Kamis, 31 Oktober 2013

Tentang Organisasi Advokat Yang “Masih Dapat” Kita Harapkan*



Pengantar
Perlu saya jelaskan dahulu bahwa apa yang saya sampaikan di bawah ini adalah pendapat saya sebagai pribadi, yang sejak tahun 1970 turut mengelola sebuah kantor hukum di Jakarta. Pendapat ini terbawa pula oleh pikiran-pikiran yang telah pernah pula saya tuangkan dalam beberapa karangan. Di sini saya ingin bicara sebagai pengamat atau pemerhati kejadian ahir-ahir ini, namun tidak bermaksud  memberi solusi.

Kejadian ahir-ahir ini,menurut pendapat saya,sungguh mengecewakan hati kebanyakan anggota profesi hukum, kalangan advokat maupun anggota profesi hukum lainnya (hakim,penuntut umum,notaris,penyidik), serta masyarakat pada umumnya. Di kalangan advokat, euforia yang timbul pada tahun 2003 dan 2005 dengan UU Advokat dan terbentuknya Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia), lambat-laun sirna dengan timbulnya berbagai  peristiwa perbedaan pendapat antar advokat, seperti; permohonan pengujian UU Advokat ke Mahkamah Konstitusi, terbentuknya KAI (Kongres Advokat Indonesia) serta terdorongnya Mahkamah Agung kita turut campur, yang berakibat demonstrasi advokat dengan akibat yang tidak pernah diharapkan.

Pertanyaan- pertanyaan permasalahan (ada lima) yang diajukan Panitia Diskusi Publik KHN ini memang menarik untuk diperdebatkan, tetapi pengetahuan dan pengalaman saya belum cukup untuk membahasnya. Karena itu saya hanya mengambil sebagian saja dari pertanyaan pertama, yang saya tangkap inti-sarinya adalah “Apakah sebenarnya atau kenyataannya  pribadi-pribadi Advokat Indonesia mendambakan organisasi advokat yang tidak tunggal ?”

Untuk mencoba diadakan diskusi, saya membaginya dengan sub-sub pertanyaan berikut.

A)Apakah masyarakat Indonesia perlu advokat ?

B)Mengapa advokat perlu diatur Negara ?

C)Perlukah advokat berhimpun dalam organisasi ?

Sebagian dari pertanyaan-pertanyaan di atas, pernah saya bahas pula (tidak berurutan seperti di atas) dalam karangan-karangan saya di bawah ini :

1. Etika Profesi Menjunjung Kehormatan Advokat (2005),
2. Apakah komunitas advokat Indonesia ditakdirkan mempunyai “Multi-bar
    Association” ? (2008)
3. Organisasi Advokat Indonesia: “Quo Vadis”? – Hendak Ke Mana ? (2009)

A. APAKAH MASYARAKAT INDONESIA PERLU ADVOKAT ?

Advokat diambil dari kata Belanda advocaat yang diartkan sebagai seorang penasihat  dalam perkara hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Selanjutnya perlu dijelaskan pula bahwa untuk Indonesia, advokat itu haruslah seorang ahli hukum (minimal S-1 hukum/Sarjana Hukum) yang berwenang bertindak sebagai penasihat hukum atau pembela perkara di pengadilan. Disamping itu masyarakat juga mengenal istilah “pokrol”(istilah yang sering didskreditkan), yang berasal dari kata Latin “procuratie” (kuasa;volmacht) dan “procurator”(pemegang kuasa; vertegenwoordiger). Setelah masuknya penanaman modal asing (1967) dikenal pula istilah “konsultan hukum” (legal consultant; juridisch raadsman). Untuk karangan in pengertian di atas yang dipergunakan dan apabila tidak secara spesifik saya katakan, maka pengertian advokat mencakup semua pengertian di atas.

Advokat secara keliru dinamakan juga “penegak hukum”(law enforcer; ordehandhaver) yang kalau kita tarik lebih lanjut mengakibatkan “kantor advokat” berarti kantor penegak hukum (law enforcement office) serupa kantor polisi dan kantor kejaksaan. Kalau ada amandeman UU Advokat, saya sarankan ini patut didiskusikan.Pengertian keliru ini tidak saya pakai dalam karangan ini !

Pertanyaan dalam judul sekarang berubah menjadi “perlukah ada penasihat hukum atau pembela perkara di pengadilan ?”(dan bukan perlukah ada advokat penegak hukum !).

Saya pribadi berpendapat bahwa advokat menduduki tempat dan menjalankan fungsi yang penting di masyarakat Indonesia,seperti seorang dokter (ahli di bidang kesehatan). Tetapi sayangnya mereka (advokat dan dokter) tidak punya reputasi serupa di mata masyarakat. Dalam suatu karangan di majalah Australia baru-baru ini ada debat yang intinya berpendapat bahwa advokat itu tidak terlalu memperhatikan etika profesinya dan cenderung “memeras” (money-grabbing, billing abuses) kliennya (dalam The Australian, 27 Agustus 2010). Namun demikian, di negara-negara modern dan demokratis peranan advokat itu memang tidak kalah dari dokter. Terutama dalam berperkara di pengadilan,baik dalam perkara perdata, apalagi dalam perkara pidana. Dalam Konstitusi Amerika Serikat hal ini dinyatakan sebagai hakIn all criminal prosecutions, the accused shall enjoy the right…to have the assistance of counsel for his defense”. Jadi adalah hak yang dilindungi konstitusi, apabila tidak mampu membayar maka pengadilan dapat menunjuk anggota Bar Association setempat dan di beberapa negara bagian terdapat pula Public Defenders (bukan Public Law Enforcers ! bukan Advokat sebagai Penegak Hukum !) yang didefinisikan sebagai “a local lawyer is placed on the payroll of the county for the purpose of  defending all the people accused of crimes who do not have the necessary funds to employ legal counsel”.

Apakah ini berarti juga bahwa profesi Advokat punya monopoli untuk “mewakili suatu perkara (pidana dan perdata) di pengadilan ? Tidak juga !, dan oleh karena itu pasal 31 UU Advokat, tidak boleh ditafsirkan mencerminkan “verplichte vertegenwoordiging” (kewjiban untuk selalu diwakili/didampingi advokat di pengadilan).Bantuan seorang advokat di pengadilan adalah hak dan bukan kewajiban. Di Amerika Serikat “the right of self-representation” (hak untuk mewakili diri sendiri; propria persona) dinyatakan sebagai berikut: “in all courts…the parties may plead and manage their own cases personally or by assistance of counsel”.Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang pasal 31 ini, yang dinyatakan “tidak punya kekuatan mengikat” haruslah ditafsirkan sesuai asas propria persona ini.

Jadi kesimpulannya memang kita perlu ada profesi advokat, tetapi keperluannya tidak sepenting “semua daerah harus ada dokter”.Oleh  karena tanpa advokatpun seorang penggugat atau seorang tersangka/terdakwa dapat berproses di pengadilan. Tentu asumsinya penegak hukum yang sebenarnya (yaitu polisi dan JPU) serta penegak keadilan (yaitu hakim) memang bekerja secara profesional (ahli) dan menjunjung tinggi etika masing-masing profesi dalam memberi keadilan.


B. MENGAPA ADVOKAT PERLU DIATUR NEGARA ?

Pengalaman Indonesia (dan beberap negara demokratik-semu) selama Orde Baru (-/+ 30 tahun) memang tidak begitu baik mengenai hubungan advokat dengan negara. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa ketika kita punya UU Advokat, banyak suara yang menyayangkan atau tidak setuju.Adapun alasan mereka yang ingin menjauhkan campurtangan negara terhadap profesi hukum, menurut saya pribadi, karena masih trauma dengan beberapa kali intervensi negara terhadap profesi advokat.Tetapi saya pribadi berpendapat adanya UU Advokat adalah  suatu kemajuan besar untuk profesi advokat di Indonesia. Negara-negara ASEAN tetangga kita sudah lama punya UU Advokat (Legal Profession Act), Malaysia tahun 1976, Thailand 1985, Filipina 1986, dan di Singapura undang-undangnya diamendir tahun 1993.

Janganlah menganggap bahwa aturan-aturan Negara tentang profesi advokat ini pasti akan mengurangi atau menghambat kemandirian profesi.Seharusnya undang-undang itu dirumuskan dan ditafsirkan dengan tujuan agar advokat yang mendapat hak / kewajiban menjalankan profesinya di bawah UU Advokat, akan menjalankan peranannya secara profesional dalam kerangka supremasi hukum dan di bawah aturan-aturan etika profesi advokat (within the rules of law and standards of professional ethics).Sebagai akan dikemukakan di bawah ini, tujuan di atas dapat disingkatkan menjadi melindungi masyarakat (asas public interest –kepentingan publik) dari mal-praktik advokat.

Standar kerja profesional seorang advokat sekurang-kurangnya dapat dibagi dalam kewajibannya terhadap masyarakat, pengadilan, sejawat profesi dan para klienya. Dalam pembukaan KEAI (Kode Etik Advokat Indonesia,2002) dikatakan bahwa advokat adalah suatu jabatan terhormat (nobile officium), karena itu padanya terdapat kewajiban berperilaku terhormat (honorable), murah-hati (generous) dan bertanggungjawab (responsible), sebagaimana dapat disimpulkan  dari ungkapan “noblesse oblige”(kedudukan terhormat membawa kewajiban).

Dengan diangkatnya seorang sarjana hukum menjadi advokat sesuai UU Advokat, maka ia menduduki suatu jabatan terhormat (nobile officium) dengan hak eksklusif, yaitu             (a)menyatakan dirinya kepada publik bahwa ia seorang advokat, (b)dengan begitu berhak memberikan nasihat hukum dan mewakili kliennya, dan  (c)menghadap di muka sidang pengadilan dalam proses perkara klienya. Serta berkewajiban: (d)menjaga agar dirinya selalu punya kompetensi pengetahuan yang diperlukan untuk melayani kliennya, dan menjaga integritas dirinya menjalankan profesi advokat tersebut. Yang terahir ini menimbulkan lebih lanjut kewajibannya kepada masyarakat, berupa (e)kesediaan menyingkirkan teman sejawat yang terbukti tidak layak menjalankan profesi terhormat ini (dalam Asas-asas ABA,1954 dikatakan “to expose the abuses –corrupt or dishonest conduct in the profession-  of which they know  that certain of their brethren are guilty”

Kesimpulannya menurut saya, memang diperlukan undang-undang dan campur tangan Negara. Meskipun keinginan self-governing layak diperhatikan, namun dalam hal anggota profesi tidak berdaya atau tidak mau “menyingkirkan teman sejawat” yang tidak layak menjalankan profesi, maka negara wajib bertindak untuk melindungi publik dari mal-praktek profesi. Bukankah hal serupa akan juga kita harapkan dari negara dalam hal terbukti ada perbuatan mal-praktek dari seorang anggota profesi kedokteran (dokter) ?  


C. PERLUKAH ADVOKAT BERHIMPUN DALAM SUATU ORGANISASI ?

Dalam uraian di atas ditekankan perlunya diperhatikan etika profesi yang berintikan kewajiban advokat kepada masyarakat. Disamping itu masih ada juga kewajiban advokat terhadap kliennya. Klien pada umumnya mempunyai kepercayaan penuh, bahwa advokat akan mewakili dirinya dalam permasalahan hukum yang dihadapinya, dan akan bekerja profesional untuk kepentingannya, Tentu saja hal ini tidak selalu benar. Seperti pada profesi-profesi lainnya, tentu ada saja ada advokat yang “menelantarkan” atau dengan cara lain merugikan kliennya. Dalam dunia advokat dikenal istilah “the lawyer as a fiduciary” dan asas “the duty of fidelity”, kedua-duanya menyatakan hubungan kepercayaan yang penuh antara advokat dan klien (dari sini pula asas “kewajiban advokat loyal kepada kliennya”  dan  “kewjiban advokat memegang rahasia jabatan”(lihat a.l pasal 4 alinea 8 KEAI).

Beberapa asas lain yang penting diperhatikan dalam hubungan kepercayaan antara advokat dengan kliennya ini adalah :
(a)”the duty to give candid advice” , advokat wajib memberi pendapat hukumnya secara
      terus-terang (candid) tentang untung-rugi (merits) perkara yang dihadapi kliennya
      dan kemungkinan hasilnya (lihat a.l pasal 4 alinea 2,3 KEAI, agar advokat tidak
      memberi keterangan yang menyesatkan dan menjamin perkaranya akan menang)

(b)”the duty to avoid conflicting interest”,advokat wajib menolak kasus dari klien yang
      akan menimbulkan pertentangan kepentingan dengan perkara klien yang telah atau
      sedang ditanganinya (kewajiban untuk loyal kepada kliennya berakibat advokat
      dilarang menerima kasus baru yang akan merugikan kepentingan kliennya – dalam
      kantor-kantor hukum besar dengan jumlah advokat banyak, hal ini tidak mudah –
      sepengetahuan saya hal ini belum diatur dalam KEAI)

(c)”the duty to do what ever may enable the lawyer to succeed in winning his client’s
     case,…but it is to be performed within and not without the bounds of law” (asas ini
     melarang advokat melanggar sumpahnya dalam pasal 4(2) UU Advokat, yaitu
     bahwa advokat akan bertindak jujur,adil,dan bertanggungjawab berdasarkan hukum dan keadilan, serta tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan perkara kliennya).

Ketiga contoh asas dalam aturan etika tentang kewajiban advokat terhadap kliennya ini, hanya sebagian kecil dari jumlah yang banyak, apalagi kalau ditambah pula pada kewajiban advokat kepada masyarakat, kepada pengadilan dan kepada sejawat profesi.
Ini harus ditegakkan dan tidak dapat seluruhnya diserahkan kepada negara (lihat uraian sebelumnya tentang “Mengapa advokat perlu diatur Negara”). Sekali lagi diingatkan bahwa kewjiban advokat kepada masyarakat (sebagai public duty) adalah menyingkirkan
teman-teman sejawat profesinya yang telah mencemarkan kedudukan dan jabatan advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile).Ini adalah penting untuk menjaga kepercayaan (dan rasa hormat) dari masyarakat !

Disinilah, menurut saya kesimpulan  pentingnya ada organisasi advokat, yaitu untuk menjaga “harkat (kemuliaan) dan martabat (harga diri)” profesi advokat. Ini adalah tujuan utama dari organisasi advokat yang wajib mendapat dukungan negara !

Sekedar sebagai contoh organisasi advokat di negara-negara modern-demokratik dapat diambil Inngris dan Amerika Serikat. Di Inggris ada kelompok advokat yang dinamakan barrister” (dengan hak ekslusif menghadap di “higher courts”) dan kelompok advokat yang dinamakan solicitor (berhak menghadap hanya di “lower courts”). Barristers mempunyai organisasi yang kaku, dengan kewajiban pendidikan. seleksi admisi dan disiplin dalam tangan empat organisasi (Inns of Court), yaitu Lincoln’s Inn, the Middle Temple, the Inner Temple  dan Gray’s Inn. Masing-masing punya gedung tersendiri di mana para calon (murid) dan Senior wajib  berkantor. Berbeda adalah para Solicitors, dengan organisasinya yang dinamakan the Law Society yang merupakan suatu voluntary association (tidak semua solicitor jadi anggota), tetapi berdasarkan undang-undang berhak mengatur dan menjalankan (establishes and administers) syarat-syarat diterima untuk praktek sebagai solicitor. Dalam hal ada pelangaran etika advokat, maka ada Disciplinary Committee yang merupakan “a separate statutory entity, not part of the Law Society, but composed of past and present members of the Council of the Society”, dan mempuyai “the power, subject to appeal to the courts, to strike a solicitor from the rolls” (mencabut ijin praktek).
Yang ingin saya tekankan di sini adalah (a) sifat sukarela menjadi anggota asosiasi,dan tidak perlu ada single-bar (b) tetapi asosiasi mendapat hak berdasarkan undang-undang untuk menentukan syarat-syarat memperoleh ijin praktek, (c) adanya komisi disiplin berdasarkan undang-undang, tetapi mandiri bukan bagian asosiasi (tetapi beranggotakan pengurus lama dan baru asosiasi), dan (d) adanya hak banding pada pengadilan atas hukuman disiplin yang dijatuhkan. Kesimpulan yang jelas dari contoh ini adalah, bahwa kemandirian organisasi advokat (self-governing) tidak berarti harus tanpa dukungan negara (melalui undang-undang) dan bantuan pengadilan (untuk banding hukuman disiplin), dan juga dapat saja seorang warganegara mempunyai  ijin praktek tanpa jadi anggota asosiasi advokat.

Menurut saya tidak jauh berbeda adalah fungsi asosiasi advokat di Amerika Serikat, dikatakan “American lawyers on the whole, are less organized than either branch of the English profession … Admission to the bar is controlled by the courts on a state by state basis. Discipline is likewise a judicial function…There are bar associations on all levels: national, state, and local. Membership in the state bar associations …and all national and local bar associations are voluntary organizations with no official power”.

Pada ahirnya saya harus mengakui bahwa bahan-bahan yang saya pergunakan di atas adalah dari tahun 1960-an dan 1970-an (ketika saya belajar di Amerika Serikat), sehingga boleh jadi sudah ada penyempurnaan (amandemen). Namun, kesimpulan yang ingin saya berikan adalah bahwa ada tradisi di negara modern-demoktatik yang tidak memutlakkan kekuasaan suatu organisasi advokat. Sehingga kemandirian advokat dapat berjalan damai tanpa negara (yudikatif, eksekutif dan  legislatif) perlu terlalu banyak campur tangan. Organisasi advokat itu penting dan perlu untuk menegakkan officium nobile (profesi terhormat), tetapi justru karena itu wajib menyadari perlunya organisasi berperilaku noblesse oblige (kedudukan terhormat membawa kewajiban)!


Penutup
Makalah ini tidak bermaksud menggurui, tidak juga pendapat resmi Komisi Hukum Nasional (KHN). Katakanlah sekedar rasa-keprhatinan yang mendalam, melihat perkembangan yang terjadi diantara berbagai organisasi advokat Indonesia. Saya ulangi dengan mengingatkan kita semua akan peribahasa lama “Ikhtiar menjalani, takdir menyudahi”. Bagi saya ini bukan fatalisme (menyerah pada nasib), bahkan sebaliknya, kita harus selalu berikhtiar, namun hasil ahirnya akan selalu merupakan “buah” ikhtiar (perilaku) kita sediri. Apakah nanti dalam sejarah advokat Indonesia akan ada suatu “single-bar association”, ataukah  “multi-bar association”, atau suatu “federal-bar association” tergantung pada ikhtiar kita. Dan saya optimis bahwa beda pendapat sekarang ini harus dapat diambil hikmahnya,yaitu pada akhirnya akan menguntungkan perjalanan proses reformasi di bidang “pelayanan hukum” (legal services).



Makalah ini disampaikan 31 Agustus 2010 dalam Diskusi Publik Komisi Hukum Nasional