Jumat, 20 Januari 2017

Mengantisipasi Melalui Sistem Peradilan Pidana Pemberantasan Perdagangan Ilegal Narkoba (Suatu Observasi Untuk Diskusi) *



Abstrak: Sistem Peradilan Pidana (SPP) merupakan salah satu pintu masuk dalam pemberantasan perdagangan illegal narkoba di Indonesia. Kebijakan yang dipergunakan sekarang adalah dengan mengatur perdagangan narkoba secara ketat dengan tetap menyediakan jalur rehabilitasi disamping pemidanaan penjara. Makalah ini ingin merekomendasikan adanya perubahan kebijakan dengan lebih memfokuskan “perang terhadap narkoba” kepada organisasi-organisasi kejahatan nasional dan internasional yang memanfaatkan geografi Indonesia untuk memasok narkoba dan mempergunakan Indonesia sebagai “negara transit”. Juga diharapkan terdapat kebijakan yang lebih manusiawi terhadap pengguna narkoba, dengan menyediakan panti-panti rehabilitasi yang dapat dicapai dengan mudah oleh pengguna yang membutuhkannya.

Kata kunci : Sistem Peradilan Pidana, Narkoba, Kejahatan Terorganisasi, Rehabilitasi.

Pengantar
 Pada bulan Februari 2011 (lebih dari 5 tahun yang lalu) diadakan Seminar BNN dengan tema yang sangat optimistis,yaitu “Indonesia Bebas Narkotika 2015 – Penegakan Hukum yang Terintegrasi dan Komprehansif”. Tema ini rupanya mengikuti slogan “Drug Free ASEAN 2015”- Sekarang (2016) sudah lebih setahun dari  target, namun – kalau mengikuti Media Massa- keadaan belum berubah. Pada waktu itu, tahun 2011, kepada saya diminta untuk menyusun suatu makalah dengan judul “Trend Perkembangan Sindikat Narkoba Internasional di Indonesia dan Antisipasinya”. Waktu yang tersedia (dari saya) tidaklah cukup untuk memenuhi permintaan itu, sehingga saya hanya dapat menyajikan makalah yang berisikan beberapa catatan dari sudut pandang Kriminologi, tentang beberapa strategi yang mungkin dapat dipikirkan pula oleh BNN. Makalah sekarang ini mengambil alih sebagian dari tulisan itu dan catatan persiapan makalah tahun 2011 tersebut[1]. Saya mencoba dalam makalah ini  untuk menambah dan memperluasnya.

Perlu disampaikan pula di sini, bahwa pendekatan makalah ini bukanlah pendekatan yuridis (juristic approach), yang melihat permasalahannya secara normatif, tetapi dalam pendekatan kriminologi (criminological/sociological approach), yang melihat permasalahan narkoba ini sebagai suatu gejala sosial dan sebagai perilaku manusia yang menyimpang dari norma dan nilai-nilai yang dominan berlaku dalam masyarakat.


Tiga Aliran Pikir tentang Melawan Perdagangan Ilegal Narkoba
Dikatakan ilegal adalah karena ada sebagian narkotika dan psikotropika yang dapat diperoleh melalui resep dokter di Apotik untuk pengobatan (umumnya adalah yang dimasukkan dalam golongan-3) atau diperdagangkan untuk keperluan ilmu pengetahuan di Laboratorium (riset atau eksperimen pengobatan).  Yang sama sekali tidak boleh dipergunakan, kecuali untuk pengembangan ilmu pengetahuan adalah yang termasuk golongan-1 (untuk jelasnya dapat dilihat pada UU 35/2009 tentang Narkotika dan UU 60/1997 tentang Psikotropika).[2]

Peredaran gelap (ilegal) narkoba (narkotika dan obat/bahan berbahaya) memang dipandang sebagai ancaman besar bagi kesehatan warga masyarakat, karena penyalahgunaan (abuse) narkoba ini menimbulkan ketergantungan yang berdampak kepada cara berpikir dan menghilangkan kreativitas seseorang. Ketergantungan ini telah dimanfaatkan untuk bisnis illegal narkoba oleh sejumlah organisasi kejahatan. Untuk menanggulangi bahaya ini, dalam bahan pustaka dapat disimpulkan secara garis besar adanya tiga aliran berpikir, yaitu:

1)Melegalisasi narkoba (mashab ke-1), dengan tujuan utama menghapus keuntungan besar dari perdagangan narkoba oleh sindikat internasional yang merupakan bagian dari jaringan organized crime. Keuntungan sangat besar sindikat-sindikat ini telah menyuburkan berkembangnya organisasi ini hingga juga meliputi a.l. human trafficking, cyber crime,  illegal gambling dan illegal trade in arms and counterfeit goods. UNODC melaporkan bahwa sindikat-sindikat tersebut telah melakukan kegiatan transnational organized crime sebagai bagian dari the globalized illegal economy. Dalam pemikiran melegalisasi narkoba, pengguna narkoba dianggap sebagai “orang sakit” yang memerlukan perawatan medis melalui rumah-rumah rehabilitasi. Tetapi mereka tetap dapat membeli narkoba secara “relatif bebas” (cukup dengan resep dokter). Hingga sekarang tidak ada negara yang bersedia menggunakan pemikiran ini. Mungkin juga karena hampir pasti kebijakan seperti ini akan ditentang oleh negara-negara anggota di United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC). Pendekatan radikal ini juga dibawa oleh pemikiran bahwa seorang pengguna narkoba sebenarnya melakukan suatu “victimless public order crime” (serupa pelaku tindak pidana pornografi, homoseksual antar orang dewasa, dan pelacuran). 

2)Mengatur perdagangan narkoba secara ketat (mashab ke-2) oleh negara, karena bahayanya yang dapat menjadikan seseorang tergantung kepada bahan ini dan akhirnya pengguna ini akan menjadi beban bagi negara. Ketegantungan ini akan menjadikan addict (pecandu; pengguna narkoba) berusaha untuk membeli narkoba, dan bila ia miskin maka akan melakukan berbagai cara memperoleh uang, antara lain dengan melakukan kejahatan, termasuk menjadi pengedar (trafficking) narkoba. Singapura dan Malaysia menentukan bahwa pengedar narkoba wajib dihukum mati (mandatory capital punishment-death penalty). Untuk menentukan seseorang sebagai pengedar (presumed trafficker), maka ditentukan beberapa batas-pemilikan berbagai jenis narkoba itu. Memiliki suatu jenis narkoba di atas batas tersebut akan dianggap sebagai pengedar. Kebijakan ini juga dimaksudkan untuk mencegah Singapura dan Malaysia akan menjadi “daerah transit” (untuk pengedaran ke negara-negara tetangga) perdagangan ilegal narkoba. Rehabilitasi[3] memang juga dimungkinkan, tetapi hanya bila jumlah narkoba yang ditemukan pada seseorang kurang dari ketentuan yang akan memungkinkan hukuman mati. Sistem ancaman tanpa alternatif ini (mandatory death penalty) hanya dikenal di kedua negara tersebut. Mungkin Filipina juga menganut pemikiran ini, namun dengan penegakannya yang sangat radikal!

3)Tetap diperlukan pengaturan dan pelarangan perdagangan ilegal narkoba (mashab ke-3), tetapi dengan target yang jelas pada pemberantasan perdagangan gelap/ilegal yang dilakukan oleh organisasi-organisasi kriminal (criminal organization) yang didirikan secara illegal ataupun legal (dalam hal ini bisnis legal hanya sebagai “kedok”). Organisasi  kriminal ini tidak saja melakukan kegiatan perdagangan gelap (impor dan ekspor) narkoba, tetapi juga menguasai bisnis judi ilegal, pelacuran, perdagangan manusia, dan penyelundupan (antara lain senjata dan barang-barang palsu).Organisasi ini dapat bersifat lokal, tetapi juga (umumnya) internasional (pemasok barang dan atau modal berada di luar dari negara target). Pengguna narkoba dianggap orang yang memerlukan pendekatan medis, dan karena itu “dipaksa” untuk mengikuti program rehabilitasi. Pemaksaan dilakukan melalui jalur yudisial/pengadilan ataupun melalui jalur eksekutif/dinas sosial. Pendekatan medis ini mewajibkan Pemerintah membangun dan menjalankan sangat banyak panti-panti rehabilitasi yang tersedia dengan ahli-ahli di bidang psikiatri, psikologi, dan kesejahteraan sosial (pekerja sosial) yang terlatih dalam bidang terapi dan rehabilitasi pengguna narkoba. Sepengetahuan saya Belanda menganut pemikiran ini, dengan antara lain membuka kesempatan “perdagangan-bebas-terbatas”, bagi pengguna “soft drugs”, di tempat-tempat yang telah ditentukan dan di bawah pengawasan. Antara lain, pemikiran di sini adalah untuk mencegah pengguna berhubungan dengan penjual yang akan menawarkan “hard drugs”.

Kalau dilihat dari ketiga pendekatan pemikiran di atas (semacam tiga mashabschools of thought), maka kebijakan Indonesia mendekati pemikiran mashab ke-2 di atas. Terutama setelah Indonesia mengeksekusi sejumlah pelaku tindak pidana narkoba  dengan pidana mati. Namun memang tidak sekeras Singapura dan Malaysia (dengan mandatory capital punishment). Karena dari observasi dan pengetahuan saya melalui media massa, Indonesia telah memilih strategi penanggulangan masalah narkoba melalui pemidanaan (punishment strategy), - semua pelanggar UU Narkoba pada dasarnya akan mendapat hukuman berat, yang dimaksudkan untuk menakuti “calon-pengguna narkoba”.Juga dipersiapkan Lembaga Pemasyarakatan Khusus (atau Bagian Khusus dalam Lapas) untuk Terpidana Narkoba. Memang tersedia juga kesempatan rehabilitasi, namun hanya dimanfaatkan secara terbatas, karena seleksi yang ketat terhadap mereka yang akan mempergunakannya dan tempat yang terbatas.

Dua Strategi Besar Dalam Melawan Penggunaan Narkoba
Dalam bahan Pustaka Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana (SPP) dikenal ada dua strategi pokok untuk menghadapi ancaman narkoba ini, yaitu:

1)Law Enforcement Strategies di Indonesia dilakukan oleh BNN dan Kepolisian, antara lain melalui pencegahan masuknya narkoba melalui bandara udara dan pelabuhan laut, melalui razia-razia di tempat umum (diskotek, klub malam dan kafe/bar), dan juga melalui undercover agents serta informasi dari masyarakat. Penangkapan para pengguna dan pengedar/pembawa narkoba merupakan sarana utama dalam strategi ini.

2)Community Strategies – di Indonesia ini juga telah dilakukan oleh BNN dan Kepolisian dengan mengajak penyertaan warga masyarakat dan organisasi anti-narkoba (seperti GRANAT/Gerakan Nasional Anti-Narkoba) melakukan “perang melawan narkoba”. Sosialisasi tentang bahaya narkoba melalui Media-massa dan sekolah-sekolah (termasuk pesantren dan universitas) merupakan sarana utama dalam strategi ini.

Dalam pendekatan bidang strategi, maka dapat dipelajari juga bagaimana Amerika Serikat melakukannya dengan program nasional yang dikenal dengan nama “DARE” (Drug Abuse Resistance Education)[4]. Seperti terlihat dari namanya,maka program ini berintikan pendidikan dengan tujuan membangun kemampuan “perlawanan-diri terhadap tawaran narkoba”, moto utamanya adalah “Say No To Drugs”. Dalam pendidikan ini ada 5 bidang fokus,yaitu:

a)Pemberian informasi yang akurat tentang Tembakau, Alkohol dan Narkoba;
b)Membekali para siswa teknik-teknik untuk melawan tekanan dari teman sekelompok;
c)Membekali para siswa untuk menghormati hukum dan penegakan hukum;
d)Membekali para siswa dengan gagasan sebagai usaha alternatif dibandingkan
 dengan  pemakaian narkoba;
e)Membangun rasa harga-diri dan kepercayaan-diri para siswa.

Adapun falsafah yang dianut disini adalah melihat pengguna-narkoba itu sebagai “korban” keadaan masyarakat dan situasi pribadinya. Dikatakan para pendukung program ini “young students need specific analytical and social skills to resist peer pressure and refuse drugs”. Disini perlu diingat pula bagaimana gencarnya pelaku-pelaku bisnis mempromosikan dagangan mereka (antara lain melalui media TV) dengan mempergunakan pendekatan “peer group pressure” (tekanan teman sekelompok). Dalam bahan pustaka pengertian “drugs” tidak saja berupa narkoba/napza, tetapi juga nikotin (tembakau) dan alkohol.[5] Di Indonesia kita telah mengalami bagaimana “gencar dan hebatnya” promosi bisnis rokok dan secara lebih “halus” bisnis alkohol, sehingga dapat diperkirakan bahwa hal ini juga akan atau mungkin telah  terjadi dalam bisnis narkoba !

Bisnis Narkoba
Saya pernah menulis mengenai Narkoba sebagai masalah ke-3 yang harus dihadapi Presiden Joko Widodo sbb[6]:

“Permasalahan ini bukan masalah domestik Indonesia saja, tetapi masalah dunia – telah menjadi transnational organized crime. Ini disebabkan karena perdagangan narkoba ini telah menjadi suatu-gurita kejahatan yang dikuasai oleh “pengusaha-jahat” yang hidup bermewah-mewah di atas penderitaan mereka yang menjadi “pengguna narkoba” (drug addicts). Kekuasaan “penjahat berdasi” (white collar criminals) yang menguasai perdagangan narkoba mencapai puncaknya dengan kemampuan mereka menguasai lembaga-lembaga pemasyarakatan (penjara) di Indonesia. Media massa memberitakan bagaimana Lapas dijadikan “pabrik narkoba” dan bagaimana gembong narapidana kejahatan narkoba masih dapat mengarahkan perdagangan narkoba di luar penjara di Indonesia dari dalam sel penjara. Lebih mengherankan lagi, baik Dirjen Pemasyarakatan maupun kepala Lapas seperti kebal dari tuduhan terlibat dalam ”perdagangan narkoba” di dalam dan di luar penjara ini!”.

Beberapa teman akademisi menganggap saya terlalu “keras” dan telah men”vonis” pejabat-pejabat Lapas, tanpa bukti yang cukup. Saya mengakui, bahwa keterlibatan pejabat Lapas dalam perdagangan ilegal/gelap narkoba oleh narapidana ini, memang sukar dibuktikan karena “tertutupnya” lingkungan Lapas, sehingga Polisi dan petugas BNN juga tidak akan mudah masuk dan melakukan investigasi/penyelidikan. Tetapi kemudian keyakinan bahwa saya benar, adalah ketika saya membaca dua buah buku (dalam bahasa Inggris) yang menceriterakan tentang peredaran narkoba di Bali, dan pusat kegiatannya berada di Lapas Kerobokan. Penulisnya adalah seorang wartawan Australia yang menulis dua buah buku (tahun 2012 dan 2015). Di bawah ini adalah pengantar atau promosi yang diberikan untuk kedua buku itu oleh penerbitnya, baik untuk Lapas Kerobokan[7]  maupun  untuk pulau Bali sendiri[8]:
“Hotel K is the schocking inside story of the jail and its inmates, revealing the wild ‘sex nights’ organized by corrupt guards for the prisoners who have cash to pay, the jail’s ecstacy factory, the killings made like suicides, the days out at the beach, the escapes and the corruption that means everything is for sale …”

Tentang keadaan pulau Bali sendiri, buku yang bersangkutan dipromosikan dengan:

“Snowing in Bali is the story the drug trafficking and dealing scene that’s made Bali one of the world’s most important destination in the global distribution of narcotics … From the highs of multi-million dollar deals to the desperate lows of death row in Indonesian high security jail, Snowing in Bali is unique, uncensored inside into a hidden world”.

Ceritera di dalam kedua buku itu sangat mencengangkan dan “meyeramkan”! Bagaimana mungkin hal tersebut dapat terjadi di Indonesia? Kalau kita dapat percaya separuhnya saja, tentang fakta-fakta yang disampaikan (sedangkan setengahnya lagi kita anggap penafsiran pribadi penulisnya), maka sudah menjadi lebih jelas bagaimana peredaran narkoba dapat dikendalkan dari dalam Lapas. Harus perlu ada bantuan dari petugas Lapas dan anggota Polri, dan mungkin juga telah terlibat oknum-oknum Jaksa, Advokatn dan Hakim serta pejabat daerah setempat. Kalaupun mereka yang terakhir ini tidak aktif membantu, tetapi dengan “tutup-mata” saja atas kegiatan peredaran ilegal narkoba ini di dan melalui Lapas, mereka juga turut bersalah !

Kedua buku tersebut pasti telah dibaca di dunia internasional, karena sudah beredar beberapa tahun. Bagaimana kredibilitas pemerintahan Indonesia di mata dunia luar ? Karena membiarkan hal ini terjadi dan tidak membantahnya, baik dengan melakukan “pembersihan” di sejumlah Lapas, ataupun dengan membuat “press release” tentang “kebohongan” ceritera dalam kedua buku tersebut. Yang juga mengherankan adalah bahwa  Gubernur Bali (yang merupakan mantan Jenderal Polisi) pun tidak bereaksi. Mungkinkah anggota staf beliau belum membaca buku ini ? Ataukah mungkin ada alasan lain, yang tidak boleh diketahui publik ?


Kejahatan Terorganisasi
Bahan pustaka tentang perdagangan ilegal narkoba menceriterakan bahwa perdagangan yang sangat menguntungkan ini di dunia, telah jatuh ketangan “kejahatan terorganisasi” (KTO – organized crime). Namun, kepastian keterlibatan KTO dalam perdagangan narkotika pernah pula tidak dipercaya. Misalnya, di Amerika Serikat (AS) yang sudah lama mengakui adanya KTO yang dikuasai oleh Mafia Italia (Cosa Nostra), terlibatnya KTO dalam perdagangan narkotika pernah tidak dipercaya.Dikatakan pada tahun 1970-an[9]:

“It is certainly understandable that public support in the past has never been sustained and zealous when one realizes that less than a dozen years ago the existence of a nationwide organized crime conspiracy was denied by some of our most respected law enforcement officials. Most of these have since been converted”.

Namun, keadaan itu sekarang telah berubah dan Amerika Serikat melakukan “modern drug war”  sejak Presiden Richard M.Nixon mencanangkan “Operation Intercept” dalam bulan September 1969. Sejak waktu itu usaha pencegahan dilakukan menghadapi KTO yang menyelundupkan narkotika dari Amerika Selatan (a.l.Mexico, Peru dan Colombia).

Keadaan serupa juga pernah ditemui di Belanda (seperti juga di Hindia Belanda[10], ada Opium Wet,1919 yang diubah pada tahun-tahun 1928,1931 dan 1936) , di mana baru pada tahun 1970-an juga terjadi perubahan dalam kebijakan perang terhadap narkoba, yang semula ditujukan kepada pengguna dan penjual-jalanan, mulai di arahkan kepada KTO. Dikatakan dalam suatu studi tentang masalah narkotika di Belanda[11]:

De ‘Richtlijnen voor het opsporings- … van de Opiumwet, die in Oktober 1976 door de procureurs-generaal werden vastgesteld …, bepleiten een prioriteitenstelling in de opsporing … van de georganiseerde drugscriminaliteit die zich bezighoudt met de in-,uit- en doorvoer en vervaardiging van een groothandel in drugs, …” (256; Pedoman penyidikan dari UU Candu/Opium yang pada bulan Oktober 1976 ditetapkan oleh ‘Jaksa Agung’ , meminta suatu prioritas dalam hal penyidikan dari kejahatan narkotika yang terorganisasi, yang melakukan impor, ekspor dan perdagangan-lintas serta penyusunan suatu usaha pedagang-besar di bidang narkotika …).

Dan kemudian dikatakan juga: “Zo bleek toen pas … , dat de groothandel en de in- en uitvoer van verdovende middelen … zich bewogen op het terrein van de georganiseerde misdaad. … Binnen de Narcoticabrigades … werd de .dieptespecialisatie ingevoerd, … ‘Chinezenunits’,  aangezien… Hongkong, Singapore, Maleisie de marktleiders waren …  gevolgd door Turken en Pakistanenunits.” (281-282; Begitulah kemudian terbukti, bahwa perdagangan-besar serta impor dan ekspor narkotika bergerak di bidang kejahatan terorganisasi … (karena itu) dalam ‘brigade narkotika’ (kepolisian) dibentuk ‘spesialisasi-pendalaman’ … ‘unit-unit Cina’ karena Hongkong, Singapura , Malaysia merupakan (tempat asal dan transit) “pimpinan/induk –pasar” … diikuti kemudian oleh unit-unit Turki dan Pakistan ). 

Belanda dikenal sebagai negara yang “lunak” terhadap pengguna (a.l. dengan membuka tempat-tempat khusus untuk pengguna mendapatkan “softdrugs dan mendorong rehabilitasi), tetapi memusatkan kegiatan yang “keras” dalam perlawanan narkobanya kepada kejahatan terorganisasi (KTO) yang menguasai perdagangan gelap narkoba di Belanda.

Kesan saya, Indonesia sekarang masih berada dalam situasi seperti tahun 1970-an di Amerika Serikat dan Belanda. Pada waktu itu di kedua negara ini penegak hukum belum mau percaya bahwa bandar-besar perdagangan gelap narkoba dikendalikan oleh organisasi kejahatan internasional..Di Indonesia pun (menurut pengamatan saya)  konsentrasi pemberantasan-narkoba sebagian besar masih ditujukan kepada pengguna (kebanyakan warga masyarakat miskin), pengedar-jalanan dan penyelundupan oleh kurir melalui laut dan udara. Rehabilitasi penguna memang juga dilakukan, namun sebagian besar pengguna berada di Lapas-lapas yang mempunyai bagian khusus napi-narkoba. Yang sangat menyedihkan adalah keadaan di Lapas Kerobokan  Bali, di mana telah terjadi “korupsi moral dan material” dalam penanganan masalah narkoba dengan para pemasok dan kaki-tangan KTO.internasional ! [12] 


Narkoba dan Kejahatan
Kepercayaan umum adalah bahwa narkoba (selalu) akan berkaitan dengan kejahatan, dalam arti bahwa pengguna akan melakukan kejahatan, karena ketergantungan yang dialaminya. Beberapa penelitian memang membenarkan hal ini. Seorang yang terlibat kejahatan yang merupakan kegiatan kelompok atau lingkungannya (terlibat dalam suatu geng penjahat atau hidup dilingkungan dengan “criminal subculture”), akan mengalami pengenalan terhadap berbagai jenis narkoba. Penyalahgunaan narkoba akan menjadi bagian erat dengan berbagai kejahatan dalam “sub-budaya kejahatan” bersangkutan. Temasuk di dalamnya tentu juga melakukan kejahatan untuk dapa membeli narkoba. Dengan demikian akan terjadilah “lingkaran setan” Kelompok atau lingkungan akan mendorong seseorang untuk “menikmati” narkoba, sehingga dia menjadi kecanduan dan terpaksa/terdorong melakukan kejahatan untuk dapat memperoleh/membeli lagi narkoba, dan demikian seterusnya. Daerah-daerah tertentu di kota-kota besar, yang merupakan tempat yang dihuni keluarga-keluarga pekerja miskin, memamg menjadi sentra jual-beli dan penggunaan narkoba. Tetapi, seperti dicontohkan di Bali, Lapas-lapas pun merupakan lingkungan di mana “drug subculture” ini dapat berkembang tanpa terganggu.[13]

Suatu kritik terhadap pendapat umum dan hasil penelitian di atas adalah, bahwa kesimpulannya mengandung bias/pra-sangka terhadap golongan masyarakat dan lokasi tertentu, yaitu kelompok miskin dan daerah kumuh. Karena tidak selamanya dapat dibuktikan adanya hubungan sebab-akibat yang kuat (strong causal relationship) antara narkoba dan kejahatan. Banyak juga penjahat yang tidak menggunakan narkoba dan sebaliknya banyak pula pengguna narkoba yang tidak melakukan kejahatan. Pra-sangka lain adalah dengan menvonis daerah kumuh sebagai “sarang narkoba”, cukup bukti menunjukkan bahwa di tempat-tempat mewah seperti klub-malam dan tempat-karaoke, sering terjadi jual-beli dan penggunaan narkoba. Tempat-tempat itu sering merupakan tempat berkumpul/kongkow para eksekutif/pengusaha muda yang mencari hiburan malam. Kecuali narkoba, di negara-negara maju di Barat, masalah serupa juga terdapat sehubungan dengan ketergantungan kepada alkohol. Dilaporkan bahwa:”… we have neglected to comprehend the impact of alcohol on crime and violence. Indeed, alcohol may very well make a greater contribution to crime and violence than drugs”.[14]

Selain kritik di atas (masalah hubungan sebab-akibat dan adanya pra-sangka terhadap daerah keluarga miskin), dikatakan pula, bahwa masalah penggunaan narkoba gelap tidak akan dapat dihapus tuntas. Seperti juga kejahatan, maka pengguna narkoba akan selalu berada bersama kita dalam masyarakat. Perhatikan pendapat ini [15]

The drug problem is expansive, cutting across many segments of the population. As such it is impossible for the police to eliminate drugs.Therefore the police should make harm reduction the criterion by which to guide drug enforcement planning and to evaluate enforcement programming.Because the police will never eliminate as law enforcement or social problem, they must expend their energy and resources in such a way that the harm to the community as a result of drugs is minimized.Prority must be given to solving problems that are the most harmful to people and the community.This means the police should tearget problems as opposed to apprehending offenders without regard to activities and impact. The police should focus on problem solving as opposed to bean counting” .

Seperti dijelaskan di atas negara-negara Barat (contoh di atas adalah Amerika Serikat dan Belanda), telah menghadapi masalah pengguna narkoba ini sejak tahun 1960-an (jadi lebih dari 50 tahun), dan mereka masih belum dapat menghilangkannya dari masyarakat mereka. Sumber utama narkoba di Amerika Serikat adalah dari  Amerika Selatan (a.l.Mexico dan Colombia), sedangkan sumber utama narkoba di Belanda adalah dari  Asia Tengah dan Tenggara (a.l. segitiga emas/Kamboja, India, Thailand, Malaysia, Indonesia dan Hongkong). Pendapat Kappeler di atas, tidak bermaksud menghentikan “perang-lawan-narkoba”, tetapi memindahkan fokus  strateginya, tidak semata-mata pada “law enforcement strategies”, akan tetapi justru memprioritaskan “community strategies”, a.l. dengan pendekatan pemolisian-komuniti/pemolisian masyarakat, serta dengan mengupayakan pemecahan masalah (problem solving).

Mengutip pendapat Moore dan Kleiman (2003), Kappeler mengidentifikasi enam tujuan pokok (goals) yang bermanfaat untuk perang melawan narkoba, melalui kegiatan pemolisian-masyarakat, yaitu[16]:

“--Reduce the gang violence associated with drug trafficking, and prevent the emergence of powerful organized criminal groups;
--Control the sreet crimes commited by drug users;
--Improve the health and economic and social well-being of drug users;
--Restore the quality of life in urban communities by ending street-level drug dealing;
--Help prevent children from experimenting with drugs; and
--Protect the integrity of criminal justice institutions.

Dua tujuan pertama memang mengutamakan law enforcement, khususnya terutama kepada organisasi-kejahatan (KTO) sebagai bandar-besar, kemudian  tiga tujuan berikutnya merupakan usaha pemolisian-komuniti dengan mengutamakan kerjasama dengan memberdayakan masyaraka dapat “melawan-sendiri” masalah narkoba (lihat program DARE) di atas. Adapun tujuan ketiga adalah mengakui bahwa keuntungan besar/luar biasa KTO dari  perdagangan gelap narkoba, akan (dapat) merusak integritas petugas-petugas sistem peradilan pidana kita ![17]

Menghadapi KTO Sebagai Bandar-besar Narkoba
Kebijakan ini dinamakan high-level enforcement, yang bertujuan untuk memerangi narkoba justru di puncak dari drug trafficking hierarchy. Dikatakan Kappeler: “The reasoning behind high-level enforcement is that if a drug kingpin is eliminated, the whole network will be rendered useless, and it will cause a large gap in street drug supplies”.[18] Salah satu teori dalam kebijakan ini adalah berlakunya “teori ekonomi”, bahwa berkurangnya peredaran narkoba di jalan (karena rusaknya jaringan penjualan), akan meningkatkan harga narkoba di jalan, dan tingginya harga narkoba akan mengurangi kemampuan pembeli, sehingga peredaran narkoba di jalan akan berkurang. Teori ini juga sering diajukan sebagai salah satu pembenaran melakukan pencegatan (interdiction) di bandara laut dan udara serta di jalan-jalan antar propinsi di Sumatera, serta razia, perampasan dan pemusnahan barang bukti narkoba. Menurut Kappeler teori ini ternyata tidak berlaku di Amerika Serikat, karena tetap saja “increasingly large quatities of drugs have been smuggled into the United States despite enhanced enforcement efforts” dan dikatakannya pula:

Large seizures of drugs serve as public relations tool.The public sees such police action as victories in the war on drugs even though they effectively are meaningless in terms of supply. The real war on drugs, for any community, remains at the retail level [19]

Bagaimana di Indonesia ? Kalau di AS dalam kurun waktu 50 tahun dengan program memerangi bandar narkoba yang datang dari perbatasan daratan di Selatan (dengan Mexico, Colombia dll), high level enforcement kurang berhasil, dapatkah diharapkan Indonesia akan berhasil melakukan “pencegatan” ini dalam suatu negara kepulauan ? Pertanyaan yang (mungkin) dapat dijawab dengan melihat pengalaman kita dengan pencurian ikan dan penculikan pelaut kita oleh kelompok teroris !

Bagaimana dengan di Belanda ? Belanda dikenal sebagai negara yang dipergunakan juga sebagai negara transit narkoba masuk ke negara-negara lain di Eropa Kontinental, terutama melalui pelabuhan Roterdam dan Amsterdam. Kegagalan menghadapi KTO ini rupanya dilaporkan Weijenburg sebagai berikut:

Het wegvallen van de binnengrenzen zal ongetwijfeld leiden tot een … toename van de smokkel van verdovende middelen… De georganiseerde criminaliteit heeft zich nooit iets aangetrokkken van landgrenzen.”(Hapusnya batas negara yang berada di daratan pasti akan menambah penyelundupan narkoba … Kerjahatan terorganisasi (KTO) tidak pernah memperdulikan adanya batas-batas negara di daratan).[20]

Bagaimana kalau nanti Masyarakat ASEAN (MEA) juga akan melonggarkan batas-batas negara Indonesia yang antara lain berbatasan dengan Malaysia (di daratan dan di laut) serta dengan Singapura (di lautan) dan dengan Filipina (di lautan). Dengan melihat pengalaman kita dengan penyelundupan Tenaga Kerja, maka jelaslah bahwa perbatasan kita tidaklah cukup kokoh untuk menahan arus penyelundupan narkoba meliwati perbatasan darat dan laut.[21]  Kalau melihat kepada pengalaman kedua negara (AS dan Belanda) tersebut, maka mereka juga memfokuskan kepada “retail level enforcement”. Melalui kebijakan ini dikenal adanya dua jenis transaksi penjualan ilegal narkoba: “indiscreet drug trafficking”  dan “discreet drug trafficking”. Yang pertama adalah yang dilakukan secara relatif terbuka (indiscreet), di daerah-daerah yang dikuasai oleh kelompok preman, dan umumnya juga rawan terjadinya kejahatan lain (seperti: pembunuhan, perampokan, penganiayaan, pencurian, perjudian dan pelacuran). Dalam model kedua, transaksi dilakukan secara relatif tertutup (discreet), di tempat-tempat rekreasi seperti diskotek, klub malam, tempat karaoke, dan sejenisnya. Penegakan hukum di kedua tempat ini tentunya berbeda. Apa yang terjadi di Indonesia dapat diikuti dari media massa, yaitu umumnya model kedua (discreet  traffciking ) yang banyak diberitakan. Ini biasanya menjadi berita menarik, terutama bila terdapat orang terkenal atau selebriti yang tertangkap. Tetapi apakah di kota-kota besar tidak terjadi razia di daerah-daerah yang dikuasai para preman ? Ataukah memang media massa tidak merasa perlu memberitakannya ? Sesuatu yang mungkin perlu dikaji – dan sama perlu dikajinya pula  adalah mengapa tidak tedengar berita tentang razia di lapas-lapas yang dihuni gembong-gembong narkotika ! Bukankah dalam lapas-lapas ini telah terjadi juga “discreet drug trafficking” ?

Pemidanaan vs Rehabilitasi
Indonesia mengatur perdagangan narkotika secara ketat dengan mengancamkan pemidanaan, namun memberi juga kesempatan dilakukannya rehabilitasi. Kebijakan pemidanaan didasarkan kepada konsep deterrence (penghindaran). Seperti pernah dinyatakan oleh Cesare Beccaria, pemidanaan memang bertujuan untuk menimbulkan ketakutan dan Jeremy Bentham menjelaskan bahwa konsep “penghindaran” itu mengandung pengertian adanya intimidasi oleh hukum. Dengan pemberian pidana kepada seorang pelaku kejahatan, diharapkan orang lain atau seorang calon pelaku kejahatan akan takut atau terintimidasi untuk tidak melakukan atau menghindar dari perbuatan pelanggaran hukum itu. Konsep di atas ini dinamakan juga “simple deterrence”.[22] Konsep sederhana ini tentu tidakalah memuaskan, tetapi memang para legislator dan penegak hukum kita menerimanya, dengan mengikuti pemikiran klasik dalam kriminologi. Dalam pemikiran klasik seperti ini, manusia dipandang sebagai bersifat rasional dan hedonistik, juga pemikiran ini percaya bahwa manusia pada dasarnya mempunyai kebebasan dalam memilih. Karena itu, seseorang calon pelaku seharusnya takut atau terintimidasi dengan ancaman pidana yang ditentukan undang-undang. Kalau pun dia memilih untuk tetap melakukan perbuatan terlarang itu, maka sudah sewajarnyalah  dia menerima hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan. Dari sini timbullah istilah “hukuman yang setimpal”. Kepercayaan disini adalah kepada “the deterrent power of threatened and inflicted pain” (kekuatan penghindaran dari pengancaman dan penjatuhan penderitaan).. Menurut saya, ketika Presiden Jokowi menyatakan tidak akan memberi grasi (pengampunan)[23] kepada narapidana narkoba yang dijatuhi hukuman mati, maka cara berpikir secara “simple deterrence” inilah yang terpikir oleh beliau.

Sebenarnya masih ada berbagai konsep dan teori tentang “proses penghindaran” ini.Tidak ada maksud untuk membahas masalah proses itu disini, namun sebagai sekedar pengenalan tentang terlalu sederhananya penegak hukum kita berpikir, maka dapat diajukan beberapa teori tentang fungsi “ancaman pidana” (the threat of punishment), yaitu sebagai:[24]  1.a Teacher of Right and Wrong  -- 2.as Habit Builders – 3.as Mechanism for Building Respect for Law – 4.as a Rationale for Conformity “. Dengan berdasarkan pemikiran bahwa konsep “simple deterrence” tidak memperhatikan kompleksitas sifat manusia dalam memilih dan manusia itu tidak benar-benar bebas dalam memilih sikapnya terhadap suatu peristiwa (karena dipengaruhi oleh lingkungannya: fisik dan sosial), maka putusan untuk tidak memberi kesempatan mengajukan grasi oleh seorang napi narkoba yang dihukum mati, adalah suatu kekeliruan besar.[25] Grasi memang merupakan hak prerogatif Presiden, namun seorang negarawan tidak boleh berpikir emosional dan menyimpang dari ketentuan undang-undang. Grasi adalah juga hak seorang terpidana, dan penolakan hak ini tidak boleh dilakukan sebelum memeriksa dengan seksama alasan permohonan grasi tersebut, disertai pendapat dari Menteri Hukum dan HAM,  Jaksa Agung  serta  Ketua Mahkamah Agung.  

Konsep rehabilitasi yang dijalankan haruslah dalam rangka pemikiran harm reduction untuk masyarakat. Kecuali tersedianya fasilitas panti-panti rehabilitasi yang cukup banyak, harus ada pula kebijakan untuk hanya memidana penjara mereka yang telah mengalami rehabilitasi di Panti Resmi Pemerintah ataupun Swasta, tetapi tertangkap kembali karena tetap menggunakan narkotika[26].Konsep pembinaan narapidana dalam Lapas mengisyaratkan bahwa Lapas tidak boleh menjadikan narapidana narkoba itu menjadi pengguna narkoba yang lebih buruk dari sebelumnya (misalnya tidak boleh seorang pengguna soft drugs, karena berada di Lapas kemudian menjadi pengguna hard drugs).[27] Adalah suatu dosa besar apabila hal ini terjadi, karena dengan demikian berarti secara “tidak langsung” Pemerintah telah membantu para pemasok/bandar narkoba mendapat keuntungan dari penjualan gelap narkoba !

Penutup dan Kesimpulan
Masih banyak yang perlu dilakukan di Indonesia dalam rangka “harm reduction” (mengurangi bahaya) untuk masyarakat, akibat perdagangan gelap/ilegal narkoba di Indonesia. Pengamatan saya adalah bahwa pemerintah telah menjalankan kebijakan keras (hard policy) terhadap masalah narkoba di Indonesia (mengikuti mashab ke-2 pada awal makalah ini). Memang tidak dapat disangkal bahwa  telah terjadi “malapetaka narkoba” untuk masyarakat Indonesia. Namun kebijakan yang dianut sekarang, terlalu terfokus kepada penangkapan pengguna dan pengedar-jalanan. Ini yang dinamakan “low-level drug enforcement ” melakukan razia dan penangkapan pengguna-narkoba. Rehabilitasi mereka pun tidak dilakukan semestinya, karena sebagian besar akan masuk Lapas dan akan menjadi pengguna-residivis. Diskriminasi telah juga terjadi, karena yang masuk Lapas adalah mereka yang berasal dari kelompok ekonomi-lemah dan umumnya buta-hukum, sedangkan yang masuk Panti Rehabilitasi adalah mereka yang berasal dari kelompok ekonomi-kuat dan dibantu/dibela oleh advokat pribadi. 

Sebaiknya dilakukan evaluasi-kembali tentang kebijakan yang sekarang dianut, saya merekomendasikan untuk mencoba pemikiran mashab ke-3 di atas, di mana tetap dilakukan pengaturan tentang penjualan dan pemakaian secara ilegal narkoba, namun sekarang semua kekuatan dana dan daya dikerahkan untuk meghentikan dengan mencegat penyelundupan  narkoba dalam kuantitas besar (interdiction policy) ke dalam wilayah Indonesia melalui darat dan laut, serta mencari tempat-tempat pembuatan dan penyimpanan narkoba di dalam wilayah Indonesia a.l. dengan menelusuri lalu-lintas keuangan terkait bisnis gelap narkoba ini. Kebijakan ini harus difokuskan kepada penyidikan dan penangkapan gembong KTO (drug lords) serta merampas hasil transaksi keuangan mereka yang merupakan “pencucian uang” (money laundering). Ini dinamakan high-level law enforcement, dan yang menurut saya belum cukup giat dan serius dilakukan di Indonesia.

*Makalah ini telah disampaikan untuk Majalah MaPPI-FHUI Jurnal “TEROPONG” - Desember 2016



DAFTAR PUSTAKA
1.Bonella, Kathryn, The Shocking Inside Story of Bali’s Most Notorious Jail Hotel K (London: Quercus, 2012)
2.Bonella, Kathryn, Snowing in Bali – The Incredible Inside Account of Bali’s Hidden Drug World (London: Quercus, 2015)
3.Gaines, Larry K and Victor E.Kappeler, Policing in America (Waltham,MA,USA: Elsevier, 2011)
4.Germann, A.C.,Frank D.Day and Robert B.J.Gallati, Introduction to Law Enforcement and Criminal Justice (Springfield,Illinois,USA: Charles C.Thomas, 1975)
5.Ingersoll, G, Crimes Against Criminals (New York: Haskell House Publishers, 1974)
6.Kappeller, Victor E./Larry K.Gaines, Community Policing - A Contemporary Perspective (Waltham,MA,USA: Elsevier, 2011)
7.Reksodiputro, Mardjono, “(Trend Perkembangan) Sindikat Narkoba (Internasional) Di Indonesia dan Antisipasinya – Beberapa Catatan Sementara”, mimeo, makalah pada Seminar BNN: Indonesia Bebas Narkoba 2015 – Penegakan HukumYang Terintegrasi dan Komprehensif (Jakarta: 18 Februari 2011)
8.Reksodiputro, Mardjono, “Harapan Untuk Presiden Yang Akan Datang – Perlunya Reformasi Moral Di Indonesia” , Perenungan Perjalanan Reformasi Hukum (Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2013 )
9.Weijenburg, R, Drugs en Drugsbestrijding in Nederland (‘s-Gravenhage: VUGA Uitgeverij, B.V., 1996)
10.Zimring, Franklin E. and Gordon J.Hawkins, Deterrence – The Legal Threat in Crime Control (The University of Chicago Press, 1973)





[1]Reksodiputro, Mardjono, (Trend Perkembangan) Sindikat Narkoba (Internasional) Di Indonesia dan Antisipasinya – Beberapa Catatan Sementara”, makalah tidak diterbitkan (Jakarta: 2011).
[2] UU 35 Tahun 2009-dalam Pasal 6 dan Lampirannya menyatakan dan memperinci berbagai jenis narkotika yang  dimasukkan dalam tiga golongan.
[3] Rehabilitasi yang dilakukan umumnya adalah rehabilitasi medis, namun sarana yang juga dipergunakan adalah rehabilitasi sosial (a.l. dengan memberi pekerjaan dan memperkuat fungsi keluarga) serta rehabilitas berbasis komunitas terapeutik (dalam panti rehabilitasi khusus). Sesuai dengan arahan UNODC, maka Indonesia/BNN juga sejak tahun 2014 mengusahakan rehabilitasi sebagai alternatif pidana penjara, meskipun sebenarnya sudah lama pasal 54 UU 35/2009 memungkinkannya. Telah disiapkan 16 Posko Rehabilitasi pengguna narkoba di 16 kota besar di Indonesia.
[4] Gaines, Larry K. dan Kappeler, Victor E.,  Policing in America, (Waltham,MA,USA: Elsevier, 2011) hal. 453-454, 456b.
[5] Menarik adalah bahwa PerPres 23/2010 tentang Badan Narkotika Nasional, a.l. dapat ditafsirkan telah menyatakan bahwa tugas BNN adalah :mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, terkecuali bahan adiktif tembakau dan alkohol.
[6] “Harapan Untuk Presiden Yang Akan Datang – Perlunya Reformasi Moral Di Indonesia”, dalam Mardjono Reksodiputro, ,Perenungan Perjalanan Reformasi Hukum (Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2013) hal.127-128.
[7] Bonella, Kathryn, The Schocking Inside Story of Bali’s Most Notorious Jail Hotel K  (Great Britain (London): Quercus, 2012) last cover page.
[8] Bonella, Kathryn, Snowing in Bali-The Incredible Inside Account of Bali’s Hidden Drug World (London: Quercus, 2015) last cover page.
[9] A.C.Germann, Frank,D.Day, dan Robert B.J.Gallati, Introduction to Law Enforcement and Criminal Justice, (Springfield,Illinois,USA: Charles C.Thomas, 1975) hal.297.
[10] UU 9/1976 tentang NARKOTIKA, telah mencabut S-1927-278 jo.536, tentang Verdoovende-middelen Ordonantie (Ordonansi OBAT BIUS).
[11] R.Weijenburg, Drugs en Drugsbestrijding in Nederland, (‘s-Gravenhage: VUGA,Uitgeverij,B.V., 1996) hal.256, 281-282.
[12]Kathryn Bonella,2012, op.cit.
[13] Lihat Larry K.Gaines and Victor E.Kappeler, op.cit. hal.447–449;dan R.Weijenburg, op.cit. hal.254-257
[14] Larry K.Gaines et.all. loc.cit.
[15] Victor E.Kappeler/Larry K.Gaines, Community Policing, A Contemporary Perspective, (Waltham,MA,USA: Elsevier,Inc., 2011) hal.366-367 (yang dimaksud dengan “bean counting” adalah sudah puas dengan hanya menghitung jumlah tangkapan pengguna dan jumlah penyitaan/perampasan narkoba). Lihat juga “Presiden: Perang Besar terhadap Narkoba”, Suara Pembaruan, (6 Desember 2016) hlm.6 – di mana Presiden Jokowi menghadiri acara “Pemusnahan Barang Bukti Narkoba” di Silang Monas, berupa: sabu 445 kg, ganja 422 kg, ekstasi 190.840 butir dan happy five 323.000 butir.

[16] Victor E.Kappeler/Larry K.Gaines,ibid
[17] Ingat perdagangan narkoba illegal dalam masyarakat bebas yang dikendalikan melalui napi di dalam Lapas – ingat pula laporan tentang Lapas Krobokan di Bali d atas;dan Lihat pula “Tujuh Polisi Ditangkap Saat Pesta Narkoba”, Suara Pembaruan, (29 Nov. 2016) hlm.20.
[18] Victor E.Kappeler/Larry K.Gaines,hal.368
[19] Op.cit.hal.371
[20] R.Weijenburg, op.cit. hal.314. Yang dimaksud dengan “hapusnya batas negara” adalah dengan terbentuknya Uni Eropah, maka batas-batas negara-negara anggota menjadi hilang - tidak ada pemeriksaan ketat bea cukai lagi !
[21] Lihat “TKW Bawa Sabu dari Malysia Ditangkap di Bandara Juanda”, Suara Pembaruan, (17 Nov. 2016) hlm.20; dan “Bawa Sabu 31,6 Kg dan Ekstasi, WN Malaysia Diamankan di Perbatasan” (Kalbar),Suara Pembaruan (3-4 Des. 2016) hlm.20.

[22] Franklin E.Zimring dan Gordon J.Hawkins, Deterrence – The Legal Threat in Crime Control, (Chicago: The University of Chicago Press, 1973) hal.75.
[23] Grasi/pengampunan dapat berup pembatalkan pidana dengan mengubahnya menjadi jenis pidana yang lebih ringan – dalam hal pidana mati dapat menjadi pidana seumur hidup
[24]Franklin E.Zimring and Gordon J.Hawkins, loc.cit, hal.77 - 88
[25]Adalah pendapat saya, bahwa hukuman mati hanya dapat diberikan:a)kepada seorang Terpidana, dalam hal seluruh anggota Majelis Hakim menyetujuinya; b)dalam hal Terpidana Narkoba, hanya kepada pimpinan organisasi kriminal (KTO) pemasok narkoba.
[26]Kepada mereka ini dapat diberikan “indeterminate sentence”, dengan batas waktu minimal (misalnya satu tahun) dan maksimal (misalnya lima tahun) – pemidanaan semacam ini masih perlu diintrodusir. 
[27] Membuat seorang penjahat menjadi lebih jahat lagi setelah keluar Lapas, karena kekeliruan kebijakan pemerintah dapat dinamakan “kejahatan oleh pemerintah, terhadap seorang penjahat”- Lihat, G.Ingersoll, Robert, Crimes Against Criminals  (New York: Haskell House Publishers Ltd. 1974) hal.31-37.