
hal. 162-163. Dalam Smidt, jilid I, halaman
450 dikatakan: "Suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia (natuurlijk persoon). Fiksi atau rekaan (fictie) tentang sifat badan hukum, tidak
berlaku dalam hukum pidana “(demikianlah
penjelasan atas pasaI 51 lama KUHP Belanda).
(C)-Lihat
pula, Ch. J. Enschede dan A. Heijder, Beginselen van Strafrecht ; Cetakan
Kedua, Kluwer Deventer, 1974; hal. 148. Yang mengakui adanya ajaran kedua,
tetapi berpendapat bahwa pasal 51 lama KUHP Belanda (=pasal 59 KUHP kita) tetap
berlandaskan asas bahwa hanya manusia yang dapat dituntut sebagai pelaku adalah
J .H. van Bemmelen, dalam Ons Strafrecht, Jilid I, Cetakan
Keempat, Groningen: Tjeenk Willink, 1971; hal. 232-249. Lihat pula, Roeslan
Saleh, Tentang Tindak Pidana dan
Pertanggungan Jawab Pidana, Jakarta: BPHN, 1984; hal. 50-51.
(D)-Lihat,
C. Asser, Handleiding tot de Beoefening van het Nederlands Burgerlijk Recht
, Jilid Kesatu, Bagian Kedua - Rechtspersoon, Cetakan Ketiga
dikerjakan oleh W.C.L.
van Der Grinten: Zwolle: Tjeenk Willink , 1973, hal. 148-150. Disini
dikemukakan adanya dua ajaran, yaitu ajaran organis (organische leer) dan ajaran fiksi (fictieleer).
Namun Van Der Grinten sendiri mempergunakan asas penyatuan (Vereenzelviging; identification).
Asas ini kelihatannya mirip dengan asas "identifikasi".
(E)-Lihat,
Ch. J. Enschede clan A. Heijder, op. cit.; hal. 147; lihat pula N.D. Jorg dan
C. Kelk, Strafrecht met Mate, Alphen aan den Rijn: Samsom, 1974; hal.
144-145. Kriteria pelaku korporasi berdasarkan "pelaku fungsional"
pertama kali diajukan oleh B. V.A. Roling, dalam "De Strafbaarheid van de Rechtspersoon" , Tvs 1959, Jilid
LXVI, dimana diberikan batasan bahwa perbuatan yang dipertangguugjawabkan
kepada korporasi haruslah masih dalam batas-batas tugas dan tujuan korporasi tersebut.
(F)- Bandingkan
dengan A.L.J. van Strien, "Het
daderschap van de rechtspersoon bij milieudelicten" dalarn M.G. Faure
cs,
Zorgen van heden, Arnhem:
Gouda Quint, 1991; hal. 257-288. Dalam karangan ini dibahas batas-batas
pemberlakuan korporasi sebagai pelaku (dader)
dengan mempermasalahkan pendapat J. Remmelink yang berorientasi psikologis
(keadaan batin manusia) , J. Ter Heide yang berorientasi sosiologis (ontmenslijk strafrecht) dan A. C. 't Hart yang berorientasi
manusia dalam arti yuridis (contrafaktisch
begrip). Dari ketiga pendapat ini, maka Remmelink yang ragu-ragu untuk
mendukung kemungkinan korporasi menjadi subyek hukum. Pembahasan ini mendukung
kriteria “pelaku
fungsional" (Rolling) dengan pembatasan bahwa korporasi bersangkutan harus mempunyai kewenangan untuk
mencegah perbuatan bersangkutan (kasus Ijzerdraad,
HR 23 Pebruari 1954), tetapi berpendapat bahwa kriteria "lalu lintas
bermasyarakat" (maatschappelijk
verkeerscriterium)
hanya dipergunakan untuk mendukung, karena bersifat samar-samar dan terlalu umum, Namun pembahasan
tersebut juga meminta perhatian terhadap asas kesalahan (yang diakuinya dapat pula dikonstruksikan pada
korporasi) dan asas legalitas (yang melindungi subyek hukum terhadap kekuasaan
yang terlalu luas dari penguasa), Dimintakan pula perhatian adanya perbedaan
antara "functionele - delicten"
dan "niet-functionele delicten",
yang akan membedakan pula unsur patut dicelanya (= unsur kesalahan) korporasi
sebagai pelaku.
(G)-Bandingkan, E.J.J. Van Der Heijden, Handboek voor de Naamloze Vennootschap
naar Nederlands Recht , Cetakan Kedelapan dikerjakan oleh W.C.L. Van
Der Grinten, Zwolle: Tjeek Willink, 1968; hal, 389-391 (Verschil in vertegenwoordigingspositie)
dan hal. 391-393 (Onrechtmatige handeling).
[1]
Oleh Menteri Kehakiman Oetojo dan Dirjen Bagir Manan,
konsep ini ditahan selama 5 tahun dengan alasan perlu lebih disempurnakan (?)
dan kemudian tibalah lengsernya Presiden Suharto dan Menteri-menterinya (1998),
sehingga RKUHP ini terkatung-katung dan terlupakan selama 19 tahun.
[2]
Tulisan yang ada adalah dari Agustinus Pohan (1988);
Mardjono Reksodiputro (1989) dan Muladi dan Dwidja Priyatno (1991). Sesudah itu
telah banyak tulisan, disertasi dan buku diterbitkan, antara lain buku yang
diterjemahkan dari sejumlah karangan Prof.D.Schaffmeister, Prof N.Keijzer, dan Mr
E.PH.Sutorius dalam Penataran Konsorsium Ilmu Hukum (1995) yang memuat karangan
“Kepelakuan Pidana Badan Hukum” (hal.272
– 290) dan tentu saja buku yang merupakan terjemahan buku Prof D.Hazewinkel-Suringa
dan Prof Jan Remmelink, yang memuat
Sub-bab khusus (2.3.3) tentang Korporasi sebagai subyek tidak pidana (hal.97 – 113).
[3] Yang
tertua adalah UU No.7Drt 1955 jo UU No.1 1961 tentang Tindak Pidana Ekonomi, sesudah
itu antara lain kita lihat: UU No.10/1995 (Kepabeanan); UU No.11/1995 (Cukai); UU.No.22/1997
(Narkotika);UU No.23/1997 (Lingkungan Hidup); UU No.24/1999 (Lalu-lintas
Devisa); UU No.31/1999 (Korupsi); UU No.23/2002 (Perlindungan Anak); UU No.27/2003
(Panas Bumi); UU No.29/2004 (Praktik Kedokteran); UU No.21/2007 (Perdagangan Orang);
UU No.44/2008 (Pornografi); UU No.8/2010 (Pencucian Uang).
[4]
Pendekatan serupa adalah antara lain dari D.Soedjono
(1989); J.E.Sahetapy (1994); Susanto (1995); Arief Amrullah (2006); Yusuf Shofie (2011) dan
Etty Utju R.Koesoemahatmadja (2011)
[5] Lihat catatan no.1 –
kelambatan dari dari Menteri Oetojo (Orde Baru) ingin diperbaiki oleh Menteri
Kehakiman Muladi dengan mengajukan Rancangan KUHP Nasional ini ke Sekretariat
Negara pada masa Presiden Habibie (awal Era Reformasi), namun gagal karena
perubahan iklim politik ke Presiden Gus Dur.
[6]
Lihat Geschiedenis
van het Wetboek van Strafreht voor Nederlandsch Indie, Amsterdam:J.H.de
Bussy,1918; G.A.van Hamel,1927, Inleiding
tot de studie van het Nederlandsche Strafrecht, Haalem: De Erven F.Bohn;
dan buku Menteri Kehakiman Belanda H.J.Smidt, 1878, Geschiedenis van het Wetboek van Strafrecht (dipergunakan tahun
1880 oleh Menteri Kehakiman Mdderman di Parlrmen Belanda). [lihat
selanjutnya Catatan A di akhir makalah ini].
[7] Lihat
pula pendapat Jan Remmelink,2003, Hukum
Pidana.Komentar atas pasal-pasal terpenting KUHP Belanda dan padanannya dalam
KUHP Indonesia, Gramedia, 97-99, yang menyatakan bahwa dari tinjauan sejarah,
maka KUHP Belanda pada awalnya menolak pertanggungjawaban korporasi berdasarkan
ungkapan universitas delinquere non potest – korporasi tidak
mungkin melakukan tindak pidana. [lihat
selanjutnya pula Catatan B di akhir
makalah ini ].
[8]Menurut
Remelink (hal.100) perubahan dengan maksud untuk memungkinkan Korporasi
dipandang sebagai pelaku dimulai pada hukum
pidana fiskal, karena adanya “kewajiban yang dibebankan oleh hukum fiskal
kepada pemilik,penyewa atau yang menyewakan … yang sering kali berbentuk
korporasi”.Uraian perubahan ini juga dijabarkan dalam Schaffmeister, Keijzer,
Sutorius,1995,Hukum Pidana,Editor
Penerjemahan J.E.Sahetapy, Konsorsium Ilmu Hukum, Yogyakarta:Liberty, hal.272-283
dan 423-434. [lihat selanjutnya
Catatan C pada akhir makalah ini ].
[9] Lihat
Agustinus Pohan,1988,”Korporasi sebagai Subyek dalam Hukum Pidana” (Penataran
di FH Universitas Lampung); Mardjono Reksodiputro,1989,”Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korporasi” (Seminar Nasional di FH
Universitas Diponegoro); Muladi dan Dwidja Priyatno,1991, Pertanggung jawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, Sekolah Tinggi
Hukum Bandung; Sutan Remy Sjahdeini,2006, Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi, Grafiti Pers; Eddy O.S.Hiariej (Editor),2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena
Pundi Aksara; Yusuf Shofie, 2011, Tanggung
Jwab Pidana Korporasi dalam Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, Citra
Aditya Bakti.
[10] Dalam
perkembangan pendididkan ilmu hukum pidana di Indonesia terdapat dua aliran
ajaran. Pertama (monistis), berpendapat bahwa pertanggungjawaban pidana (sebagai
unsur subyektif-terdapat pada pelaku) melekat
pada perbuatan melawan hukumnya (unsur obyektif), sedangkan pendapat kedua
(dualistis) memisahkannya. Dengan
ajaran dualistis lebih mudah
menerima bahwa korporasi dapat bertanggungjawab pidana, atas perbuatan melawan
hukum organ korporasi.
[11]Lihat
misalnya dalam Mardjono Reksodiputro, 2007, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Lembaga Kriminologi UI,
hal.46-73 dan Mardjono Reksodiputro, 2007, Bunga
Rampai Permasalahan dalam Sistem Peradilan Pidana, Lembaga Kriminologi UI.
hal.136-155.Mungkin masih ada beberapa kasus yang kurang terkenal, tetapi yang
saya kenal adalah kasus PT Newmont Minahasa Raya, di mana
Terdakwa-1 adalah Perseroan Terbatas
dan Terdakwa-2 adalah Presiden
Direkturnya. Sayang, JPU dan Pengadilan tidak
memberi pendapat hukum mengenai mengapa
suatu korporasi dapat didakwa melakukan perbuatan tindak pidana.
[12] Lihat
misalnya Susanto, 1995, Kejahatan
Korporasi, Badan Penerbit Universitas Diponegoro dan Yusuf Shofie, 2002, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana
Korporasi, Ghalia Indonesia.
[13] Dalam
perkuliahan saya membedakan antara WCC (Kejahatan Kerah-Putih) yang merupakan
kejahatan individual yang dilakukan oleh manajemen atau organ korporasi, dengan
Kejahatan Oleh Organisasi (KOO), yaitu Corporate
Crime yang memerlukan corporate
criminal liability – dan saya bedakan lagi dari Kejahatan Terorganisasi
(KTO), yaitu Organized Crime yang
dilakukan oleh Mafia,Yakusa,Triad,dsb-nya.
[14]
Dengan menghukum Korporasi dengan denda bernilai
tinggi, maka kita akan mengenai keuangan Korporasi dan secara tidak-langsung
para Pemegang Saham, agar mereka mengawasi pemilihan manajemen korporasi yang
taat hukum melalui Rapat Umum Pemegang Saham. Manipulasi Pajak Perusahaan yang
banyak terjadi di Indonesia (a.l.Kasus Gayus Tambunan), harus berani menghukum
korporasinya dan manajemennya !
[15]Dalam
buku Remmelink, 2003, op.cit.
permasalahan ini dibahas secara mendalam (hal. 97 – 113) dan di bahan penataran
Schaffmeister dkk, 1995, op.cit.- lihat
catatan no.7 dan 8 di atas.
[16]
Rujukan yang dimaksud adalah dalam buku Muladi dan
Dwidja Priyatno,op.cit. hal.91 – 92,
ajaran identifikasi ini hanya disebut, tanpa rujukan. Remmelink op.cit. hal.106-107 menjelaskannya sebagai
tindakan fungsional dan merujuk pada putusan Ijzerdraad – Kawat-duri HR Februari 1954. Schaffmeister dkk op.cit. juga mempergunakan
istilah pembuat-pidana fungsional (hal.275-276
dan 279 – 283).
[17]
Dalam hukum perdata dikenal juga beberapa ajaran tentang
Badan Hukum, organische leer, fictie leer
dan vereenzelviging leer (yang terakhir ini
mirip dengan ajaran identifikasi). Lihat juga Remmelink op.cit.hal.104 dan Schaffmeister dkk op.cit.(Pertumbuhan Secara Bertahap – hal.274 – 278 dan 425
-429). [lihat selanjutnya
Catatan D pada akhir makalah ini ].
[18] Kriteria
pelaku fungsional untuk korporasi pertama kali diajukan oleh B.V.A.Roling dalam
“De Strafbaarheid van de Rechtspersoon”,TvS 1959,Jilid LXVI – dan dapat juga
dilihat dalam karangan A.L.J. van Strien, “Het
daderschap van de rechtspersoon bij milieudelicten” dalam buku M.G.Faure
cs, 1991, Zorgen van Heden, Gouda
Quint, hal.257 – 288. [lihat
juga selanjutnya Catatan E pada
akhir makalah ini ].
[19] Lihat
Remmelink op.cit. hal.107 – 108 dan Schaffmeister op.cit. hal.275 -276 dalamkaitan dengan asas AVAS (Afwezigheid Van Alle Schuld) – “Melk en
Water arrest” dan hal.434 – 436 dalam “Koppelbazen
BV arrest”. [lihat selanjutnya juga
Catatan F di akhir makalah ini ].
[20]Lihat
Schaffmeister dkk op.cit. hal.286-288
tentang “tanggungjawab pemberi perintah dan/atau pemberi pimpinan yang nyata”
dan juga Remmelink op.cit. hal.108 -109 juga
mempermasalahkan “kemungkinan pegawai rendahan perusahaan dapat memainkan
peranan penting, sehingga melalui tindakan tersebut korporasi juga memnuhi unsur
kesengajaan” dan “kemungkinan tersebenarnya dan terpenuhinya unsur-unsur
delik oleh sejumlah orang yang berbeda”. Menurut saya hal ini dan juga tentang
pemberian kuasa (misalnya kepada kantor hukum atau kantor akuntan) MA Indonesia
harus memberikan pendapat untuk menjadi yurisprudensi tetap/baku. [lihat pula selanjutnya Catatan G pada akhir makalah ini ].
[21]
Tidak dipilihnya alternatif untuk tidak melanggar melanggar hukum, dianggap sebagai penerimaan (acceptance) atau persetujuan korporasi atas pilihan
tersebut .
[22]
Disarikan dari karangan Prof.Nico Keijzer,2013,Criminal
Liability of Corporations Under the Law of the Netherlands, tidak
diterbitkan, dikirim dengan e-mail 15 Juni 2013- sebagai teks makalah yang telah dipresentasikannya di Jakarta di muka forum Satgas
REDD UKP4 pada tanggal 20 Mei 2013.
[23]Menurut
UU No.8/2010 tentang Pencucian Uang, Korporasi
adalah Kumpulan orang dan/atau kekayaan
yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”.
[24]
Lihat Wayne R.LaFave & Austin W.Scott,Jr, Criminal
Law – Hornbook Series,1972, West Publishing Co, hal. 218 – 236 (Laibility Without Fault: Strict Liability –
Vicarious Liability – Enterprise Liability).
[28]
Di Amerika Serikat ini dikenal juga sebagai ajaran/doktrin
Respondeat Superior dalam Hukum
Perdata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar