Kamis, 28 Mei 2015

Memanfaatkan ASEAN LAW ASSOCIATION (ALA) untuk Meningkatkan Kapasitas Komunitas Hukum Indonesia*




Pengantar

Makalah ini ditulis untuk juga memperingati kawan saya almarhum Prof. Dr. Komar Kantaatmadja, SH. LLM.
Bidang Ilmu Hukum yang Prof. Komar Kantaatmadja tekuni berbeda dengan saya. Beliau ilmu hukum internasional, khususnya internasional publik dan saya ilmu hukum pidana dan kriminologi. Kecuali sama-sama dosen, almarhum di UNPAD dan saya di UI, ada juga “keterkaitan” antara Prof. Komar dengan saya, yaitu kita sama-sama menjalankan praktik hukum sebagai konsultan hukum sejak awal transisi dari Orde Lama (pemerintahan Presiden Sukarno) ke Orde Baru (pemerintahan Presiden Suharto).
Disamping itu kami sama-sama aktif dalam berbagai kegiatan Konsorsium Ilmu Hukum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (KIH ini semula dipimpin oleh Prof. Padmo Wahyono dan kemudian oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja) dan juga dalam organisasi ASEAN Law Association (disingkat ALA) yang pada awal pendiriannya dipimpin oleh seorang Secretary-General dari Indonesia, yaitu Teuku Mohammad Radhie, SH. (1980-1986) dan kemudian oleh Prof. Komar Kantaatmadja (1986-1992).

Dalam karangan ini saya juga ingin menguraikan tentang masalah pengaruh globalisasi terhadap perkembangan hukum nasional dan merujuk pada peranan ALA untuk komunitas hukum Indonesia, khususnya di dunia pendidikan.

Kegiatan konsultan hukum di Indonesia
Peranan advokat dalam mempengaruhi politik dalam masyarakat Indonesia sudah lama, dan untuk itu dapat dibaca antara lain ulasan-ulasan Prof. Daniel Lev tentang hukum dan pengadilan di Indonesia. Namun tulisan tentang profesi “konsultan hukum” (legal consultant) di Indonesia, timbulnya dan peranannya belum saya temukan. Pada masa Orde Lama (± tahun 1961, ketika saya lulus dari UI) kantor advokat yang terkenal di Jakarta adalah antara lain Kantor Advokat Lukman Wiriadinata, Zainal Abidin dan Hasyim Mahdan yang berkantor di dekat Istana Presiden RI, Kantor Advokat Prof. Sidharta Gautama (Gouw Giok Siong), berkantor di depan Stasiun Gambir, dan Kantor Advokat Negara Ishak yang berkantor di gedung yang sekarang Lembaga Administrasi Negara.

Semua mereka adalah advokat, disebut juga sebagai “pengacara”, yang terutama berpraktek di pengadilan. Dengan adanya UU Penanaman Modal Asing 1967, dikenal sebagai UU PMA 1967, maka keadaan berubah. Penanaman modal asing pertama yang masuk (setelah dalam masa Orde Lama ada “antipati” terhadap “ modal asing”) dalam rangka UU PMA 1967 adalah Freeport Inc. yang membuka pertambangan di Papua (dahulu Irian Jaya). Berturut-turut kita lihat masuknya perusahaan manufaktur dan farmasi asing, seperti antara lain Kiwi, Teijin, Pfizer, Squibb, dsb-nya.

Pada tahun 1967 inilah secara (hampir) bersamaan, dua orang tokoh hukum di Jakarta: Bpk. Ali Budiardjo, SH.,MSc. dan Prof. Mochtar Kusumaatmadja, masing-masing memprakarsai terbentuknya dua kantor hukum (law firm) yang tidak berorientasi pada penanganan kasus di pengadilan, tetapi membantu pemodal asing yang akan berinvestasi di Jakarta. Saya diminta oleh Bpk. Ali Budiardjo membantu beliau (di luar jam kantor sebagai dosen di FHUI dan Lembaga Kriminologi UI) di kantor hukumnya di Jalan Proklamasi 37, Menteng, Jakarta (± 15 menit jalan kaki dari kampurs UI di Salemba). Dalam peranan inilah saya beberapa kali bertemu dengan Komar Kantaatmadja yang waktu itu mendampingi Prof. Mochtar yang membentuk kantor hukum di Jalan Teuku Cik Ditiro, Menteng Jakarta. Kedua kantor hukum inilah yang kemudian menjadi referensi dalam pembentukan berbagai kantor konsultan hukum (legal consultants) di Jakarta (dan mungkin pula di Indonesia).

Kedua kantor hukum ini bertujuan membantu pemodal-pemodal asing yang ingin menanamkan modal di Indonesia dengan membuka perusahaan. Bidang hukum yang dilayani disini adalah terutama: hukum perikatan, hukum perseroan, hukum pertanahan (agraria), hukum perdata internasional dan hukum perjanjian internasional (treaty). Kalau diperhatikan kurikulum fakultas-fakultas hukum empat puluh tahun yang lalu, dibandingkan dengan kurikulum sekarang, sangat kentara perbedaannya dalam materi yang ditawarkan kepada para mahasiswa. Menurut saya ini berarti bahwa kantor-kantor hukum yang tumbuh begitu pesat di Indonesia ini, telah menyumbangkan pula materi kuliah dalam memperkaya kurikulum fakultas-fakultas hukum kita.

ALA (ASEAN Law Association)
ALA didirikan atas prakarsa Indonesia dalam pertemuan pertama bulan Februari 1979. Seingat saya prakarsa ini datang dari Prof. Mochtar Kusumaatmadja, Menteri Kehakiman yang kemudian menjadi Menteri Luar Negeri Republik Indonesia dan Prof. Sunaryati Hartono, gurubesar di UNPAD, Bandung. Antara lain yang aktif “mengurus” perhelatan komunitas hukum negara-negara ASEAN ini adalah Komar dan Teuku Moh. Radhie. Tujuan ALA pada intinya adalah mempersatukan komunitas hukum ASEAN dalam suatu wadah di mana mereka dapat berkomunikasi secara langsung. Dikatakan dalam Anggaran Dasarnya bahwa keanggotaan adalah: “... all persons who are involved in any of the branches of law...”. Karena itu yang ingin dijaring menjadi anggauta adalah: para hakim, “government lawyers”, “practicing lawyers” (advokat, konsultan hukum), dosen-dosen fakultas hukum dan semua “graduates of law schools”. Jadi ALA bukanlah suatu organisasi profesi hukum, tetapi sifatnya serupa dengan PERSAHI (Persatuan Sarjana Hukum Indonesia). Apa yang dituju oleh ALA adalah “professional networking” dan mendiskusikan “key legal issues in the Region”.

Pada pertengahan tahun 1979, suatu pertemuan diadakan di University of Malaya di Kuala Lumpur, di mana Anggaran Dasar disusun. Rapat anggauta pertama (first General Assembly) dilakukan di Manila, November 1980, di mana Anggaran Dasar (Constitution and By-Laws) disahkan dan sebagai Sekretaris Jenderal pertama terpilih T.M. Radhie, SH dari Indonesia.

T.M. Radhie menjadi Sekretaris Jenderal ALA dari tahun 1980 sampai 1986, dan sebagai penggantinya adalah Komar Kantaatmadja dari 1986 sampai 1992. Sesudah itu jabatan Sekretaris Jenderal lepas dari Indonesia dan dijabat secara bergilir, mulai 1992 oleh seorang advokat Filipina Avelino V. Cruz. Jabatan maupun tempat pertemuan ALA digilir pula menurut abjad negara yang menjadi anggota. Dalam hal ini anggota semula adalah: Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philipina, Singapura, dan Thailand. Dua negara yang baru kemudian masuk adalah Laos PDR dan Vietnam.

Organisasi ALA terdiri atas General Assembly, yang merupakan Rapat Anggauta dan biasanya dibarengi dengan suatu lokakarya, dimana masing-masing negara anggota mengutus wakilnya untuk membawakan makalah tentang berbagai topik yang didiskusikan. Disamping itu setiap negara-anggota membentuk Komisi Nasional, yang terdiri dari seorang Ketua, Sekretaris dan Bendahara dan sejumlah anggota (sebagai pembantu umum). Komisi Nasional (National Committee) berbagai negara ini secara berkala bertemu dan membicarakan program kerja berikutnya, ini dinamakan Governing Council Meeting. Ketua ALA adalah salah satu Ketua Komisi Nasional. Dalam setiap Komisi Nasional terdapat Standing Committees  yang menjalankan program kerja ALA.[1]

Uraian yang agak panjang di atas adalah untuk menjelaskan adanya suatu organisasi sarjana hukum ASEAN yang dapat dimanfaatkan secara kelembagaan, untuk membuka wawasan dan kompetensi sarjana hukum muda Indonesia. Caranya adalah antara lain turut serta secara aktif dalam lokakarya yang diadakan setiap dua tahun (bersamaan dengan General Assembly) dan menghidupkan Komisi Nasional Indonesia untuk menindaklanjuti berbagai lokakarya ALA.[2]

Memanfaatkan ALA
Dalam tahun 1995 ALA menerbitkan sebuah buku (548 halaman) dengan judul ASEAN Legal Systems (Butterworths), yang berisi ringkasan tentang sistem hukum 6 negara: Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philipina, Singapura dan Thailand. Disamping uraian tentang sejarah singkat negara masing-masing, pemerintahannya dan sumber-sumber hukumnya, dijelaskan pula tentang hukum materiil dan formil yang penting untuk memperbandingkan kesempatan (dari segi hukum) yang ada untuk bidang investasi dan bisnis. Yang juga dapat dimanfaatkan adalah informasi tentang profesi hukum dan pendidikan hukum. Terbitan ini kemudian telah diperbaharui dalam bentuk karangan melalui internet dalam situs web ALA.

Kecuali sumber tersebut di atas, lokakarya-lokakarya ALA tentang berbagai topik bahasan dilihat dari perspektif hukum negara-negara ASEAN yang bergabung dalam ALA, merupakan sumber lain yang dapat dipergunakan sebagai rujukan awal dalam praktek hukum maupun pendidikan hukum. Khususnya sejak krisis moneter di Asia 1997-98 dan turutannya krisis ekonomi dan politik di Indonesia, maka makin terlihat bagaimana saling ketergantungan negara-negara di dunia ini dalam proses globalisasi yang terjadi. Globalisasi bukan saja masalah ekonomi, tetapi menimbulkan pula permasalahan di bidang sosial, politik, hukum dan budaya. Perkembangan yang cepat dalam bidang teknologi informasi (IT) telah merambat juga ke bidang hukum. Praktek hukum yang untuk Indonesia ± 40 tahun yang lalu masih bersifat lokal, sekarang (2008) harus ditunjang oleh jejaring (networking) transnasional dan internasional. Tentunya hal ini tidak saja berpengaruh pada bidang praktek hukum, tetapi juga untuk pendidikan hukum.

Kita kurang memanfaatkan ALA. Pimpinan ALA (yaitu President dan Secretary General ALA serta Pengurus Komisi Nasional masing-masing negara) hampir semuanya adalah tokoh-tokoh nasional maupun internasional di bidang hukum. Misalnya Edgardo J. Angara (Rektor Universitas Philippina ; 1980-1982), Tun Mohammad Suffian (Ketua MA Malaysia ; 1982-1984), TPB Menon (Advokat Senior Singapura ; 1984-1986), Sansern Kraichiti (Ketua MA Thailand ; 1986-1988), Purwoto Gandasubrata (Ketua MA Indonesia ; 1989-1992), Marcelo B. Fernan (Ketua MA Philippina ; 1992-1995) ; Sedangkan Komisi Nasional ALA Indonesia pun pernah dipimpin oleh Nasrun, SH (Sekjen Departemen Kehakiman), Purwoto Gandasubrata, SH, Soerjono, SH (Ketua MA), Sarwata, SH (Ketua MA), Prof. Bagir Manan (Ketua MA), dan Sekjen ALA yang pertama dan kedua adalah dari Indonesia (T.M. Radhie dan Komar Kantaatmadja).[3]

Kita harus dapat secara lebih baik menarik manfaat dari organisasi internasional para sarjana hukum ASEAN ini. Salah satu dari sekian keluhan terhadap para sarjana hukum Indonesia (pada umumnya), adalah bahwa mereka kurang tanggap terhadap perkembangan hukum di dunia, yang dibawa oleh globalisasi ekonomi. Kita masih ingat ketika tahun 1997 terjadi krisis moneter (ekonomi) mulai dari Thailand, yang kemudian menyebar ke Korea dan Indonesia. Di Indonesia terjadi krisis perbankan yang menimbulkan masalah BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang membawa banyak korban di dunia perbankan dan nasabahnya. Ini adalah salah satu akibat globalisasi yang dimanfaatkan oleh para spekulan keuangan dunia. Seyogyanya para sarjana hukum Indonesia membicarakan pula permasalahan hukum yang timbul dari krisis ini, misalnya kita dapat belajar dari Singapura, Malaysia dan Philipina yang dapat mengatasi krisis ini dengan lebih baik.[4]

Globalisasi dan Hukum
Kita tidak dapat menahan globalisasi, karena ini adalah suatu proses dengan kekuatan besar yang melanda dunia dan mempengaruhi dan dipengaruhi faktor-faktor sosial, politik, ekonomi, hukum dan budaya. Dilihat dari aspek hukum, maka salah satu masalah yang dibawa oleh globalisasi adalah sehubungan dengan tingkah-laku perusahaan-perusahaan. Terutama yang sering dikritik adalah pengaruh perusahaan transnasional (Transnational Corporations-TNC) dan perusahaan multinasional (Multinational Corporation-MNT). Dalam usaha pemerintah membangun dan mengembangkan perekonomian Indonesia, diperlukan investasi oleh pemodal-pemodal luar negeri. Program investasi langsung (foreign direct investment – FDI) adalah memang bagian dari strategi dan program pemerintah, baik dalam masa Presiden Suharto maupun sekarang masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.[5]

TNC dan MNC sering dikritik sebagai pengaruh buruk dari globalisasi, karena perilakunya yang sudah atau dapat merugikan perusahaan-perusahaan nasional. Namun, tidak pula dapat disangkal bahwa mereka juga telah membawa pertumbuhan ekonomi (economic growth). Korporasi global ini memang mempunyai dampak besar pada komunitas lokal. Mereka membawa barang-barang dengan harga yang lebih murah dari perusahaan lokal. Sebenarnya bukan tujuan mereka “mematikan” perusahaan kecil lokal, harga murah disebabkan korporasi global dapat meningkatkan efisiensi mereka (manajemen dan logistik yang baik). Tetapi memang perusahaan-perusahaan besar seperti ini menimbulkan pula “biaya untuk masyarakat” (tekanan pada buruh, suplai barang, polusi, dll). Hukum dapat membantu untuk “menertibkan” perilaku perusahaan dan “meminta pertanggungjawaban individu yang membuat kebijakan perusahaan”. Tetapi komunitas hukum Indonesia (legislator, penegak hukum, hakim dan pendidik hukum) harus mau belajar dari contoh-contoh luar negeri (sukses dan gagalnya aturan hukum). Diskusi mendalam tentang kasus-kasus besar seperti: pencemaran minyak kapal Exxon Valdez, pencemaran kimia Bhopal, “malpraktik” keuangan Enron dan World Com, seharusnya dapat membantu memperkaya wawasan sarjana-sarjana hukum Indonesia.[6]
        
Kelemahan Hukum Indonesia
Dalam memikirkan reformasi hukum kita, menghadapi tantangan Abad ke-21, selalu timbul pertanyaan yang mana perlu dibenahi dulu “peraturan atau SDM”? Pengamatan saya, komunitas hukum Indonesia, memilih membenahi peraturan, seakan-akan peraturan yang baik (adil, sempurna) dapat mengubah kerawanan situasi penegakan hukum kita. Saya pribadi mendahulukan SDM![7]

Saya tidak ingin bicara tentang “kerawanan” KKN penegakan hukum di Indonesia, yang tidak saja (sering) dituduh penuh ketidakadilan karena “suap” dan “pemerasan”, tetapi juga (sering) ditandai oleh ketidaksiapan para penegak hukum melaksanakan hukum dalam situasi ditekan oleh globalisasi. Pada satu pihak hukum nasional kita sering “terpaksa” tunduk pada kepentingan internasional yang kurang menguntungkan kepentingan nasional. Perusahaan-perusahaan global (MNC dan TNC) tentunya mempunyai kemampuan besar untuk mempengaruhi perjanjian-perjanjian internasional yang selanjutnya akan mempengaruhi kebijakan-kebijakan nasional pemerintah Indonesia. Di pihak lain, sarjana hukum Indonesia yang membantu pemerintah kita, belum tentu paham tentang bagaimana “mengharmonisasikan” kepentingan publik (masyarakat Indonesia) dengan kepentingan privat (bisnis lokal dan perusahaan multinasional).[8]

Komunitas hukum Indonesia harus sering mengikuti dan menyelenggarakan pertemuan-pertemuan hukum yang membahas masalah-masalah hukum yang bersifat transnasional maupun nasional lokal (tetapi yang akan dipengaruhi oleh tekanan globalisasi). Tentunya ini menyangkut soal perdagangan, perindustrian, dan perseroan. Tetapi implikasinya adalah juga pada antara lain perijinan, lingkungan hidup, impor-ekspor serta persaingan usaha. Konsep-konsep hukum tentang “corporate social responsibility”, “liability of corporations (civil and criminal)”, “good corporate governance”, “global price-fixing” dan “corrupt practices by MNC and TNC”,  sebagai contoh,[9] mungkin pula perlu didalami oleh sarjana-sarjana hukum Indonesia. Tetapi untuk itu, dalam pikiran saya, perlu dilakukan hal-hal berikut sebagai awal reformasi:
(a)          “Memaksa” sarjana hukum Indonesia mempelajari bahan-bahan hukum asing dan melakukan diskusi dalam bahasa Inggris, dengan memperbandingkannya dengan hukum Indonesia (ini berlaku bukan saja untuk pengajar/dosen hukum dan advokat hukum korporasi, tetapi juga untuk mereka yang akan merancang peraturan di biro-biro hukum, serta untuk para hakim dan jaksa/penuntut umum);

(b)          Memasukkan dalam kurikulum fakultas hukum mata kuliah yang diajarkan dalam bahasa Inggris (tentang hukum nasional, maupun tentang transaksi internasional) dan secara bertahap memberi prioritas kepada mereka yang lulus dengan baik untuk mata kuliah ini, kesempatan mengikuti pendidikan S-2 dan S-3 di beberapa universitas di dalam dan luar negeri (dengan beasiswa);

(c)          Menjadikan bahan-bahan yang sudah dan akan dibicarakan dalam forum ALA sebagai bahan yang perlu dibicarakan dan dipikirkan oleh generasi muda komunitas hukum Indonesia (hakim, advokat, jaksa dan dosen serta praktisi hukum lainnya), antara lain melalui Komisi Nasional Indonesia-ALA;

(d)         Sarjana hukum Indonesia lulusan abad 21 ini janganlah sekedar berpengetahuan hukum positif Indonesia, tetapi juga memahami masalah-masalah sosial, ekonomi, hukum dan budaya yang, mau-tidak-mau, senang-tidak-senang, akan “mengancam” masyarakat kita melalui globalisasi.



Penutup
Komar Kantaatmadja, cendekiawan hukum internasional, konsultan hukum dan mantan Sekretaris Jenderal ALA, menurut saya akan sepaham dengan pendapat di atas (paling tidak bahwa Indonesia kurang sekali memanfaatkan ALA dan forum-forum diskusi hukum perdata internasional, untuk meningkatkan kemampuan sarjana hukum Indonesia berkiprah di dunia internasional). Dalam hidupnya Prof. Komar Kantaatmadja telah selalu mengabdikan dirinya mempertemukan perkembangan di dunia ilmu (akademik) dengan kenyataan dan praktek-praktek profesi hukum, baik nasional maupun internasional.


Daftar Pustaka
1.       ALA, 1992, The Sixth General Assembly and Conference of the ASEAN Law Association (30 November - 4 Desember 1992, Manila, Philippines)

2.       ------, 1995, The Seventh General Assembly and Conference, ASEAN Law Association (Desember 6-10, 1995, Kuala Lumpur, Malaysia)

3.       ------, 1995, “ASEAN Legal System”, Singapore: Butterworths Asia

4.       ------, 2008, ASEAN Law Association – About Us (http: //www.asean law association.org/history.html)

5.       Chan Sek Keong, 2000, “Rethinking the Criminal Justice System of Singapore for the 21st Century” dalam The Singapore Conference: Leading the Law and the Lawyers into the New Millenium @ 2020, Singapore: Butterworths Asia

6.       Hikmahanto Juwana, 2007, “Globalization and Its Effect on Indonesia’s Legal System, dalam GlobeAsia, May

7.       Joseph E. Stiglitz, 2006, Making Globalization Work, New York: W.N. Norton & Company

8.       Jurnal Hukum Internasional, 2006, International Humanitarian Law and Human Rights, Volume 4, No. 1 (Oktober)

9.       --------------------------------------, 2007, International Crime, Volume 5, No. 1 (Oktober).

10.   Mardjono Reksodiputro, 2004, “Masih Adakah Harapan Untuk Reformasi di Bidang Hukum” dalam Arief T. Surowidjojo (Editor), Pembaharuan Hukum: Kumpulan Pemikiran Alumni FHUI, Jakarta: ILUNI – FHUI

11.   ------------------------------, 2008, “Multikulturalisme dan Negara-Nasion serta Kejahatan Transnasional dan Hukum Pidana Internasional”, makalah dalam Seminar Nasional tentang Pengaruh Globalisasi terhadap Hukum Pidana dan Kriminologi menghadapi Kejahatan Transnasional, Bandung, 17 Maret.

12.   Neil Boister, 2003, “Transnational Criminal Law?”, Ejil, Volume 14, No. 15

*Makalah ini ditulis pada 7 April 2008


[1] Standing Committees yang ada adalah:
a.     Judicial Cooperation
b.    International Law
c.     Legal Profession
d.    Business Law
e.     Legal Education
f.     Legal Information
g.    Alternative Dispute Resolution (ADR)

[2] General Assemblies yang pernah diadakan:
1980-Manila; 1982-Kuala Lumpur; 1984-Singapore; 1986-Bangkok; 1989-Bali (ALA 10th Anniversary); 1992-Manila; 1995-Kuala Lumpur; 2003-Singapore (ASEAN Laws in the 21st  Century); 2005-Manila (ALA 25th Anniversary-Special Commemorative Session); 2006-Bangkok (Challenge of Globalization to Legal Services).
[3] Dalam tahun 1995, Komite Nasional Indonesia-ALA, terdiri atas: Ketua MA Soerjono, Hakim Agung Djohansjah, Sri Budiarti, SH, Ina G. Samadikun, SH, Prof. Komar Kantaatmadja, Prof. Sidik Suraputra, Harjono Tjitrosubono, SH, D. Gandaprawira, SH, K.G. Widjaja, SH, Dr. Albert Hasibuan dan Prof. Mardjono Reksodiputro.

[4] Lihat misalnya pendapat Hikmahanto Juwana, yang mengamati bahwa usaha mereformasi peraturan-peraturan hukum ekonomi Indonesia dilaksanakan di bawah pimpinan tenaga ahli asing. Ia menamakan hal ini “legal transplant”, dan ini disebabkan antara lain oleh globalisasi ekonomi.

[5]Globalisasi sering dikatakan merupakan Juggernaut (kekuatan yang menggilas segala sesuatu yang ada dijalannya) yang membawa perubahan sosial besar dan menimbulkan ketidakpastian ekonomi dan kultural dunia. Kita melihat hal ini di Indonesia antara lain dalam perlawanan kelompok-kelompok masyarakat terhadap “kepemilikan asing” dan “kebudayaan asing”.
[6] Lihat pula pendapat Hikmahanto Juwana dalam catatan 4 supra. Juga perlu pemahaman yang baik tentang keadaan dunia dan globalisasi ini oleh para sarjana hukum Indonesia, adalah antara lain keprihatinan terjadinya “Juggernaut running out of control” dan “unstoppable economic juggernaut”. Lihat karangan Mardjono Reksodiputro tentang multikulturalisme. 

[7] Chan Sek Keong (Atterney General of Singapore) mengatakan bahwa perlu ada penyempurnaan sistem peradilan (pidana) di Asia, yang menyangkut: (a) Problems associated with the lack of clarity in the written law, dan (b) those associated with the (criminal) process.  

[8] Mardjono Reksodiputro juga menganjurkan pada para sarjana hukum Indonesia untuk mengembangkan wacana pembentukan pemerintahan demokratis, dalam arti “representative democracy” yang sesungguhnya. Untuk itu dua asas utama harus dipelopori, yaitu konsepsi dan penafsirannya dalam masyarakat Indonesia, tentang “asas kebebasan” dan “asas persamaan”. Dalam memberdayakan kedua asas utama itu, harus dilihat konteks kebudayaan Indonesia, tetapi juga mau mengacu pada norma-norma universal tentang konsep demokrasi (lihat karangan Mardjono Reksodiputro tentang harapan untuk reformasi di bidang hukum).
[9] Lihat juga Joseph E. Stiglitz, Making Globalization work, hal. 7-24 dan hal. 187-210.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar