Kamis, 28 Mei 2015

Beberapa Catatan tentang RUU KUHP 2008, Khusus Bab XVI – Tindak Pidana Kesusilaan



Beberapa Catatan tentang RUU KUHP 2008,
Khusus Bab XVI – Tindak Pidana Kesusilaan*


Pengantar

Dalam konsep awal RUU KUHP, maka bab sekarang dibicarakan berjudul “Tindak Pidana Terhadap Perbuatan Melanggar Kesusilaan Umum”. Kata yang dihapus ini mempunyai arti besar tentang isi Bab XVI. Untuk diketahui, maka konsep 2008 ini adalah versi ke 4 (?). Versi ke-1 (asli) diserahkan kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh oleh Mardjono Reksodiputro sebagai Ketua Tim (disusun sejak tahun 1982). Versi ke-2 (tahun 2000) buku cetak warna hijau, disempurnakan dibawah Ketua Tim Prof. Muladi. Versi ke-3 (tahun 2004?) pernah beredar dan terakhir adalah yang sekarang beredar versi ke-4. Untuk pemahaman lebih baik tentang Versi ke-1, silahkan baca buku Mardjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Pidana, Kumpulan Karangan, Buku Keempat (1997).

Saya akan membahas beberapa pokok pikiran yang melatar belakangi konsep Versi ke-1 (asli), karena itulah yang saya ikuti dan pimpin dalam diskusi Tim penyusunnya. Mudah-mudahan pokok pikiran ini dapat juga dijadikan acuan bagi mereka yang akan memberi komentar pada konsep Versi ke-4.


Ada empat acuan dasar diperguanakan Tim Versi ke-1 (1982-1993); yaitu:

(1)          bahwa hukum pidana juga dipergunakan untuk menegaskan kembali nilai-nilai sosial dasar (basic social values) perilaku hidup bermasyarakat dalam negara Republik Indonesia;

(2)          bahwa hukum pidana sedapat mungkin hanya dipergunakan dalam keadaan di mana cara lain melakukan pengendalian sosial tidak efektif;

(3)          bahwa harus diusahakan seminimal mungkin mengganggu hak dan kebebasan individu, tanpa mengurangi perlindungan terhadap kepentingan kolektifitas;


(4)          bahwa dalam bahasa yang dapat dipahami masyarakat, dirumuskan:
4.1.       perbuatan apa yang dilarang;
4.2.       kesalahan macam apa disyaratkan untuk memberikan pertanggungjawaban pidana pada pelaku.

(lihat Mardjono Reksodiputro, 1997, hal. 23-24).


Nilai sosial dasar dan penegakannya

Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa untuk setiap bab dalam RUU KUHP Versi ke-1 (1993) telah didiskusikan dan dipergunakan “nilai (-nilai) sosial dasar”, untuk masing-masing tersendiri. Yang coba kita bahas disini adalah untuk perilaku (yang dilarang) pelanggaran kesusilaan umum (crimes against public morals, yang dapat “serious offences”, atau “lesser offences”.

Nilai moral yang dilindungi dalam bab ini adalah tentang susila (adat-istiadat yang baik, sopan, beradab, berakhlak baik). Tentu disini kita berhadapan dengan “moral” (pemahaman tentang “baik” dan “buruk”.) Diakui bahwa untuk negara yang penduduknya “multikultural” seperti di Indonesia, maka sulit kita dapatkan konsensus sosial dalam bidang moral ini.

Kebijakan hukum (pidana) yang dipergunakan dalam bab ini tentunya didasarkan pula pada “kebijakan moral” yang dipergunakan negara. Siapakah penentu kebijakan moral ini? Dalam negara modern dan demokratik, maka memang seharusnya terdapat kesempatan untuk mendiskusikan kebijakan moral yang dipilih oleh negara. Misalnya: masalah aborsi, pelacuran, judi dan pornografi, merupakan materi diskusi dan debat yang tidak pernah selesai.

Apabila telah dapat ditetapkan “nilai sosial dasar” yang ingin dilindungi, maka harus ditetapkan apakah ada cara lain (diluar hukum pidana) untuk menegakkannya (pendidikan moral/budi pekerti; celaan komunitas, dll). Apabila hal ini tidak efektif, barulah perbuatan yang “dilarang” itu dirumuskan. Ini dinamakan “kriminalisasi”

Dikenal dua bentuk kriminalisasi, yang “abstrak” dan “yang konkrit”. Yang pertama, adalah mengkriminalisasi suatu perbuatan (in abstracto), seperti yang dilakukan dalam konsep RUU KUHP ini. Sedangkan yang kedua, dilakukan oleh aparat (alat) penegak hukum, adalah menyatakan seorang pelaku bersalah melakukan (in concreto) perbuatan yang dilarang. Dalam kebijakan penegakan hukum, tidak jarang terjadi bahwa kedua bentuk kriminalisasi itu tidak sinkron. Sering kriminalisasi “in concreto” hukum bentuk “in concreto” tidak dijalankan atau dilakukan secara “angin-anginan” (misalnya tidak dijalankan dalam hal pelacuran dan perjudian, hanya bila ada razia).


Sistem penegakan hukum

Di samping pendekatan kedua bentuk kriminalisasi itu, yang menggambarkan sikap sebenarnnya masyarakat terhadap suatu perbuatan yang dilarang untuk melindungi suatu nilai sosial tertentu, terdapat pula pendekatan melalui kebijakan hukum pidana oleh negara (criminal policy atau penal policy). Dalam hal ini kita dapat bedakan anatra tiga bentuk kebijakan hukum pidana, yaitu: (a) restrictive system (bersifat membatasi secara keras), (b) lenient system (bersifat pada dasarnya membiarkan), (c) moderate system (bersifat lunak, sedang, antara a dan b).

Dalam konsep RUU KUHP versi ke-1 telah diusahakan pula untuk menyusun pola yang mengkategorikan tindak pidana (delik) dalam lima kelompok berdasarkan keseriusannya dilihat dari sudut ancaman delik tersebut pada “rasa aman” masyarakat (dikaitkan dengan “fear of crime” masyarakat) (lihat Mardjono Reksodiputro R. Hal 48-49 ; dalam konsep RUU Versi ke-4, lihat Ps 80).

Rasa aman masyarakat menyebabkan perbuatan yang dilarang, dikaitkan dengan “kerugian” yang timbul dalam masyarakat (bandingkan “victimless crime”), dikategorikan sebagai: (a) sangat ringan, (b) ringan, (c) sedang, (d) berat, dan (e) sangat berat. Ini dinamakan kategori keseriusan (dari perspektif masyarakat) dan dapat dikaitkan dengan ketiga bentuk criminal-penal policy, yaitu lenient, moderate dan restrictive systems (dari perspektif negara).


Penerapan pada Bab XVI Tindak Pidana Kesusilaan

Bab ini terdiri atas beberapa bagian:
1.       Kesusilaan di Muka Umum;*
2.       Pornografi dan Pornoaksi;
3.       Mempertunjukan Pencegahan Kehamilan dan Pengguguran Kandungan;
4.       Zina dan Perbuatan Cabul;*
5.       Perkosaan dan Perbuatan Cabul;*
6.       Pengobatan Yang Dapat Mengakibatkan Gugurnya Kandungan;
7.       Bahan yang memabukkan;
8.       Pengemisan;
9.       Penganiayaan Hewan;
10.   Perjudian

Sesuai arahan Panitia komentar/catatan saya hanya ditujukan pada bagian-bagian: 1, 4, 5. Pada waktu penyusunan konsep Versi ke-1 telah diputuskan bahwa tindak pidana (delik) sangat ringan hanya diberikan tindak pidana denda (Ps. 80 (3) Versi ke-4, kategori I, Rp 1.500.000,-), sedangkan untuk delik yang sifatnya sangat berat keseriusannya maksimum pidana penjara seumur hidup (dengan kemungkinan pidana khusus: pidana mati). Selebihnya akan bervariasi antara kedua kutub itu.

Kalau kita mencoba menyusun ketiga bagian dari Bab XVI ini secara “kasar”, ke dalam kategori-kategori, maka:
-          Perkosaan (pasal 490 RUU KUHP Versi ke-4) termauk ketegori berat dan sangat berat;
-          Melanggar Kesusilaan di Muka Umum (pasal 467) termasuk kategori sangat ringan dan ringan;
-          Zina (perzinaan) (pasal 485) termasuk kategori ringan dan sedang.

Kita tentu masih dapat berbeda pendapat dengan pengkategorian tersebut di atas. Dan di dalam, ketiga bagian tersebut, masih terdapat lagi beberapa perbuatan yang dilarang, antara lain:
1.       persetubuhan (zina) dengan anak-anak;
2.       hidup bersama di luar perkawinan yang sah;
3.       persetubuhan dengan anggota keluarga sedarah (incest);
4.       pencabulan dengan kekerasan atau korban pingsan;
5.       pencabulan sama jenis (dibawah 18 tahun);*
6.       pencabulan dengan anak, anak kandung, anak tiri;
7.       memudahkan orang lain berbuat cabul atau persetubuhan dan menjadikannya sebagai pekerjaan;
8.       menyerahkan anak laki-laki atau perampasan kepada orang lain (perdagangan manusia).

Dalam diskusi intern Tim konsep Versi ke-1 serta dalam sosialisasi, maka yang banyak (dan lama) menimbulkan perdebatan adalah:
(a)    tentang Perkosaan;
(b)    tentang Perzinaan;
(c)    tentang Hidup Bersama di luar Perkawinan; dan
(d)   tentang Pencabulan sama jenis.

Keempat delik ini akan diberikan komentar dibawah ini.

Perkosaan

Isyu yang banyak diperdebatkan (selama penyusunan RUU KUHP Versi ke-1) adalah: (1) rendahnya pidana yang dijatuhkan, dan (2) dipermalukannya perempuan tersebut dimuka Penyidik (pertanyaan-pertanyaan rinci dilakukan Polisi laki-laki) dan kemudian disidang Pengadilan.

Untuk pertama kalinya hukum pidana Indonesia mengenal pidana mnimum khusus yang diancamkan dalam RUU tersebut. Sehubungan dengan delik ini dan pidana yang sering dijatuhkan hakim yang ringan sifatnya, dipermasalahkan kemudian tentang perumusan perkosaan tersebut. Hal inilah yang menghasilkan “perumusan pasal 490” yang sangat luas dan “keluar” dari istilah “persetubuhan”.

Masalah “double jeopardy” yang dialami korban, diselesaikan melalui kebijakan Kapolri yang mewajibkan adanya ruang khusus untuk pelaporan perkosaan dan ditangani oleh Polisi wanita (Polwan).

Debat yang juga sengit adalah sehubungan dengan “marital rape” (Perkosaan dalam lembaga perkawinan). Dari KUHP (WvS warisan Hindia Belanda) dicontoh perumusan perkosaan: “bersetubuh ... di luar perkawinan dengan ancaman kekerasan (“dwingt ... buiten echt vleesschelijke gemeenshap”). Kelompok/organisasi perempuan mengingin-kan hapusnya kalimat “di luar perkawinan”, yang memungkinkan larangan terhadap apa yang kemudian dikenal sebagai “marital rape”.

Pasal di WvS Belanda (yang serupa di WvS Hindia Belanda) dalam tahun 1991 telah diubah sebagai berikut:
“242.    A person who by an act of violence or another act or by threat of violence or threat of another act compels a person to submit to acts comprising or  including sexual penetration of the body is guilty of rape ...”
[242.    Seseorang yang melalui perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa orang lain untuk mengalami perbuatan-perbuatan yang terdiri dari atau termasuk penetrasi seksual pada tubuh, bersalah melakukan perkosaan ...]

(dalam versi 1991 WvS Belanda ini, tidak ada lagi kalimat “di luar perkawinan” dan perbuatannya dirumuskan sebagai “... termasuk penetrasi seksual ke tubuh ...” (pasal ini melindungi baik perempuan, maupun laki-laki yang dipaksa melakukan perbuatan seksual).


Perzinaan

Pasal ini telah ada dalam KUHP warisan Hindia Belanda dan dikenal dengan istilah “overspel” (adultry). Dalam Versi ke-1 dinamakan juga “mukah”. Dalam KUHP sekarang pasal 284 itu hanya berlaku bagi pasangan yang salah satu dari mereka tunduk pada pasal 27 BW (larangan beristri lebih dari satu).

Tim Versi ke-1 berpendapat bahwa pasal larangan perzinaan ini harus diperlakukan untuk semua warga negara Indonesia, dan bertujuan:
(a)          melindungi lembaga keluarga, dan
(b)          mencegah penularan penyakit yang dipindahkan melalui hubungan seksual.

Dalam perzinaan salah satu mereka haruslah berada dalam ikatan perkawinan. Perilaku yang dilarang ini terkenal pula dengan nama “consensual crimes” (dilakukan atas kesepakatan bersama). Meskipun atas kesepakatan bersama, tetapi tetap ada “korban” yaitu lembaga perkawinan dalam masyarakat.

Dalam pengertian “perzinaan” ini terkandung pula konsep “promiscuous”, yaitu mempunyai banyak dan berganti-ganti “sexual partner”. Ancaman dan bahaya bagi masyarakat adalah penyakit HIV/Aids.

Terutama kelompok-kelompok agama sangat mendukung adanya larangan zina ini.


Hidup Bersama di luar Perkawinan

Perilaku ini “serupa” dengan zina, karena hubungan seksual dilakukan di luar lembaga perkawinan, dalam bahasa Inggris dinamakan “cohabitation”, dan dalam bahasa Belanda “samen leven”. Kalau dalam zina ada pihak yang “merasa” dirugikan, yaitu suami atau istri dari salah satu anggota pasangan yang selingkuh, dalam “hidup bersama” ini tidaklah demikian halnya. Pasangan ini memang hidup bersama (sebagai suami-istri) karena belum atau tidak dapat melakukan perkawinan yang sah. Tetapi sebenarnya mereka tidak merugikan orang lain.

Ini adalah suatu contoh dari “victimless crime”, dan yang biasanya disebut sebagai “korban” (yang merasa dirugikan) adalah masyarakat (contoh klasik adalah delik narkoba, dalam hal pelaku mempergunakan sendiri - “user”).

Yang menjadi isyu disini adalah nilai sosial dasar yang ingin dilindungi. Pada satu pihak ada moral yang digariskan negara (pemerintah), yang pada dasarnya ingin melindungi warga masyarakat dari kerugian (harm). Pada pihak lain ada moralitas personal (personal morality), tentang apa yang menurut kita baik, berharga dan akan membuat kita bahagia. Moralitas personal ini datang dari berbagai sumber: agama, adat, budaya, dsbnya. Dalam masyarakat “multikultural” Indonesia tentu sukar memperoleh konsensus.


Pencabulan sama jenis

Istilah yang dipergunakan sudah menunjukkan “kecaman” yang keras. Cabul berarti “tidak senonoh”, immoral, sehingga jelas bahwa yang dituju disini adalah perbuatan hubungan seksual antara laki-laki dengan laki-laki, atau perempuan dengan perempuan (homoseksual dan lesbian).

Hubungan semacam ini memang dilarang oleh agama. Kembali yang menjadi isyu disini adalah nilai sosial dasar yang akan dilindungi. Ini juga adalah suatu “victimless crime”, kecuali bila kita anggap bahwa masyarakat yang dirugikan, yang menjadi korban. Juga disini yang dipertentangkan adalah hak negara (pemerintah) memaksakan moralitas berhadapan dengan moralitas individu yang ingin dan berhak menentukan apa yang baik dan buruk bagi kebahagian dirinya. Moralitas personal ini datang dari berbagai sumber, termasuk agama. Tetapi bukankah agama juga membebaskan kita untuk memilih: mengikuti ajaran agama atau mengingkarinya dan berbuat dosa. Berhakkah negara “memaksa” kita, dengan ancaman pidana, mengikuti sepenuhnya ajaran agama?

Oleh karena itu, apabila dilakukan antara orang dewasa yang bersetuju, maka perbuatan ini tidak dikriminalisasi. Hanya apabila dilakukan dengan anak di bawah 18 tahun, maka ada kriminalisasi (perlindungan terhadap anak sebagai korban orang dewasa).


Politik hukum yang dapat dianut

Secara singkat dan sederhana di atas telah dicoba untuk dijelaskan sejumlah isyu yang tidak mudah pemecahannya, karena menyangkut isyu moral. Melanjutkan pembicaraan pada awal tulisan ini, cara pendekatannya dapat mempergunakan pengkategorian tindak pidana serta kebijakan hukum pidana.
Contohnya adalah sebagai berikut:
-          Kita mudah dapat mensepakati bahwa perkosaan adalah delik dalam kategori berat, dan karena itu politik kriminal yang dianut adalah “restrictive system”. Dengan pendekatan ini, maka ancaman pidananya adalah maksimum 15 tahun penjara dan dalam hal ada pemberatan ancaman maksimum adalah 20 tahun penjara.

Kalau “marital rape” diterima, dan karena pembuktiannya relatif sukar, maka pengadilan, melalui tuntutan jaksa dapat menganut pendekatan “moderate system”, dan menuntut pidana maksimum 7 tahun penjara.

-          Untuk delik “pelanggaran kesusilaan di muka umum” (misalnya: “perilaku seksual” dalam kendaraan umum atau “gangguan seksual/sexual harassment) mungkin dapat disepakati sebagai delik dalam kategori ringan, dengan politik kriminal yang dianut adalah “lenient system” dan ancaman pidana maksimum 1 tahun dengan alternatif denda.

-          Delik perzinaan mungkin dapat disepakati sebagai: lebih ringan dari perkosaan, tetapi lebih berat dari pelanggaran kesusilaan di muka umum. Karena itu merupkan delik dalam kategori sedang dengan politik kriminal “moderate system”. Dalam kelompok ini akan masuk “hidup bersama di luar perkawinan yang sah”. Seperti dicatat, di atas, dalam perilaku ini tidak ada korban atau yang dirugikan. Berbeda dengan zina, di mana ada lembaga keluarga yang “di khianati” dan kemungkinan ada “promiskuitas” (yang membahayakan masyarakat dengan penyakit yang ditularkannya). Karena itu, bilamana “hidup bersama diluar perkawinan yang sah” akan dikriminalisasi, maka sebaiknya sebagai delik dalam kategori ringan, dengan ancaman pidana maksimum 1 tahun dengan alternatif denda. Politik kriminal yang dianut adalah “lenient system”.

-          Untuk pencabulan sama jenis, apabila dilakukan dengan anak di bawah umur 18 tahun, maka dapat dipergunakan kriteria seperti delik perzinahan.

Penutup

Catatan-catatan di atas masih merupakan pemikiran lepas dan karena itu dimaksudkan hanya untuk memicu diskusi.


*Makalah ini telah disampaikan pada Lokakarya LBH-APIK di Kupang, 5 Agustus 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar