Saya mulai mengenal Kang Koes,begitu saya biasa
memanggilnya,dengan baik, pada waktu
FHUI mencari seorang gurubesar yang bersedia memimpin Program Pascasarjana
(PPs) Ilmu Hukum UI yang baru didirikan oleh Dekan Sri Hanifa,SH. Saya pada
waktu itu (+/- tahun 1980) diminta oleh Dekan untuk bersama Pudek I (Akademik)
Koesriani Siswosoebroto,SH, menyusun rencana pendirian PPs di FHUI. Setelah
rencana rampung dan disetujui, menjadi pertanyaan siapa akan memimpinnya. Yang
dicari pada waktu it adalah seorang gurubesar ilmu hukum yang memenuhi a.l.
kriteria :
1)mempunyai wawasan mengembangkan program magister
hukum di Indonesia (seingat saya di UI adalah yang pertama) dengan juga mencari
bantuan luarnegeri; dan
2)mempunyai hubungan yang baik di Departemen
Pendidikan, agar ijin-ijin yang diperlukan dapat cepat selesai.
Dekan, Pudek I, saya, Dr Soerjono Soekanto dan
beberapa dosen lain, setelah melalui berbagai pertimbangan calon-calon,
menjatuhkan putusan pada Prof Koesnadi. Sebenarnya saya agak pesimistis, karena
mengetahui kesibukan beliau di UGM, KAGAMA dan beberapa badan pemerintahan di
Jakarta. Tetapi Koesriani, yang mengenal beliau dengan baik mengatakan agar
dicoba saja dahulu. Istilah Yu Sri waktu itu “minta/menanya adalah bebas”
(istilah Belanda “vragen is vrij”).
Jadilah saya dan Pudek I Koesriani bersilaturachmi ke rumah Kang Koes di Jl
Kramat VII, Jakarta. Tidak saya sangka,beliau sangat entusias (bersemangat) dan
segera mendiskusikan berbagai konsep program S-2 ilmu hukum di Indonesia. Kita
sepakat dengan memilih untuk UI : hukum pidana, hukum Islam dan hukum
tatanegara. Kerjasama dengan Belanda waktu itu mulai dibangun melalui kerjasama
antara Konsorsium Ilmu Hukum (KIH) dengan Stichting
voor Juridisch Samenwerking Nederland-Indonesie (Yayasan Kerjasama Hukum
Belanda-Indonesia; KSHIB). Kang Koes yang pernah menjadi Atase Pendidikan RI di
Belanda dan turut membidani KSHIB, sangat aktif mencoba mengaitkan KSHIB ini
dengan PPs Hukum. Antara lain yang cukup berhasil
adalah program beliau yang dinamakannya “sandwich
program” (program roti-lapis) untuk program doktor hukum.
Sejak itu saya sering bertemu dan bekerjasama membangun berbagai
macam program dengan beliau, terutama untuk PPs Hukum UI, dimana saya menjabat
sebagai ketua konsentrasi Hukum dan Sistem Peradilan Pidana di bawah beliau,
kemudian juga selama saya menjadi dekan (1984 – 1990) dan kemudian waktu saya
menjadi sekretaris KIH (1990 – 2000).Kang Koes, orangnya “gampang-gampang
susah ”, artinya kalau sudah punya pendapat/pendirian yang berbeda dengan
kita, maka diperlukan waktu cukup banyak untuk adu argumentasi. Tapi begitu
beliau yakin pendapat kita lebih baik, maka beliau akan cepat mendukung penuh
pendapat itu.Yang mengherankan saya adalah beliau itu “kuat” sekali “mundar-mandir” Jogja – Jakarta dan ke luar
negeri. Kepada saya dinasihatinya agar : a)makan kunyit sebesar kelingking
setiap hari ;b)pergunakan setiap kesempatan dalam perjalanan (mobil atau
pesawat udara) untuk istirahat (tidur); dan c)jangan terlalu banyak dan lama
membawa permasalahan (cepat selesaikan/putuskan).
Saya menyetujui pendapat bahwa Kang Koes orangnya sangat demokratis,
mudah sekali bergaul, tidak membedakan diri dari para mahasiswanya, teguh pada
prinsip-prinsip hidupnya dan loyal sekali pada teman. Seperti saya kemukakan di
atas saya tadinya tidak yakin bahwa beliau mau memegang PPs Hukum UI, pertama
karena beliau tokoh UGM, sedangkan jabatan yang ditawarkan ada di UI (padahal
waktu itu masih dirasakan adanya “persaingan” antara UI dan UGM). Kedua, jabatan yang ditawarkan sebenarnya (waktu itu) tidak “tinggi”, hanya
suatu “eksperimen” dekan Sri Hanifa untuk meningkatkan kemampuan sarjana hukum
dan merupakan “jembatan” untuk pendidikan doktor hukum.Kantor yang ditawarkan
kepada beliau juga kecil di tingkat-3 gedung FHUI Rawamangun. Dalam kantor +/-
5 x 6 m, beliau bersama Sdr Aisah Arman, SH ( sekretaris PPs Hukum UI) bekerja
mengelola program dengan sekitar 20 – 30 mahasiswa setiap tahunnya. Kemudian
ketika saya (selaku dekan FHUI) harus membawa pindah FHUI dari Rawamangun ke
Kampus Baru Depok, Kang Koes ditinggal di Salemba, juga dengan ruangan kantor
yang sempit. Namun beliau tidak pernah mengeluh dan tetap melakukann tugasnya.
Teladan yang saya kira dapat dipetik adalah dari perilaku beliau yang “selalu
optimis melihat ke depan, mencari jalan memecahkan masalah yang harus
dihadapinya” dan berfalsafah “sepi ing pamrih, ning rame ing
gawe”. Selamat jalan Kang
Koes, kau akan selalu dikenang dan
menjadi teladan bagi teman-teman mu !
Jakarta-Rawamangun,12
Maret 2007
*Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, S.H., M.L.
wafat tanggal 7 Maret 2007 dalam kecelakaan pesawat Garuda di bandara Adisutjipto
– Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar