Jumat, 08 Februari 2019

Komentar Singkat Tentang Kewenangan Jaksa Pada KPK Melakukan Eksekusi*


Prof. Mardjono Reksodiputro, SH,MA.
Dr. Surastini Fitriasih, SH,MH.


Permasalahan yang diajukan:
UU No.30/2002 tentang KPK hanya mengatur tentang Penuntut Umum sedangkan dalam KUHAP terdapat ketentuan yang menyatakan secara jelas dalam Pasal 270 bahwa pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan oleh Jaksa. Juga dalam KUHAP Pasal 1 angka 6 dinyatakan bahwa a)Jaksa diberi wewenang bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan, dan b)Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Haruskah ini ditafsirkan bahwa kewenangan Jaksa yang berada di Lembaga KPK hanya terbatas pada melakukan penuntutan saja, dan tidak melaksanakan putusan pengadilan (yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap) serta tidak pula melaksanakan penetapan hakim ?

Pembahasan:
1)Dengan merujuk kepada ketentuan di Belanda (sekedar sebagai perbandingan),maka dalam UU Hukum Acara Pidananya (Wetboek van Strafvordering mulai berlaku 1 Januari 1926 dan telah disempurnakan dari tahun 1988 – 1993 – selanjutnya Sv), terdapat Buku Kelima yang berjudul “Pelaksanaan dan Biaya” (Tenuitvoerlegging en Kosten) yang dalam Pasal 553 Sv menyatakan “Pelaksanaan putusan hakim dilakukan sesuai pedoman Menteri Kehakiman atas beban openbaar ministerie (OM) di pengadilan di mana putusan diberikan” (OM dapat diterjemahkan sebagai Lembaga Kejaksaan atau  Public Prosecutorial Service). Ketentuan ini serupa seperti di KUHAP kita, ada bab khusus, yaitu Bab XIX dengan judul “Pelaksanaan Putusan Pengadilan” dengan Pasal 270 yang menyatakan “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa …” Sedangkan dalam hal kewenangan mendakwa (beslissingen omtrent vervolging) terdapat Pasal 167 Sv yang menyatakan: “Dalam hal sehubungan dengan penyidikan yang dilakukan, openbaar ministerie berpendapat bahwa pendakwaan harus dilakukan, maka hal ini sesegera mungkin dilakukan (ayat 1). Sedangkan ayat 2 menyatakan: “Pendakwaan dapat tidak dilakukan atas dasar kepentingan umum”.Yang terakhir ini adalah asas oportunitas, yang dapat bersifat negatif (pendakwaan adalah asas umum, dan pengecualian dapat atas dasar kepentingan umum)  dan  dapat bersifat positif (hanya mendakwa apabila diharuskan untuk kepentingan umum).Dalam praktek officier van justitie (JPU) di Belanda asas oportunitas yang bersifat positif yang dianut (Lihat,C.P.M. Cleiren dan J.F.Nijboer (1994), Strafvordering – Teks & Commentaar, Kluwer, hlm.350-351 – Lihat juga J.M. van Bemmelen (1982) Ons strafrecht  4 – Strafprocesrecht, Tjeenk Willink, hlm.81 – 89 ).

2)Amerika Serikat terdiri dari sejumlah negara bagian, semua negara bagian punya seorang state Attorney General (selanjutnya AG) dan sejumlah local Prosecutors (Penuntut Umum Lokal – selanjutnya PUL). Merujuk kepada buku Wayne L.Fave dan Jerold H.Israel (1984),Criminal Procedure, St.Paul:West Publishing,Co, maka wewenang menentukan pendakwaan (the decision to prosecute) dan tindakan-tindakan lain selanjutnya (discretionary enforcement, challenges upon Not to prosecute or decision to prosecute dan execution of sentence imposed by trial court) adalah wewenang PUL dan bukan AG (lihat sub-bab 1.3 tentang Variation in Chronology and Personnel – hlm.6 -  Dikatakan a.l. “In most state cases, the prosecuting agency will be the office of the local prosecuting attorney (also called a “district attorney”, “state attorney” or “county attorney”) – Lihat juga bab dan sub-bab The Steps in the Process (hlm.7-20), dan Bab 13 The Decision Whether To Prosecute (hlm.558 – 594).


3)Kesimpulan kesatu :
Tidak ada keseragaman tentang wewenang Lembaga Kejaksaan di Belanda dan di Amerika Serikat - Di Belanda (model Civil Law countries), maka kewenangan untuk mendakwa (the decision to charge) menurut Pasal 167 berada pada OM, dan ada hak oportunitas untuk mendakwa. Dalam praktek, maka mempergunakan hak oportunitas ini, merupakan kewenangan dari Jaksa/Penuntut Umum (officier van justitie) yang menerima berkas perkara penyidikan tersebut, karena Pasal 9 Sv menyatakan bahwa:” Officier van Justitie (JPU) dibebani untuk mendakwa tindak pidana yang diterima oleh pengadilan di mana dia ditempatkan”. Sedangkan undang-undang tersebut menyebut bahwa kewenangan pelaksanaan putusan pengadilan berada pada Lembaga Kejaksaan (openbaar ministerie)[1] dengan pedoman yang dibuat oleh Kementerian Kehakiman (Ministerie van Justitie). Namun dalam praktek tidak selamanya OM yang berwenang, karena dalam hal putusan pengadilan yang bersifat “mengurangi kebebasan seseorang” (vrijheidsbenemendestraffen) dan dalam hal denda-uang (geldboeten), maka terdapat lembaga - lembaga lain (di Kementerian Kehakiman dan di Kementerian Keuangan)  yang menanganinya (Lihat Cleiren, loc.cit. hlm.1107 – 1108).  

Sedangkan di Amerika Serikat (model Common Law countries), maka baik kewenangan mendakwa dan diskresi dalam penegakan hukum merupakan wewenang  Jaksa/Penuntut Umum (local Prosecutor), serta pelaksanaan (eksekusi) putusan pengadilan juga merupakan wewenang JPU dari pengadilan yang bersangkutan.

4)Dominus litis (Vervolgingsmonopolie) – Di Belanda monopoli pendakwaan sepenuhnya berada pada OM (Lembaga Kejaksaan Belanda). Pada dasarnya OM diwakili oleh Officier van Justitie (OvJ) menentukan apakah akan dilakukan pendakwaan atau tidak (ingat hak oportunitas OvJ/JPU Belanda).Adapun asas ini ingin menegaskan bahwa warga masyarakat (burger) tidak mepunyai hak untuk melakukan pendakwaan/penuntutan tersendiri,meskipun berdasarkan Pasal 12 Sv, seorang warga dapat mengajukan keluhan tentang tidak dilakukannya pendakwaan suatu perkara, pada pengadilan dalam daerah hukum di mana putusan tidak melakukan dakwaan dilakukan (Lihat Cleiren op.cit. hlm.22 dan 352).Jadi Dominus Litis, hanya berhubungan dengan pendakwaan/penuntutan dan tidak dengan pelaksanaan putusan pengadilan (J.M van Bemmelen mengatakan dalam hlm.85 : “Officier van Justitie (JPU Belanda) adalah ‘dominus litis’ sampai perkara tersebut diterima dan mulai disidangkan oleh pengadilan” - Pasal 258 ayat 1 Sv“dominus litis” berarti “pemilik pendakwaan perkara” ).

5)Sistem Peradilan Pidana (untuk selanjutnya SPP) dapat dibagi dalam tiga tahapan proses: a)pra-adyudikasi (sebelum sidang pengadilan)– b)adyudikasi (selama sidang pengadilan) – dan c)purna-adyudikasi (setelah sidang pengadilan). Adapun eksekusi putusan pengadilan berada dalam tahap purna-adyudikasi (post-adjuducation) dan karena itu tidak termasuk dalam cakupan asas “Dominus Litus” yang ditafsirkan sebagai “monopoli Kejaksaan di bidang pendakwaan”.
Dalam SPP dikenal adanya konsep “kekuasaan kehakiman” (Belanda: rechterlijke macht) atau “judicial power” yang dilaksanakan oleh “the judiciary” (jajaran hakim pengadilan)  dan “officers of the court”. Dalam bahan pustaka SPP/CJS (criminal justice system) maka yang merupakan “officers of the court” adalah “the judicial police” (polisi reserse – dahulu dalam HIR “pembantu-jaksa”), JPU dan Advokat (ketika memakai Toga di pengadilan membela kliennya). Yang penting bagi kita adalah bahwa JPU yang melakukan tugas di pengadilan adalah bagian dari kekuasaan kehakiman atau “judicial power” dan sebagai “officier van justitie” di Belanda berdiri mandiri dan hanya tunduk pada hakim pengadilan yang bersangkutan dan tidak kepada OM di Belanda (di Indonesia Lembaga Kejaksaan).

6)Kesimpulan kedua:
a.Jaksa/JPU dalam Pasal 1 angka 6 KUHAP adalah bagian dari Kekuasaan Kehakiman dan merupakan officer of the court yang akan melaksanakan perintah Majelis Hakim dari pengadilan di mana dia bertugas;
b.Jaksa/JPU yang diperbantukan pada KPK dan bertugas di Pengadilan TIPIKOR harus melaksanakan perintah dari Majelis Hakim yang bersangkutan, dan karena itu berhak melaksanakan keputusan pengadilan Tipikor atau dengan perkataan lain pelaksanaan putusan pengadilan tipikor yang bersangkutan dilakukan oleh JPU KPK yang bertugas pada waktu itu.
c.Dominus Litis atau monopoli lembaga kejaksaan hanya berlaku untuk pendakwaan dan tidak untuk pelaksanaan putiusan pengadilan.


*Artikel ini disampaikan dalam Focus Group Discussion KPK-RI
Tentang “Kewenangan Jaksa KPK Melakukan Eksekusi”
Jakarta, 22 November 2018

-00O00-






                                   


[1] Openbaar ministerie bukanlah sebuah kementerian, seperti misalnya Kementerian Kehakiman (ministerie van justitie ).

Prof.Dr.Awaloedin Djamin Senior dan Teman Sejawat Mengembangkan Ilmu Kepolisian Indonesia*


A.Perkenalan di Ikatan Mahasiswa Djakarta – IMADA
Pertama kali bertemu dengan Pak Awaloedin adalah pada tahun 1955, sewaktu saya baru menjadi mahasiswa Fakultas Hukum  Universitas Indonesia (FHUI) dan beliau baru lulus dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Perkenalannya adalah pada acara Novitiatus (nama bagus untuk istilah “perploncoaan”) IMADA (Ikatan Mahasiswa Djakarta – sering diplesetkan menjadi Ikatan Mahasiswa Dansa). Beliau adalah salah seorang Pendiri organisasi mahasiswa tersebut, yang merupakan “sempalan” dari organisasi GMD (Gerakan Mahasiswa Djakarta). Teman-teman kumpul beliau di acara-acara IMADA adalah antara lain Ibu Windrati Pringgodigdo (putri Sekretaris Kabinet RI Bapak Karim Pringgodigdo) dan Ibu Pia Alisyahbana (Pendiri Majalah Femina). Mereka juga adalah Pendiri IMADA. Selama menjadi mahasiswa FHUI, saya aktif dalam Badan Pengurus IMADA dan beberapa kali mengikuti rapat Pengurus IMADA,  di mana turut hadir Pak Awal (begitu sapaan kepada beliau), juga waktu beliau sudah menjadi Menteri Tenaga Kerja R.I.


B.Perkenalan di PTIK sebagai Dosen m.k. Kriminologi
Pada tahun 1980 saya diminta oleh Dekan PTIK  untuk memberi pelajaran dalam mata kuliah Kriminologi di sekolah tinggi tersebut. Dekan pada waktu itu adalah Prof.Dr. Harsya W. Bachtiar, sedangkan pada waktu itu Prof.Dr. Awaloedin Djamin adalah Kapolri. Sebagai Kapolri Pak Awal merundingkan dengan Pemerintah untuk menjadikan PTIK suatu perguruan tinggi non-dinas, dan karena itu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menempatkan Pak Harsya untuk membantu transformasi tersebut. Saya sempat mengajar Kriminologi di PTIK (sekarang STIK) sampai tahun 2002, jadi lebih 20 tahun. Pertemuan dengan Pak Awal, hanya pada rapat-rapat Pengajar PTIK, di mana pimpinan rapat dipegang bersama antara Pak Awal dengan Pak Harsya. Pak Awal setelah selesai menjadi Kapolri, kemudian menjadi Dekan PTIK.  Dalam rapat-rapat itu timbul berbagai gagasan untuk menyempurnakan Pendidikan PTIK, khususnya kurikulum (termasuk penyusunan skripsi) dan para dosennya. Banyak tambahan dosen diambil dari UI, tetapi juga dari universitas lain. Pada waktu itu pula timbul gagasan Pak Awal, agar diadakan penelitian untuk memperdalam dan memantapkan pengertian Ilmu Kepolisaian Indonesia sebagai suatu disiplin mandiri. Gagasan itu didukung oleh Pak Harsya yang kemudian menerbitkan buku Ilmu Kepolisian Indonesia pada tahun 1994 Dari rapat-rapat ini pula timbul gagasan lanjutan agar Ilmu Kepolisan Indonesia juga diajarkan melalui suatu program strata-2 dengan lulusan bergelar Magister Ilmu Kepolisian. Pada bulan Desember 1995 Prof.Harsya Bachtiar wafat (dalam usia 61 tahun) setelah beberapa lama menderita sakit ginjal.Gagasan mendirikan Program Magister Ilmu Kepolisian diteruskan melalui sejumlah rapat dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DKTI). Berkat pembicaraan intensif yang telah dilakukan sebelumnya oleh Prof Awal dan Prof Harsya dengan pejabat-pejabat DIKTI, maka pendirian Program Magister Ilmu Kepolisian disetujui. Pembicaraan dengan DKTI menghasilkan keputusan, bahwa program tersebut harus berada di dalam lingkungan suatu universitas dan Universitas Indonesia ditetapkan sebagai tempat bernaungnya program tersebut. Penempatannya di bawah Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, menghasilkan kesepakatan untuk memberikannya nama Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia (Prodi KIK-UI).


C.Perkenalan dalam  Memimpin Prodi Baru Kajian Ilmu Kepolisian
Setahun setelah Pak Harsya wafat, dalam suatu rapat dosen PTIK, saya ditunjuk oleh pak Awal dan teman-teman dosen yang lain untuk memimpin Prodi KIK-UI. Saya mencoba menolak dengan alasan bahwa sepantasnya yang memimpin adalah seorang dari kepolisian agar lebih dapat mendalami perkembangan kurikulumnya. Hal itu ditolak, dengan alasan telah ditentukan juga wakil dari kepolisian untuk mendampingi saya sebagai sekretaris Prodi, yaitu Ibu Kol.Pol.Ida Ayu Suntono, S.IK. Untunglah ada Bu Ida Ayu membantu saya untuk lebih memahami semangat yang ada pada perwira-perwira kepolisian memperdalam dan mengembangkan Ilmu Kepolisian Indonesia. Saya sangat terkejut ketika dalam Angkatan pertama (1996 – 1998) terdapat sejumlah perwira tinggi kepolisian yang sudah pensiun (seperti antara lain Bapak Drs. Suyud Binwahyu dkk), tetapi mereka tetap ingin membantu mengembangkan Pendidikan Ilmu Kepolisian Indonesia. Turut membantu juga adalah Bapak Drs.Kunarto (mantan Kapolri) yang menyumbang terjemahan sekitar 30 buku tentang ilmu kepolisian di luar negeri. Dari Universitas Indonesia saya juga didukung oleh sejumlah gurubesar yang juga seangkatan dengan Pak Awal, seperti Prof.Haryati Subadio, Prof. Saparinah Sadli, Prof.Tapiomas Ihromi, Prof.Mely Tan, dan Prof.Miriam Budiardjo, serta teman-teman seangkatan saya seperti Prof.Budi Santoso, Prof.Sarlito Wirawan, Prof. Parsudi Suparlan, Drs.Momo Kelana,SH dan Dr.Ida Dahsiar. Didalam manajemen keseharian Prodi KIK-UI ini, dengan sekretariat berkantor di Gedung PTIK, maka Pak Awal tetap juga membantu dengan saran dan tindakan. Tentu dalam pengelolaan ini kami (saya dan Bu Ida Ayu) sering menghadapi kesulitan pengelolaan, antara lain soal ruangan kuliah, ruangan perpustakaan, anggota staf, kendaraan penjemputan dosen, mahasiswa,kurikulum  dll. Pak Awal dan teman-teman Bu Ida di Kepolisian selalu siap membantu, sehingga selama 10 tahun (1996 – 2006) kami memegang jabatan itu, tidaklah terlalu merepotkan kami.  Baik dalam tahap pengembangan program magister, maupun dalam lanjutannya ke program doktor Imu Kepolisian Indonesia (telah dihasilkan 10 Doktor Ilmu Kepolisian di Universitas Indonesia – berkat dorongan dan bantuan Prof. Awaludin, Prof. Parsudi Suparlan dan Prof. Sarlito Wirawan), peran Pak Awal sangatlah besar, beliau selalu siap untuk membantu melalui saran-sarannya.  


D.Kesan secara menyeluruh : Seorang yang ramah – tegas dan  visioner
Dari pengalaman saya di atas, maka saya dapat menyimpulkan bahwa Prof.Dr.Awaloedin Djamin adalah seorang yang ramah, tegas dan visioner dan  yang sangat memperhatikan kemajuan sumber daya manusia di kepolisian kita. Dari diskusi-diskusi dalam pengembangan Prodi KIK-UI, Magister dan Doktor, saya terkesan dengan semangat beliau untuk memperjuangkan agar lulusan KIK-UI tidak sekedar jadi “lulusan sekolah kedinasan”, tetapi menjadi “seorang intelektual”. Seorang lulusan yang mempunyai cukup bekal untuk bekerja dengan rasio (dengan “otak” bukan “otot”). Dan seperti dicita-citakan oleh Pak Awal bersama dengan Pak Harsya, perkembangan ilmu kepolisian di Indonesia haruslah berakar pada kenyataan di masyarakat dan kebudayaan Indonesia dan sesuai dengan masalah-masalah di lapangan yang dihadapi polisi di Indonesia.

Dengan mengambil contoh Prof.Dr. Awaloedin Djamin, yang kebetulan saya kenal cukup dekat dalam pengembangan Ilmu Kepolisian Indonesia, maka saya membayangkan bahwa “polisi intelektual”, yang akan dihasilkan dari Prodi KIK-UI, mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:
1)Mempunyai intelgensia yang tinggi dengan melihat visi ke depan dan bersedia menerima pemikiran dan gagasan baru (intelligent and creative);
2)Bersedia untuk bertanggungjawab penuh dalam mengambil keputusan dan kebijakan yang penting (responsible and accountable);
3)Mempunyai kemahiran dalam berkomunikasi (lisan dan tulisan) dan melakukan negosiasi (communicative and open to reason).

Ciri-ciri di atas saya simak dari kepribadian Pak Awal, Senior dan Teman Sejawat saya dalam usaha mengembangkan Ilmu Kepolisian Indonesia.-

* Artikel ini ditulis di Jakarta,21 Juli 2017  < Innalilahi wainnailaihi raajiuun – Prof Awaloedin wafat 31 Januari 2019 Pukul 15:00 dan keesokan harinya dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata Jakarta dengan Upacara Kebesaran Kepolisian Indonesia >