Kamis, 05 November 2015

Reformasi SPP Indonesia Menghadapi Tantangan Untuk Perubahan*




Assalamualaikum Wr.Wb.  -  Salam Sejahtera Bagi Kita Semuanya,
Yth. Para Anggota Senat Akademik Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera,
Yth. Pimpinan, Dosen dan Mahasiswa serta Hadirin lainnya Yang Kami Muliakan.
Pertama-tama tentunya selamat kepada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia  Jentera, atas hari peresmian pembukaan perkuliahan tahun pertamanya ini. Tahun akademik 2015/2016 - yang sekaligus juga merupakan Acara Penyambutan Mahasiswa Baru. Semoga kehadiran sekolah tinggi ini akan menghasilkan lulusan yang dapat membantu mempercepat reformasi  hukum di Indonesia.

Hadirin yang kami muliakan,
Doa saya tentang harapan dipercepatnya reformasi hukum di Indonesia, disebabkan karena saya merasakan kekecewaan yang besar tentang hal ini. Kepada saya diminta untuk memberikan Orasi Ilmiah tentang “Reformasi Sistem Peradilan Pidana Indonesia”, dan karena itu saya akan fokus pada tema tersebut. Meskipun demikian, tentu saya hanya dapat “mengangkat” (highlight) beberapa permasalahan saja,  yang secara subyektif, saya rasakan telah atau akan merupakan “suatu tantangan untuk perubahan” (a challenge for change).
Pada tahun 2004 (11 tahun yang lalu), saya menulis makalah dengan judul “Masih adakah Harapan untuk Reformasi di Bidang Hukum ?”. Tulisan ini meminta antara lain, agar reformasi hukum harus mendampingi reformasi di bidang politik dan di bidang ekonomi. Hal ini disebabkan karena (menurut saya) pada tahun-tahun sebelumnya, hukum hanya dianggap sebagai “embel-embel” (komponen tambahan yang tidak atau kurang penting) dalam reformasi di bidang ekonomi dan bidang politik, di masa Orde Baru Pemerintahan Presiden Suharto (1968-1998). Memang, tentu saja, telah ada perubahan di bidang hukum, namun hukum di masa itu berarti sekedar perubahan peraturan perundang-undangan.[1] Tentu saja peraturan harus dan telah berubah, mengikuti perubahan iklim ekonomi (pembangunan ekonomi antara lain melalui investasi modal asing) dan perubahan iklim politik (pembaharuan politik antara lain melalui penyederhanaan partai politik), namun tidak ada perubahan mendasar di bidang hukum. Dalam tulisan  saya tahun 2004, saya mengatakan sebagai berikut[2]:
Salah satu masalah utama … adalah tidak adanya kepastian hukum untuk berusaha di Indonesia. Ketidakpastian hukum terutama disebabkan oleh politik pembangunan ekonomi selama kurang lebih 30 tahun, yang mengabaikan pembangunan sistem hukum. Seharusnya hukum dapat membantu dan menunjang berbagai permasalahan dan ketidakadilan yang timbul berbarengan dengan kemajuan ekonomi yang dicapai masyarakat. Para pejabat pemerintah (birokrat) bersikap tidak membantu tegaknya hukum, karena sering menerbitkan peraturan-peraturan yang bertentangan dengan hukum dan sering pula membuat keputusan-keputusan yang bersifat diskriminatif dan arbitrer (mementingkan dan mendahulukan kelompok dan golongan elite-ekonomi tertentu).”
Dalam tulisan tersebut, meskipun ada nada kecewa, namun saya masih optimis, bahwa semangat pembaruan dalam Era Reformasi (yang dimulai tahun 1998 – 17 tahun lalu), akan berubah ke arah: “hukum yang adil, berpihak kepada kepentingan umum (sebagian besar rakyat) dan berwibawa …”.[3] Tetapi pada penghujung akhir tahun 2015 ini saya telah kehilangan optimisme itu. Namun demikian, saya ingin segera menambahkan bahwa janganlah pesimisme ini juga “menular” pada Anda para Mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum Jentera ini, justru pada Anda terletak harapan saya, agar optimisme 17 tahun yang lalu dapat kembali !

Hadirin sekalian,
Saya sekarang ingin menjelaskan pesimisme saya, namun, dengan harapan agar menjadi cambuk dan pegangan para Mahasiswa Jentera untuk senantiasa turut berjuang mengubah pesimisme ini menjadi optimisme. Sesuai dengan fokus makalah ini, maka saya akan memberi catatan pada bidang Hukum Pidana (materiil maupun formil) dan penegakan hukumnya.

Pembaruan Hukum Pidana Materiil
Ini dilakukan antara lain melalui perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kita (S.1915 No.732) yang mulai berlaku tahun 1938 (77 tahun yang lalu), warisan pemerintahan Hindia Belanda. Setelah beberapa kali gagal, maka pada tahun 1982  (33 tahun yang lalu) suatu Tim RUU Hukum Pidana mulai bekerja di Departemen Kehakiman (sekarang Kementerian Hukum dan HAM). Hasil Tim (setelah lebih dari 10 tahun bekerja) diserahkan kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh (tahun 1993 - yang “mewariskannya” sebulan kemudian kepada Menteri Kehakiman Oetojo Oesman). Konsep KUHP Nasional ini, dinamakan “re-kodifikasi”, untuk menekankan bahwa rancangan ini tetap menekankan asas “kodifikasi” di bidang hukum pidana (dalam arti dan tujuan: “to improve the accessibility, comprehensibility, consistency and certainty of the criminal law”[4]). Secara singkat, kodifikasi bertujuan memperbaiki Hukum Pidana kita dalam hal: kemudahan mencapai semua aturan pokok, pemahaman artinya, kemantapan atau konsistennya antara aturan yang satu dengan yang lain dan kepastian dalam perumusannya.  Adapun pembaharuan yang dilakukan dalam Konsep KUHP Nasional ini berintikan asas-asas berikut[5] :
1)bahwa hukum pidana juga dipergunakan untuk menegaskan atau menegakkan kembali nilai-nilai sosial dasar perilaku hidup bermasyarakat dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang dijiwai oleh falsafah dan ideologi Negara Pancasila;
2)bahwa hukum pidana sedapat mungkin hanya dipergunakan dalam keadaan di mana cara lain melakukan pengendalian sosial tidak atau belum dapat diharapkan keefektifannya;
3)dalam menggunakan hukum pidana sesuai dengan kedua pembatasan di atas, harus diusahakan dengan sungguh-sungguh bahwa caranya seminimal mungkin menggangu hak dan kebebasan individu, tanpa mengurangi perlindungan terhadap kepentingan kolektifitas masyarakat demokratik yang modern;
4)harus secara jelas dan dalam bahasa yang dapat dipahami masyarakat Indonesia merumuskan: (a)perbuatan apa yang merupakan tindak pidana, dan (b)kesalahan macam apa yang disyaratkan untuk memberikan pertanggungjawaban pidana kepada seorang pelaku.
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, Konsep KUHP Nasional ini, baru diajukan ke DPR pada penghujung tahun 2013 (setelah 20 tahun beredar di jajaran birokrasi) dan inipun dengan protes agar dicabut kembali dari DPR (menurut saya dengan alasan yang tidak memahami arti kodifikasi dan dengan pertimbangan politik, bukan pertimbangan hukum)[6]. Konsep terakhir yang saya peroleh (2015), menurut saya, juga tidak memperhatikan secara seksama ke-empat asas tersebut di atas. Terutama keinginan (yang tercermin dari media massa cetak dan elektonik) untuk selalu mempergunakan hukum pidana dan hukuman yang berat untu melakukan pengendalian sosial. Hal ini (menurut saya) mecerminkan semangat yang bertentangan dengan asas ke-2 di atas.
Asas ke-2 ini memang terbawa oleh pemikiran di bidang Kriminologi, dan tentunya oleh latar belakang pendidikan para perancang KUHP Nasional Versi ke-1 (1993).[7] Perbedaan pemikiran dan cara pandang tentang penggunaan hukum pidana, yang banyak dianut oleh para sarjana hukum, menurut saya, terbawa oleh pendidikan yang sifatnya terutama merupakan suatu penjelasan rinci secara yuridis (juristic exposition) tentang hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Memang cara ini disertai pula  pengenalan kepada pasal-pasal dan pemahaman tentang asas-asas utama dan konsep-konsepnya, tetapi pada dasarnya pendidikan ini adalah sangat teknis-yuridis, sebagaimana diharapkan dikuasai oleh sarjana hukum yang akan bekerja sebagai praktisi hukum (advokat, jaksa dan hakim). Jarang sekali Dosen memberikan suatu uraian kritis tentang yurisprudensi (putusan pengadilan) tertentu, sebagai suatu sikap tertentu dari pengadilan Indonesia, ataupun mengajak debat tentang latar belakang penyusunan dan perumusan undang-undang pidana atau ketentuan pidana tertentu, sebagai sikap tertentu dari pembuat undang-undang di Indonesia. Politik kriminal (criminal policy) yang berbeda untuk masa-masa tertentu, misalnya masa Hindia-Belanda, Militer Jepang, Orde Lama, Orde Baru dan Era Reformasi, juga hampir tidak dibahas secara kritis. Menurut pendapat saya, seharusnya, orientasi dari para sarjana hukum kita (terutama para Jaksa dan Hakim) akan dapat diperkaya dengan pemahaman yang lebih baik di bidang Kriminologi dan Sosiologi/Antropologi serta Psikologi. Apalagi Negara kita ini adalah negara dengan masyarakat majemuk (multi-kultural).[8]

Pembaharuan Hukum Pidana Formil
Pembaharuan hukum acara pidana kita, dari HIR (atau RIB – Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui), telah dilakukan pada tahun 1981 dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kemajuan dalam bidang hukum acara ini, sebenarnya juga tidak terlalu menggembirakan, dilihat dari “semangat reformasi” dikalangan komunitas hukum (saya maksudkan disini lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan kepengacaraan/advokat) dan “benturan kewenangan” yang terjadi. Sebenarnya, keinginan mengubah HIR/RIB 1942, yang dianggap “sangat bersifat inkuisitor (inquisitoir)”, telah disepakati dalam Seminar Hukum Nasional Ke-2  tahun 1968 (di UNDIP-Semarang), tetapi baru berhasil 13 tahun kemudian, dan itupun berkat perjuangan gigih dari Prof. Oemar Senoadji dan Menteri Kehakiman Moedjiono. Meskipun di “promosikan” sebagai “Karya Agung”, yang lebih mengedepankan HAM (Hak Asasi Manusia: Tersangka-Terdakwa-Terpidana), namun masih banyak kritik yang diajukan, bahwa “semangat inkuisitor”-nya belumlah hilang.[9]
Bagi saya hal ini tidak mengherankan, karena euphoria mempunyai KUHAP Nasional melupakan dua hal: 1)bahwa semangat (budaya-kerja) yang dipunyai penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) dan penegak keadilan (pengadilan) pada awal Republik Indonesia (1945-1950) adalah “semangat inkuisitor IR (Inlands Reglemen)”, yang oleh Pemerintah Hindia Belanda akan diganti dengan HIR/RIB tahun 1942 (dan perubahan semangat ini belum sempat terjadi, karena timbulnya perang Dunia Kedua); dan 2)semangat cara pemeriksaan Kempetai Jepang (dan pengalaman kekerasan jaman perjuangan revolusi kemerdekaan) telah juga mewarnai “budaya-kerja” sistem peradilan pidana (SPP) Indonesia. Karena itulah, maka sekarang ada usaha untuk mengajukan Konsep KUHAP Baru, yang bersama-sama dengan Konsep KUHP Nasional, diajukan ke DPR pada Desember tahun 2013. Namun, seperti dapat dilihat dan dibaca (melalui media massa cetak dan elektronik), Konsep KUHAP Baru ini telah mendapat tantangan pula dengan berbagai alasan, yang menurut saya, merupakan alasan-alasan politik (masalah benturan kekuasaan dan kewenangan) dan bukanlah alasan hukum.
Apa sebenarnya permasalahannya ? Untuk para pendukung perubahan, alasannya a.l. adalah KUHAP 1981 belum mencerminkan “promosinya” sebagai “Karya Agung” yang menghormati HAM. Ini berarti kritik pada semangat inkuisitor SPP Indonesia, yaitu:1)Tersangka masih dinilai sebagai (hanya) obyek pemeriksaan; dan 2)Hakim terlalu memihak pada JPU dengan mendasarkan pemeriksaan di sidang pengadilan (hanya) pada apa yang diajukan dalam Surat Dakwaan (yang berdasarkan Berita Acara Penyidikan), dan karena itu melalaikan tugasnya sebagai Hakim netral (tidak berpihak) memeriksa dan mencari “kebenaran materiil”.
Kecenderungan sifat inkuisitor ini, menurut saya, lebih parah lagi ditahap penyidikan. Kecuali “kekerasan” yang (dapat) dilakukan dalam tahap penyidikan, terutama terhadap Tersangka yang “lemah ekonomi dan pendidikan”(miskin dan bodoh), pada akhir-akhir ini dapat terlihat juga dilakukannya intimidasi dan perbuatan melawan hukum dengan cara “mengumumkan” (ke publik) bahwa seorang adalah Tersangka suatu kejahatan. Tersangka ini tidak ditangkap (atau segera dilepaskan setelah ditangkap) dan tidak-ditahan, agar Penyidik tidak diajukan ke lembaga Pra-peradilan. Namun, sebagai Tersangka, ia dapat dikenai berbagai pembatasan haknya, misalnya: dibatasi kepergian ke luar negeri, dibatasi pemakaian rekening banknya, digeledah kantor dan rumahnya, disita berbagai barang miliknya, semua dengan alasan untuk mencari tambahan bukti (?) kejahatan Tersangka. Saya berpendapat bahwa Tersangka (yang tidak ditangkap dan tidak ditahan) ini, berhak mengajukan gugatan Pra-peradilan, karena posisi sebagai Tersangka ini dapat “dibiarkan” oleh Penyidik sampai tidak terbatas waktunya (dengan alasan:”belum cukup bukti untuk diajukan ke JPU” ??). Saya berkesimpulan bahwa perkembangan “cara penyelidikan dan penyidikan” macam ini perlu diperhatikan dan diawasi, karena mempunyai kecenderungan dapat menjadi “pemerasan”.  

Pembaharuan Penegakan Hukum
Pertama-tama koreksi saya tentang istilah ini: -penegakan hukum memang berarti “the enforcement of the law”  atau  “rechtshandhaving” dan menyangkut juga proses peradilan dalam sistem kehakiman (judicial system), tetapi kalau bicara tentang lembaga atau orangnya, maka pengertian ini harus dibatasi menjadi hanya untuk Kepolisian dan Kerjaksaan, sebagai law enforcement agencies/ officers. Karena itu saya pernah menulis keberatan saya untuk menyebut Hakim sebagai Penegak Hukum, sebaiknya “Penegak Keadilan” (Justice)  dan juga Advokat, sebaiknya dinamakan juga “Pembela” (Defender) atau “Pengacara” ( Counsellors at Law).
Dalam periode akhir tahun 2014 dan permulaan tahun 2015 ini, menurut saya, tampak “buruknya” wajah penegakan hukum kita. Kiranya tidak perlu diulang kembali secara rinci beberapa kejadian yang mencoreng wajah penegakan hukum kita. Hanya untuk penyederhanaan saja, saya ingin menggolongkannya dalam tiga kelompok. Pertama adalah sengketa yang terjadi antara lembaga Kepolisian dengan lembaga KPK, kedua adalah “debat” tentang perlunya kewenangan “istimewa” dalam menghadapi kejahatan korupsi, dan ketiga masalah Lapas menjadi “pasar narkoba”.
Masalah pertama dapat dianggap berakar pada “persaingan kelembagaan”, yang “lumrah” terjadi selama dipicu semangat meningkatkan prestasi. Tetapi apa yang terjadi, memberi gambaran yang berbeda, “keinginan unggul” telah dijustifikasi untuk persaingan yang tidak-sehat. Hal yang kedua, mungkin masih berakar juga pada kompetisi menjadi “yang terunggul” dalam memberantas korupsi. Namun dalam hal kedua ini, persaingan tidak saja berakibat kepada personil lembaga, tetapi juga berdampak kepada hak-hak warga masyarakat. Sejauh mana “hak privasi: privacy rights” dapat di “korban”kan untuk perlindungan kepentingan kolektifitas ? Hal yang ketiga, untuk saya “menakjubkan” ! Lapas yang dengan konsepsi “pemasyarakatan narapidana” (yang digagas oleh Menteri Kehakiman Sahardjo dalam tahun 1962-53 tahun lalu), yang seharusnya menjadikan Negara “wali dan pelindung” warga-nya yang tersesat, dan menjadikannya “sadar dan siap kembali ke masyarakat”, ternyata membenarkan pendapat “kuno” bahwa “Lapas adalah suatu sekolah tinggi untuk meningkatkan kemahiran melakukan kejahatan”.

Kembali kepada masalah utama tulisan ini : “tantangan untuk melakukan perubahan” – maka dengan melihat kepada praktik penegakan hukum yang terlihat (dan tersembunyi) selama ini, saya melihatnya dengan pesimistis. Seharusnya banyak yang dapat dilakukan apabila “semangat reformasi hukum pidana” dilakukan melalui antara lain, suatu “desain prosedur” yang saya sampaikan pada awal tulisan ini. Dasarnya adalah menegaskan kembali nilai-nilai sosial dasar perilaku hidup bermasyarakat (basic social values) apa yang ingin ditegakkan hukum pidana kita, tetapi,hukum pidana hanyalah dipergunakan dalam keadaan tertentu saja, yaitu  dalam hal pengendalaian sosial dengan cara lain tidak efektif (ultimum remedium), dan selalu diingat agar  seminimal mungkin menggangu hak dan kebebasan warga, meskipun tanpa mengurangi perlindungan untuk kolektivitas (tetap menghormati “the rights of offenders and prisoners”).Dalam kurun waktu dekat yang akan datang, marilah kita komunitas hukum, mau  melakukan refleksi tentang wajah “pembangunan hukum pidana” kita pada masa-masa terakhir ini. Mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum Jentera, dapat memeloporinya melalui debat, diskusi dan seminar kelas.

Penutup  
Sebagai penutup, perkenankan saya mengutip salah satu kesimpulan saya pada penghujung tahun 2011 (empat tahun lalu),  maaf, kembali lagi, secara agak panjang:
“Setelah kita meliwati masa Orde Lama dengan Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Revolusi, yang mengutamakan politik sebagai panglima, kita telah memasuki masa Orde Baru dengan Pak Harto sebagai Bapak Pembangunan yang mengutamakan ekonomi sebagai panglima. Sekarang kita sedang memasuki Era Reformasi yang pada awalnya menginginkan reformasi di segala bidang dan terutama di bidang hukum, dimulai dari amandemen terhadap UUD 1945, berbagai TAP-MPR(S) dan juga peraturan-peraturan yang menjurus kepada KKN.  Adanya Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, KPK, Pengadilan TIPIKOR, PPATK, KPPU, KHN, Ombudsman (KON), Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, Komnas HAM dan lainnya yang sejenis, menunjukkan bahwa reformasi di bidang hukum dianggap penting, sebagai motor penggerak terjadinya perubahan radikal dari keadaan iklim politik dan iklim ekonomi masa Orde Baru. Sayangnya aspirasi awal Era Reformasi ini sekarang hampir tidak terdengar lagi” [10]
Menurut pendapat saya, keadaan ini belum berubah dan karena itu perkenankan saya mengutip lagi dari tulisan tersebut, sebagai berikut:
Aspirasi masyarakat memang sering tidak terdengar nyata, seperti heningnya malam, tetapi seperti arus sungai, arus inspirasi ini terus mengalir, makin lama makin deras dan kemudian terkumpul dalam ‘samudera frustasi’, yang akhirnya dapat mengamuk seperti ombak yang dapat memecah batu karang”[11]  

Sekian, dan terima kasih atas perhatian yang diberikan.

*Makalah ini telah disampaikan dalam Acara Penyambutan Mahasiswa Baru dan Pembukaan Tahun Akademik 2015/2016 STHI Jentera – Senin, 14 September 2015 di Puri Imperium Office Plaza, UG Floor Unit 15 - Kuningan, Jakarta 12980.


[1]Lihat pendapat saya dalam “Mencoba Memahami Hukum dan Keadilan” dalam Mardjono Resodiputro,2009, Menyelaraskan Pembaruan Hukum, diterbitkan oleh Komisi Hukum Nasional RI, hal.3 – 9.
[2] Dalam  Arief T.Surowidjojo (Editor),2004,Pembaharuan Hukum:Kumpulan Pemikiran Alumni FHUI, diterbitkan oleh Jakarta: ILUNI-FHUI, hal. 193 – 208.
[3] Ibid, hal.197.
[4] Mike Molan et all,2003,Modern Criminal Law, Fifth Edition, London:Cavendish Publishing Ltd.hal.10
[5] Lihat Mardjono Reksodiputro,2007.Pembaharuan Hukum Pidana-Kumpulan Karangan, Buku Keempat, diterbitkan oleh Jakarta: Lembaga Kriminologi UI,hal.23-24.
[6]Serangan terhadap adanya Bab tentang Kejahatan KORUPSI dalam Rancangan KUHP Nasional, sebagai usaha memperlemah KPK dan pemberantasan korupsi di Indonesia, tidak kuat – dibanyak KUHP asing kita akan menemui bab dan pasal tentang “Penyuapan dan Pengaruh Koruptif” (Bribery and Corrupt Influence).Pertimbangan politiknya, menurut saya, terletak pada persaingan tidak sehat antar lembaga penegak hukum dan ketakutan hilangnya kekuasaan yang diberikan undang-undang lama.
[7] Mardjono Reksodiputro, op.cit ,hal.13 untuk Daftar Panitia Penyusunan Rancangan KUHP (yang diserahkan tahun 1993).
[8] Lihat untuk penjelasan lebih lanjut tentang “Pemikiran Kriminologi dalam Rancangan KUHP Baru”, ibid, hal.37-51, dan juga Mardjono Reksodiputro,1997, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan, Buku Kedua, diterbitkan oleh Jakarta: Lembaga Kriminologi UI.
[9] Uraian lebih rinci dapat dibaca dalam Mardjono Reksodiputro,2007, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, diterbitkan oleh Jakarta: Lembaga Kriminologi UI.
[10] Mardjono Reksodiputro,2013,Perenungan Perjalanan Reformasi Hukum, diterbitkan oleh Jakarta: Komisi Hukum RI,hal.34-35
[11] Ibid, hal.35

Wawancara dengan majalah Forum Keadilan tahun 1991



Rencana Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana beberapa saat lagi akan diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Bagaimana hasilnya nanti ?
Mardjono Reksodiputro (selanjutnya akan disingkat MR) : Pembaruan hukum-hukum warisan kolonial sudah dilakukan sejak lama. Bahkan sebelum berdirinya Badan Pembinaan Hukum Nasional sekarang ini. Termasuk dalam hal ini penyusunan rancangan KUHP.  Sepengetahuan saya konsep atau rancangan KUHP sudah beberapa kali disusun. Ada yang susunannya baru setengah jadi. Ada yang 90 persen jadi. Rancangan-rancangan ini dibuat pada masa Lembaga Pembinaaan Hukum Nasional maupun Badan Pembinaan Hukum Nasional (BABINKUMNAS). Waktu BABINKUMNAS serius menangani kembali soal ini tahun 80-an, penyusun rancangan undang-undang (RUU) ini berpikiran bahwa kita sudah waktunya menyelesaikan pekerjaan ini. ‘Mosok’ dari dulu kita cuma bikin konsep saja. Setelah saya bertemu Pak Ismail Saleh (Menteri Kehakiman RI), kami sepakat berharap agar pekerjaan ini bisa diselesaikan panitia penyusun yang saya ketuai akhir Juli 1991. Dari segi mulainya diadakan upaya penyusunan rancangan itu, sudah sepantasnya memang harus selesai. Kalau dilihat dari sudut perkembangan kebutuhan masyarakat, sebaiknya kita jangan terlalu gegabah agar rancangan ini cepat-cepat diselesaikan. Banyak hal yang harus kita pertimbangkan. Pertama, kita ingin membuat satu KUHP bercorak Indonesia. Tapi kita juga tak boleh lupa, corak nasional itu tak lepas dari pengaruh perkembangan internasional yang cukup banyak akhir-akhir ini. Untuk itu kita tambahkan hal-hal baru, termasuk tindak pidana baru yang belum pernah ada di KUHP kita yang diberlakukan 1918. Untuk menciptakan KUHP bercorak Indonesia, tim penyusun RUU KUHP berusaha merumuskan tindak pidana atas dasar pengalaman dan keadaan bangsa Indonesia sendiri.

Bagaimana kiat tim penyusun dalam menganalisa tindak pidana baru seperti dalam masalah komputer dan contempt of court?
MR : Cara kerja tim begini : Para anggota tim adalah orang-orang yang mengerti keadaan Indonesia dan juga tak asing perkembangan di luar negeri. Karena itu yang kita lakukan adalah diskusi-diskusi dari hasil pengamatan-pengamatan atas perkembangan itu. Karena kita tak ingin membatasi pikiran tentang sesuatu hanya menurut pikiran pakar di dalam tim, kita melakukan juga lokakarya atau seminar untuk menguji pikirian kita dalam forum yang lebih luas. Forum luas ini melibatkan pakar-pakar diluar tim, termasuk kelompok praktisi polisi, hakim, jaksa, pengacara, dan sebagainya. Kita juga punya banyak bahan dari luar negeri, misalnya untuk so0al komputer. Salah satu bahan itu adalah dari Commissie Franken yang sudah lima tahun menggarap perlunya kejahatan komputer di KUHP di Belanda dengan mengadakan penambahan pasal atau perubahan. Kemungkinan besar cara inilah yang akan diterapkan di dalam KUHP kita dengan mengkaji pasal-pasal KUHP kita sehingga bisa mengantisipasi kejahatan tanpa harus menunggu perkembangan dari luar. Tim penyusun RUU di dalam memandang perkembangan delik atau tindak pidana punya asumsi bahwa KUHP baru nantinya tidak harus mencakup semua tindak pidana yang ada. Artinya, bila ada perubahan terhadap bentuk tindak pidananya maka berarti bisa saja dilakukan penambahan lewat lembaga legislatif.

Apa betul isi RUU KUHP yang baru sangat berbeda dengan KUHP yang berlaku sekarang ?
MR : Di dalam RUU KUHP tidak dibedakan lagi kejahatan dan pelanggaran seperti KUHP sekarang. Kita menyebutnya ke dalam satu istilah yaitu tindak pidana. Itu tentu membawa konsekuensi cukup besar karena peraturan-peraturan diluar KUHP masih membedakan istilah kejahatan dengan pelanggaran. Pelanggaran (overtredingen) adalah tindak pidana yang relatif ringan dan sebenarnya dianggap tidak punya bobot jahat. Kitab Undang-undang Acara Pidana (KUHAP) pun masih mengatur secara berbeda soal ini. Kalau RUU KUHP sudah disetujui dan diundangkan, kita perlu waktu untuk menyesuaikan peraturan-peraturan lainnya terhadap KUHP baru itu. Kita perlukan waktu itu sekitar dua sampai tiga tahun. Misalnya kalau RUU KUHP itu disahkan 1992, berarti sekitar tahun 1994 atau 1995. Sementara itu kita bisa melakukan penyesuaian-penyesuaian peraturan-peraturan lain. Karena itulah kita juga menyiapkan satu RUU Peraturan Pemberlakuan KUHP (invoeringswetgeving). Disini dinyatakan kapan KUHP itu mulai berlaku, dan apa yang harus dilakukan terhadap kasus-kasus yang terjadi di dalam masa transisi. Juga misalnya jika ada orang melakukan tindak pidana pada waktu berlakunya KUHP lama, tapi baru diadili ketika KUHP baru sudah berlaku. Peraturan ini juga mengatur soal keberlakuan peraturan-peraturan pidana yang tersebar diluar KUHP.



Perubahan-perubahan itu bila dikatakan dalam jumlah, berapa banyak pasal ?
MR : Di dalam buku satu yang memuat aturan umum atau asas-asas kira-kira perubahan itu lebih dari 50 persen. Letaknya di dua hal. Pertama di satu pihak kita mencoba memperluas beberapa asas yang dikenal dan berkembang di dalam praktek. Memperluas disini dalam arti menegaskan lagi. Kedua kita memperluas stelsel (sistem) pidana. Buku dua yang dulu isinya rumusan tindak pidana dan ancamannya, sekarang kita coba memperbarui dengan rumusan tindak pidana baru. Bahkan juga menghapus rumusan tindak pidana yang kita anggap tidak cocok lagi. Kita dalam waktu yang cukup lama juga menyusun kembali ancaman pidananya. Didalam KUHP sekarang, ancaman pidananya seolah-olah tidak ada sistem ancaman pidananya. Disini akan terjawab, mengapa untuk tindak pidana ini ancaman pidananya diatas tujuh tahun misalnya. Atau mengapa tindak pidana itu ancaman hukumannya dialternatifkan dengan denda dan seterusnya. Ini semua kita coba untuk dipolakan. Bisa dicari kembali hubungan antara tindak pidana dengan berat-ringannya ancaman pidana.

Jadi ancaman pidana di KUHP sekarang ini tidak bersistem ?
MR : Tidak jelas menurut saya sistem ancamannya. Mungkin penyusun undang-undang ini dulu punya sistem. Tapi sistem itu tak kami jumpai lagi. Ini mungkin karena perubahan-perubahan yang pernah terjadi terhadap KUHP ini, termasuk terhadap ancaman pidananya. Saya pernah bertanya pada orang-orang Belanda, mereka juga tak tahu sistem ancaman pidana di KUHP ini.

Bagaimana jelasnya perubahan dalam soal sistem pemidanaan yang Anda katakan tadi ?
MR : Pidana pokok adalah penjara. Yang kedua adalah pidana denda. Kemudian kita kenal juga pidana kurungan. Juga kita mengenal pidana yang dikenal dengan community service order atau kita boleh sebut sebagai pidana kerja sosial. Sedangkan pidana mati kita sebut sebagai pidana khusus, maksudnya penjatuhannya harus dipertimbangkan baik-baik atau selektif, sebagai ancaman pidana maksimum.

Bagaimana caranya untuk mengatasi perbedaan yang terlalu tinggi antara tinggi rendahnya ancaman pidana ?
MR : Perbedaan dalam penjatuhan pidana oleh hakim harus diterima sebagai sesuatu yang baik dalam masyarakat, karena ini mencerminkan pandangan bahwa tidak ada dua kasus yang bisa sama. Kalaupun sama, dua kasus tertentu bisa kelihatan sama. Contohnya adalah perkosaan. Antara korban satu dengan yang lainnya, pelaku satu dengan pelaku lain belum tentu sama. Ini memberikan hak yang ada di dalam sistem hukum pidana kita kepada hakim untuk menilai setiap kasus atas dasar kasus itu sendiri. Yang menjadi masalah sebenarnya bukan adanya perbedaan, tapi adanya perbedaan yang mencolok dan terlalu sering. Sehingga menimbulkan kesan sewenang-wenang dari si hakim. Ada ketentuan dalam RUU KUHP yang mengatur pemberian pedoman kepada hakim untuk melihat sebuah kasus. Pedoman yang jumlahnya 10 ini tidak menjawab langsung soal perbedaan ini. Tapi secara tidak langsung pasal ini mau mengatakan : “Para hakim ini lho ada 10 pedoman. Sebelum menjatuhkan pidana tolonglah Anda memeriksa butir-butir dalam pasal ini. Selanjutnya terserah Anda...” Yang harus diperhatikan dalam pasal ini antara lain adalah bagaimana seriusnya tindak pidana, sikap pelaku, dan bagaimana reaksi masyarakat.

Jadi bila pasal itu tidak menjawab soal perbedaan mencolok pengancaman pidana, lantas pasal atau ketentuan mana yang bisa untuk menghindari dan mengantisipasi perbedaan mencolok itu ?
MR : Di RUU ini beberapa tindak pidana yang diberikan ancaman pidana minimum khusus yang tidak memungkinkan hakim untuk memidana turun dari minimum itu. Sekarang jarak hukuman pidana penjara itu adalah dari sehari sampai seumur hidup atau mati. Tapi hakim boleh-boleh saja menjatuhkan hukuman cuma sehari, meskipun ancaman hukumannya adalah mati. Pasal-pasal yang memakai minimum khusus ini tidak banyak. Selektif sekali, misalnya perkosaan –kalau tidak salah- minimal tiga tahun penjara.




Apa pasal ini tidak mengganggu hakim dalam soal kebebasannya ?
MR : Tidak. Karena pasal ini hanya meminta hakim untuk memperhatikannya. Apakah hakim akan melakukannya atau tidak, tidak ada kontrol bukan ? Kita tentu menginginkan bahwa hakim menyadari hal ini. Jadi tidak ada maksud mengurangi kebebasan hakim sama sekali.

RUU KUHP masih memuat ancaman pidana mati. Anda setuju hukuman mati ?
MR : Secara pribadi saya tidak setuju hukuman mati. Tapi saya harus menghormati tim penyusun RUU KUHP. Menurut saya tujuan hukuman pidana salah satunya membuat orang kecil hati (discourage) untuk melakukan tidak pidana. Sehingga ia segan melakukannya. Sehingga hukuman pidana ini bersifat preventif. Menurut pemikiran tim, untuk beberapa hal memang perlu diancam hukuman mati. Untuk hukuman mati haruslah benar-benar sifatnya khusus. Hakim harus melihat, kasus tertentu, pelakunya tertentu, korbannya tertentu, dan situasi masyarakatnya juga harus tertentu. Semuanya harus dipertimbangkan si hakim.

Mengapa RUU KUHP tidak lagi mencantumkan delik pelanggaran ?
MR : Banyak alasan untuk itu. Tapi kalau kita ambil dari rujukan teori, sering dikatakan bahwa ada perbedaan antara delik hukum (rechtsdelicten) dan delik undang-undang (wetsdelicten). Sebenarnya perbedaan ini sudah kabur. Dulu memang rechtsdelicten dinamakan misdrijven atau kejahatan karena memang punya sifat jahat, karena melanggar nilai-nilai hukum di dalam masyarakat. Atau ada kepentingan-kepentingan tertentu yang dilanggar misalnya jiwa, badan kehormatan, dan harta benda. Jadi pelaku misdrijven sebenarnya melanggar perlindungan hukum terhadap kepentingan tadi. Sedangkan wetsdelicten sifatnya administratif. Hanya pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan misalnya penyelundupan. Mengapa ada penyelundupan ? Penyelundupan ada karena ada batasan-batasan dan orang mengatur adanya kewajiban membayar pajak kepada negara. Misalnya dalam soal lalu-lintas. Mengapa ada jalan raya satu arah adalah karena jalan itu cuma bisa menampung lalu lintas satu arah. Di wetsdelicten tidak ada kepentingan hukum yang dilindungi, karena sebenarnya hanya pengaturan, dan ini bisa diubah-ubah. Dalam perkembangannya, penyelundupan dianggap bisa merusak kepentingan ekonomi tertentu yang dilindungi negara. Lantas karena akibatnya merusak kepentingan tertentu; wetsdelicten berubah menjadi rechtsdelicten. Karena itulah kita anggap tidak perlu lagi ada perbedaan. Tapi perbedaan tindak pidana berat, sedang, kurang, maupun yang ringan lah yang ada. Saya rasa di dalam praktek tidak perlu lagi perbedaan itu ada. Ini bukan merupakan soal baru. Ketika guru saya Prof Satochid masih hidup; soal ini juga sudah muncul pendapat tidak perlunya lagi perbedaan ini. Demikian juga ketika Prof Moeljatno masih hidup. Jadi secara sederhana pembuat undang-undang membedakan kejahatan dengan pelanggaran itu dasarnya sebenarnya adalah bahwa kejahatan diancam hukuman berat, sedangkan pelanggaran diancam dengan hukuman ringan. Kalau dasarnya adalah ringan dan berat tak perlu nama lain. Beri saja satu nama, yaitu tindak pidana saja. Lantas kita buat secara bertingkat ancaman-ancaman itu.

Bila RUU KUHP tanpa buku pelanggaran, bagaimana dengan aturan KUHAP yang mengatur prosedur pemeriksaan untuk kasus pelanggaran ?
MR : Dengan adanya RUU KUHP baru seharusnya jangan memandang hal ini sebagai “terjadi perubahan luar biasa”. Memang hal ini dianggap luar biasa karena kita mewarisi Belanda seolah-olah ada perbedaan yang tajam antara pelanggaran dan kejahatan. Dulu ketika Belanda masih mengikuti Perancis malah ada tiga jenis delik. Dengan dihapuskannya pelanggaran, dan hanya ada tindak pidana saja untuk semua jenis delik maka semua delik pidana hanya dibedakan dengan berat-ringannya ancaman hukuman pidananya. Ada yang sangat serius, serius, biasa, dan seterusnya ini. Misalnya kalau tindak pidana sangat serius akan kita beri ancaman pidana yang lebih tinggi daripada tindak pidana biasa. Tapi derajat ancaman pidana ini tidak disebut di dalam undang-undang agar mudah bila ada perubahan. Bisa saja sekarang ada tindak pidana sangat serius nantinya bisa berubah biasa saja. Atau sebaliknya. Jadi kalau kita ingin mengetahui suatu tindak pidana sifatnya ringan atau berat, lihat saja ancaman hukumannya. Dulu untuk kasus pelanggaran acaranya pun disederhanakan. Kalau melihat KUHAP sebetulnya tidak ada kesulitan bila pelanggaran dihapuskan. Caranya adalah dengan mendentukan dalam suatu pasal, misalnya untuk tindak pidana dengan ancaman denda atau ancaman pidananya tidak lebih dari satu tahun maka prosedur acaranya adalah acara singkat di KUHAP. Jadi maknanya kita ambil lantas kita terapkan di KUHAP. Disinilah perlunya peraturan pemberlakuan KUHP itu untuk menjembatani masalah ini. Misalnya di dalam peraturan pemberlakuan KUHP itu disebutkan setiap kali ada istilah pelanggaran haruslah diartikan sebagai tindak pidana yang sanksinya tidak lebih dari sekian tahun dan atau denda sekian rupiah.

Peraturan Pemberlakuan KUHP itu seperti sebuah Peraturan Pelaksanaan saja ?
MR : Ya begitulah. Bentuknya bisa undang-undang, bisa juga Peraturan Pemerintah.

Tapi bagaimana kalau KUHP itu diberlakukan tanpa Peraturan Pelaksanaan itu ?
MR : Saya kira nanti akan menyulitkan. Terutama buat praktisi polisi, jaksa, atau hakim yang belum sempat memahami KUHP sebagai peraturan baru. Walaupun demikian kita tidak bisa mengatur semuanya. Tergantung pada antisipasi kita. Yang jelas, sejauh mungkin kita buatkan peraturan itu sebagai pedoman buat para praktisi. Yang kita minta untuk mengerjakan RUU Pemberlakuan KUHP ini adalah Prof. Dr. Sahetapy di Universitas Airlangga.

Peraturan pemberlakuan KUHP itu fungsinya mempermudah penerapan KUHP itu sendiri. Berarti berlakunya KUHP tidak mudah bila tanpa peraturan pemberlakuan KUHP. Apakah ini karena KUHP sebagai hukum material dibuat belakangan setelah KUHAP yang merupakan hukum formal ?
MR : Yang ideal memang yang harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat kita tentunya terlebih dulu adalah hukum materialnya (substantive criminal law). Saya pikir pemerintah mencoba melakukannya demikian. Hanya saja dalam pengerjaannya ternyata mengubah hukum acara lebih mendesak karena banyak kritik dalam pelaksanaan sebelumnya. Lagipula untuk megubah hukum acara relatif lebih mudah. Walaupun terbalik begini, tidak apa-apa. Nanti kita adakan penyempurnaan lagi bila ada yang kurang. Peraturan pemberlakuan KUHP inilah yang menjadi jembatan antara KUHP dengan KUHP yang nantinya berlaku. Tapi harap diperhatikan tim penyusun RUU KUHP tidak membahas KUHAP.

Mungkinkan sama sekali tidak membahas KUHAP, sedangkan KUHP adalah hukum materialnya ?
MR : Tim penyusun bukan berarti menganggap bahwa KUHAP bukan urusannya, sebab bagaimanapun juga dalam membahas RUU KUHP kami “melihat” keterkaitan kedua produk hukum ini. Contohnya adalah tindak pidana khusus. KUHAP masih memungkinkan adanya tindak pidana khusus. Meskipun tim perumus berusaha memasukkan semua undang-undang yang ada diluar sebatas yang bisa masuk dalam kerangka KUHP yang sudah ada, kita tidak mengganggu gugat tercantumnya kemungkinan adanya pengaturan tindak pidana khusus di KUHAP. Di RUU KUHP tim memperluas pengertian korupsi atau penyuapan tapi kita tidak menyarankan bahwa tindak pidana khusus yang ada dihapuskan saja.

Sejak sekitar tahun 1982 tim KUHP ini sudah mulai bergerak. Berarti cukup lama mereka bekerja. Mengapa ?
MR : Memang kita cukup lama bekerja. Sebab tim antara lain, sekaligus menyusun setiap pasal yang ada dengan penjelasan. Sekarang undang-undang kita umumnya penjelasannya banyak yang ditulis “cukup jelas”. Mungkin 20 sampai 30 persen saja yang diuraikan. Penjelasan setiap pasal itu sebetulnya juga untuk memudahkan dalam praktek. Sebab pasal-pasal KUHP harusnya tidak dalam kalimat yang panjang-panjang. Di dalam penjelasan inilah yang akan membuat kita leluasa menerangkan maksud pasal-pasal itu. Termasuk pembatasan-pembatasannya mungkin.

Tadi beberapa kali disebut-sebut tindak pidana khusus. Kriteria suatu tindak pidana termasuk tindak pidana khusus itu apa saja ?
MR : Tindak pidana khusus mengandung pengertian peraturan pidana tertentu yang tidak bisa dimasukkan ke dalam sistematika kodifikasi yang ada. Sehingga ia diatur diluar kodifikasi dengan acara pidana khusus pula.