Kamis, 28 Mei 2015

Menggugat Praperadilan



Menggugat Praperadilan
(Benarkah “Sarpin Effect” Merupakan “Malapetaka” ?
- Mengapa Reformasi di Bidang Peradilan Gagal di Indonesia ?)


Abstrak

Reformasi di bidang peradilan pidana yang diharapkan oleh masyarakat adalah di mana Pengadilan kita secara aktif membantu terciptanya reformasi hukum. Yang diharapkan masyarakat adalah sistem peradilan pidana yang menjalankan proses hukum yang adil (due process of law). Ini berarti Pengadilan tidak cukup hanya mengikuti undang-undang secara harafiah saja, namun harus berani memberi penafsiran yang futuristik dan yang mau memahami permasalahan warga masyarakat yang mengalami permasalahan hukum. Penerobosan hukum yang dilakukan Hakim Sarpin dalam sidang praperadilan merupakan usaha reformasi hukum yang menimbulkan kontroversi.Sikap selanjutnya dari hakim-hakim lain dan dari Mahkamah Agung dinantikan, agar reformasi di bidang peradilan tidak mengalami kegagalan. 

Pengantar
Awal tahun 2015 ini komunitas hukum di Indonesia disibukkan dengan debat yang kemudian terkenal dengan istilah :”Sarpin Effect”.[1]Sebagian sarjana hukum dan tokoh-tokoh anti-korupsi menganggap ini sebagai “malapetaka” dalam perjuangan memberantas korupsi di Indonesia, karena putusan Hakim Sarpin dalam kasus praperadilan ini menyebabkan sejumlah Tersangka Korupsi yang tidak ditahan juga mengajukan proses praperadilan. Sebagian lagi dari para sarjana hukum, berpendapat bahwa putusan Hakim Sarpin patut dipuji, karena membenarkan gugatan Terpidana BG terhadap KPK dan melepaskannya dari “status” Tersangka. Pendapat terakhir ini melihat putusan Hakim Sarpin ini sebagai suatu “terobosan hukum” terhadap kesewenang-wenangan Penyidik menyatakan kepada umum bahwa seseorang tertentu adalah “tersangka suatu kejahatan”. Tulisan ini bermaksud untuk mendukung pendapat kedua, bahwa apa yang dilakukan oleh Hakim Sarpin adalah usaha untuk memperbaiki sistem peradilan pidana Indonesia, melalui suatu interpretasi yang didasarkan pada asas kepatutan dalam proses.[2] Tulisan ini tidak akan mempersoalkan materi kasus Terpidana BG, namun hanya akan membahas dan memberi dukungan kepada putusan Hakim Sarpin untuk bersedia  menerima suatu gugatan tentang status Terpidana (yang tidak ditahan) dalam sidang praperadilan.

Apa yang dikatakan KUHAP ?
Dalam Pasal 1 Kuhap (Ketentuan Umum) dikatakan dalam butir 10: “Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara  yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; b….”. Tidak ada penjelasan resmi tentang istilah hukum berupa kewenangan yang dinamakan “praperadilan” ini, yang tercantum dalam Pasal1 butir 10. Hanya ada Pasal 78 yang memakai kembali istilah ini, yaitu ayat (1) yang menyatakan: “Yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 adalah praperadilan”, dan selanjutnya ayat (2): Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera.”

Pasal 77 Kuhap yang dirujuk ini menyatakan:
 “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a.sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b.ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”[3]
Juga disini tidak ada penjelasan resmi tentang istilah hukum yang pertama kali muncul tahun 1981 dalam ilmu hukum Indonesia ini.[4]


Heboh “Sarpin Effect”
Yang menarik dari putusan praperadilan ini adalah “nuansa politik” yang melibatkan debat hukum tersebut. Sejumlah aktivis anti-korupsi menamakan putusan ini sebagai usaha yang di “dalangi” oleh para koruptor dan bertujuan untuk mengurangi dan memasung kewenangan KPK dalam menyatakan di muka umum (menuduh?) seseorang sebagai Tersangka tindak-pidana-korupsi (selanjutnya tipikor)[5]. Putusan ini juga berakibat bahwa sejumlah Tersangka tipikor yang tidak ditahan, namun sudah lama diberikan status Tersangka oleh KPK (sudah beberapa bulan,sampai beberapa tahun), menggugat kesahan status mereka tersebut. Para aktivis anti-korupsi meminta agar Mahkamah Agung dapat “turun-tangan” meredakan ketidakpastian hukum ini. Namun, rupanya MA tidak mau terlibat dalam perseteruan yang ”berbau politik” ini dan tidak semata-mata merupakan masalah hukum. Keadaan menjadi lebih heboh dengan diumumkannya oleh Kepolisian bahwa dua orang Pimpinan KPK menjadi Tersangka tindak pidana, yang satu (BW) berhubungan dengan Pilkada dan yang satu lagi (AS) berhubungan dengan pemalsuan surat.Suatu hal yang menarik adalah bahwa BW dan AS tidak mau mempergunakan proses hukum yang telah diputus oleh Hakim Sarpin (menggugat via praperadilan kesahan penentuan mereka sebagai Tersangka yang tidak ditahan).

Akibat dari putusan praperadilan Sarpin yang menimbulkan “Sarpin effect” dapat dimengerti, melalui pandangan Malcolm M.Feeley, seorang ahli ilmu politik:
   “A court decision creating or expanding a right provides an important vehicle for dramatizing an objective and for shaping expectations”[6] 

Apa yang dilakukan oleh Hakim Sarpin adalah “expanding a right”, memperluas hak warganegara yang merasa telah dizalimi oleh Penyidik dengan memberinya status Tersangka, tanpa sebenarnya Penyidik mempunyai bukti-permulaan yang cukup untuk “patut menduga” bahwa orang yang bersangkutan adalah Pelaku Kejahatan. C.P.M.Cleiren dalam komentarnya tentang Ps 27 Kuhap Belanda menyatakan bahwa definisi tentang apa itu Tersangka,telah menjelaskan bahwa dia itu bukan saja “obyek penyidikan” tetapi juga “peserta dalam proses peradilan pidana” (procesdeelnemer) dan karena itu, harus punya juga berbagai wewenang (bevoegdheden).[7] Tentulah tidak boleh secara sembarangan atau sewenang-wenang seseorang diberikan status sebagai “Tersangka”. Mengapa ? Karena status Tersangka akan menyebabkan seseorang itu dapat “ditangkap” dan “ditahan”. Penangkapan adalah “pengekangan sementara waktu kebebasan Tersangka”, guna kepentingan penyidikan.[8] Apakah putusan Hakim Sarpin dapat kita anggap sebagai “an important vehicle for dramatizing an objective and for shaping expectations” ? Atau kalau disingkat: dapatkah putusan Hakim Sarpin membantu reformasi hukum yang berintikan “due process of law” ? Saya akan mencoba menguraikanya di bawah ini.


Tujuan Pengadilan Negeri diberi wewenang praperadilan
Penangkapan dan penahanan pada dasarnya adalah “pengekangan kebebasan” seseorang oleh Penyidik  (dan untuk penahanan dapat juga dilakukan oleh Penuntut Umum dan Hakim), yang harus dilakukan berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Kalau orang itu ditangkap atau ditahan, dan karena itu kebebasannya berkurang, maka orang “bebas” ini statusnya menjadi Tersangka melakukan kejahatan. Atau dapat juga kita katakan bahwa seorang yang dinyatakan sebagai Tersangka, dapat “dikekang” atau dikurangi kebebasannya sebagai seorang warga masyarakat (dapat warganegara Indonesia atau asing). Karena itu orang tersebut dapat meminta kepada Pengadilan Negeri untuk memeriksa kesahannya sebagai orang yang ditangkap atau ditahan. Apakah ini berarti bahwa kalau Tersangka tidak ditangkap atau tidak ditahan, maka wewenang praperadilan Pengadilan Negeri ini tidak berlaku ?

Saya berkeberatan dengan pendapat bahwa bila orang itu tidak ditangkap atau tidak ditahan, maka Pengadilan Negeri tidak mempunyai yurisdiksi menilai kesahan pencantuman status Tersangka oleh Penyidik. Apakah ini berarti bahwa kita selalu harus percaya bahwa Penyidik akan selalu mempunyai bukti permulaan yang cukup dan kuat bahwa seseorang yang diberi status Tersangka adalah pelaku kejahatan? Apakah tidak mungkin bahwa Penyidik sebenarnya tidak punya bukti permulaan yang cukup untuk mempersangkakan adanya kejahatan dan bahwa seseorang itu adalah pelaku kejahatan? Apakah tidak mungkin Penyidik telah berlaku sewenang-wenang, menyatakan seorang sebagai Tersangka kejahatan hanya berdasarkan aduan seseorang yang sebenarnya fitnah atau akan lebih parah lagi, hanya karena Penyidik mencari pencitraan bagi dirinya atau lembaganya (bahwa lembaga tersebut telah bekerja sungguh-sungguh ataupun telah berani menyatakan seorang pejabat tinggi Negara sebagai pelaku kejahatan?). Kalau dugaan kesewenang-wenangan ini tidak benar, maka berilah wewenang praperadilan untuk memeriksa kebenaran status Tersangka yang tidak ditangkap atau tidak ditahan. Karena bukankah itulah maksud dari wewenang Pengadilan Negeri melalui praperadilan untuk memeriksa kemungkinan kesewenang-wenangan dalam menghilangkan atau mengekang hak-hak seorang warga masyarakat ?

Status Tersangka dan Pengekangan Kebebasan
Apakah hak Penyidik dalam hal seseorang dinyatakan olehnya adalah Tersangka? Pertama tentu orang tersebut dapat ditangkapnya, dan hal ini dibatasi oleh ketentuan hanya dilakukan terhadap seorang yang diduga keras (melakukan kejahatan) berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Seterusnya dia dapat ditahan dalam hal adanya kekhawatiran bahwa Tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi kejahatannya.[9] Bagaimanakah halnya bilamana Penyidik tidak mempergunakan hak-haknya sehubungan dengan Penangkapan dan Penahanan ? Bagi saya ini menunjukkan bahwa Penyidik kemungkinan besar telah berlaku sewenang-wenang, karena tidak mempunyai bukti permulaan yang cukup (sesuai undang-undang) dan ini dapat berarti bahwa status Tersangka tidak dapat dibenarkan menurut hukum atau tidah sah. Adakah kemungkinan lain ? Batas waktu penangkapan adalah satu hari (24 jam), berarti kalau dibebaskan sebelum 24 jam, maka tidak dapat diajukan ke Pengadilan Negeri yang mempunyai wewenang praperadilan. Tetapi status Tersangka tidak hilang dan berbagai pengekangan kebebasannya sebagai warga tetap dapat dilakukan oleh Penyidik.[10] Apa saja ? Ini yang kedua: Seseorang dengan status Tersangka (apalagi yang diumumkan secara luas melalui media massa) tentu saja telah “tercemar” namanya dan kehilangan kehormatan yang tadinya diberikan masyarakat kepadanya. Dia sewaktu-waktu dapat dipanggil oleh Penyidik untuk diperiksa lebih lanjut dan karena itu tidak bebas untuk berpergian keluar kota apalagi ke luar negeri (kemungkinan besar sudah dibatasi oleh Kantor Imigrasi). Selanjutnya ketiga: Sebagai Tersangka suatu kejahatan, maka untuk keperluan penyidikan dapat dilakukan penggeledahan rumah (dan kantor/tempat kerja) dan penggeledahan pakaian /badan. Ini tentu dapat dilakukan berkali-kali sesuai dengan yang dirasa perlu oleh Penyidik. Dan keempat: Juga bilamana dirasa perlu, atas diskresi Penyidik, maka harta kekayaan seorang Tersangka dapat disita, karena diduga diperoleh atau adalah hasil dari kejahatan yang dipersangkakan kepadanya (dalam persangkaan kejahatan korupsi, maka keuangan di rekening bank dapat diblokir). Dan terakhir kelima: Semua surat yang diterima ataupun berada dalam arsip Tersangka dapat dibaca Penyidik dan bila perlu disita dan komunikasinya disadap !

Jadi meskipun sudah lepas dari penangkapan dan tidak ditahan, seorang Tersangka akan mengalami berbagai pengekangan atas dirinya, yaitu seperti diuraikan di atas: 1)berupa rasa malu bergaul, karena namanya telah tercemar, dia juga harus siap-sedia untuk setiap waktu dipanggil untuk pemeriksaan lanjutan atau tambahan oleh Penyidik dan karena itu tidak bebas meninggalkan kota apalagi Indonesia; 2)pemeriksaan atas badan (misalnya dalam kasus narkoba atau perkosaan) dapat dialaminya juga, dan tentunya penggeledahan rumah, kendaraan dan tempat bekerja; 3)kemungkinan penyitaan harta benda yang diduga berasal atau terkait kejahatan yang dipersangkakan dapat dilakukan Penyidik; dan ke- 4)pemeriksaan atas semua surat dan dokumen yang merupakan komunikasi pribadinya dan tidak tertutup pula bahwa semua komunikasinya disadap.

Karena itu adalah melegakan bahwa dalam kasus yang ditangani oleh Hakim Sarpin, beliau menerima praperadilan untuk status Tersangka yang tidak ditahan dan juga telah dilepas dari penangkapan. Bagi saya ini adalah suatu terobosan hukum yang sama nilainya seperti pernah putusan Hoge Raad  Belanda yang menerima pengertian bahwa “listrik yang bukan benda berwujud” dapat juga dicuri seperti barang berwujud dalam pengertian hukum. Apa yang harus ditarik sebagai pelajaran (lesson learned) dari kasus Hakim Sarpin ini hanyalah bahwa mengubah status seseorang menjadi Tersangka akan membuka kemungkinan bahwa Penyidik dapat mempergunakan wewenang daya-paksanya kepada orang tersebut, dan karena itu perubahan status menjadi Tersangka hanya dapat dilakukan berdasarkan alat bukti permulaan yang kuat dan cukup, bahwa orang tersebut diduga sebagai pelaku kejahatan. Praperadilan tentang status Tersangka haruslah dimungkinkan untuk menguji ada tidaknya alat bukti permulaan yang kuat dan cukup tersebut.

Bilamana Seseorang Dapat Jadi Tersangka ?
Seorang menjadi Tersangka kalau Penyidik menemukan awal pembuktian yang cukup dan baik/kuat untuk menduga atau mempersangkakan bahwa seseorang itu terlibat atau telah melakukan suatu tindak pidana atau kejahatan. Seharusnya pengertian “awal pembuktian yang cukup dan baik”, tidak boleh didasarkan atas “intuisi atau gerak hati subjektif”. Harus ada standar yang dapat diperiksa oleh pihak ketiga (hakim praperadilan) yang menjelaskan dugaan Penyidik untuk memberikan status Tersangka kepada seseorang. Di Belanda Ps.27 Sv memakai kalimat “… uit feiten of omstandigheden een redelijk vermoeden van schuld aan enig strafbaarfeit voortvloeit” – jadi harus ada persangkaan yang rasional adanya kesalahan atas suatu tindak pidana.  Di Amerika Serikat dipergunakan istilah ”reasonable suspicion”  dan “reasonable grounds”. Kata “reasonable” merujuk pada kata “reason” dan dalam hal ini berarti “yang rasional” atau “yang pantas” atau “yang masuk akal-sehat”. Erat kaitan dengan istilah yang dipergunakan di atas untuk “pembuktian yang cukup dan baik” adalah “probable cause”,dikatakannya :”…we are dealing with probabilities. These are not technical, they are the factual and practical considerations of every day life on which reasonable and prudent men, not legal technicians, act” (…kita bicara tentang berbagai kemungkinan. Hal-hal ini tidaklah teknis, hal-hal ini adalah pertimbangan berupa fakta yang praktis dari kehidupan sehari-hari untuk mana seseorang yang memakai akal-sehat dan berhati-hati akan bertindak, jadi bukan dari seorang teknisi-hukum).[11] Dalam pengertian seperti inilah seorang Penyidik boleh memberi status Tersangka (suspect) kepada seseorang untuk , misalnya melakukan penggeledahan (searches), penyitaan (seizures) dan penangkapan (arrest).

Kalau seorang sudah menjadi Tersangka (dinyatakan di muka umum atau melalui media massa), maka karena seorang Tersangka dapat dikenai berbagai pembatasan, seperti keharusan datang di tempat yang ditentukan Penyidik (biasanya kantor Penyidik), atau dikenakan larangan bepergian ke luar kota atau luar negeri tanpa ijin Penyidik, ataupun diminta menyerahkan surat atau dokumen tertentu, maka benarlah posisinya adalah serupa dengan seorang yang “ditangkap” (meskipun secara fisik “seperti-bebas”, namun tidak sebebas haknya seorang warga masyarakat), dan karena itulah sepantasnya Tersangka tersebut harus diberikan segala hak dan perlindungan seperti seseorang  yang hilang kebebasannya, karena “ditangkap” (lihat Pasal 28D Konstitusi kita). Kesimpulannya adalah: Tersangka, baik dia berada dalam status ditangkap, ditahan ataupun tidak, wajib mendapat hak dan perlindungan Pengadilan melalui wewenang praperadilan.

Apa Sebaiknya Bunyi Peraturan tentang Praperadilan Tersangka ?
Tentunya begitu Penyidik mengetahui adanya kemungkinan telah terjadi kejahatan (misalnya tindak pidana korupsi), maka (1)Penyidik harus memastikan bahwa memang telah terjadi Tipikor, dan kalau ini benar, (2)Penyidik harus menemukan informasi yang cukup untuk menjadikan seseorang berstatus Tersangka. Langkah (1) dan (2) ini menurut saya wajib dilalui sebelum Penyidik dapat menyatakan (secara “terbuka”)[12] bahwa seseorang adalah Tersangka Tipikor. Sehingga kalau Tersangka menggugatnya di Prapradilan, Penyidik cukup membuktikan bahwa langkah (1) dan (2) telah dilaluinya. Selanjutnya aturan apa yang masih diperlukan ?

Pertama: Perlu ditentukan bahwa segera setelah seseorang dinyatakan menjadi Tersangka, maka kepadanya diberitahukan secara tertulis perbuatan apa yang dipersangkakan telah dilakukannya serta pasal-pasal KUHPidana atau UU Hukum Pidana lainnya yang akan diberlakukan kepadanya. Kedua: Dia juga diberitahu secara tertulis tentang kewajibannya untuk menghadiri pemeriksaan lanjutan dan dilarang unutk meninggalkan kota kediamannya tanpa ijin Penyidik. Ini dikenal juga sebagai “Pre-arrest Investigation”.[13] Ketiga: Dibertahukan kepadanya bahwa dalam pemeriksaan lanjutan Tersangka boleh didampingi oleh Advokat (meskipun dibatasi hanya “within sight, but not within hearing”). Keempat: Penyidik mendapat waktu 30 hari kerja untuk memberkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang akan disampaikan kepada Jaksa/Penuntut Umum (JPU) dan JPU mendapat waktu 60 hari kerja untuk meyusun Surat Dakwaan dan menyerahkannya ke Pengadilan Negeri. Dengan demikian seorang Tersangka yang tidak ditahan, pertama-tama dapat memohon pemeriksaan praperadilan tentang status Tersangka-nya, dan apabila status Tersangka ini dibenarkan oleh sidang Praperadilan, maka  dalam waktu 90 hari kerja akan mendapat kesempatan untuk membela perkaranya di muka sidang terbuka Pengadilan Negeri, sebagai Terdakwa. Ini adalah prosedur yang adil, dan akan mmenghindari kesewenang-wenangan Penyidik menyatakan seseorang itu menjadi Tersangka.[14]

Usul saya di atas adalah dalam rangka pemikiran: bahwa kita memang  ingin memperbaiki/mereformasi sistem peradilan pidana kita, agar benar-benar memenuhi standar due process of law. Apa yang terjadi sekarang dimana seseorang dapat dinyatakan sebagai Tersangka dan kemudian berbulan-bulan diperiksa tanpa ada kepastian statusnya (tentu dengan segala pembatasan atas kebebasannya dan privasinya) adalah melanggar asas tersebut. Ketidaksetujuan yang ada dari sejumlah pihak terhadap praperadilan atas status Tersangka, disebabkan hanya karena “amarah mereka terhadap seorang Tersangka Korupsi, apalagi bila dia seorang pejabat”. Yang dilupakan adalah bahwa cara “menyatakan seseorang adalah Tersangka dan kemudian membiarkan kasusnya berbulan-bulan atau mungkin bertahun-tahun tanpa keputusan” dapat (dan mungkin juga sudah banyak) terjadi pada perkara pidana “kecil” di luar korupsi. Seperti tindak pidana pencemaran nama baik, fitnah, pencurian kayu atau buah coklat, pencurian dalam keluarga, dsb-nya. Memang diakui bahwa dalam kasus korupsi, penyidikannya pasti lebih sukar, karena menyangkut saksi-saksi (kalau ada) dan pembuktian melalui dokumen-dokumen (catatan, surat, bukti keuangan, dsb-nya), atau oleh KPK melalui penyadapan. Namun ini tidak berarti bahwa Penyidik boleh menyatakan seseorang menjadi Tersangka, hanya atas dugaan yang belum jelas dan baru kemudian mencari pembuktian yang lebih sempurna, yang dapat memakan waktu berbulan atau bertahun. Bagaimana profesionalisme Peyidik dalam kasus-kasus seperti ini ? Dua asas universal telah dilanggar disini, pertama adalah asas due process of law dan kedua asas hak seorang Tersangka mendapat a speedy trial untuk mempertahankan dirinya terhadap dakwaan JPU.


Kesimpulan
Tanpa harus menunggu perubahan dalam perundang-undangan (dalam hal ini KUHAP 1981 yang akan diganti dengan RKUHAP 2013), kita harus mendukung pandangan bahwa pengadilan mempunyai potensi untuk menanggulangi masalah hukum yang terjadi dalam masyarakat kita. Masalah kita menjadi masalah sosial, karena dibenarkannya oleh sebagian masyarakat, untuk membiarkan praktek Penyidik menyatakan seseorang sebagai Tersangka, tanpa Penyidik mempunyai awal bukti permulaan yang kuat, bahwa memang ada dugaan kuat Tersangka telah melakukan tindak pidana korupsi. Praktek ini telah dikuatkan oleh KPK untuk dugaan korupsi yang didasarkan pada “perbuatan melawan hukum” dan “penyalahgunaan kewenangan” dengan dugaan timbulnya “kerugian keuangan Negara” atau “kerugian pada perekonomian Negara”. 

Putusan Hakim Sarpin, memang telah menciptakan hak menggugat statusnya,  bagi seorang Tersangka yang merasa dirinya diperlakukan sewenang-wenang oleh Penyidik. Penyidik yang sebenarnya belum mempunyai awal pembuktian yang cukup, sehingga Tersangka  tidak ditangkap ataupun ditahan. Seyogyanya Mahkamah Agung memberikan dukungannya kepada hak Tersangka ini dan mencegah kesewenang-wenangan Penyidik[15].

Jakarta, 13 April 2015


-00O00-

Bahan Pustaka Rujukan

1.Bemmelen,J.M.Van (1953),Strafvordering-Leerboek van het Nederlandse Strafprocesrecht, Martinus Nijhoff.
2.Cleiren,C.P.M.(1989), Beginselen van een geode procesorde-Een analyse van rechtspraak in strafzaken, Gouda Quint BV.
3.Cleiren,C.P.M. & J.F.Nijboer (2005), Strafvordering-Teks & Commentaar, Kluwer.
4.Cremers,C.P.M. & J.J.M.Van Bentham (1975), Wetboek van Strafrecht en Wetboek van Strafvordering, S.Gouda Quint.
5.Feeley,Malcom M.(1983), Court Reform on Trial-Why Simple Solutions Fail, Basic Books Inc.
6.Gifis,Steven H.(1983), Dictionary of Legal Terms, Third Edition, Barron’s.
7.Harahap,Yahya SH (1995), “Mencari Sistem Peradilan yang Lebih Efektif dan Efisien”, (makalah dalam Seminar Akbar BPHN Dep.Kehakiman 18-21 Juli 1995).
8.LaFave,Wayne R.& Jerold H.Israel (1985), Criminal Procedure, West Publishing Co.
9.Mahkamah Agung R.I.(2010),Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035.
10.Malaysian Law Publishers Sdn.Bhd. (1982), Criminal Procedure Code-With Annotations of Ammendments 1970-1976.
11.MaPPI FHUI, Teropong - Pembaharuan Hukum Acara Pidana,Volume 2-Oktober 2014.
12.Pangaribuan,Luhut,M.P.(2003),Hukum Acara Pidana-Satu Kompilasi, Penerbit Djambatan.
13.Putusan No.04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel, tgl.16 Febr.2015, Direktori Putusan MARI.
14.Rancangan Undang-Undang R.I. Tentang Hukum Acara Pidana (2012).
15.Reksodiputro,Mardjono (2009),Menyelaraskan Pembaruan Hukum, KHN-RI.
16. ------------------------- (2013),Perenungan Perjalanan Reformasi Hukum, KHN-RI.
17.Rosengart,Oliver & Gail Weinheimer (1974), The Rights of Suspects, Avon Books.
18.Sutrisno,Ade,SH (Mayor Polisi-Hakim Militer) (1976),Taktik & Teknik Menggali Motief Perbuatan Pidana dalam menyusun Berita Acara Penyidikan Kepolisian, Surabaya (tanpa Penerbit).
19.The American Law Institute (1972), A Model Code of Pre-Arraignment Procedure-Official Draft No.1.
20.Tobias,Weber Marc & David Petersen (1972),Pre-Trial Criminal Procedure-A Survey of Constitutional Rights, Charles C.Thomas.



[1] Lihat misalnya Majalah Forum Keadilan 8 Maret dan 22 Maret 2015. Tiga orang Tersangka kasus korupsi yang sedang diperiksa KPK adalah mantan Menteri Agama (SA), mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (HP) dan mantan Direktur Pengolahan PT Pertamina (SAM). Status Tersangka mereka sudah berbulan-bulan, dan karena itu mereka “mem-praperadilan-kan status Tersangka” mereka.
[2] Lihat Christina P.M.Cleiren (1989),Beginselen van een goede procesorde.Een analyse van rechtspraak in strafzaken, Disertasi di Rijksuniversiteit te Leiden, Arnhem: Gouda Quint BV. Bandingkan pula pendapat ini dengan pemikiran Luhut M.P.Pangaribuan(2014), “Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) Dalam Rancangan Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, dalam Teropong, Volume 2-Oktober 2014,Jakarta: MaPPI FHUI, hal.2-15; Salah satu nilai utama Badan Peradilan adalah “Akuntabilitas”, yang a.l. diartikan “… membuat putusan yang didasari dengan dasar alasan yang memadai, serta usaha untuk selalu mengikuti perkembangan masalah-masalah hukum actual”, dalam MARI(2010), Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010 – 2035,diterbitkan oleh Mahkamah Agung RI.-
[3] Menurut saya butir b bermaksud mengingatkan Penyidik dan JPU untuk berlaku cermat dan tidak sewenang- wenang dalam menyatakan seseorang itu berstatus Tersangka atau Terdakwa.
[4] Rujukan yang dipakai adalah dari buku Luhut M.P.Pangaribuan,SH.LLM. (2003),Hukum Acara Pidana. Suatu Kompilasi Ketentuan-ketentuan KUHAP dan Hukum Internasional yang relevan, Penerbit Djambatan.
[5] Meskipun tentu ada benarnya, namun pandangan akan di”pasung”nya dan di”gergajinya” KPK, terlalu di”dramatisir”, seperti pula pandangan bahwa “the Corruptors Fight Back”.Lihat pula pendapat saya : ”Benarkah the Corruptors Fight Back?” dalam Mardjono Reksodiputro (2013),Renungan Perjalanan Reformasi Hukum, Diterbitkan oleh Komisi Hukum Nasional RI, hal.39 – 52.
[6] Malcolm M.Feeley (1983),Court Reform on Trial. Why Simple Solutions Fail, Twentieth Century Fund,Inc – Basic Books Inc..hal.216.
[7] C.P.M.Cleiren & J.F.Nijboer (2005),Strafvordering-Teks & Commentaar, Kluwer, hal.69.
[8] KUHAP 1981, Pasal 1 butir 20 – serupa dengan Rancangan KUHAP 2012, Pasal 1 butir 20
[9] KUHAP 1981, Pasal 16-19 tentang Penangkapan  dan Pasal 20-31 tentang Penahanan
[10] Beberapa kasus di Indonesia mengenai kasus Korupsi telah dtangani oleh KPK dengan cara yang tidak masuk akal, karena mereka membiarkan status Tersangka ini berlama-lama tanpa membawanya ke Pengadilan. Kalau hal ini berani dilakukan oleh Penyidik untuk kasus yang mendapat sorotan media massa, bagaimana kemungkinan warga masyarakat yang “buta-hukum” untuk dijadikan Tersangka selama berbulan-bulan, tanpa hak membela diri ? Bagaimana hak seseorang yang “digantung kasusnya” dengan status sebagai Tersangka, dan  tidak dapat menggugat status Tersangka itu, kalau tidak melalui praperadilan ?
[11] Marc Weber Tobias dan R.David Petersen,1972, Pre-Trial Criminal Procedure. A Survey of Constitutional Rights, Charles C. Thomas Publisher, hal.44 – 46.
[12] Dikatakan “terbuka”, karena ini diumumkan kepada publik-berbeda bila Penyidik hanya mendiskusikan ini dengan teman sesama Penyidik ataupun dengan atasannya.
[13] Lihat Wayne R.LaFave & Jerold H.Israel (1984),Criminal Procedure, West Publishing Co. Hal.8.
[14] Dengan prosedur seperti ini, maka kedua pimpinan KPK (AS dan BW) yang sekarang menjadi Tersangka, maupun mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM (DI) dapat memperoleh kepastian melalui sidang praperadilan tentang sahnya mereka dijadikan Tersangka dan kalau ini sah, maka dalam waktu 90 hari mereka sudah dapat membela diri mereka di sidang pengadilan terbuka, sebagai Terdakwa.Prosedur ini tentunya bukan hanya untuk Tipikor, tetapi juga berlaku untuk perkara-perkara kecil dimana sering Penyidik secara terburu-buru dan sewenang-wenang menyatakan seorang warganegara menjadi Tersangka (meskipun tidak ditahan !).
[15] Menyikapi Seminar Hukum Nasional Ke-7 (Oktober 1999) dng Tema “Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani”, dua tahun kemudian (1981) telah dibuat pendapat Mardjono Reksodiputro “Menegakkan kembali Citra Kekuasaan Kehakiman: Peranan Pengadilan Dalam Negara Indonesia Baru (Sebuah Saran Kepada Ketua Mahkamah Agung RI)”- Respons MA adalah dengan a.l. membentuk Tim Pembaruan Peradilan yang berhasil membuat buku Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010 – 2035 – Menurut pendapat saya putusan Hakim Sarpin menciptakan hak bagi seorang Tersangka yang tidak ditahan untuk menggugat statusnya yang “digantung” Penyidik termasuk pembaruan yang kita harapkan. Semoga putusan ini mengisi Visi “Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia Yang Agung” (Hasil Rumusan MARI 10/9/2009).-