Kamis, 27 Februari 2020

Etika Dan Tanggungjawab Profesi Hukum*


Pendahuluan
Karena waktunya sempit untuk menulis karangan baru dan saya bukan ahli dalam masalah Etika Profesi Hukum, maka saya memakai karangan-lama saya yang pernah saya sampaikan dalam suatu Kuliah Umum untuk S2-Hukum Universitas Gajah Mada di Yogya[1]. Karangan-lama ini memang saya pilih karena mengkaitkan etika dengan nilai anti-korupsi. Menurut saya “etika profesi hukum” juga dapat  menjadi dasar untuk suatu “budaya hukum dengan nilai anti-korupsi” dalam profesi hukum.

Bagaimana kaitannya ?
Karangan-lama saya dimaksudkan untuk mendiskusikan bagaimana universitas dapat  “membangun budaya hukum yang menghargai “integritas”, yang intinya adalah pada: “kejujuran”, “keterbukaan”, dan “kesediaan bertanggung-jawab”  (honesty -  transparency – accountability ).

Menurut saya seorang yang bekerja dalam salah satu profesi hukum (advokat, jaksa dan hakim serta notaris) harus mempunyai penghargaan (memberinya nilai tinggi) atas ketiga sifat-moral atau karakter-moral di atas. Atas dasar ketiga sifat/karakter di atas dibangunlah “etika profesi”. Menurut saya,  etika–profesi ini adalah bagian dari ilmu tentang ahlak/moral (moral science),  yang akan menjadi dasar pemilihan  sikap kita yang anti-korupsi ataupun pilihan kita tentang apa yang baik dan apa yang buruk (merugikan orang lain), dalam kita menjalankan profesi hukum kita.

Harapan saya adalah bahwa setelah kuliah yang nanti akan Anda ikuti, Anda dapat menghargai (dapat memberi nilai tinggi) kepada “etika dan tanggungjawab profesi hukum”. Jadi janganlah Anda sekedar menghafal pasal-pasal Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI 2002). Ketentuan-dalam suatu Kode Etik akan selalu dirumuskan secara umum, apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan seorang Advokat sering terlalu umum dirumuskan, sehingga sering sukar dilaksanakan dalam praktek, kecuali bila kita memahaminya sebagai “kewajiban moral” untuk mengabdi kepada pelayanan-publik ( a moral duty of public service ).-

Apa yang (menurut saya) penting dari karangan-lama saya ini ?
Suatu peristiwa menarik (tahun 2014) terjadi di sebuah kota di Polandia, bernama POZNAN. Di sana sejumlah universitas menyerukan suatu pernyataan yang kemudian dikenal sebagai Poznan Declaration. Inti-sari deklarasi ini adalah agar di perguruan tinggi para mahasiswa dibekali pendidikan yang membantu mereka menghargai etika dan dengan itu bersikap anti-korupsi.

Pemikiran dibelakang deklarasi Poznan ini adalah bahwa “kemungkinan besar disfungsi yang terjadi di pemerintahan serta iklim perilaku anti-sosial yang terjadi dalam masyarakat, akarnya berasal pada para penentu kebijakan (decision makers ) yang kebanyakan mendapat pendidikan tinggi di universitas. Karena itu, cara utama membangun sikap anti-korupsi adalah dengan meneliti untuk menemukan dan menganalisa budaya, sikap dan perilaku “beracun” (toxic ) ini” (terjemahan bebas – hlm.3 karangan saya ). Yang dimaksud dengan “disfungsi di pemerintahan”  dan  “perilaku anti-sosial” adalah  sikap dan perilaku “pejabat pemerintah” yang melanggar etika dan sikapnya yang tidak mau bertanggungjawab.

Yang menarik bagi saya, adalah bahwa “dakwaan” ini tidak terdengar dibantah oleh perguruan tinggi, malah dikatakan “merupakan langkah pertama untuk perguruan tinggi bekerjasama dengan pemerintah, bisnis dan masyarakat-madani (civil society) dalam ikut berperang secara global melawan korupsi” (terjemahan bebas – hlm.3 karangan saya ).

Keadaan di atas mendapat reaksi dari dua orang gurubesar, yang pertama Marcus Tanneberg dari Universitas Gothenburg (yang juga salah seorang perumus Deklarasi Poznan), yang mengatakan bahwa dalam pelaksanaannya “jangan diharapkan akan ada “rumusan yang siap-pakai”, tetapi yang diharapkan adalah menginspirasi para pendidik agar mereka dapat sendiri mengintegrasikan nilai-nilai etika dan anti-korupsi dalam perkuliahan mereka” (terjemahan bebas – hlm.4 karangan saya ). Gurubesar yang kedua adalah Matthew Stephenson  dari Havard Law School (yang juga Editor Kepala dari Blog Anti-Korupsi), yang menulis karangan Can Universities Teach People Not to Be Corrupt ? Reflections on the Ponzan Declaration”. Beliau menekankan bahwa yang utama adalah untuk “menghilangkan korupsi dalam universitas”, karena mahasiswa itu kritis dan mustahil kita mengajarkan mereka anti-korupsi dalam suasana administrasi universitas yang korup. Yang dimaksud oleh beliau sebagai korupsi di universitas adalah: "pay bribes for grades admission, where cheating and plagiarism are rampant, and where other forms of corruption and dishonesty  are widespread” (hlm 4-5 karangan saya). Saya mendukung kedua pendapat ini, untuk membangun suatu komunitas di bidang profesi hukum yang menghargai dan menjalankan etika-profesi, maka para pendidik/pelatih profesi hukum haruslah memberi contoh melalui perilaku dirinya, dan tempat pendidikan/pelatihan itu juga haruslah menjadi contoh bagaimana menghargai dan melaksanakan etika profesi.

Empat tanggung jawab dan kewajiban seorang anggota profesi-hukum
Dalam suatu ceramah 15 tahun yang lalu (pada acara peringatan ulang tahun AAI ke-15 – 28 Juli 2005), saya menyampaikan tentang keempat kewajiban Advokat ini, yaitu kewajiban kepada : Masyarakat – Pengadilan – Sejawat Profesi – dan Klien. Silakan Anda membacanya dari buku saya Menyelaraskan Pembaruan Hukum, hlm.247 – 255, dalam karangan berjudul “Etika Profesi Menjunjung Kehormatan Advokat”.

Tetapi ada satu kewajiban yang ingin saya ulas sedikit, yaitu tentang kewajiban Advokat kepada Klien. Dalam Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) dikatakan bahwa Advokat adalah profesi hukum yang terhormat dan diberi istilah “Officium Mobile”.
Karena itu Advokat diberi kepercayaan penuh oleh Kliennya, dan hal ini diungkapkan dalam kalimat “the Lawyer as fiduciary” dan “the duty of fidelity”. Secara singkat uraian saya tentang “kewajiban Advokat kepada Klien”,  isinya adalah sebagai berikut:

a)Seorang Advokat wajib berusaha mendapat pengetahuan yang sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya tentang kasus kliennya. Dia wajib memberikan pendapatnya secara terus terang tentang perkaranya dan kemungkinan hasilnya
( hal ini berarti bahwa Advokat tidak boleh memberikan keterangan yang menyesatkan dan tidak boleh menjamin bahwa perkara yang ditanganinya akan menang );

b)Seorang Advokat harus menjaga agar dirinya tidak menerima kasus dari klien yang dapat menimbulkan “konflik kepentingan”( hal ini terutama harus dijaga dalam kantor hukum yang mempekerjakan sejumlah besar Advokat – dan juga dalam hal dua atau lebih Klien lama mempunyai kepentingan dalam perkara yang sama dan kepentingan ini saling bertentangan );

c)Seorang Advokat wajib menjaga rahasia jabatan (yaitu informasi konfidensial yang diberikan oleh Klien kepada advokatnya ) ( pertanyaan yang dapat timbul adalah apakah hal ini tetap berlaku setelah Klien wafat ? Dan bagaimana dengan informasi konfidensial bahwa Klien telah atau akan melakukan kejahatan? Dan bagaimana kalau informasi ini mempunyai implikasi tehadap keamanan publik atau keamanan negara ? );

d)Seorang Advokat berhak menolak menerima perkara seorang Klien, kecuali atas dasar agama, politik, atau status sosial. ( Akan tetapi seorang Advokat tidak dibenarkan melepaskan tugas yang diberikan oleh Kliennya pada saat tidak menguntungkan posisi Kliennya );

f)Seorang Advokat harus memperjuangkan dengan segala daya upaya kepentingan Kliennya ( tetapi hal ini tidak berarti bahwa kepercayaan yang diberikan oleh Klien dapat dilakukan dengan melanggar hukum – dalam hal ada kemungkinan keraguan, maka dia harus mengikuti hati-nuraninya dan bukan pendapat atau hati-nurani Kliennya ).-

Catatan : Meskipun yang saya sampaikan di atas ini adalah banyak tentang etika-profesi yang perlu diperhatikan seorang Advokat, namun kiranya moral yang terkandung didalamnya, dalam kenyataannya (ipso facto), dapat pula berlaku untuk profesi lainnya, seperti Hakim, Penuntut Umum dan Notaris.-

*Disampaikan pada 21 Februari 2020 sebagai Kuliah Pembuka/Pengantar tentang
Etika dan Profesi Hukum di STH Indonesia Jentera - Jakarta.



[1] Mardjono Reksoduputro ,2016,”Penguatan Integritas Mahasiswa Pascasarjana Dalam Membangun Budaya
   Hukum – Dapatkah Universitas Mengajar Lulusannya Untuk Tidak Melakukan Perilaku Koruptif ? – Catatan untuk
   Diskusi “, makalah disampaikan sebagai pemicu diskusi pada Kuliah Umum Program Pascasarjana Fakultas
   Hukum Universitas Gajah Mada, 30 Juli 2016.-   
  

Menghadapi Korupsi-Politik: Antara Tantangan, Dilema dan Harapan*


(Korupsi Politik Dapatkah Diberantas Habis ? –
Suatu Pemikiran Awal untuk Diskusi)



Pengantar
Permintaan kepada saya adalah makalah dengan judul “Kejahatan Politik, Money Politik dan Parpol sebagai Entitas Politik dalam Perspektif Kriminologi”.Terus terang saya bingung dengan judul ini (mohon maaf kepada Panitia !), karena itu saya mengunakan saja sebagai judul tema Pelatihan/FGD ini dengan tambahan sub-judul tersebut di atas.

Terminologi dan Tipologi
Saya ingin menjelaskan dahulu pengertian saya dalam makalah ini. Ada perbedaan dan persamaan antara “korupsi politik” (political corruption) dengan “korupsi (dalam) birokrasi” (bureaucratic corruption). Persamaan kedua-duanya merupakan perbuatan di mana salah satu pihak mempunyai “kekuasaan” (political power) yang menentukan. Perbedaannya adalah dalam korupsi-politik, maka transaksi illegal yang terjadi menyangkut kehendak memperluas atau mempertahankan “kekuasaan politik” salah satu pihak[1]. Sedangkan dalam korupsi birokrasi transaksi illegal tersebut lebih merupakan usaha salah satu pihak untuk “membayar” kepada pihak “birokrasi” untuk lepas dari kesulitan (misalnya dalam perkara di pengadilan) atau sebagai tanda terima kasih atas jasa yang diberikan pejabat birokrasi (misalnya dalam mengurangi pajak yang seharusnya dibayar).

Korupsi birokrasi adalah sederhana dalam transaksinya, umumnya berupa suap (bribery), penggelapan (embezzlement), manipulasi tender (bidrigging), manipulasi harga (price fixing) dan kegiatan lain yang serupa. Tujuannya adalah salah satu pihak (pengusaha swasta) mendapat keuntungan bisnis atau terhindar dari kesulitan, dengan membayar kepada pihak birokrasi agar melanggar sumpah jabatannya atau etika profesinya (misalnya dalam pemberian ijin bisnis atau menutup mata atas pelanggaran). Termasuk dalam kategori ini juga adalah pemberian suap kepada aparat penegak hukum (polisi – jaksa – dan hakim) yang dapat dilakukan juga oleh atau melalui kantor advokat atau kantor notaris..

Korupsi politik lebih rumit dan umumnya memang berkaitan dengan kekuasaan yang akan diperoleh di dunia politik, baik untuk mempertahankan kekuasaan politik yang telah diperolehnya atau untuk memperluasnya. Dalam negara modern dan berpemerintahan demokratik, maka transaksi disini akan melibatkan juga partai politik. Bentuknya adalah berupa “membeli suara dalam pemlihan umum” (vote buying). Transaksi di sini akan berupa yang sederhana, dengan “menyebarkan dana” kepada para calon pemilih/pemilik suara. Tetapi dapat juga dengan cara yang lebih rumit, berupa mencari sumbangan “dana-besar” (political contribution) dari perusahaan-perusahaan dengan janji akan dibalas/dibayar dikemudian hari melalui pemberian ijin melaksanakan proyek-proyek yang didanai oleh anggaran pemerintah. Contoh yang baru terjadi tahun ini adalah yang dikenal sebagai “Ibiza Scandal” di Austria.[2]

Kombinasi antara kedua macam korupsi ini adalah bilamana korupsi birokrasi dilakukan untuk menghasilkan keuntungan dana (besar) yang akan dipakai dalam kegiatan partai politik, terutama dalam memperoleh lebih banyak suara dalam pemilihan umum. Tujuan melanggengkan kekuasaan atau memperluas kekuasaan politik ini menjadikannya (juga) korupsi politik.

Apakah korupsi politik adalah kejahatan politik ?
Jawabannya Ya dan Tidak ! Dijawab Ya, kalau kita menafsirkan “kejahatan politik” dalam arti luas. Disini semua kejahatan yang melibatkan langsung atau tidak langsung unsur politik, seperti “membeli suara”, atau “mengintimidasi calon pemilih/pemberi suara” atau “menyebarkan berita-bohong/palsu tentang lawan politik” atau kegiatan lain yang serupa dengan ini, dinamakan kejahatan politik. Tetapi dijawab Tidak, kalau kita menafsirkan “kejahatan politik” secara sempit. Disini pelaku akan “menyerang” nilai-nilai yang diangapnya tidak sesuai dan ingin diubahnya. Bentuk umumnya adalah kejahatan yang menyangkut keamanan negara atau kepala negara atau tamu negara/kepala negara asing dimaksudkan sebagai kejahatan politik (intinya adalah perebutan kuasa-politik). Saya menafsirkan dalam arti sempit, karena itu saya berpendapat “korupsi-politik” bukan “kejahatan politik”, tetapi dapat dimasukkan dalam “kejahatan ekonomi” (economic crimes) atau kejahatan yang menyangkut harta-benda (property crimes). Kenapa ? Karena inti dari kejahatan ini adalah sifatnya untuk memperoleh kekuasaan yang membawa keuntungan kekayaan/harta benda (jadi bersifat ekonomi).[3]

Dapatkah korupsi politik diberantas habis (eradicated) ?
Disinilah letak “tantangannya”, “dilemanya”, dan “harapannya”. Karena fokus makalah adalah pada “korupsi politik”, maka kita harus menempatkan diri kita pada suatu masyarakat demokratik yang mempunyai lebih dari satu partai politik. Partai politik perlu, karena merupakan organisasi yang (masing–masing) diharapkan  memperjuangkan pemikiran/aspirasi dalam masyarakat tentang bentuk dan cara “mensejahterakan rakyat” (bagi saya inilah dasar dari “ideologi-partai”). Memang seharusnya partai (-partai) politik membutuhkan “kekuasaan-politik” untuk dapat merealisasikan ideologi-partainya. Kekuasaan-politik ini diperoleh melalui pemilihan umum (pemilu) untuk menempatkan wakilnya di lembaga legislatif pusat (DPR dan DPD) dan daerah (DPRD) atau dalam jabatan tertentu (Presiden, Gubernur dan Walikota serta Bupati). Untuk itu masing-masing partai politik memerlukan “dana untuk kampanye” (menyebarkan program kerja dan mengumpulkan pendukung). Disinilah sumber terjadinya “transaksi” keuangan dengan kekuasaan (money politics) yang kita sebut juga “korupsi-politik”.. Makin banyak partai, maka makin “keras” persaingan antar calon partai dan kemungkinan “transaksi” dengan modus “korupsi-politik “ juga akan makin besar jumlahnya. Bagi saya, tantangannya adalah pada tahap pertama: “menyederhanakan partai politik” dalam arti mengurangi jumlahnya.[4] Tahap berikutnya (kedua) adalah memutus “mata rantai korupsi politik” dengan membiayai (seluruh atau sebagian) “dana kampanye” calon-calon partai dari anggaran pemerintah (APBD)[5]. Tetapi saya perkirakan dilemanya (dalam arti: suatu keadaan sulit dan membingungkan) adalah pada  kemauan partai-partai politik untuk menyederhanakan sistem politik kita, karena akan dianggap sebagai mengurangi kebebasan berekspresi dan turut serta dalam mengatur negara melalui partai politik. Seandainya tantangan dan dilema diatas dapat diatasi (ingat dalam rejim Orde Baru kita hanya punya tiga partai politik: Golkar – PPP –dan PDIP), maka apakah dapat diharapkan korupsi politik terberantas habis ? (harapan kita !!!).   

Sampai di sini saya hanya memakai nalar dalam pemikiran saya, mempergunakan pandangan bahwa inti perbuatan korupsi adalah di mana para pejabat publik memanfaatkan kedudukan privilese mereka untuk memperoleh keuntungan ekonomi (economic gain). Dibawah ini saya akan coba membahas pertanyaan dan harapan tersebut dalam persepektif kriminologi (seperti diminta oleh panitia FGD).

Memberantas kejahatan atau memberantas perilaku melanggar norma
Bila melihat melalui pendekatan kriminologi, maka semua perilaku yang kita namakan “kejahatan” (crime) adalah pada dasarnya perilaku “penyimpangan norma-sosial” (social deviant behavior). Dan norma-sosial itu itu tentu dapat berbeda dalam berbagai kelompok masyarakat. Demikian juga apa yang dilarang disuatu negara, mungkin dibenarkan dalam negara lain (misalnya penggunaan narkotika). Meskipun terdapat banyak perilaku yang secara universal diterima sebagai kejahatan/perilaku melanggar norma-sosial (misalya: penganiayaan, perkosaan, pembunuhan, pencurian dsb-nya), tetapi sering perilaku ini berbeda unsur-unsurnya untuk dapat dipidana. Relatifitas dari pelanggaran norma-sosial[6] ini dikatakan dapat disebabkan antara lain oleh: 1)terdapat norma-sosial yang berbeda (mungkin pula bertentangan) yang mengatur hubungan antar manusia dalam berbagai kelompok masyarakat (contoh untuk ini adalah memberi fee kepada broker Bursa Efek adalah normal, tetapi “fee” kepada ASN adalah korupsi (facilitatingpayment); dan 2)hubungan antara “penilai” dan “pelanggar” menentukan pula apakah perilaku tersebut dipandang sebagai penyimpangan dan tentang derajat keseriusannya (contoh untuk ini adalah berbeda persepsi tentang demonstrasi pelajar dan mahasiswa di Jakarta September 2019 yang lalu)[7].

Untuk korupsi-politik masalah relatifitas ini memang tidak terlalu “menggangu” persepsi masyarakat, karena masyarakat dapat menghayati efek negatifnya untuk pengembangan demokrasi dan pembangunan ekonomi, tetapi tetap kenisbian ini dapat dipergunakan oleh pelaku untuk “menghindari” rasa-salah. Dalam teori kriminologi dari mashab kritikal, dikenal pendekatan “interaksionis” yang bertujuan memahami arti perbuatan melanggar norma itu bagi pelakunya sendiri. Disini pelaku akan mencoba melindungi dirinya dengan “citra diri sebagai bukan penjahat” (non-criminal self-image – pelaku korupsi masih dapat tersenyum di muka sorotan televisi). Juga ada teori tentang “techniques of neutralization” (David Matza, 1957) yang serupa, (mungkin) dengan dalil bahwa perbuatannya adalah bermanfaat untuk kepentingan partai politiknya. Kalau mengikuti teori anomie (Durkheim,1952)[8] dan teori subculture (Robert Merton,1957)[9], mungkin dapat diterangkan mengapa “budaya korupsi-politik” ini sukar dihilangkan dari kehidupan politik (karena perbuatan ini dianggap suatu “kebiasaan” dalam sistem dimana terdapat anomie – bila Anda ingin “sesuatu” Anda harus bayar, bila tidak-mau bayar maka Anda tidak akan dapat apa-apa).

Pendapat yang berkembang dalam bidang kriminologi adalah bahwa “kejahatan (baca: pelanggaran norma-sosial) adalah normal dalam suatu masyarakat” dan karena itu tidak mungkin “diberantas habis” . Namun, mengurangi kejahatan itu mungkin, dan salah satu cara untuk mengurangi korupsi-politik adalah dengan memberikan hukuman kepada pelakunya. Namun, patut diingat bahwa hukuman yang berat tidak terbukti akan mengurangi kejahatan. Hukuman yang berat dan tidak proporsional dengan seriusnya kejahatan, hanya akan menimbulkan reaksi timbulnya masyarakat yang punitive (suka menghukum) dan kemudian akan timbul pula peraturan pidana yang tidak manusiawi (draconian laws).

Memiskinkan koruptor
Apakah ini berlaku juga dalam pembicaraan tentang korupsi-politik ? Seperti diuraikan pada awal makalah korupsi-politik dimaksudkan untuk “mempertahankan” atau “memperluas”  kekuasaan politik. Korupsi-politik dilakukan pada waktu atau sebelum dan sesudah pemilu. Pada waktu atau sebelum pemilu dengan “menebar uang atau janji” untuk membeli suara dan setelah pemilu dengan “memenuhi janji” dengan memberikan proyek-proyek pemerintah. Dalam hal pelaku korupsi-politik (pejabat yang terpilih) melakukan transaksi yang mengakibatkan terjadinya bureaucratic corruption, maka hal ini akan “menambah harta kekayaannya”. Inilah yang perlu ditelusuri dan dirampas (memiskinkannya) dengan tujuan agar asas yang sering dikemukakan “crime doesnot pay” akan menjadi kenyataan. Namun, dilema yang perlu diatasi adalah bagaimana “mencari dan merampas” aset bersangkutan. Terbukanya sejumlah “shell companies” melalui kasus “Panama Papers”,[10]dengan pemiliknya sejumlah pejabat tinggi[11],membuktikan bahwa penyimpanan dana dalam offshore companies sebagai salah satu cara money laundering sangat ter-organisasi. Keadaan ini menyebabkan bahwa tidak akan mudah untuk “memiskinkan koruptor” dalam konteks di atas[12]. Para pemilik-asli dana ini (beneficial owners) bersembunyi dibalik para “wakil” atau “kuasa” mereka (nominees), yang sering adalah kantor-kantor para profesional hukum, kenotariatan dan akuntansi.

Penutup
Saya tidak dapat membuat kesimpulan-tuntas atas pertanyaan “ adakah harapan untuk memberantas habis korupsi politik (ataupun korupsi pada umumnya) di Indonesia?” Dalam bahan pustaka yang saya baca sering disebut tentang keberhasilan Lee Kuan Yew membersihkan Singapura dari korupsi (pada tahun 1950-an Singapura masih penuh dengan kelompok-kelompok kriminal yang melakukan pemerasan dan korupsi). Menurut Transparency International (TI), maka Singapura dengan nilai 7, “lebih-tidak-korup” dibanding dengan Amerika Serikat dan Australia. Juga dalam berbagai makalah di Indonesia sering dikemukakan bahwa “bersih”nya Singapura dari korupsi terlihat dari laporan dalam Corruption Perception Index (CPI) yang diterbitkan oleh TI. Dan sebagai perbandingan (dan kritik) tentang “sistemiknya korupsi” di Indonesia, juga dapat dibaca dalam laporan TI. Tetapi dapatkah kita mempercayai CPI ? Karena dalam tulisan di The Global Anticorruption Blog (GAB) dapat pula dibaca bahwa CPI itu “is not a valid, reliable measure of the level of corruption because it is flawed methodologically”[13].
Rujukan di atas hanya dimaksudkan untuk berhati-hati menilai korupsi di Indonesia melalui CPI yang diterbitkan oleh TI. Disamping itu saya tidak yakin kita dapat “memberantas-habis” (eradicate, eliminate) korupsi pada umumnya dan korupsi- politik khususnya di Indonesia. Namun saya percaya, bahwa melalui sistem yang telah dan masih kita bangun untuk menanggulangi segala bentuk korupsi di Indonesia, perilaku ini dapat kita kurangi (can be reduced and controlled but not eliminated). Sekian dan Terima Kasih.-

*Makalah ini telah disampaikan pada 23 Oktober 2019 dalam FGD di
Anti-Corruption Learning Center (ACLC) Komisi Pemberantasan Korupsi RI.

 






[1] Artidjo Alkostar dalam disertasinya di UNDIP (2007). Lihat juga “Korupsi Dalam Sistem Hukum Indonesia” dalam Mardjono Reksodiputro (2009) Menyelaraskan Pembaruan Hukum, Jakarta: KHN-RI, hlm. 147-165.
[2] Heinz-Christian Strache, Deputy Chancellor Austria dan pemimpin partai politik Freedom Party (FPO), tersadap pembicaraannya (sting operation) dengan seorang perempuan Rusia (kerabat seorang Konglomerat Rusia) untuk menguasai sebuah Tabloid Austria “Kronen Zeitung”- Tabloid akan berkampanye mendukung pemilu FPO dan Strache berjanji akan menyalurkan sejumlah proyek pemerintah Austria kepada konglomerat Rusia tersebut.
[3] Pendapat ini adalah sesuai dengan pendekata Bank Dunia yang berpendapat bahwa “corruption is predominantly an economic issue”, karena efeknya kepada “economic growth” and “developmentLihat juga Peter Gabosky “The prevention and control of economic crime” dalam Peter Lamour & Nick Wolanin (Editors) (2001) Corruption and Anti-Corruption, Asia Pacific Press, hlm. 146 -158.
[4] Lihat “Indonesia Butuh Penyederhanaan Kepartaian” dalam Suara Pembaruan,14 Oktober 2019, hlm.6 – Suatu ulasan tentang pendapat Prof.Dr.Valina Singka Subekti , gurubesar ilmu politik UI.
[5] Lihat “Biaya Politik Mahal Suburkan Korupsi” dalam Suara Pembaruan, 10 Oktober 2019, hlm.3 – Suatu ulasan tentang Kepala Daerah Terlibat Korupsi  2004 – 2019, sejumlah 119 pejabat (103 Bupati/Walikota – 16 Gubernur).
[6] Lihat Mardjono Reksodiputro (2007) Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta:Lembaga Kriminologi UI, hlm. 39 - 45
[7] Masalah relatifitas ini sering juga dimunculkan dengan ungkapan “one person’s Bribe is another person’s Gift” dan dapat ditemui terutama dalam “petty corruption” di Indonesia dengan istilah “uang rokok”.
[8] Ketiadaan norma yang jelas tentang “etika berpolitik” dalam memenangkan persaingan politik.
[9] Sub-budaya yang membenarkan perbuatan “korupsi politik” sebagai cara (means) mencapai tujuan (goal.)
[10] Terlibat di kasus ini sebuah kantor hukum Monssach Fonseca di Panama. Kantor hukum ini telah membantu perilaku  Money Laundering dan Tax Evasion, terungkap dari lebih dari 11 juta berkas yang dapat “dicuri”.
[11] Terdapat 12  pemimpin nasional ( a.l. Vladimir Putin, Nawaz Sharif, Ayad Alawi (Iraq), Mubarak (Mesir) dan      143  pelaku/pejabat politik (politician). 
[12] Lihat juga karangan saya “Memiskinkan Koruptor Caranya ?”  dan  “Apakah Kita Serius Memiskinkan Koruptor?”, dalam Mardjono Resodiputro (2013) Perenungan Perjalanan Reformasi Hukum, Jakarta: KHN-RI, hlm. 327-338.
[13] Lihat tulisan prof. Matthew Stephenson (Professor of Law,Harvard Law School) dalam GAB January 29,2019       “A Reminder: Year-to-Year CPI Comparisons for Individual Countries are Meaningless, Misleading and Should Be Avoided”  dan dalam GAB February 7, 2019  Some Good News and Bad News About Transparecy International’s Interpretation of its Latest Corruption Perception Index”.

Kamis, 05 September 2019

Makalah Pengarah Seminar Nasional: Mendorong Pendekatan Keadilan Restoratif Dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia




Pengantar
Keadilan Restoratif (Restorative Justice) bukan hal baru lagi di Indonesia. Berbagai tulisan dan diskusi telah disampaikan mengenai hal ini. Dari TOR yang disampaikan Panitia saya menyimpulkan bahwa  kali ini “keadilan restoratif” (selanjutnya K-R) ingin didekati dengan sudut pandang “korban-kejahatan” (K-K). Dan dalam sesi ke-1,diskusi ingin menggali bagaimana K-R dapat membantu pemberian keadilan kepada K-K. Sedangkan dalam sesi ke-2 diharapkan dapat didiskusikan cara mencegah terjadinya “K-K berulang”.

K-R memang penting dikaitkan dengan K-K, karena memang K-R dikatakan terbentuk antara lain sebagai kritik terhadap Sistem Peradilan Pidana yang cenderung mengabaikan peranan korban. Dan dalam situasi sekarang di mana DPR dengan Pemerintah berada dalam tahap terakhir mendiskusikan suatu Rancangan KUHP Nasional, yang akan merupakan pembaruan Hukum Pidana di Indonesia, maka sudah tepat bahwa gagasan K-R dengan sudut pandang K-K kita diskusikan di seminar ini..

Tentang Korban Kejahatan
Perhatian internasional terhadap K-K dalam Sistem Peradilan Pidana, tercatat sudah ada sejak tahun 1940-an, misalnya oleh ahli kriminologi Hans von Hentig (1949) dan Benjamin Mendelsohn (1956). Dalam periode ini sejumlah tokoh kriminologi internasional sudah meminta perhatian dan memperjuangkan agar korban dberikan pula perlakuan adil dari masyarakat, dibanding perhatian yang sangat besar yang telah diberikan oleh para ahli kriminologi kepada hak-hak tertuduh dan narapidana, sebagai akibat diterimanya pemikiran bahwa tujuan pemidanaan adalah rehabilitasi pelanggar hukum (dan bukan bertujuan pembalasan dendam). Kemudian perhatian dunia ilmu pengetahuan mulai meningkat pula dengan dilangsungkannya Simposium Internasional Pertama tentang Viktimologi (1973) yang diselenggarakan oleh World Society of Victimology. Sejak itu penelitian tentang korban delik mendapat perhatian serius, antara lain tentang: peranan korban dalam terjadinya delik, hubungan antara pelaku dengan korban delik, mengenai mudah “diserangnya” korban, kemungkinan menjadi korban-kembali/terulang, peranan korban dalam proses peradilan pidana, ketakutan korban terhadap terulangnya kejahatan, sikap korban terhadap peraturan hukum pidana dan acara pidana serta proses penegakan hukum pada umumnya.[1]

Dalam kaitan penelitian seperti ini timbullah pemahaman tentang posisi korban dalam suatu peristiwa kejahatan, antara lain adanya “latent victims” (mereka yang lebih cenderung menjadi korban daripada orang lain, seperti: anak-anak dan perempuan) dan “victim-prone occupations” (pekerjaan yang cenderung lebih banyak menimbulkan korban, seperti: supir taxi dan pelacur). Studi-studi seperti ini bertujuan untuk melaksanakan usaha perlindungan dan pencegahan warga masyarakat menjadi  korban. Penelitian juga menunjuk adanya perbedaan dalam derajat kesalahan pada diri korban, seperti: yang sama sekali tidak bersalah – yang menjadi korban karena kelalaiannya – yang sama salahnya dengan pelaku – yang lebih bersalah daripada pelaku – dan di mana korban adalah satu-satunya yang bersalah. Selanjurnya studi-studi dalam bentuk “survai terhadap korban” (victim surveys) juga menjadi penting, karena antara lain dapat mengungkapkan: bagaimana masyarakat yang pernah jadi korban bersikap terhadap masalah kejahatan, misalnya: mengapa mereka tidak melapor – bagaimana risiko seseorang untuk menjadi korban-kejahatan – adakah rasa takut dan tidak aman terhadap kemungkinan terulangnya kejahatan pada mereka (meluasnya “fear of crime’).

Di Indonesia perhatian terhadap korban ini dapat ditelusuri dari perhatian kriminolog Paul Moedikdo dengan Teori Dialog-nya (awal 1960-an), dan kemudian diteruskan oleh kriminolog Arif Gosita dengan makalahnya dalam Seminar Kriminologi Ke-III (Oktober 1976) di Universitas Diponegoro, Semarang. Juga PBB telah memberi perhatiannya kepada masalah korban ini dengan menerbitkan UN Declaration on the Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power (1985). Dan dalam tahun 2002 diselenggarakan suatu Seminar Khusus tentang Victims and Criminal Justice – Asian Perspective, di Keio University di Jepang, di mana diajukan dua makalah dari Indonesia oleh Purnianti “Protection of Female Victim of Violence in Indonesia” , dan oleh Mardjono Reksodiputro dan Mudzakkir “Victimization in Indonesia: An Expensive Lesson”.[2] Dalam tahun 2011 Departemen Kriminologi FISIP-UI menerbitkan buku yang disunting oleh Prof. Adrianus Meliala, yang berisi 12 karangan para Dosen, berjudul Viktimologi – Bunga Rampai Kajian Tentang Korban Kejahatan.[3]

Gambaran singkat dan pasti tidak lengkap di atas, hanya ingin menjelaskan bahwa perhatian ilmu pengetahuan Kriminologi dan Hukum Pidana di Indonesia terhadap masalah korban-kejahatan ini, sudah berjalan lama. Namun, perhatiannya memang masih sekedar dalam memahami peranan, sikap dan perasaan korban saja. Mengenai kaitannya dengan Restorative Justice (K-R) belum terlihat dalam bahan pustaka di atas. Selanjutnya akan dicoba menjelaskan tentang K-R ini.


Tentang Keadilan Restoratif
Pemahaman tentang situasi yang dihadapi korban tersebut di atas, telah menimbulkan keinginan para ahli kriminologi dan hukum pidana, untuk membangun suatu sistem peradilan pidana yang peka tentang masalah korban (a victim sensitive criminal justice system). Mengapa ? Salah satu alasannya adalah bahwa peranan korban-kejahatan untuk turut-serta menentukan bagaimana proses perkaranya itu, telah ter-abaikan dalam sistem yang berlaku.. Dalam sistem ini korban hanyalah sekedar pelapor dan saksi yang diperlukan negara. Proses selanjutnya telah diambil alih oleh negara, dalam hal ini oleh kepolisian dan kejaksaan. Pertanyaan yang timbul adalah: mengapa korban tidak dapat ikut menentukan jalannya proses penyelesaian perkaranya ? Pengecualian hanya ada pada delik-aduan, di mana proses baru berjalan dengan pengaduan korban, dan yang masih dapat dicabut oleh korban pada tahap sebelum sidang pengadilan. Jawaban yang umum diberikan adalah: bahwa memberikan wewenang kepada korban turut menentukan proses peradilan pidana, akan membuka kesempatan proses yang lebih bersifat emosional (amarah korban dan publik- hal ini dapat menimbulkan “lynch justice”- “main-hakim- sendiri”) dan menghalangi keinginan kita mempunyai sistem peradilan pidana yang bersifat rasional.   

Dalam kriminologi saya ingin merujuk kepada mashab kritikal (critical criminology) di mana terdapat pemikiran tentang “kriminologi konflik”. Menurut mashab kritikal, maka penanggulangan kejahatan (dalam arti luas) seharusnya dapat dilakukan melalui masyarakat yang lebih demokratis (berarti dengan mengurangi proses konflik antara yang “berkuasa” dengan yang “dikuasai”).Dalam mashab kritikal ini terdapat berbagai macam teori kriminologi, yang dapat dinamakan teori-teori konflik-sosial, yang melihat kejahatan itu sebagai fungsi dari konflik-konflik-sosial yang ada dalam masyarakat. Misalnya, dalam tahun 1971, William Chambliss dan Robert Seidman menerbitkan karangan mereka yang terkenal juga di Indonesia: “Law, Order and Power”, yang merupakan referensi pula dari Prof.Satjipto Rahardjo dalam teori hukumnya yang dikenal sebagai :Teori Hukum Progresif. Menurut Chambliss dan Seidman antara lain: “penguasaan atas sistem politik dan ekonomi akan mempengaruhi bagaimana peradilan pidana dilaksanakan, dan definisi tentang kejahatan akan dipengaruhi secara menguntungkan oleh mereka yang menguasai sistem peradilan, oleh karena itu, peranan konflik dalam masyarakat perlu dianalisa oleh ilmu pengetahuan yang netral[4]..

Dengan mendasari pemikiran bahwa konflik-sosial adalah salah satu penyebab kejahatan, maka diajukan pemikiran bahwa dengan meredusir konflik-sosial,kejahatan dapat dikurangi dan salah satu caranya adalah melalui “restorative justice”. Pendekatan K-R ini menekankan pada “non-punitive strategies to prevent and control crime”, dan mengedepankan peranan korban kejahatan dalam mewujudkan strategi ini.[5] Disinilah terdapat hubungan antara Restorative Justice (K-R) dengan Viktimologi (ilmu pengetahuan mengenai korban-kejahatan). 

Eva Achyani Zulfa memandang K-R ini sebagai suatu filosofi pemidanaan.Dan sebagai falsafah ini, K-R dapat diterapkan dengan membingkainya pada berbagai kebijakan, gagasan program dan penanganan perkara pidana. Cara ini diharapkan akan menimbulkan hasil yang menciptkan keadilan bagi pelaku, korban dan masyarakat  dan dengan itu menjawab berbagai masalah yang dihadapi sistem peradilan pidana[6]. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan hukum pidana, maka disinilah harus dilihat hubungan antara Viktimologi, Keadilan Restoratif dan Sistem Peradilan Pidana. Penelitian-penelitian di Indonesia dalam tema ini masih perlu banyak dilakukan.   

Mendorong K-R dalam Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia (Tema seminar ini)
Seperti disampaikan sebelumnya, maka K-R dapat juga didekati dengan pandangan viktimologi, dalam arti bahwa dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP), korban dan orang yang selamat dari suatu kejahatan (survivor) sering kali terlupakan atau terabaikan. Agar SPP memperhatikan pula korban, maka di beberapa negara dalam hukum acara pidananya dinyatakan tentang hak korban untuk mendapat victim impact statement (VIC) dalam sidang peradilannya.Isinya menyatakan kerugian dan penderitaan yang dialami korban akibat kejahatan tersebut. VIC ini harus diperhatikan oleh hakim dalam memberi keputusannya. Dengan memperhatikan VIC, maka hakim dapat memberikan kompensasi (bantuan keuangan dari negara - compensation) dan atau “restitusi” (ganti-rugi dari pelaku - restitution ).Disini, maka K-R digambarkan bertujuan “to restore the health of the community, repair the harm done, meet victim’s needs and require the offender to contribute to those repairs” (mengembalikan kesejahteraan komuniti, memperbaiki kerusakan yang terjadi, dan mewajibkan pelaku untuk turut menyumbang guna perbaikan tersebut). Dasar pemikiran dalam K-R di sini adalah bahwa negara turut bersalah dalam terjadinya kejahatan terhadap seorang warganya.

Pendapat yang lebih keras diajukan oleh John Braithwaite (2003) dalam Principles of Restorative Justice, di mana dikatakannya bahwa dengan Restorative Justice”, perlu diadakan: “a radical redesign of legal institutions, whereby the justice of the people will more meaningfully bubble up into the justice of the law, and the justice of the law will more legimately filter down to place limits on the justice of the people” (diperlukan perombakan radikal dari lembaga-lembaga hukum, agar rasa- keadilan-masyarakat akan meresap ke dalam rasa-keadilan-hukum secara lebih berarti, dan rasa-keadilan-hukum akan lebih secara-sah meresap untuk membatasi rasa-keadilan -masyarakat). Pendekatan Braithwaite di sini lebih cenderung menggunakan teori-teori konflik-sosial yang melihat adanya diskriminasi dalam penegakan hukum terhadap kelompok-kelompok “kelas-bawah” (lower class groups).

Kembali kepada pendapat Zulfa Achyani dalam disertasinya, perlu diperhatikan bahwa kehadiran K-R dalam hukum pidana tidak bermaksud mengabolisi hukum pidana, tetapi justru harus dilihat sebagai mengembalikan fungsi hukum pidana pada jalurnya semula, yaitu pada fungsi  ultimum remedium. 




            Penutup
Tidak ada kesimpulan yang akan ditarik dari uraian saya ini, kecuali mengatakan bahwa masih banyak yang perlu diteliti dan  didiskusikan bilamana kita menginginkan agar Hukum Pidana Indonesia (hukum materiil dan hukum formilnya) lebih memperhatikan korban-kejahatan. Namun demikian akan diajukan juga beberapa saran:

A)Mungkin kita dapat mulai dengan memperluas tujuan SPP kita; dari yang tradisional (dengan pendekatan offender centered) yaitu :

1)Mencegah warga masyarakat menjadi korban-kejahatan;
2)Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan
3)Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi kembali kejahatannya;

dengan menambahnya melalui pendekatan korban (optik-korban), misalnya:

4)Memberikan kepada korban hak menerima kompensasi dan restitusi dan melindunginya dari menjadi korban kembali;

B)Tetapi disamping itu, kita juga dapat menyempurnakan KUHP/WvS kita dalam pasal 82 (transaksi tentang hapusnya kewenangan penuntutan) ke dalam pasal baru dalam R-KUHP Nasional yang masih ada di DPR, dengan pasal yang memungkinkan dilakukannya penyelesaian kasus kejahatan diluar jalur peradilan pidana (seperti dalam lembaga diversi pada UU No.11/2012 tentang Peradilan Anak). Contoh dapat diambil dari pasal 74 KUHP Belanda, yang berbunyi (terjemahan bebas intinya): “…Penuntut Umum berwenang sebelum dimulainya sidang pengadilan mengajukan satu atau lebih syarat untuk mencegah penuntutan suatu tindak pidana. Dengan dipenuhinya syarat (-syarat) tersebut, maka kewenangan menuntut menjadi hapus. Adapun syarat (syarat) yang dapat diajukan adalah: …. (di sini dimasukkan syarat-syrat dilakukannya proses Keadilan Restoratif dengan Korban dan Masyarakat).” Namun, dengan melihat kondisi kepercyaan masyarakat terhadap kepolisian dan kejaksaan sekarang ini, maka  K-R ini sebaiknya juga diawasi oleh hakim.

-Sekian dan terima kasih untuk perhatian yang telah diberikan-.


 Universitas Pancasila, Jakarta 17 Juli 2019
          



[1] Lihat Mardjono Reksodiputro, 2007,Kriminologi dan Sistem Peradilan-Kumpulan Karangan –Buku Kedua, Lembaga Kriminologi UI, hlm.71
[2] Tatsuya Ota (Editor),2003, Victims and Criminal Justice – Asian Perspective, Tokyo:Keio University
[3] Adrianus Meliala (Penyunting),2011, Viktimologi – Bunga Rampai Kajian Tentang Korban Kejahatan, Jakarta: Penerbit FISIP UI Press.
[4] Mardjono Reksodiputro (2010), Pemikiran Kriminologi:Restorative Justice, Makalah tidak diterbitkan, disampaikan di Departemen Kriminologi FISIP-UI.
[5] Ibid
[6] Ibid