A.Perkenalan di Ikatan
Mahasiswa Djakarta – IMADA
Pertama kali bertemu dengan Pak Awaloedin adalah pada
tahun 1955, sewaktu saya baru menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) dan beliau baru
lulus dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Perkenalannya adalah pada
acara Novitiatus (nama bagus untuk istilah “perploncoaan”) IMADA (Ikatan
Mahasiswa Djakarta – sering diplesetkan menjadi Ikatan Mahasiswa Dansa). Beliau
adalah salah seorang Pendiri organisasi mahasiswa tersebut, yang merupakan
“sempalan” dari organisasi GMD (Gerakan Mahasiswa Djakarta). Teman-teman kumpul
beliau di acara-acara IMADA adalah antara lain Ibu Windrati Pringgodigdo (putri
Sekretaris Kabinet RI Bapak Karim Pringgodigdo) dan Ibu Pia Alisyahbana
(Pendiri Majalah Femina). Mereka juga adalah Pendiri IMADA. Selama menjadi
mahasiswa FHUI, saya aktif dalam Badan Pengurus IMADA dan beberapa kali mengikuti
rapat Pengurus IMADA, di mana turut
hadir Pak Awal (begitu sapaan kepada beliau), juga waktu beliau sudah menjadi
Menteri Tenaga Kerja R.I.
B.Perkenalan di PTIK
sebagai Dosen m.k. Kriminologi
Pada tahun 1980 saya diminta oleh Dekan PTIK untuk memberi pelajaran dalam mata kuliah
Kriminologi di sekolah tinggi tersebut. Dekan pada waktu itu adalah Prof.Dr. Harsya
W. Bachtiar, sedangkan pada waktu itu Prof.Dr. Awaloedin Djamin adalah Kapolri.
Sebagai Kapolri Pak Awal merundingkan dengan Pemerintah untuk menjadikan PTIK
suatu perguruan tinggi non-dinas, dan karena itu Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan menempatkan Pak Harsya untuk membantu transformasi tersebut. Saya
sempat mengajar Kriminologi di PTIK (sekarang STIK) sampai tahun 2002, jadi
lebih 20 tahun. Pertemuan dengan Pak Awal, hanya pada rapat-rapat Pengajar
PTIK, di mana pimpinan rapat dipegang bersama antara Pak Awal dengan Pak
Harsya. Pak Awal setelah selesai menjadi Kapolri, kemudian menjadi Dekan PTIK. Dalam rapat-rapat itu timbul berbagai gagasan
untuk menyempurnakan Pendidikan PTIK, khususnya kurikulum (termasuk penyusunan skripsi)
dan para dosennya. Banyak tambahan dosen diambil dari UI, tetapi juga dari
universitas lain. Pada waktu itu pula timbul gagasan Pak Awal, agar diadakan
penelitian untuk memperdalam dan memantapkan pengertian Ilmu Kepolisaian
Indonesia sebagai suatu disiplin mandiri. Gagasan itu didukung oleh Pak Harsya
yang kemudian menerbitkan buku Ilmu Kepolisian Indonesia pada tahun 1994 Dari
rapat-rapat ini pula timbul gagasan lanjutan agar Ilmu Kepolisan Indonesia juga
diajarkan melalui suatu program strata-2 dengan lulusan bergelar Magister Ilmu
Kepolisian. Pada bulan Desember 1995 Prof.Harsya Bachtiar wafat (dalam usia 61
tahun) setelah beberapa lama menderita sakit ginjal.Gagasan mendirikan Program
Magister Ilmu Kepolisian diteruskan melalui sejumlah rapat dengan Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi (DKTI). Berkat pembicaraan intensif yang telah
dilakukan sebelumnya oleh Prof Awal dan Prof Harsya dengan pejabat-pejabat
DIKTI, maka pendirian Program Magister Ilmu Kepolisian disetujui. Pembicaraan
dengan DKTI menghasilkan keputusan, bahwa program tersebut harus berada di dalam
lingkungan suatu universitas dan Universitas Indonesia ditetapkan sebagai
tempat bernaungnya program tersebut. Penempatannya di bawah Program Pasca
Sarjana Universitas Indonesia, menghasilkan kesepakatan untuk memberikannya
nama Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia (Prodi KIK-UI).
C.Perkenalan dalam Memimpin Prodi Baru Kajian Ilmu Kepolisian
Setahun setelah Pak Harsya wafat, dalam suatu rapat
dosen PTIK, saya ditunjuk oleh pak Awal dan teman-teman dosen yang lain untuk
memimpin Prodi KIK-UI. Saya mencoba menolak dengan alasan bahwa sepantasnya
yang memimpin adalah seorang dari kepolisian agar lebih dapat mendalami
perkembangan kurikulumnya. Hal itu ditolak, dengan alasan telah ditentukan juga
wakil dari kepolisian untuk mendampingi saya sebagai sekretaris Prodi, yaitu
Ibu Kol.Pol.Ida Ayu Suntono, S.IK. Untunglah ada Bu Ida Ayu membantu saya untuk
lebih memahami semangat yang ada pada perwira-perwira kepolisian memperdalam
dan mengembangkan Ilmu Kepolisian Indonesia. Saya sangat terkejut ketika dalam
Angkatan pertama (1996 – 1998) terdapat sejumlah perwira tinggi kepolisian yang
sudah pensiun (seperti antara lain Bapak Drs. Suyud Binwahyu dkk), tetapi
mereka tetap ingin membantu mengembangkan Pendidikan Ilmu Kepolisian Indonesia.
Turut membantu juga adalah Bapak Drs.Kunarto (mantan Kapolri) yang menyumbang
terjemahan sekitar 30 buku tentang ilmu kepolisian di luar negeri. Dari
Universitas Indonesia saya juga didukung oleh sejumlah gurubesar yang juga
seangkatan dengan Pak Awal, seperti Prof.Haryati Subadio, Prof. Saparinah
Sadli, Prof.Tapiomas Ihromi, Prof.Mely Tan, dan Prof.Miriam Budiardjo, serta
teman-teman seangkatan saya seperti Prof.Budi Santoso, Prof.Sarlito Wirawan,
Prof. Parsudi Suparlan, Drs.Momo Kelana,SH dan Dr.Ida Dahsiar. Didalam
manajemen keseharian Prodi KIK-UI ini, dengan sekretariat berkantor di Gedung
PTIK, maka Pak Awal tetap juga membantu dengan saran dan tindakan. Tentu dalam
pengelolaan ini kami (saya dan Bu Ida Ayu) sering menghadapi kesulitan
pengelolaan, antara lain soal ruangan kuliah, ruangan perpustakaan, anggota
staf, kendaraan penjemputan dosen, mahasiswa,kurikulum dll. Pak Awal dan teman-teman Bu Ida di
Kepolisian selalu siap membantu, sehingga selama 10 tahun (1996 – 2006) kami memegang
jabatan itu, tidaklah terlalu merepotkan kami. Baik dalam tahap pengembangan program
magister, maupun dalam lanjutannya ke program doktor Imu Kepolisian Indonesia
(telah dihasilkan 10 Doktor Ilmu Kepolisian di Universitas Indonesia – berkat
dorongan dan bantuan Prof. Awaludin, Prof. Parsudi Suparlan dan Prof. Sarlito
Wirawan), peran Pak Awal sangatlah besar, beliau selalu siap untuk membantu
melalui saran-sarannya.
D.Kesan secara
menyeluruh : Seorang yang ramah – tegas dan
visioner
Dari pengalaman saya di atas, maka saya dapat
menyimpulkan bahwa Prof.Dr.Awaloedin Djamin adalah seorang yang ramah, tegas
dan visioner dan yang sangat
memperhatikan kemajuan sumber daya manusia di kepolisian kita. Dari
diskusi-diskusi dalam pengembangan Prodi KIK-UI, Magister dan Doktor, saya
terkesan dengan semangat beliau untuk memperjuangkan agar lulusan KIK-UI tidak
sekedar jadi “lulusan sekolah kedinasan”, tetapi menjadi “seorang intelektual”.
Seorang lulusan yang mempunyai cukup bekal untuk bekerja dengan rasio (dengan
“otak” bukan “otot”). Dan seperti dicita-citakan oleh Pak Awal bersama dengan
Pak Harsya, perkembangan ilmu kepolisian di Indonesia haruslah berakar pada
kenyataan di masyarakat dan kebudayaan Indonesia dan sesuai dengan
masalah-masalah di lapangan yang dihadapi polisi di Indonesia.
Dengan mengambil contoh Prof.Dr. Awaloedin Djamin, yang
kebetulan saya kenal cukup dekat dalam pengembangan Ilmu Kepolisian Indonesia,
maka saya membayangkan bahwa “polisi intelektual”, yang akan dihasilkan dari
Prodi KIK-UI, mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:
1)Mempunyai intelgensia yang tinggi dengan melihat
visi ke depan dan bersedia menerima pemikiran dan gagasan baru (intelligent and creative);
2)Bersedia untuk bertanggungjawab penuh dalam
mengambil keputusan dan kebijakan yang penting (responsible and accountable);
3)Mempunyai kemahiran dalam berkomunikasi (lisan dan
tulisan) dan melakukan negosiasi (communicative
and open to reason).
Ciri-ciri di atas saya simak dari kepribadian Pak
Awal, Senior dan Teman Sejawat saya dalam usaha mengembangkan Ilmu Kepolisian
Indonesia.-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar