Pengantar
Makalah ini ditulis untuk juga memperingati kawan saya
almarhum Prof. Dr. Komar Kantaatmadja, SH. LLM.
Bidang
Ilmu Hukum yang Prof. Komar Kantaatmadja tekuni berbeda dengan saya. Beliau
ilmu hukum internasional, khususnya internasional publik dan saya ilmu hukum pidana
dan kriminologi. Kecuali sama-sama dosen, almarhum di UNPAD dan saya di UI, ada
juga “keterkaitan” antara Prof. Komar dengan saya, yaitu kita sama-sama
menjalankan praktik hukum sebagai konsultan hukum sejak awal transisi dari Orde
Lama (pemerintahan Presiden Sukarno) ke Orde Baru (pemerintahan Presiden
Suharto).
Disamping itu kami sama-sama aktif
dalam berbagai kegiatan Konsorsium Ilmu Hukum Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (KIH ini semula dipimpin oleh Prof. Padmo Wahyono dan kemudian oleh
Prof. Mochtar Kusumaatmadja) dan juga dalam organisasi ASEAN Law Association
(disingkat ALA) yang pada awal pendiriannya dipimpin oleh seorang Secretary-General
dari Indonesia, yaitu Teuku Mohammad Radhie, SH. (1980-1986) dan kemudian oleh
Prof. Komar Kantaatmadja (1986-1992).
Dalam karangan ini saya juga ingin
menguraikan tentang masalah pengaruh globalisasi terhadap perkembangan hukum
nasional dan merujuk pada peranan ALA untuk komunitas hukum Indonesia,
khususnya di dunia pendidikan.
Kegiatan konsultan hukum di Indonesia
Peranan advokat dalam mempengaruhi
politik dalam masyarakat Indonesia sudah lama, dan untuk itu dapat dibaca
antara lain ulasan-ulasan Prof. Daniel Lev tentang hukum dan pengadilan di
Indonesia. Namun tulisan tentang profesi “konsultan hukum” (legal
consultant) di Indonesia, timbulnya dan peranannya belum saya temukan. Pada
masa Orde Lama (± tahun 1961, ketika saya lulus dari
UI) kantor advokat yang terkenal di Jakarta adalah antara lain Kantor Advokat
Lukman Wiriadinata, Zainal Abidin dan Hasyim Mahdan yang berkantor di dekat
Istana Presiden RI, Kantor Advokat Prof. Sidharta Gautama (Gouw Giok Siong),
berkantor di depan Stasiun Gambir, dan Kantor Advokat Negara Ishak yang
berkantor di gedung yang sekarang Lembaga Administrasi Negara.
Semua mereka adalah advokat, disebut
juga sebagai “pengacara”, yang terutama berpraktek di pengadilan. Dengan adanya
UU Penanaman Modal Asing 1967, dikenal sebagai UU PMA 1967, maka keadaan
berubah. Penanaman modal asing pertama yang masuk (setelah dalam masa Orde Lama
ada “antipati” terhadap “ modal asing”) dalam rangka UU PMA 1967 adalah Freeport
Inc. yang membuka pertambangan di Papua (dahulu Irian Jaya). Berturut-turut
kita lihat masuknya perusahaan manufaktur dan farmasi asing, seperti antara
lain Kiwi, Teijin, Pfizer, Squibb, dsb-nya.
Pada tahun 1967 inilah secara
(hampir) bersamaan, dua orang tokoh hukum di Jakarta: Bpk. Ali Budiardjo,
SH.,MSc. dan Prof. Mochtar Kusumaatmadja, masing-masing memprakarsai
terbentuknya dua kantor hukum (law firm) yang tidak berorientasi pada
penanganan kasus di pengadilan, tetapi membantu pemodal asing yang akan
berinvestasi di Jakarta. Saya diminta oleh Bpk. Ali Budiardjo membantu beliau
(di luar jam kantor sebagai dosen di FHUI dan Lembaga Kriminologi UI) di kantor
hukumnya di Jalan Proklamasi 37, Menteng, Jakarta (± 15
menit jalan kaki dari kampurs UI di Salemba). Dalam peranan inilah saya
beberapa kali bertemu dengan Komar Kantaatmadja yang waktu itu mendampingi
Prof. Mochtar yang membentuk kantor hukum di Jalan Teuku Cik Ditiro, Menteng
Jakarta. Kedua kantor hukum inilah yang kemudian menjadi referensi dalam
pembentukan berbagai kantor konsultan hukum (legal consultants) di
Jakarta (dan mungkin pula di Indonesia).
Kedua kantor hukum ini bertujuan
membantu pemodal-pemodal asing yang ingin menanamkan modal di Indonesia dengan
membuka perusahaan. Bidang hukum yang dilayani disini adalah terutama: hukum
perikatan, hukum perseroan, hukum pertanahan (agraria), hukum perdata
internasional dan hukum perjanjian internasional (treaty). Kalau
diperhatikan kurikulum fakultas-fakultas hukum empat puluh tahun yang lalu,
dibandingkan dengan kurikulum sekarang, sangat kentara perbedaannya dalam
materi yang ditawarkan kepada para mahasiswa. Menurut saya ini berarti bahwa
kantor-kantor hukum yang tumbuh begitu pesat di Indonesia ini, telah
menyumbangkan pula materi kuliah dalam memperkaya kurikulum fakultas-fakultas
hukum kita.
ALA (ASEAN Law Association)
ALA didirikan atas prakarsa Indonesia
dalam pertemuan pertama bulan Februari 1979. Seingat saya prakarsa ini datang
dari Prof. Mochtar Kusumaatmadja, Menteri Kehakiman yang kemudian menjadi
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia dan Prof. Sunaryati Hartono, gurubesar
di UNPAD, Bandung. Antara lain yang aktif “mengurus” perhelatan komunitas hukum
negara-negara ASEAN ini adalah Komar dan Teuku Moh. Radhie. Tujuan ALA pada
intinya adalah mempersatukan komunitas hukum ASEAN dalam suatu wadah di mana
mereka dapat berkomunikasi secara langsung. Dikatakan dalam Anggaran Dasarnya
bahwa keanggotaan adalah: “... all persons who are involved in any of the
branches of law...”. Karena itu yang ingin dijaring menjadi anggauta
adalah: para hakim, “government lawyers”, “practicing lawyers” (advokat,
konsultan hukum), dosen-dosen fakultas hukum dan semua “graduates of law
schools”. Jadi ALA bukanlah suatu organisasi profesi hukum, tetapi sifatnya
serupa dengan PERSAHI (Persatuan Sarjana Hukum Indonesia). Apa yang dituju oleh
ALA adalah “professional networking” dan mendiskusikan “key legal
issues in the Region”.
Pada pertengahan tahun 1979, suatu
pertemuan diadakan di University of Malaya di Kuala Lumpur, di mana Anggaran
Dasar disusun. Rapat anggauta pertama (first General Assembly) dilakukan
di Manila, November 1980, di mana Anggaran Dasar (Constitution and By-Laws) disahkan
dan sebagai Sekretaris Jenderal pertama terpilih T.M. Radhie, SH dari
Indonesia.
T.M. Radhie menjadi Sekretaris
Jenderal ALA dari tahun 1980 sampai 1986, dan sebagai penggantinya adalah Komar
Kantaatmadja dari 1986 sampai 1992. Sesudah itu jabatan Sekretaris Jenderal
lepas dari Indonesia dan dijabat secara bergilir, mulai 1992 oleh seorang
advokat Filipina Avelino V. Cruz. Jabatan maupun tempat pertemuan ALA digilir
pula menurut abjad negara yang menjadi anggota. Dalam hal ini anggota semula
adalah: Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philipina, Singapura, dan
Thailand. Dua negara yang baru kemudian masuk adalah Laos PDR dan Vietnam.
Organisasi ALA terdiri atas General
Assembly, yang merupakan Rapat Anggauta dan biasanya dibarengi dengan suatu
lokakarya, dimana masing-masing negara anggota mengutus wakilnya untuk
membawakan makalah tentang berbagai topik yang didiskusikan. Disamping itu
setiap negara-anggota membentuk Komisi Nasional, yang terdiri dari seorang
Ketua, Sekretaris dan Bendahara dan sejumlah anggota (sebagai pembantu umum).
Komisi Nasional (National Committee) berbagai negara ini secara berkala
bertemu dan membicarakan program kerja berikutnya, ini dinamakan Governing
Council Meeting. Ketua ALA adalah salah satu Ketua Komisi Nasional. Dalam
setiap Komisi Nasional terdapat Standing Committees yang menjalankan program kerja ALA.[1]
Uraian yang agak panjang di atas
adalah untuk menjelaskan adanya suatu organisasi sarjana hukum ASEAN yang dapat
dimanfaatkan secara kelembagaan, untuk membuka wawasan dan kompetensi sarjana
hukum muda Indonesia. Caranya adalah antara lain turut serta secara aktif dalam
lokakarya yang diadakan setiap dua tahun (bersamaan dengan General Assembly)
dan menghidupkan Komisi Nasional Indonesia untuk menindaklanjuti berbagai
lokakarya ALA.[2]
Memanfaatkan ALA
Dalam tahun 1995 ALA menerbitkan
sebuah buku (548 halaman) dengan judul ASEAN Legal Systems (Butterworths),
yang berisi ringkasan tentang sistem hukum 6 negara: Brunei Darussalam,
Indonesia, Malaysia, Philipina, Singapura dan Thailand. Disamping uraian
tentang sejarah singkat negara masing-masing, pemerintahannya dan sumber-sumber
hukumnya, dijelaskan pula tentang hukum materiil dan formil yang penting untuk
memperbandingkan kesempatan (dari segi hukum) yang ada untuk bidang investasi
dan bisnis. Yang juga dapat dimanfaatkan adalah informasi tentang profesi hukum
dan pendidikan hukum. Terbitan ini kemudian telah diperbaharui dalam bentuk
karangan melalui internet dalam situs web ALA.
Kecuali sumber tersebut di atas,
lokakarya-lokakarya ALA tentang berbagai topik bahasan dilihat dari perspektif
hukum negara-negara ASEAN yang bergabung dalam ALA, merupakan sumber lain yang
dapat dipergunakan sebagai rujukan awal dalam praktek hukum maupun pendidikan
hukum. Khususnya sejak krisis moneter di Asia 1997-98 dan turutannya krisis
ekonomi dan politik di Indonesia, maka makin terlihat bagaimana saling
ketergantungan negara-negara di dunia ini dalam proses globalisasi yang
terjadi. Globalisasi bukan saja masalah ekonomi, tetapi menimbulkan pula
permasalahan di bidang sosial, politik, hukum dan budaya. Perkembangan yang
cepat dalam bidang teknologi informasi (IT) telah merambat juga ke bidang
hukum. Praktek hukum yang untuk Indonesia ± 40 tahun yang lalu masih bersifat
lokal, sekarang (2008) harus ditunjang oleh jejaring (networking) transnasional
dan internasional. Tentunya hal ini tidak saja berpengaruh pada bidang praktek
hukum, tetapi juga untuk pendidikan hukum.
Kita kurang memanfaatkan ALA.
Pimpinan ALA (yaitu President dan Secretary General ALA serta
Pengurus Komisi Nasional masing-masing negara) hampir semuanya adalah
tokoh-tokoh nasional maupun internasional di bidang hukum. Misalnya Edgardo J.
Angara (Rektor Universitas Philippina ; 1980-1982), Tun Mohammad Suffian (Ketua
MA Malaysia ; 1982-1984), TPB Menon (Advokat Senior Singapura ; 1984-1986),
Sansern Kraichiti (Ketua MA Thailand ; 1986-1988), Purwoto Gandasubrata (Ketua
MA Indonesia ; 1989-1992), Marcelo B. Fernan (Ketua MA Philippina ; 1992-1995)
; Sedangkan Komisi Nasional ALA Indonesia pun pernah dipimpin oleh Nasrun, SH
(Sekjen Departemen Kehakiman), Purwoto Gandasubrata, SH, Soerjono, SH (Ketua
MA), Sarwata, SH (Ketua MA), Prof. Bagir Manan (Ketua MA), dan Sekjen ALA yang
pertama dan kedua adalah dari Indonesia (T.M. Radhie dan Komar Kantaatmadja).[3]
Kita harus dapat secara lebih baik
menarik manfaat dari organisasi internasional para sarjana hukum ASEAN ini.
Salah satu dari sekian keluhan terhadap para sarjana hukum Indonesia (pada
umumnya), adalah bahwa mereka kurang tanggap terhadap perkembangan hukum di
dunia, yang dibawa oleh globalisasi ekonomi. Kita masih ingat ketika tahun 1997
terjadi krisis moneter (ekonomi) mulai dari Thailand, yang kemudian menyebar ke
Korea dan Indonesia. Di Indonesia terjadi krisis perbankan yang menimbulkan
masalah BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang membawa banyak korban di
dunia perbankan dan nasabahnya. Ini adalah salah satu akibat globalisasi yang
dimanfaatkan oleh para spekulan keuangan dunia. Seyogyanya para sarjana hukum
Indonesia membicarakan pula permasalahan hukum yang timbul dari krisis ini,
misalnya kita dapat belajar dari Singapura, Malaysia dan Philipina yang dapat
mengatasi krisis ini dengan lebih baik.[4]
Globalisasi dan Hukum
Kita tidak dapat menahan globalisasi,
karena ini adalah suatu proses dengan kekuatan besar yang melanda dunia dan
mempengaruhi dan dipengaruhi faktor-faktor sosial, politik, ekonomi, hukum dan
budaya. Dilihat dari aspek hukum, maka salah satu masalah yang dibawa oleh
globalisasi adalah sehubungan dengan tingkah-laku perusahaan-perusahaan.
Terutama yang sering dikritik adalah pengaruh perusahaan transnasional (Transnational
Corporations-TNC) dan perusahaan multinasional (Multinational
Corporation-MNT). Dalam usaha pemerintah membangun dan mengembangkan
perekonomian Indonesia, diperlukan investasi oleh pemodal-pemodal luar negeri.
Program investasi langsung (foreign direct investment – FDI) adalah
memang bagian dari strategi dan program pemerintah, baik dalam masa Presiden
Suharto maupun sekarang masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.[5]
TNC dan MNC sering dikritik sebagai
pengaruh buruk dari globalisasi, karena perilakunya yang sudah atau dapat
merugikan perusahaan-perusahaan nasional. Namun, tidak pula dapat disangkal bahwa
mereka juga telah membawa pertumbuhan ekonomi (economic growth).
Korporasi global ini memang mempunyai dampak besar pada komunitas lokal. Mereka
membawa barang-barang dengan harga yang lebih murah dari perusahaan lokal.
Sebenarnya bukan tujuan mereka “mematikan” perusahaan kecil lokal, harga murah
disebabkan korporasi global dapat meningkatkan efisiensi mereka (manajemen dan
logistik yang baik). Tetapi memang perusahaan-perusahaan besar seperti ini
menimbulkan pula “biaya untuk masyarakat” (tekanan pada buruh, suplai barang,
polusi, dll). Hukum dapat membantu untuk “menertibkan” perilaku perusahaan dan
“meminta pertanggungjawaban individu yang membuat kebijakan perusahaan”. Tetapi
komunitas hukum Indonesia (legislator, penegak hukum, hakim dan pendidik hukum)
harus mau belajar dari contoh-contoh luar negeri (sukses dan gagalnya aturan
hukum). Diskusi mendalam tentang kasus-kasus besar seperti: pencemaran minyak
kapal Exxon Valdez, pencemaran kimia Bhopal, “malpraktik” keuangan Enron dan
World Com, seharusnya dapat membantu memperkaya wawasan sarjana-sarjana hukum
Indonesia.[6]
Kelemahan Hukum Indonesia
Dalam memikirkan reformasi hukum
kita, menghadapi tantangan Abad ke-21, selalu timbul pertanyaan yang mana perlu
dibenahi dulu “peraturan atau SDM”? Pengamatan saya, komunitas hukum Indonesia,
memilih membenahi peraturan, seakan-akan peraturan yang baik (adil, sempurna)
dapat mengubah kerawanan situasi penegakan hukum kita. Saya pribadi
mendahulukan SDM![7]
Saya tidak ingin bicara tentang “kerawanan”
KKN penegakan hukum di Indonesia, yang tidak saja (sering) dituduh penuh
ketidakadilan karena “suap” dan “pemerasan”, tetapi juga (sering) ditandai oleh
ketidaksiapan para penegak hukum melaksanakan hukum dalam situasi ditekan oleh
globalisasi. Pada satu pihak hukum nasional kita sering “terpaksa” tunduk pada
kepentingan internasional yang kurang menguntungkan kepentingan nasional.
Perusahaan-perusahaan global (MNC dan TNC) tentunya mempunyai kemampuan besar
untuk mempengaruhi perjanjian-perjanjian internasional yang selanjutnya akan
mempengaruhi kebijakan-kebijakan nasional pemerintah Indonesia. Di pihak lain,
sarjana hukum Indonesia yang membantu pemerintah kita, belum tentu paham
tentang bagaimana “mengharmonisasikan” kepentingan publik (masyarakat
Indonesia) dengan kepentingan privat (bisnis lokal dan perusahaan
multinasional).[8]
Komunitas hukum Indonesia harus
sering mengikuti dan menyelenggarakan pertemuan-pertemuan hukum yang membahas
masalah-masalah hukum yang bersifat transnasional maupun nasional lokal (tetapi
yang akan dipengaruhi oleh tekanan globalisasi). Tentunya ini menyangkut soal
perdagangan, perindustrian, dan perseroan. Tetapi implikasinya adalah juga pada
antara lain perijinan, lingkungan hidup, impor-ekspor serta persaingan usaha.
Konsep-konsep hukum tentang “corporate social responsibility”, “liability of
corporations (civil and criminal)”, “good corporate governance”, “global
price-fixing” dan “corrupt practices by MNC and TNC”, sebagai contoh,[9] mungkin pula perlu
didalami oleh sarjana-sarjana hukum Indonesia. Tetapi untuk itu, dalam pikiran
saya, perlu dilakukan hal-hal berikut sebagai awal reformasi:
(a)
“Memaksa”
sarjana hukum Indonesia mempelajari bahan-bahan hukum asing dan melakukan
diskusi dalam bahasa Inggris, dengan memperbandingkannya dengan hukum Indonesia
(ini berlaku bukan saja untuk pengajar/dosen hukum dan advokat hukum korporasi,
tetapi juga untuk mereka yang akan merancang peraturan di biro-biro hukum,
serta untuk para hakim dan jaksa/penuntut umum);
(b)
Memasukkan
dalam kurikulum fakultas hukum mata kuliah yang diajarkan dalam bahasa Inggris
(tentang hukum nasional, maupun tentang transaksi internasional) dan secara
bertahap memberi prioritas kepada mereka yang lulus dengan baik untuk mata
kuliah ini, kesempatan mengikuti pendidikan S-2 dan S-3 di beberapa universitas
di dalam dan luar negeri (dengan beasiswa);
(c)
Menjadikan
bahan-bahan yang sudah dan akan dibicarakan dalam forum ALA sebagai bahan yang
perlu dibicarakan dan dipikirkan oleh generasi muda komunitas hukum Indonesia
(hakim, advokat, jaksa dan dosen serta praktisi hukum lainnya), antara lain
melalui Komisi Nasional Indonesia-ALA;
(d)
Sarjana
hukum Indonesia lulusan abad 21 ini janganlah sekedar berpengetahuan hukum
positif Indonesia, tetapi juga memahami masalah-masalah sosial, ekonomi, hukum
dan budaya yang, mau-tidak-mau, senang-tidak-senang, akan “mengancam”
masyarakat kita melalui globalisasi.
Penutup
Komar Kantaatmadja, cendekiawan hukum
internasional, konsultan hukum dan mantan Sekretaris Jenderal ALA, menurut saya
akan sepaham dengan pendapat di atas (paling tidak bahwa Indonesia kurang
sekali memanfaatkan ALA dan forum-forum diskusi hukum perdata internasional,
untuk meningkatkan kemampuan sarjana hukum Indonesia berkiprah di dunia
internasional). Dalam hidupnya Prof. Komar Kantaatmadja telah selalu
mengabdikan dirinya mempertemukan perkembangan di dunia ilmu (akademik) dengan
kenyataan dan praktek-praktek profesi hukum, baik nasional maupun
internasional.
Daftar Pustaka
1. ALA, 1992, The Sixth General
Assembly and Conference of the ASEAN Law Association (30 November - 4
Desember 1992, Manila, Philippines)
2. ------, 1995, The Seventh General
Assembly and Conference, ASEAN Law Association (Desember 6-10, 1995, Kuala
Lumpur, Malaysia)
3. ------, 1995, “ASEAN Legal
System”, Singapore: Butterworths Asia
4. ------, 2008, ASEAN Law
Association – About Us (http: //www.asean law association.org/history.html)
5. Chan Sek Keong, 2000, “Rethinking
the Criminal Justice System of Singapore for the 21st Century” dalam
The Singapore Conference: Leading the Law and the Lawyers into the New
Millenium @ 2020, Singapore: Butterworths Asia
6. Hikmahanto Juwana, 2007, “Globalization
and Its Effect on Indonesia’s Legal System, dalam GlobeAsia, May
7. Joseph E. Stiglitz, 2006, Making
Globalization Work, New York: W.N. Norton & Company
8. Jurnal Hukum Internasional, 2006, International
Humanitarian Law and Human Rights, Volume 4, No. 1 (Oktober)
9. --------------------------------------,
2007, International Crime, Volume 5, No. 1 (Oktober).
10. Mardjono Reksodiputro, 2004, “Masih
Adakah Harapan Untuk Reformasi di Bidang Hukum” dalam Arief T. Surowidjojo
(Editor), Pembaharuan Hukum: Kumpulan Pemikiran Alumni FHUI, Jakarta: ILUNI –
FHUI
11. ------------------------------, 2008,
“Multikulturalisme dan Negara-Nasion serta Kejahatan Transnasional dan Hukum
Pidana Internasional”, makalah dalam Seminar Nasional tentang Pengaruh
Globalisasi terhadap Hukum Pidana dan Kriminologi menghadapi Kejahatan
Transnasional, Bandung, 17 Maret.
12. Neil Boister, 2003, “Transnational
Criminal Law?”, Ejil, Volume 14, No. 15
*Makalah ini ditulis
pada 7 April 2008
[1] Standing
Committees yang ada adalah:
a.
Judicial Cooperation
b.
International Law
c.
Legal Profession
d.
Business Law
e.
Legal Education
f.
Legal Information
g.
Alternative Dispute Resolution (ADR)
[2] General
Assemblies yang pernah diadakan:
1980-Manila;
1982-Kuala Lumpur; 1984-Singapore; 1986-Bangkok; 1989-Bali (ALA 10th
Anniversary); 1992-Manila; 1995-Kuala Lumpur; 2003-Singapore (ASEAN Laws in
the 21st Century);
2005-Manila (ALA 25th Anniversary-Special Commemorative Session);
2006-Bangkok (Challenge of Globalization to Legal Services).
[3] Dalam tahun 1995,
Komite Nasional Indonesia-ALA, terdiri atas: Ketua MA Soerjono, Hakim Agung
Djohansjah, Sri Budiarti, SH, Ina G. Samadikun, SH, Prof. Komar Kantaatmadja, Prof.
Sidik Suraputra, Harjono Tjitrosubono, SH, D. Gandaprawira, SH, K.G. Widjaja,
SH, Dr. Albert Hasibuan dan Prof. Mardjono Reksodiputro.
[4] Lihat misalnya
pendapat Hikmahanto Juwana, yang mengamati bahwa usaha mereformasi
peraturan-peraturan hukum ekonomi Indonesia dilaksanakan di bawah pimpinan
tenaga ahli asing. Ia menamakan hal ini “legal transplant”, dan ini
disebabkan antara lain oleh globalisasi ekonomi.
[5]Globalisasi sering
dikatakan merupakan Juggernaut (kekuatan yang menggilas segala sesuatu
yang ada dijalannya) yang membawa perubahan sosial besar dan menimbulkan
ketidakpastian ekonomi dan kultural dunia. Kita melihat hal ini di Indonesia
antara lain dalam perlawanan kelompok-kelompok masyarakat terhadap “kepemilikan
asing” dan “kebudayaan asing”.
[6] Lihat pula
pendapat Hikmahanto Juwana dalam catatan 4 supra. Juga perlu pemahaman
yang baik tentang keadaan dunia dan globalisasi ini oleh para sarjana hukum
Indonesia, adalah antara lain keprihatinan terjadinya “Juggernaut running
out of control” dan “unstoppable economic juggernaut”. Lihat
karangan Mardjono Reksodiputro tentang multikulturalisme.
[7] Chan Sek Keong (Atterney
General of Singapore) mengatakan bahwa perlu ada penyempurnaan sistem
peradilan (pidana) di Asia, yang menyangkut: (a) Problems associated with
the lack of clarity in the written law, dan (b) those associated with
the (criminal) process.
[8] Mardjono
Reksodiputro juga menganjurkan pada para sarjana hukum Indonesia untuk
mengembangkan wacana pembentukan pemerintahan demokratis, dalam arti “representative
democracy” yang sesungguhnya. Untuk itu dua asas utama harus dipelopori,
yaitu konsepsi dan penafsirannya dalam masyarakat Indonesia, tentang “asas
kebebasan” dan “asas persamaan”. Dalam memberdayakan kedua asas utama itu, harus
dilihat konteks kebudayaan Indonesia, tetapi juga mau mengacu pada norma-norma
universal tentang konsep demokrasi (lihat karangan Mardjono Reksodiputro
tentang harapan untuk reformasi di bidang hukum).
[9] Lihat juga Joseph
E. Stiglitz, Making Globalization work, hal. 7-24 dan hal. 187-210.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar