Beberapa Catatan tentang
RUU KUHP 2008,
Khusus Bab XVI – Tindak
Pidana Kesusilaan*
Pengantar
Dalam konsep awal RUU KUHP, maka bab sekarang dibicarakan berjudul
“Tindak Pidana Terhadap Perbuatan Melanggar Kesusilaan Umum”. Kata yang dihapus ini mempunyai arti besar
tentang isi Bab XVI. Untuk diketahui, maka konsep 2008 ini adalah versi ke 4
(?). Versi ke-1 (asli) diserahkan
kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh oleh Mardjono Reksodiputro sebagai Ketua
Tim (disusun sejak tahun 1982). Versi ke-2 (tahun 2000) buku cetak warna hijau,
disempurnakan dibawah Ketua Tim Prof. Muladi. Versi ke-3 (tahun 2004?) pernah
beredar dan terakhir adalah yang sekarang beredar versi ke-4. Untuk pemahaman
lebih baik tentang Versi ke-1, silahkan baca buku Mardjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Pidana, Kumpulan
Karangan, Buku Keempat (1997).
Saya akan membahas beberapa pokok pikiran yang melatar belakangi konsep Versi ke-1 (asli), karena itulah
yang saya ikuti dan pimpin dalam diskusi Tim penyusunnya. Mudah-mudahan pokok
pikiran ini dapat juga dijadikan acuan bagi
mereka yang akan memberi komentar pada konsep Versi ke-4.
Ada empat acuan dasar diperguanakan Tim Versi ke-1 (1982-1993);
yaitu:
(1)
bahwa hukum pidana juga
dipergunakan untuk menegaskan kembali nilai-nilai
sosial dasar (basic social values) perilaku
hidup bermasyarakat dalam negara Republik Indonesia;
(2)
bahwa hukum pidana sedapat
mungkin hanya dipergunakan dalam keadaan di mana cara lain melakukan pengendalian sosial tidak efektif;
(3)
bahwa harus diusahakan seminimal
mungkin mengganggu hak dan kebebasan
individu, tanpa mengurangi perlindungan terhadap kepentingan kolektifitas;
(4)
bahwa dalam bahasa yang dapat
dipahami masyarakat, dirumuskan:
4.1.
perbuatan apa yang dilarang;
4.2.
kesalahan macam apa disyaratkan
untuk memberikan pertanggungjawaban pidana pada pelaku.
(lihat Mardjono
Reksodiputro, 1997, hal. 23-24).
Nilai sosial dasar dan
penegakannya
Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa untuk setiap bab dalam RUU KUHP
Versi ke-1 (1993) telah didiskusikan dan dipergunakan “nilai (-nilai) sosial
dasar”, untuk masing-masing tersendiri. Yang coba kita bahas disini adalah
untuk perilaku (yang dilarang) pelanggaran kesusilaan umum (crimes against public morals, yang dapat “serious offences”, atau “lesser
offences”.
Nilai moral yang dilindungi dalam bab ini adalah tentang susila (adat-istiadat yang baik, sopan,
beradab, berakhlak baik). Tentu disini kita berhadapan dengan “moral”
(pemahaman tentang “baik” dan “buruk”.) Diakui bahwa untuk negara yang
penduduknya “multikultural” seperti di Indonesia, maka sulit kita dapatkan
konsensus sosial dalam bidang moral ini.
Kebijakan hukum (pidana) yang dipergunakan dalam bab ini tentunya
didasarkan pula pada “kebijakan moral” yang dipergunakan negara. Siapakah
penentu kebijakan moral ini? Dalam negara modern dan demokratik, maka memang
seharusnya terdapat kesempatan untuk mendiskusikan kebijakan moral yang dipilih
oleh negara. Misalnya: masalah aborsi, pelacuran, judi dan pornografi,
merupakan materi diskusi dan debat yang tidak pernah selesai.
Apabila telah dapat ditetapkan “nilai sosial dasar” yang ingin
dilindungi, maka harus ditetapkan apakah ada cara lain (diluar hukum pidana)
untuk menegakkannya (pendidikan moral/budi pekerti; celaan komunitas, dll).
Apabila hal ini tidak efektif, barulah perbuatan yang “dilarang” itu
dirumuskan. Ini dinamakan “kriminalisasi”
Dikenal dua bentuk kriminalisasi, yang “abstrak” dan “yang konkrit”.
Yang pertama, adalah mengkriminalisasi suatu perbuatan (in abstracto), seperti yang dilakukan dalam konsep RUU KUHP ini.
Sedangkan yang kedua, dilakukan oleh aparat (alat) penegak hukum, adalah
menyatakan seorang pelaku bersalah melakukan (in concreto) perbuatan yang dilarang. Dalam kebijakan penegakan
hukum, tidak jarang terjadi bahwa kedua bentuk kriminalisasi itu tidak sinkron.
Sering kriminalisasi “in concreto”
hukum bentuk “in concreto” tidak
dijalankan atau dilakukan secara “angin-anginan” (misalnya tidak dijalankan dalam hal pelacuran dan perjudian, hanya bila ada
razia).
Sistem penegakan hukum
Di samping pendekatan kedua bentuk kriminalisasi itu, yang
menggambarkan sikap sebenarnnya masyarakat terhadap suatu perbuatan yang
dilarang untuk melindungi suatu nilai sosial tertentu, terdapat pula pendekatan
melalui kebijakan hukum pidana oleh negara (criminal
policy atau penal policy). Dalam
hal ini kita dapat bedakan anatra tiga bentuk kebijakan hukum pidana, yaitu: (a) restrictive system (bersifat membatasi secara keras), (b) lenient system (bersifat pada dasarnya
membiarkan), (c) moderate system (bersifat lunak, sedang, antara a dan b).
Dalam konsep RUU KUHP versi ke-1 telah diusahakan pula untuk
menyusun pola yang mengkategorikan tindak pidana (delik) dalam lima kelompok
berdasarkan keseriusannya dilihat dari sudut ancaman delik tersebut pada “rasa
aman” masyarakat (dikaitkan dengan “fear
of crime” masyarakat) (lihat Mardjono
Reksodiputro R. Hal 48-49 ; dalam konsep RUU Versi ke-4, lihat Ps 80).
Rasa aman masyarakat menyebabkan perbuatan yang dilarang, dikaitkan
dengan “kerugian” yang timbul dalam masyarakat (bandingkan “victimless crime”), dikategorikan
sebagai: (a) sangat ringan, (b) ringan, (c) sedang, (d) berat, dan (e) sangat
berat. Ini dinamakan kategori keseriusan (dari perspektif masyarakat) dan dapat
dikaitkan dengan ketiga bentuk criminal-penal
policy, yaitu lenient, moderate dan
restrictive systems (dari perspektif
negara).
Penerapan pada Bab XVI
Tindak Pidana Kesusilaan
Bab ini terdiri atas beberapa bagian:
1.
Kesusilaan di Muka Umum;*
2.
Pornografi dan Pornoaksi;
3.
Mempertunjukan Pencegahan Kehamilan
dan Pengguguran Kandungan;
4.
Zina dan Perbuatan Cabul;*
5.
Perkosaan dan Perbuatan Cabul;*
6.
Pengobatan Yang Dapat
Mengakibatkan Gugurnya Kandungan;
7.
Bahan yang memabukkan;
8.
Pengemisan;
9.
Penganiayaan Hewan;
10.
Perjudian
Sesuai arahan Panitia komentar/catatan saya hanya ditujukan pada
bagian-bagian: 1, 4, 5. Pada waktu penyusunan konsep Versi ke-1 telah
diputuskan bahwa tindak pidana (delik) sangat ringan hanya diberikan tindak pidana denda (Ps. 80 (3) Versi ke-4,
kategori I, Rp 1.500.000,-), sedangkan untuk delik yang sifatnya sangat berat
keseriusannya maksimum pidana
penjara seumur hidup (dengan kemungkinan pidana khusus: pidana mati).
Selebihnya akan bervariasi antara kedua kutub itu.
Kalau kita mencoba menyusun ketiga bagian dari Bab XVI ini secara
“kasar”, ke dalam kategori-kategori, maka:
-
Perkosaan (pasal 490 RUU KUHP
Versi ke-4) termauk ketegori berat
dan sangat berat;
-
Melanggar Kesusilaan di Muka
Umum (pasal 467) termasuk kategori sangat
ringan dan ringan;
-
Zina (perzinaan) (pasal 485)
termasuk kategori ringan dan sedang.
Kita tentu masih dapat berbeda pendapat dengan pengkategorian
tersebut di atas. Dan di dalam, ketiga bagian tersebut, masih terdapat lagi
beberapa perbuatan yang dilarang, antara lain:
1.
persetubuhan (zina) dengan
anak-anak;
2.
hidup bersama di luar
perkawinan yang sah;
3.
persetubuhan dengan anggota
keluarga sedarah (incest);
4.
pencabulan dengan kekerasan
atau korban pingsan;
5.
pencabulan sama jenis (dibawah
18 tahun);*
6.
pencabulan dengan anak, anak
kandung, anak tiri;
7.
memudahkan orang lain berbuat
cabul atau persetubuhan dan menjadikannya sebagai pekerjaan;
8.
menyerahkan anak laki-laki atau
perampasan kepada orang lain (perdagangan manusia).
Dalam diskusi intern Tim konsep Versi ke-1 serta dalam sosialisasi,
maka yang banyak (dan lama) menimbulkan perdebatan adalah:
(a)
tentang Perkosaan;
(b)
tentang Perzinaan;
(c)
tentang Hidup Bersama di luar
Perkawinan; dan
(d)
tentang Pencabulan sama jenis.
Keempat delik ini akan diberikan komentar dibawah ini.
Perkosaan
Isyu yang banyak diperdebatkan (selama penyusunan RUU KUHP Versi
ke-1) adalah: (1) rendahnya pidana yang dijatuhkan, dan (2) dipermalukannya
perempuan tersebut dimuka Penyidik (pertanyaan-pertanyaan rinci dilakukan
Polisi laki-laki) dan kemudian disidang Pengadilan.
Untuk pertama kalinya hukum pidana Indonesia mengenal pidana mnimum
khusus yang diancamkan dalam RUU tersebut. Sehubungan dengan delik ini dan
pidana yang sering dijatuhkan hakim yang ringan sifatnya, dipermasalahkan
kemudian tentang perumusan perkosaan tersebut. Hal inilah yang menghasilkan
“perumusan pasal 490” yang sangat luas dan “keluar” dari istilah
“persetubuhan”.
Masalah “double jeopardy”
yang dialami korban, diselesaikan melalui kebijakan Kapolri yang mewajibkan
adanya ruang khusus untuk pelaporan perkosaan dan ditangani oleh Polisi wanita
(Polwan).
Debat yang juga sengit adalah sehubungan dengan “marital rape” (Perkosaan dalam lembaga perkawinan). Dari KUHP (WvS
warisan Hindia Belanda) dicontoh perumusan perkosaan: “bersetubuh ... di luar perkawinan dengan ancaman
kekerasan (“dwingt ... buiten echt
vleesschelijke gemeenshap”). Kelompok/organisasi perempuan mengingin-kan
hapusnya kalimat “di luar perkawinan”, yang memungkinkan larangan terhadap apa
yang kemudian dikenal sebagai “marital
rape”.
Pasal di WvS Belanda (yang serupa di WvS Hindia Belanda) dalam tahun
1991 telah diubah sebagai berikut:
“242. A person who by an act of
violence or another act or by threat of violence or threat of another act
compels a person to submit to acts comprising or including
sexual penetration of the body is guilty of rape ...”
[242. Seseorang yang melalui perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa orang lain untuk mengalami perbuatan-perbuatan yang terdiri dari atau
termasuk penetrasi seksual pada tubuh, bersalah melakukan perkosaan ...]
(dalam versi 1991 WvS Belanda ini, tidak ada lagi kalimat “di luar perkawinan” dan perbuatannya
dirumuskan sebagai “... termasuk penetrasi
seksual ke tubuh ...” (pasal ini melindungi
baik perempuan, maupun laki-laki
yang dipaksa melakukan perbuatan seksual).
Perzinaan
Pasal ini telah ada dalam KUHP warisan Hindia Belanda dan dikenal
dengan istilah “overspel” (adultry).
Dalam Versi ke-1 dinamakan juga “mukah”. Dalam KUHP sekarang pasal 284 itu
hanya berlaku bagi pasangan yang salah satu dari mereka tunduk pada pasal 27 BW
(larangan beristri lebih dari satu).
Tim Versi ke-1 berpendapat bahwa pasal larangan perzinaan ini harus
diperlakukan untuk semua warga negara Indonesia, dan bertujuan:
(a)
melindungi lembaga keluarga,
dan
(b)
mencegah penularan penyakit
yang dipindahkan melalui hubungan seksual.
Dalam perzinaan salah satu mereka haruslah berada dalam ikatan
perkawinan. Perilaku yang dilarang ini terkenal pula dengan nama “consensual crimes” (dilakukan atas
kesepakatan bersama). Meskipun atas kesepakatan bersama, tetapi tetap ada
“korban” yaitu lembaga perkawinan dalam masyarakat.
Dalam pengertian “perzinaan” ini terkandung pula konsep “promiscuous”, yaitu mempunyai banyak
dan berganti-ganti “sexual partner”.
Ancaman dan bahaya bagi masyarakat adalah penyakit HIV/Aids.
Terutama kelompok-kelompok agama sangat mendukung adanya larangan
zina ini.
Hidup Bersama di luar
Perkawinan
Perilaku ini “serupa” dengan zina, karena hubungan seksual dilakukan
di luar lembaga perkawinan, dalam bahasa Inggris dinamakan “cohabitation”, dan dalam bahasa Belanda “samen leven”. Kalau dalam zina ada pihak yang “merasa” dirugikan,
yaitu suami atau istri dari salah satu anggota pasangan yang selingkuh, dalam
“hidup bersama” ini tidaklah demikian halnya. Pasangan ini memang hidup bersama
(sebagai suami-istri) karena belum atau tidak dapat melakukan perkawinan yang
sah. Tetapi sebenarnya mereka tidak merugikan orang lain.
Ini adalah suatu contoh dari “victimless
crime”, dan yang biasanya disebut sebagai “korban” (yang merasa dirugikan)
adalah masyarakat (contoh klasik adalah delik narkoba, dalam hal pelaku
mempergunakan sendiri - “user”).
Yang menjadi isyu disini adalah nilai sosial dasar yang ingin
dilindungi. Pada satu pihak ada moral yang digariskan negara (pemerintah), yang
pada dasarnya ingin melindungi warga masyarakat dari kerugian (harm). Pada pihak lain ada moralitas
personal (personal morality), tentang
apa yang menurut kita baik, berharga dan akan membuat kita bahagia. Moralitas
personal ini datang dari berbagai sumber: agama, adat, budaya, dsbnya. Dalam
masyarakat “multikultural” Indonesia tentu sukar memperoleh konsensus.
Pencabulan sama jenis
Istilah yang dipergunakan sudah menunjukkan “kecaman” yang keras.
Cabul berarti “tidak senonoh”, immoral, sehingga jelas bahwa yang dituju disini
adalah perbuatan hubungan seksual antara laki-laki dengan laki-laki, atau
perempuan dengan perempuan (homoseksual dan lesbian).
Hubungan semacam ini memang dilarang oleh agama. Kembali yang
menjadi isyu disini adalah nilai sosial dasar yang akan dilindungi. Ini juga
adalah suatu “victimless crime”, kecuali
bila kita anggap bahwa masyarakat yang dirugikan, yang menjadi korban. Juga
disini yang dipertentangkan adalah hak negara (pemerintah) memaksakan moralitas
berhadapan dengan moralitas individu yang ingin dan berhak menentukan apa yang
baik dan buruk bagi kebahagian dirinya. Moralitas personal ini datang dari berbagai
sumber, termasuk agama. Tetapi bukankah agama juga membebaskan kita untuk
memilih: mengikuti ajaran agama atau mengingkarinya dan berbuat dosa. Berhakkah
negara “memaksa” kita, dengan ancaman pidana, mengikuti sepenuhnya ajaran
agama?
Oleh karena itu, apabila dilakukan antara orang dewasa yang
bersetuju, maka perbuatan ini tidak dikriminalisasi. Hanya apabila dilakukan
dengan anak di bawah 18 tahun, maka ada kriminalisasi (perlindungan terhadap
anak sebagai korban orang dewasa).
Politik hukum yang dapat
dianut
Secara singkat dan sederhana di atas telah dicoba untuk dijelaskan
sejumlah isyu yang tidak mudah pemecahannya, karena menyangkut isyu moral.
Melanjutkan pembicaraan pada awal tulisan ini, cara pendekatannya dapat
mempergunakan pengkategorian tindak pidana serta kebijakan hukum pidana.
Contohnya adalah sebagai berikut:
-
Kita mudah dapat mensepakati
bahwa perkosaan adalah delik dalam
kategori berat, dan karena itu
politik kriminal yang dianut adalah “restrictive
system”. Dengan pendekatan ini, maka ancaman pidananya adalah maksimum 15
tahun penjara dan dalam hal ada pemberatan ancaman maksimum adalah 20 tahun
penjara.
Kalau “marital rape” diterima, dan karena pembuktiannya relatif sukar,
maka pengadilan, melalui tuntutan jaksa dapat menganut pendekatan “moderate system”, dan menuntut pidana
maksimum 7 tahun penjara.
-
Untuk delik “pelanggaran kesusilaan di muka umum” (misalnya: “perilaku
seksual” dalam kendaraan umum atau “gangguan seksual/sexual harassment) mungkin dapat disepakati sebagai delik dalam
kategori ringan, dengan politik
kriminal yang dianut adalah “lenient
system” dan ancaman pidana maksimum 1 tahun dengan alternatif denda.
-
Delik perzinaan mungkin dapat disepakati sebagai: lebih ringan dari perkosaan,
tetapi lebih berat dari pelanggaran kesusilaan di muka umum. Karena itu
merupkan delik dalam kategori sedang dengan
politik kriminal “moderate system”.
Dalam kelompok ini akan masuk “hidup
bersama di luar perkawinan yang sah”. Seperti dicatat, di atas, dalam
perilaku ini tidak ada korban atau yang dirugikan. Berbeda dengan zina, di mana
ada lembaga keluarga yang “di khianati” dan kemungkinan ada “promiskuitas”
(yang membahayakan masyarakat dengan penyakit yang ditularkannya). Karena itu,
bilamana “hidup bersama diluar perkawinan yang sah” akan dikriminalisasi, maka
sebaiknya sebagai delik dalam kategori ringan,
dengan ancaman pidana maksimum 1 tahun dengan alternatif denda. Politik
kriminal yang dianut adalah “lenient
system”.
-
Untuk pencabulan sama jenis, apabila dilakukan dengan anak di bawah umur
18 tahun, maka dapat dipergunakan kriteria seperti delik perzinahan.
Penutup
Catatan-catatan di atas masih merupakan pemikiran lepas dan karena
itu dimaksudkan hanya untuk memicu diskusi.
*Makalah ini telah disampaikan pada Lokakarya
LBH-APIK di Kupang, 5 Agustus 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar