Jumat, 08 Maret 2019

Reformasi Lembaga Pemasyarakatan*


Implikasi Partisipasi Swasta
oleh:Prof.Mardjono Reksodiputro
dan Dr.Surastini Fitriasih[1]

Pengantar
Lembaga Pemasyarakatan (selanjutnya Lapas) mendapat falsafah baru tentang fungsi penjara di Indonesia, melalui pidato penerimaan gelar Doktor Honoris Causa Menteri Kehakiman Sahardjo,SH di Istana Negara pada tahun 1963. Setelah melalui sejumlah tahap pengembangan a.l. melalui tulisan Koesnoen, SH, Bahrudin Suryobroto dan Waliman,SH dan sejumlah lokakarya yang diselenggarakan bersama kalangan akademisi dan praktisi,maka terakhir kita punya UU 1995 No.12 tentang Pemasyarakatan Terpidana untuk menggantikan peraturan Hindia Belanda (Gestichten  Reglement, Staatsblad No. 708 tahun 1917) tentang kepenjaraan[2].Istilah “pemasyarakatan” ini, menurut saya, dipilih oleh Dr.Sahardjo sebagai terjemahan dari istilah dan konsep yang dikenal dalam bahan pustaka kriminologi dengan kata “resocialization”.

Dalam sejarah “kepenjaraan” jaman Hindia Belanda, maka penjara-penjara di Indonesia mempunyai “tempat-kerja” atau “bengkel-kerja” bagi para narapidana (selanjutnya “napi”). Pada waktu itu bengkel-kerja ini dipergunakan sebagai a)penghasil produk yang akan dipergunakan oleh kantor-kantor “gubernemen” atau diambil sebagai hasil pertanian/perkebunan dan pertambangan untuk diekspor, dan b)sekaligus sebagai tempat latihan-kerja napi untuk mencari penghasilan setelah selesai pidananya.[3]

Semasa konsep pemasyarakatan napi sedang mulai dikembangkan oleh Kementerian Kehakiman pada waktu itu, maka perlu dicatat adanya dua proyek untuk sosialisasi konsep baru ini di Indonesia. Pertama, dibukanya “lapas terbuka di Kalimantan Barat” dan Kedua, adanya pembuatan film dengan judul “Dari Sangkar ke Sanggar”.[4] Uraian singkat di atas ini dimaksudkan untuk menguraikan bahwa keinginan membuat “pidana penjara” lebih manusiawi dan bersifat mendidik sudah berjalan lama di Indonesia. Tujuan untuk membuka pendidikan khusus petugas pemasyarakatan melalui Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP – didirikan tahun 1963/1964 ) juga adalah dalam rangka politik kriminal ini. Hal ini juga tentunya tidak lepas dari perkembangan dunia, a.l. PBB yang mensponsori dikeluarkannya ketentuan tentang “pemberlakuan terhadap napi di lapas”.[5]

Permasalahan dan Pertanyaan Penelitian
Keadaan Lapas di Indonesia saat ini mengkhawatirkan. Permasalahannya (statement of the problem) secara singkat adalah sbb: Pertama, pertambahan penghuni Lapas, terutama di daerah urban/perkotaan, menyebabkan banyak Lapas di daerah perkotaan yang “penuh-sesak” (overcrowded) dihuni napi, sehingga konsep Pemasyarakatan Napi tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Kedua, pembangunan Lapas baru atau pun renovasi Lapas lama membutuhkan biaya anggaran yang belum mendapat prioritas dalam pembangunan ekonomi Indonesia, dan ketiga konsep kemitraan antara Pemerintah dan Swasta diharapkan dapat berjalan juga untuk mengatasi kedua masalah di atas.Yang terakhir ini dikenal sebagai “swastanisasi Lapas” dan untuk penelitian sementara ini dapat difokuskan kepada 3 (tiga) pertanyaan penelitian (research questions):
1)Apakah yang dimaksud dengan “swastanisasi Lapas” dan bagaimana kaitannya dengan konsep menghukum pelaku kejahatan dengan “pidana hilang kebebasan” ?;
2)Mengapa terjadi kelebihan penghuni dan mungkinkah diambil kebijakan menghindari hal ini atau sekurang-kurangnya meringankan penderitaan napi dalam Lapas ?;
3)Apakah “swastanisasi Lapas” merupakan solusi terbaik dan apa persyaratannya ?  

Selayang Pandang tentang Prison Privatization
Swastanisasi Lapas bukanlah konsep baru dalam penology (ilmu pengetahuan tentang pemidanaan). Buku-buku kriminologi sudah membahasnya terutama untuk pelaksanaannya di Amerika Serikat dan Inggris, dengan berbagai permasalahannya.  Pembahasan tentang kerjasama dalam pemidanaan antara pemerintah/penegak hukum dengan swasta di Inggris dapat dibaca dalam bahan pustaka dengan tekanan pada kritik terhadap pelaksanaannya. Pertama, adanya kemungkinan penyalahgunaan oleh pihak swasta (exploitation and mistreatment), kedua tidak efektifnya pengawasan (oversight) pemerintah terhadap pihak swasta, dan ketiga, kemungkinan terjadinya korupsi (penyalahgunaan kekuasaan) antara pejabat pemerintah, petugas pengawasan, petugas Lapas dan pihak swasta. [6]

Pada awal 1970-an politik kriminal untuk melakukan “swastanisasi” Lapas dilakukan di Inggris pada rumah-tahanan untuk “suspected illegal immigrants” tetapi kemudian juga dilanjutkan pada tempat tahanan untuk “remand prisoners” (tahanan pengadilan). Namun, sampai tahun 1987 masih ada perbedaan pendapat antara Pemerintah yang tidak menyetujui “privatizing the prisons or handing over the business of keeping prisoners safe to anyone other than government servants” dengan DPR Inggris (House of Commons) yang menyetujui “for private firms to be allowed to tender for the construction and management of custodial institutions” (Cavadino, 2003: 230). Tetapi kemudian dalam “the Criminal Justice Bill 1991”, pasal 84 memperluas kewenangan Pemerintah untuk melibatkan swasta dalam rumah tahanan (remand centers) dan lapas (prisons), yang menghasilkan lapas-lapas “DCMF” (designed – constructed – managed – financed by the private sector). Model ini yang kemudian dipergunakan dalam mendirikan lapas-lapas baru dengan melakukan kerjasama melalui kontrak. Menurut Cavadino dalam kontrak-kontrak ini “the private contractors arrange finance to meet the capital cost and only start to receive payments when the first places become available. Thereafter, the Prison Service pays a set fee for each available place over a 25-year period” (Cavadino & Dignan, 2003: 232).

Di Indonesia, kemungkinan partisipasi publik dalam bidang pemasyarakatan narapidana sebagai suatu kebijakan resmi pemerintah dapat dilihat dalam kebijakan Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata dalam peraturan No. M.HH-OT.02.02 Tahun 2009, tentang Cetak Biru Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan dengan Lampiran sepanjang 183 halaman, yang terbagi atas 10 Bab. Dalam Bab IX tentang Manajemen Perubahan Sistem Pemasyarakatan terdapat sub-bab no.7 tentang Kemitraan. Perlunya kemitraan dilihat sebagai sarana menunjang perubahan yang dituju dalam peraturan tersebut. Dikatakan :”Selain membantu dari aspek pembiayaan, kemitraan juga menunjang perumusan strategi yang lebih efektif” (Per.Men.02.02/2009: 174). Meskipun kebijakan ini sudah berumur 10 tahun, namun, partisipasi publik seperti digambarkan di atas di Inggris, dengan kerjasama melalui kontrak,  belum terlihat dilakukan di Indonesia (observasi tahun 2019).

Sedikit tentang Pidana Kehilangan Kebebasan
Bila melihat kepada media massa, maka sikap masyarakat Indonesia dewasa ini dengan dukungan kebijakan kriminal pemerintah adalah “highly punitive” dengan dasar “law and order ideology”. Strategi menghadapi kejahatan ini terutama ditujukan kepada tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika dan tindak pidana terorisme. Namun, strategi dengan “general deterrence” sebagai pembenaran pemidanaan ini dalam prakteknya juga ditujukan kepada kejahatan dan pelanggaran hukum lainnya. Rancangan KUHP Nasional telah mencoba untuk mengurangi pidana kehilangan kemerdekaan (pidana penjara) dengan menekankan pada pidana alternatif, antara lain pidana denda. Namun, dengan lambatnya pembicaraan tentang RKUHP ini di DPR, maka pidana penjara masih merupakan pidana–utama yang dijatuhkan oleh pengadilan-pengadilan di Indonesia. Kalau mau dikaji secara jujur, maka praktek pelaksanaan pidana penjara dewasa ini belumlah sejalan dengan konsep “Pemasyarakatan Narapidana Sahardjo”. Dengan menjalankan konsep Sahardjo yang tidak menghendaki Lapas menjadi “sekolah tinggi kejahatan” dan berpegang pada prinsip “negara tidak berhak membuat narapidana menjadi lebih buruk sifatnya, dibanding sebelum dijatuhi pidana penjara”, maka kebijakan kriminal yang dianut haruslah to protect and uphold the human rights of offenders, victims and potential victims of crime” (Cavadino & Dignan 2003: 5-6). Dengan memperhatikan tujuan pidana penjara yaitu mengembalikan narapidana ke dalam masyarakat sebagai “law-abiding citizens”, maka program latihan kerja dalam Lapas dan Community Based Corrections haruslah utama.[7]  

Overcrowded (Kelebihan Penghuni)  dalam Lapas di Indonesia
Dari laporan-laporan di media massa diketahui bahwa banyak lapas-lapas di kota-kota besar telah mengalami kelebihan penghuni narapidana.[8] Jumlah seluruh penghuni di Lapas-lapas di Indonesia per September 2014 adalah 159.704 orang (narapidana: 110.035 dan tahanan: 49.669), yang terbagi lagi atas Dewasa Pria: 147.031, Dewasa Wanita: 8.226, Anak Pria: 4.369 dan Anak Wanita: 78.[9] Kelebihan penghuni ini disebabkan tingginya jumlah populasi Lapas, karena “kiriman” dari Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan, sedangkan fasilitas yang tersedia tidak cukup untuk menampung jumlah tersebut.

Lapas-lapas di Indonesia sebagian besar adalah warisan jaman Hindia Belanda dan karena itu fasilitasnya juga sudah tidak memadai lagi, apalagi kalau terjadi “overcrowding”. Dengan kelebihan penghuni ini, ditambah dengan fasilitas yang tidak memadai lagi, ada kemungkinan pula terdapat penambahan beban-kerja karena kekurangan petugas pemasyarakatan (understaffing) dan hal ini dapat menimbulkan pula “keresahan” pada petugas. Dengan kondisi seperti ini maka kemungkinan terjadi pelangaran disiplin ataupun pelanggaran hukum menjadi lebih besar. Pelanggaran seperti pemilikan dan penggunaan HP, Narkoba, dan barang-barang terlarang lainnya lebih mudah terjadi. Juga kemungkinan perkelahian dan kerusuhan antar narapidana menjadi lebih besar pula. Dan tentunya kemungkinan larinya narapidana dari Lapas.  



Penjara Terbuka untuk Napi dengan “Keamanan Minimum”
Dengan mengutamakan “to protect and uphold the human rights of offenders” dalam politik atau kebijakan kriminal negara, maka Pemerintah seharusnya dapat mulai melaksanakan “penjara terbuka" (open prisons). Pembangunan Lapas-lapas terbuka akan lebih murah dan dapat dipergunakan untuk menampung “kelebihan penghuni” dari lapas-lapas disekitarnya. Tentunya penghuni lapas-lapas terbuka ini adalah para narapidana yang termasuk “berisiko-kecil akan melarikan diri” dari lapas atau napi yang perlu pengawasan keamanan minimum (minimum security prisoners). Apabila lapas menyediakan program pendidikan dan program latihan kerja yang baik dan bermanfaat bagi napi, maka dapatlah diharapkan akan adanya insentif bagi napi untuk menyelesaikan “tanggungjawab pidananya” dan tidak melarikan diri.

Lapas-terbuka juga adalah lebih manusiawi dan memberikan kepada napi juga rasa harga-diri kembali. Kenyon J.Scudder yang memimpin sebuah Lapas terbuka di Amerika Serikat, mengatakan bahwa falsafah yang harus dianut oleh para petugas dari Lapas-terbuka ini adalah “prisoners are people and that they must be returned to society wirh a better attitude than when they entered prison, that they must be taught the dignity of honest work, given the opportunity to acquire new skills by which they may make an honest living and stay out of trouble”[10].Dikatakannya pula, adalah keliru pendapat bahwa dengan menghukum seseorang dalam penjara dengan tembok-tembok tinggi, maka dia akan pasti bertaubat. Ada kemungkinan  dia akan keluar dari lapas dengan rasa marah dan benci terhadap masyarakat yang telah “mengurung”nya tanpa memberi dia kesempatan untuk memperbaiki nasibnya. Sikapnya kemudian terhadap masyarakat di mana dia harus kembali, akan banyak tergantung pada bagaimana dia merasa diperlakukan di dalam lapas.   

Swastanisasi Lapas (Penjara) Terbuka
Dengan minimnya anggaran yang mungkin akan diperoleh dari Pemerintah untuk membangun lapas-lapas baru dengan model bangunan dengan tembok tinggi dan pengamanan yang ketat untuk menghindari pelarian napi, maka adalah suatu kesempatan untuk mengajak swasta berpartisipasi dalam bidang pemasyarakatan narapidana. Swasta yang merupakan perusahaan komersial tentunya mengharapkan adanya keuntungan dari partisipasi ini.Sebagai percobaan dalam pembangunan dan pengelolaan Lapas, maka disarankan untuk memulai kerjasama dengan perusahaan swasta atau BUMD di bidang pertanian dan perkebunan.

Kerjasama ini dilakukan dengan kontrak (mungkin dengan model “build-operate-transfer” - BOT), yang secara rinci menguraikan hak dan kewajiban masing-masing pihak (Kementerian Hukum dan HAM  serta  Perusahaan Swasta). Secara garis besar Perjanjian (Kontrak) kerjasama ini memuat (A) tentang Bangunan Lapas dan fasilitas bekerja untuk napi, (B) tentang Narapidana dalam Lapas, (C) tentang Pengelolaan (management) Lapas, (D) tentang Petugas Pemasyarakatan dan Staf Perusahaan, dan (E) tentang Keuangan.

Bangunan Lapas (A) dapat merupakan bangunan lama yang direnovasi menjadi Lapas-Terbuka atau dapat merupakan lapas baru yang dibangun serupa dengan “asrama TNI”.Fasilitas kerja dapat berupa bengkel-kerja di dalam atau di luar lapas atau merupakan lahan pertanian atau perkebunan milik perusahaan swasta.  Narapidana dalam Lapas (B) akan mengikuti peraturan disiplin yang sekarang berlaku di lapas (atau bagian dari lapas) dengan “minimum security”, dan mereka tetap memperoleh hak dan kewajiban sesuai peraturan yang ada.Kewajiban mereka adalah bekerja di fasilitas yang disediakan perusahaan swasta dan untuk itu mereka mendapat “upah” yang memenuhi ketentuan dari Kementerian Tenaga Kerja-uang tersebut dimasukkan dalam tabungan yang dikelola bank pemerintah. Pengelolaan lapas terbuka (C) tetap berada ditangan Ditjen Pemasyarakatan dengan Kepala lapas yang diangkat oleh MenKumHam dan merupakan Aparat Sipil Negara. Bengkel-kerja dan Pertanian serta Perkebunan yang merupakan milik perusahaan swasta tetap dikelola secara mandiri dengan para napi bekerja di bawah pengawasan bersama Petugas Pemasyarakatan dan Staf Perusahaan. Petugas Pemasyarakatan yang dipilih bekerja di Lapas-terbuka (D) harus melalui seleksi dan pelatihan khusus, begitu pula anggota Staf Perusahaan harus diseleksi dan dilatih khusus dalam membimbing dan mengawasi narapidana yang bekerja di bagiannya.Tentang keuangan (E) diperlukan peraturan khusus bilamana terjadi kontrak dengan model BOT, penambahan gaji Petugas Pemasyarakatan dan pengaturan gaji narapidana yang bekerja pada Perusahaan dilakukan dengan pengawasan Kementerian Keuangan.


Swastanisasi Lapas Solusi atau “Kotak Pandora” ?
Cavadino dan Dignan mengingatkan adanya tiga kemungkinan utama yang dapat menggagalkan kerjasama Lapas dengan perusahaan swasta. Pertama adalah “penyalahgunaan kekuasaan”, kedua adalah “tidak efektifnya pengawasan” dan ketiga adalah “korupsi”. Terlalu luas untuk menguraikan ketiga hal ini, cukup dengan mengatakan bahwa ketiga hal ini memang dapat menjadi “batu sandung” di bidang “management”, bagi kerjasama dalam suatu “joint venture” yang diharapkan menguntungkan kedua belah pihak (mitra kerjasama). Yang berbeda dengan kerjasama dalam usaha bisnis umum adalah di sini “tenaga kerja”  tidak bebas dan lingkungan di mana kerjasama ini berlangsung belum tentu “mendukung”. Kemungkinan ada napi yang melarikan diri dari lapas-terbuka memang harus diantisipasi, namun hal itu jangan sampai menggangu falsafah lapas-terbuka yang didasarkan atas rasa penghormatan pada individu dan saling mempercayai. Begitu juga rasa cemas lingkungan terhadap kemungkinan seorang napi melarikan diri dan “mengulang kejahatannya” di lingkungan tersebut, tentu harus pula diperhatikan. Karena itu, sering pula dikatakan, bahwa menyelenggarakan lapas- terbuka ditengah masyarakat akan serupa dengan membuka suatu “kotak Pandora”. Artinya, akan timbul berbagai masalah yang tidak mudah diselesaikan, apalagi sekarang dengan adanya mitra-kerja berupa perusahaan swasta akan timbul pula benturan kepentingan dengan tenaga kerja penduduk di sekitar lapas-terbuka tersebut.     
                                                          
Penutup: Kesimpulan dan Saran
Dengan memperhatikan permasalahan dan pertanyaan penelitian pada awal makalah ini, akan diambil kesimpulan sebagai berikut:
1)Swastanisasi lapas adalah suatu “joint venture” (selanjutnya “J-V” )antara Kementerian Hukum dan HAM dengan pihak swasta, khususnya perusahaan swasta, untuk mengelola bersama suatu lapas-terbuka. Mengapa lapas-terbuka ? Karena kerjasama dalam bentuk “J-V” ini membutuhkan bantuan dana dari pihak swasta untuk “merenovasi” bangunan lapas lama atau membangun lapas-lapas baru, untuk menambah daya-tampung lapas untuk napi yang mendapat “pidana hilang kebebasan”. Sebagai lapas-terbuka diharapkan biaya renovasi atau pembangunan baru akan lebih murah, sehingga perusahaan swasta yang harus investasi lebih tertarik.   

2)Kelebihan penghuni yang terjadi sekarang adalah karena lapas-lapas yang ada sebagian besar adalah lapas lama yang dibangun berdasarkan falsafah Reglemen Kepenjaraan 1917 Hindia Belanda (lebih dari 100 tahun yang lalu). Kalau kita konsekuen menerapkan Konsep Pemasyarakatan Narapidana dari Sahardjo 1963 (46 tahun yang lalu) melalui UU 12/1995 (24 tahun yang lalu), maka lapas-lapas tersebut sudah tidak layak untuk program-program pembinaan napi untuk memungkinkan mereka berintegrasi kembali ke dalam masyarakat. Kelebihan penghuni ini juga disebabkan kebijakan kriminal yang dipakai di Indonesia adalah “highly punitive approach” yang menggantungkan diri pada “pidana hilang kebebasan”.  

3)Untuk kondisi Indonesia masa kini, dengan minimnya anggaran yang dapat disediakan untuk pembangunan lapas-lapas baru dan tidak mudahnya mengubah kebijakan kriminal yang dianut negara dan masyarakat umum (general public), maka “swastanisasi lapas-terbuka” memang masih akan
 merupakan solusi terbaik. Memang untuk memulai “pembaruan/reformasi” di bidang pemasyarakatan narapidana di Indonesia tidak mudah. Diperlukan “kemauan politik” yang kuat (seperti untuk pemberantasan korupsi) dan adanya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang tangguh dan didukung oleh organisasi masyarakat (seperti dukungan terhadap KPK). Buku “Refleksi 50 Tahun Sistem Pemasyarakatan (Narapidana) – Anatomi Permasalahan dan Upaya Mengatasinya” yang disusun tahun 2015, seharusnya menjadi awal dari suatu perjuangan reformasi ! SARAN-nya: Mulailah dengan hati-hati, tetapi dengan tekad yang kuat bahwa swastanisasi lapas-terbuka di Indonesia bertujuan :”to protect and uphold the human rights of offenders, victims and potential victims of crime”.



*Makalah ini disampaikan dalam “Seminar Reformasi Fungsi Lembaga Pemasyarakatan Sebagai Institusi Pembinaan Terpidana”

Pusat Kajian Lembaga Pemasyarakatan – Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia
Jakarta, 6 Maret 2019 




Daftar Pustaka:

Aranoval, M.Ali,  Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Pemasyarakatan” dalam Hasanudin Massaile dkk,(2015) Refleksi 50 Tahun Sistem Pemasyarakatan – Anatomi Permasalahan dan Upaya Mengatasinya, Jakarta: Center for Detention Studies.

Cavadino, Michael &James Dignan (2003), The Penal System – An Introduction (A Brief History of Prison Privatization).Third Edition, SAGE Publications.

Kenyon J.Scudder (1952), Prisoners Are People, Garden City N.Y.: Doubleday & Company

Mardjaman dkk,  “Perlindungan dan Penghormatan Hak Pelanggar Hukum” dalam Hasanudin Massaile dkk (2015),  Refleksi 50 Tahun Sistem Pemasyarakatan – Anatomi Permasalahan dan Upaya Mengatasinya, Jakarta: Center for Detention Studies.

Sudirman, Dindin Sudirman “Permasalahan Yang Dihadapi Pemasyarakatan” dalam Hasanudin Massaile dkk (2015), Refleksi 50 Tahun Sistem Pemasyarakatan – Anatomi Permasalahan dan Upaya Mengatasinya, Jakarta: Center for Detention Studies.





[1]Garis-besar Makalah dibuat oleh Prof.Mardjono Reksodiputro dan dikembangkan oleh Dr.Surastini Fitriasih, yang juga melakukan penelitian bahan pustaka dan diskusi.
[2] Ada pendapat bahwa asal kata “penjara” adalah dari kata “jera” (lihat Kamus Besar Bah.Ind);
[3] Kata “gubernemen” dipakai untuk pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia. Menurut informasi lisan dari Bpk Koesnoen,Bahrudin Suryobroto dan Waliman kepada MR (pada sekitar tahun 1962), maka Lapas Cipinang (Jakarta) dan Lapas Kalisosok (Surabaya) menghasilkan “perabot kayu untuk kantor”, Lapas Sukamiskin dan Lapas Tangerang menghasilkan produk pertanian, serta Lapas Sawahlunto (Sumatera Barat) menghasilkan batu-bara.
[4] Lapas Terbuka di Air Itam Kalbar dibuka oleh Direktur Jendral Pemasyarakatan Bahrudin Suryobroto dan film sosialisasi dibuat semasa DirJen Ibnu Susanto – sedangkan Direktur Waliman adalah “sponsor” pemasyarakatan napi pemuda di Tangerang dengan konsep lahan pertanian.
[5]Kongres PBB di Jenewa, yang menghasilkan keputusan Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners dalam UN Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders ke-1 tahun 1955 – sering disingkat SMR .
[6] Michael Cavadino & James Dignan (2003),The Penal System – An Introduction.Third Edition, hlm.229 - 234 (A Brief History of Prison Privatization), SAGE Publications
[7] Lihat juga M.Ali Aranoval “Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Pemasyarakatan” dalam Hasanudin Massaile dkk,(2015) Refleksi 50 Tahun Sistem Pemasyarakatan – Anatomi Permasalahan dan Upaya Mengatasinya, Jakarta: Center for Detention Studies, hlm.187 -193
[8] Mardjaman dkk “Perlindungan dan Penghormatan Hak Pelanggar Hukum” dalam Hasanudin Massaile dkk (2015) op.cit. hlm 240
[9] Dindin Sudirman “Permasalahan Yang Dihadapi Pemasyarakatan” dalam Hasanudin Massaile dkk (2015),0p.cit. hlm.163
[10] Kenyon J.Scudder (1952), Prisoners Are People, Garden City N.Y.: Doubleday & Company, hlm.5

Terobosan Dalam Penanganan Tipikor di Indonesia*


(Beberapa Catatan Kecil dan Saran)
oleh: Mardjono Reksodiputro
dan Surastini Fitriasih[1]

Pengantar
Sesuai dengan Tema Seminar Nasional ini “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pemberantasan Tipikor di Indonesia”, dan tugas yang diberikan Panitia untuk mengulas beberapa hal tentang “Terobosan Dalam Penanganannya”, maka permasalahan hukum yang akan diajukan dalam makalah ini adalah tentang Penanganan Tipikor oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (yang dapat kami baca di media massa) dengan memfokuskan pada tiga pertanyaan pembahasan:
1)Sejauh mana KPK telah menangani Political Corruption ?
2)Mengapa publik masih kecewa dengan hasil penanganan KPK ?
3)Adakah saran “terobosan” yang dapat diajukan ?

Karena terbatasnya waktu, maka sebagian data yang dapat diajukan adalah terbatas pada apa yang dapat diperolah melalui surat kabar ataupun majalah mingguan. Dengan rendah hati kami menyampaikan makalah ini, hanya sebagai suatu makalah penjajakan yang mungkin dapat dikembangkan melalui penelitian yang lebih dalam dan lebih luas.

Sejauh mana penanganan Tipikor oleh KPK ?
Mengikuti pendapat Robert Harris[2] Political Corruption (selanjutnya PC) dirumuskan sebagai “penggunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi atau kelompok dan subversi proses politik untuk keuntungan pribadi”. Dengan melihat hasil penangkapan oleh KPK dalam sejumlah kasus yang melibatkan pejabat publik maupun pengusaha swasta, maka kita dapat memuji KPK dengan hasilnya membawa ke Pengadilan sejumlan kasus  Grand Corruption (selanjutnya GC – yang melibatkan jumlah uang yang besar, adapun lawannya adalah  Petty Corruption – dapat disingkat pC ).

Penanganan PC menurut Jon S T Quah[3] dapat dibagi dalam tiga pola sesuai dengan upaya anti-korupsi yang diselenggarakan di negara yang bersangkutan. Pertama, “di mana diadakan sejumlah peraturan yang bersifat anti-korupsi, tetapi tidak ada suatu lembaga pemerintah khusus untuk menegakkan peraturan-peraturan tersebut”. Berarti pemberantasan dan penanganan kasus korupsi dilakukan oleh lembaga konvensional, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. Pola Kedua, adalah “ di mana pemberantasan korupsi ditangani melalui sejumlah peraturan anti-korupsi dan oleh sejumlah lembaga pemerintah”. Dalam pola ini, maka disamping Kepolisian dan Kejaksaan terdapat sejumlah lembaga pemerintah yang mempunyai kewenangan menangani kasus korupsi. Dicontohkan oleh Quah, adalah di India, Filipina dan Cina. Sedangkan pola Ketiga, adalah “di mana terdapat sejumlah peraturan yang bersifat menanggulangi korupsi, dan penegakan hukumnya diserahkan kepada suatu lembaga pemerintah khusus”. Contohnya di Singapura, Hong Kong, Malaysia, Thailand dan Korea Selatan.

Indonesia dengan KPK-nya termasuk dalam pola Ketiga, khusus untuk GC (Grand Corruption) dan PC (Political Corruption). Dengan catatan, masih ada kewenangan Kepolisian dan Kejaksaan menangani GC, PC dan pC (Petit Corruption). Namun demikian, disamping kesuksesan KPK menangani korupsi di Indonesia dengan upaya represif (menyidik dan mendakwa/menuntut),  akan tetapi masih terdapat sejumlah kririk yang harus mau diterimanya, antara lain adalah:
1)Tidak jelasnya strategi KPK dalam memrakarsai upaya pencegahan korupsi di dalam birokrasi pemerintah (pusat dan daerah) dan dunia swasta-komersial;
2)Penayangan oknum koruptor di TV menunjukkan bahwa masih banyak pelaku korupsi ini tidak tampak malu atau takut dalam menghadapi pemeriksaan dan putusan pengadilan;
3)Tidak jelas strategi KPK menjadikan korupsi di Indonesia - bagi pelakunya -  kegiatan yang “high-risk but low-reward” (suatu spekulasi yang berisiko besar tetapi dengan harapan keuntungan yang kecil).

Mengapa Publik masih kecewa ?
Dengan memakai ketiga kritik di atas, akan disampaikan kesimpulan kami :
1)Strategi KPK terutama ditujukan kepada “pencegahan melalui pemidanaan”, berarti diharapkan bahwa melalui pemidanaan yang “berat” (pidana penjara yang lama), maka calon-pelaku (pelaku-potensial) akan “takut” melakukan korupsi. Strategi ini antara lain   kurang memperhitungkan: a)kesempatan yang ditawarkan dan b)keuntungan yang akan diperoleh. Kesempatan ini biasanya ditawarkan (atau dibayangkan) oleh pihak Swasta-komersial, sedangkan pihak swasta ini jarang dapat diajukan ke pengadilan (umumnya hanya “oknum” dan bukan “korporasi”-nya). Sehingga bagi swasta-komersial berlaku asas “low-risk but high-reward”. Keuntungan seorang pelaku korupsi, sering masih “tersisa”, meskipun sudah dikurangi oleh biaya pembelaan oleh advokat-canggih-mahal dan pidana denda disertai pengembalian kerugian negara. Dengan harta “sisa” ini, Terpidana korupsi sering masih dapat menikmati “penghukuman yang ringan” (baik selama proses peradilan, maupun di dalam Lapas).

2)Media-massa khususnya televisi, mempergunakan berita dengan gambar atau foto Pelaku/Tersangka/Terdakwa sebagai “promosi” media TV-nya, sehingga terdapat kesan bahwa Pelaku adalah seorang “selebriti”, dan ini tercermin pula pada Pelaku yang mencoba untuk meniadakan “rasa salah”-nya dengan tersenyum dan melambaikan tangan kepada para wartawan. Seharusnya media massa harus dapat membantu membentuk opini publik yang “mengharamkan” perbuatan Pelaku dan menciptakan stigma perilaku korupsi yang tidak akan dapat hilang meskipun telah menjalani pidana. Rencana memperingati publik dalam Pemilu dengan memberi tanda pada nama ex-Pelaku merupakan cara baik untuk mendidik masyarakat memilih wakilnya dengan hati-hati.  Namun rencana (?) “memborgol” Pelaku di pemeriksaan di Gedung KPK dan Gedung Pengadilan dirasakan terlalu berlebihan membuat malu seorang Tersangka/Terdakwa dan melanggar asas praduga tidak bersalah (Pelaku korupsi tidak mungkin melawan dengan kekerasan atau melarikan diri – beda dengan penjahat dengan kekerasan).

3)Kemampuan Penyidik dan JPU dalam kasus Tipikor menemukan dan mensita secara hukum kekayaan Tersangka Korupsi terlihat masih lemah. Apalagi kalau Terpidana (ataupun Terdakwa) dapat menyembunyikan (sebagian) harta yang diperoleh dari (keuntungan) korupsi di luar negeri (a.l. di negara dengan sistem keuangan/perbankan  yang memudahkan menyembunyikan identitas pemilik harta). Karena itu, maka untuk sebagian calon-Pelaku Tipikor, masih terbayang kemungkinan spekulasi berlakunya bagi dirinya asas “low-risk but high-reward”. Usaha KPK untuk memungkinkan “pemiskinan” koruptor terlihatnya belum optimal. Di bawah akan disarankan upaya memaksimalkan asas “high risk and low reward”.

Strategi Terobosan Untuk “Memiskinkan Koruptor”
Saran yang akan diajukan di sini sebagai “terobosan” mungkin tidak orisinil (sekurang-kurangnya dalam tahun 2012 dan 2013 sudah pernah diajukan dalam Seminar untuk Kejaksaan Agung RI (18 Desember 2018) dan untuk Diskusi Publik KHN-RI (26 Juni 2013)[4] . Intinya adalah bahwa bertentangan dengan ungkapan para penegak hukum bahwa “Crime does not pay” (kejahatan tidak akan pernah menguntungkan), maka rupanya di Indonesia (masih) berlaku “ Financial crime does pay” (kejahatan di bidang finansial/keuangan (dapat) menguntungkan. Bukti untuk Indonesia (dengan melihat berita media massa) adalah sejumlah kasus penipuan investasi keuangan dan tentunya masih banyaknya kasus korupsi yang dibawa ke Pengadilan (a.l. oleh KPK untuk PC dan GC).

Meskipun sudah pernah diajukan 6-7 tahun yang lalu (sekarang tahun 2019), tetapi tidak terdengar atau terbaca gaung kritik yang keras dari Publik atau LSM Anti-Korupsi “mengapa para koruptor (dan keluarga serta kawan-kawannya” masih saja berlimpah kekayaannya (tidak terdengar atau terbaca bahwa seorang koruptor jatuh miskin atau perusahaan yang terlibat bangkrut atau pailit ! – malah rupanya mereka dapat memanfaatkan hartanya untuk mendapat perlakuan istimewa di Lapas !). Karena itu ada dugaan bahwa korupsi di Indonesia itu “sistemik” dan (mungkin) terkait organized crime.

Masalah utama dalam “memiskinkan koruptor” (baik individu atau korporasi) adalah tentang pemahaman kita tentang “pembalikan beban pembuktian” (“omkering van de bewijslast – reversal of the burden of proof”). Perlu dipahami dan diyakini bahwa konsep ini tidak ada kaitannya dengan asas “siapa yang menuduh/mendakwa dialah yang harus membuktikan tuduhan/dakwaannya”, maupun dengan  asas pelengkapnya “pra-duga tidak bersalah bagi tersangka/terdakwa”. Saran untuk memiskinkan koruptor dengan mensita dan kemudian merampas hartanya adalah lebih luas dari apa yang sekarang ada di dalam pasal-pasal 10 sub-b, dan 39 – 42 KUHP serta pasal 194 KUHAP kita.

Saran di sini adalah memperkenalkan dalam hukum Indonesia, Non-Conviction Based Asset Forfeiture (perampasan aset pelaku kejahatan, tanpa melalui prosedur hukum pidana). Konsep dasar perampasan aset ini adalah bahwa harus dimungkinkan untuk merampas harta-kekayaan koruptor meskipun para koruptor ini:
a)dinyatakan bebas oleh pengadilan karena kurang atau tidak terbukti;
b)wafat selama sidang dan proses hukumnya belum selesai (sebelum putusan pengadilan berkekuatan pasti);
c)terdakwa melarikan diri ke luar negeri sebelum sidang selesai (termasuk juga dalam hal dilakukan peradilan in absentia).
Dalam konsep ini, maka karena terdakwa tidak dapat dijadikan pihak dalam perkara pidana tersebut, maka sebagai penggantinya harta-kekayaannya yang menjadi sasaran perampasan melalui putusan pengadilan perdata. Di sini yang perlu dipergunakan adalah “gugatan terhadap benda” (in rem action) sebagai lawan dari yang berlaku dalam hukum perdata kita, yaitu “gugatan terhadap person/manusia” (action in personam).

Adapun alasan perampasan harta koruptor dengan konsep “Non-Conviction Based Asset Forfeiture”, adalah karena dalam sidang pengadilan tipikor terdakwa tidak dapat membuktikan (pembalikan beban pembuktian) bahwa dia telah memiliki harta tersebut secara sah menurut hukum – karena itu kuat dugaan bahwa harta tersebut adalah hasil kejahatan korupsi. Hal ini dilakukan berdasarkan permintaan JPU dalam sidang pengadilan Tipikor, agar Terdakwa korupsi membuktikan sahnya prosedur hukum dia memiliki harta kekayaan tersebut. Jadi “pembalikan pembuktian” tidak ditujukan kepada salahnya Terdakwa korupsi, tetapi kepada harta yang telah disita dan merupakan miliknya.[5]

Untuk dapat memperoleh pengembalian untuk kerugian yang diderita oleh negara, maka saran yang juga diajukan adalah memaksimalkan dana atau harta yang diperoleh dari Pelaku tipikor yang merupakan korporasi.Dalam hal dilakukan “pemiskinan koruptor berbentuk korporasi”, maka perlu diingat bahwa kemungkinan pailitnya/bangkrutnya korporasi sebagai perusahaan, dapat berakibat pada pegawai perusahaan yang sebenarnya tidak bersalah. Oleh karena itu disarankan dalam hal tersangka adalah sebuah korporasi, ditempuh model DPA (Deferred Prosecution Agreement – Penangguhan Pendakwaan Bersyarat).

Model ini adalah suatu variasi dari bentuk umum “Setlement Out of Court” atau
Afdoening Buiten Proces” yang saya terjemahkan “Penyelesaian-tuntas di luar proses Pengadilan” dan “Plea Bargaining” (PB)  atau “Penyelesaian-tuntas melalui Penawaran”. DPA dan PB sebaiknya memang dipergunakan (setelah disahkan dan diatur melalui undang-undang) untuk kasus-kasus tipikor dengan Tersangka korporasi dan yang pembuktian kesalahannya akan memerlukan waktu lama. Sehingga dapat lebih cepat dilakukan negosiasi untuk mendapat dana/aset pengganti kerugian negara (yang dapat cukup besar) dengan imbalan sejumlah syarat yang harus dipenuhi korporasi. Syarat utama yang harus dipenuhi korporasi adalah: 1)Mengakui kesalahan oknum pelaku- pejabat korporasi melakukan tipikor, dan akan memberikan hukuman kepadanya sebagai contoh bagi pejabat korporasi yang lain; 2)Membangun sistem didalam korporasi mencegah hal serupa terjadi lagi dan membangun budaya korporasi yang anti-korupsi; dan 3)memberikan laporan berkala kepada pejabat pemerintah penegak hukum (JPU/KPK) dan bersedia untuk diawasi dan dimonitor kegiatannya membangun “budaya-organisasi yang anti-korupsi”.

Ingin ditambahkan pula sebagai terobosan untuk Indonesia, adalah diwajibkannya Pimpinan Perusahaan (korporasi) secara berkala (setahun sekali dalam Laporan Tahunan untuk Rapat Tahunan Pemegang Saham) mewajibkan para pegawainya intuk menjadi “whistleblower”[6] bilamana mengetahui adanya kegiatan yang dapat dicurigai sebagai tipikor dalam organisasi perusahaan tersebut. Kecurigaan disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan Perusahaan dengan tembusan kepada lembaga penegak hukum (Kepolisian atau Kejaksaan atau KPK) dan bersifat rahasia (dengan ancaman pidana bagi yang menyalahgunakannya) -.mr-sf.-


*Makalah ini telah ditampilkan pada acara "Seminar Nasional Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia", pada tanggal 18 Februari 2019 di Kampus FH UI Depok.


[1]Tulisan ini desain awal disusun oleh Prof.Mardjono Reksodiputro,SH.MA dan di edit dan disempurnakan oleh Dr.Surastini Fitriasih,SH.MH
[2] Harris, Robert (2003) Political Corruption – In and Beyond the Nation State,London:Routledge, hlm.9
[3] Quah, Jon S T (2003) Curbing Corruption in Asia – A Comparative Study of Six Countries, Singapore: Eastern University Press, hlm.16
[4] Lihat Mardjono Reksodiputro (2013) Perenungan Perjalanan Reformasi Hukum, Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI, hlm.327-338
[5]Konsep hukum tentang kewajiban Terdakwa membuktikan sahnya harta yang disita, dan bukan kewajiban JPU (inilah “pembalikan pembuktian”) sudah ada dalam UU Tipikor dan UU Pencucian Uang – untuk penjelasan selanjutnya lihat Mardjono Reksodiputro (2013),Perenungan Perjalanan Reformasi Hukum, hlm.327 – 346.
[6] Lihat juga Mardjono Reksodiputro (2013), Op.cit. hlm.319 -323