Kamis, 18 Oktober 2018

Harapan Untuk Kriminologi Indonesia


HARAPAN UNTUK KRIMINOLOGI INDONESIA
(Suatu Uraian Singkat untuk Diskusi)
oleh MARDJONO REKSODIPUTRO[1]


Pengantar
Tulisan ini lebih merupakan cukilan sejarah singkat dengan beberapa pemikiran “kasar”  dan tidak berpretensi bersifat ilmiah-akademik. Yang menarik perhatian saya adalah tiga hal: 1) Dipergunakannya istilah “Kriminologi Indonesia”; 2) Adanya rencana membentuk  Asosiasi Cendekia Kriminologi Indonesia”; dan 3) Akan dilakukannya suatu “Deklarasi Asosiasi Program Studi Kriminologi Indonesia”. Mudah-mudahan tulisan ini dapat memberi masukan untuk ketiga hal tersebut.

Saya akan mulai dengan sekelumit sejarah untuk menjadi latar belakang dari tulisan ini. Orang bijak mengatakan:
“Keadaan hari ini adalah akibat perkembangan masa lalu, dan apa yang kita lakukan sekarang akan menentukan masa depan”.

Masa lalu: Membangun Ilmu Pengetahuan Baru
1)Ketika saya mulai menjadi mahasiswa FH dan IPK UI (tahun 1955), sudah ada Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia - LKUI (warisan Universiteit van Indonesia). Lembaga ini dulunya bernama Criminologisch Instituut (CI) dan merupakan lembaga multi-disiplin (bertemunya tiga ilmu pengetahuan) berisi Guru Besar/ para ahli  dari Kedokteran Forensik, Kimia dan Alam Forensik (Kriminalistik), Hukum Pidana dan Kriminologi. LKUI (CI) didirikan tahun 1948 – dan pada tahun 1988 berganti nama menjadi Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Center for Justice and the Rule of Law)[2]. Lembaga ini ditutup oleh Pimpinan UI pada tahun 2006.  Gedung baru dibangun di Kampus UI Salemba pada tahun 1977 (empat tingkat) dan sekarang diserahkan kepada FISIP-UI dengan diberi nama Gedung “Mardjono Reksodiputro” (4 April 2009).

2)LKUI menjadi tempat lahirnya Jurusan Kriminologi dan Jurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial - UI. Pendekatan awal di kedua jurusan ini dapat dinamakan pendekatan “bio-sosiologis”. Untuk kriminologi, pendekatan ini adalah seperti digambarkan oleh Jan Remmelink :”… tanpa ada kecenderungan lahiriah tertentu, kejahatan tidak mungkin muncul …(dan) … diterima pula bahwa tanpa adanya situasi kondisi yang memungkinkan, kecenderungan a-sosial tidak mungkin berkembang menjadi suatu perbuatan” (lihat Jan Remmelink,2003:36). Karena itu dalam kurikulum awal Jurusan Kriminoligi terdapat mata kuliah a.l.  “Antropo-biologi,” “Psikiatri Forensik’ dan “Psikologi Forensik”. Bapak Paul Moedikdo, SH (wafat pada tahun 2016 di Belanda), pemrakarsa dan pendiri Jurusan Kriminologi membawa pemikiran dari pendekatan bio-sosiologis ini menjadi suatu teori yang dinamakannya “teori dialog”[3]

3)Matakuliah Pengantar Kriminologi di FHUI sudah ada sebagai warisan dalam kurikulum Faculteit der Rechtgeleerdheid en Sociale Wetenschappen (kemudian jadi Fakultet Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan – FH & IPK - 1950). Merupakan matakuliah tambahan bagi mereka yang mengambil Jurusan Hukum Pidana, dan dianggap sebagai  ilmu pengetahuan pembantu untuk ilmu Hukum Pidana. Oleh Prof. J.M.van Bemmelen dinamakannya sebagai “a king without a country”. Mengikuti pendekatan warisan Hindia Belanda ini, maka matakuliah Pengantar Kriminologi diajarkan di semua fakultas-fakultas hukum negeri  dan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).

4)Dari tahun 1950-an sampai tahun 1980-an, maka buku-buku kriminologi yang banyak dipergunakan di Fakultas Hukum (baik di Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Diponegoro, Universitas Gajah Mada dan Universitas Airlangga) serta PTIK,  adalah buku-buku antara lain dari: W.M. Noach, W.A. Bonger, Edwin Sutherland & D.R.Cressey, J.M.van Bemmelen (yang dapat dikategorikan sebagai pandangan “konservatif”), dan kemudian antara lain Howard S.Becker, Richard Quinney, Tonny Platt, serta W.J.Chambliss & R.B.Seidman (yang merupakan representasi pendekatan “liberal” dan sering juga dicap “marxis”). Menurut saya pengaruh Bonger di Indonesia terutama terlihat pada keyakinan kuatnya pengaruh faktor ekonomi dalam timbulnya kejahatan dan pandangan Sutherland telah  membawa pengertian tentang adanya proses belajar dalam berkenalan dengan kejahatan. Tidak boleh dilupakan juga antara lain: pengaruh Thorsten Sellin (culture conflict), Marvin Wolfgang (culture of violence), Merton (anomie), Cohen (delinquent subculture), Cloward & Ohlin (illegitimate opportunity structure), Matza (delinquency and drift), Shaw & McKay (ecological studies – delinquency areas in the city – rural urban differences), Clemmer & Sykes (prisons as schools of crime), dan Cressey (professional criminals).

5)Dalam perkuliahan Pengantar Kriminologi saya (1967 – 1997) di FHUI dan PTIK , maka pendekatan-dasar saya adalah melalui (yang  saya namakan) “tiga-mashab besar”. Pertama, Mashab Klasik (Beccaria) dengan modifikasi oleh Mashab Neo-Klasik (Code Penal Perancis 1819) – Kedua, Mashab Positivis (Lombroso, 1835 – 1909)) sebagai awal pemikiran ilmiah kriminologi tentang sebab-musabab kejahatan – Ketiga, Mashab Kritikal (Critical Criminology), yang dimulai dengan perspektif interaksionis (Becker, dengan labelling approach to crime - 1963) dan yang kemudian berkembang menjadi “sociology of conflict” (Quinney - 1970; Chambliss & Seidman – 1971; dan Taylor, Walton & Young - 1973). Untuk selanjutnya silakan lihat pada makalah saya di Seminar Nasional Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (Mardjono Reksodiputro 2015: 2-5 – disampaikan sebagai bahan bacaan tambahan dalam Simposium ini ).   


Masa Sekarang : Politik Hukum dalam Penegakan Hukum
6)-Kriminologi harus dapat berperan dalam Pemerintah menetapkan politik hukum khusus dalam bidang penegakan hukum. Dengan istilah penegakan hukum saya melihatnya dalam rangka proses yang terjadi dalam sistem peradilan pidana (SPP). Kalau melihat pada berita di media massa dengan laporan kepolisian, maka diperkirakan kejahatan di Indonesia meningkat drastis. Apakah hal ini benar atau keliru merupakan wilayah penelitian kriminologi. Sudah lama (sejak tahun 1971)  saya mengusulkan agar statistik kejahatan di Indonesia disempurnakan, kurang lebih meniru apa yang dilakukan di negara-negara maju (a.l. Amerika Serikat), namun menurut saya hal ini tidak juga dilakukan (Mardjono Reksodiputro, 1997a: 9-27).[4] Tetapi yang sekarang populer diberitakan di media massa adalah kejahatan korupsi dan kejahatan narkoba. Politik atau kebijakan hukum pidana mengenai kedua kejahatan ini menarik untuk diperhatikan oleh para peneliti Kriminologi Indonesia maupun peneliti Hukum Pidana. Pertanyaan yang sangat mendasar yang diajukan umum adalah: Mengapa hukuman yang berat yang diberikan kepada mereka yang tertangkap dan dinyatakan bersalah sebagai penjahat korupsi dan penjahat narkoba, tidak menurunkan angka kejahatan ?  Bukankah teori simple deterrence mengatakan bahwa: “ancaman pidana berat, diikuti oleh pelaksanaan pidana berat tersebut”, akan membuat calon-pelaku kejahatan mengurungkan niatnya (causing a change of heart). Teori ini sudah dianut oleh Beccaria (to instil fear in other men) dan Bentham (intimidation or terror of the law) (Zimring & Hawkins, 1973:75-77). Inilah teori klasik yang juga dianut di Indonesia, “berilah hukuman yang setimpal” (just desert), karena para pejabat penegak hukum  kita berpendirian bahwa manusia itu punya “free will” dan bersifat “rasional” serta “hedonistik”.[5] Masalah penelitian Hukum Pidana dan penelitian Kriminologi Indonesia adalah: Apakah Indonesia telah meninggalkan Konsep “Pemasyarakatan Terpidana” dan memilih konsep “Pembalasan” dalam politik kriminal untuk kejahatan korupsi dan kejahatan narkoba ?

7)-Konsep Pemasyarakatan Terpidana sangat erat kaitannya dengan kondisi Lembaga Pemasyarakatan (LaPas) kita. Sudah sering kita dengar laporan tentang kelebihan penghuni di berbagai LaPas, yang antara lain menyebabkan “perkelahian”, “pemberontakan” dan “pelarian” narapidana (napi). Yang sering dijadikan isyu dalam pembicaraan tentang “kelebihan penghuni LaPas” adalah banyaknya pelanggar delik narkoba di dalam LaPas, padahal konsep “pemasyarakatan napi” dan ketentuan UU Narkoba memungkinkan mereka dibina di luar LaPas (kesempatan “rehabilitasi” di Panti-Panti yang disediakan). Tetapi mengapa banyak yang masih dihukum” penjara dalam LaPas yang sudah “over crowded” ? [6] Kalau benar bahwa yang tertinggal di dalam LaPas adalah pecandu (pengguna narkoba) yang tidak-mampu-membayar biaya rehabilitasi, maka perlu dikaji mengapa diskriminasi yang terjadi seperti ini tidak pernah diberitakan dalam media massa ? Yang tentunya juga menarik diteliti oleh para Kriminolog adalah bagaimana pertanggungjawaban Pimpinan LaPas atas berita media massa bahwa banyak peredaran ilegal narkoba di masyarakat diatur dari dalam LaPas (melalui ponsel dan kurir). Hampir tidak ada “gebrakan pembersihan” ke dalam organisasi intern LaPas. Istilah impunity mungkin dapat dijelaskan dengan contoh ini. Bukankah ini menarik diteliti oleh ahli Kriminologi Indonesia ?

8)-Akhir-akhir ini kita membaca di media massa tentang tertembaknya atau ditembaknya terduga kejahatan, ada yang terduga pelanggaran delik narkoba dan ada pula yang terduga anggota organisasi terorisme atau ajaran radikalisme yang dilarang. Dengan meningkatnya penggunaan internet di Indonesia, maka akan mudah bagi para bandar narkoba mengatur perdagangan narkoba illegal mereka. Begitu juga bagi kelompok-kelompok yang mengajarkan paham-paham radikal dan bermusuhan dengan kebijakan pemerintah, maka aplikasi teknologi informasi (TI) mempermudah kegiatan mereka. Namun kecanggihan penggunaan TI juga dipunyai oleh aparat penegak hukum kita, untuk mempermudah pelacakan kegiatan-kegiatan yang ilegal. Contoh yang paling sering kita dengar atau baca adalah penangkapan oknum (-oknum) yang melakukan transaksi ilegal korupsi/penyuapan pejabat (dikenal sebagai OTT = Operasi Tangkap- Tangan). Dugaan saya adalah, bahwa kecanggihan (penyadapan) petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan transaksi ilegal korupsi, juga dipunyai oleh petugas Badan Anti-Narkoba maupun petugas Badan  Anti-Teror. Namun, yang berbeda adalah bahwa petugas KPK tidak terdengar menembak seorang Terduga Kejahatan Korupsi. Berbeda dengan petugas Anti-Narkoba dan Anti-Teror, yang agak sering kita baca di Media Massa, menembak mati seorang Terduga kejahatan yang melarikan diri dari penangkapan (yang akan ditangkap atau telah ditangkap). Yang juga meresahkan saya adalah bahwa Kapolri telah “merestui” penembakan ini (meskipun dengan dalih, “kalau melawan”). Keinginan massa agar koruptor dihukum mati (dengan alasan agar seperti di China-RRT) dan membiarkan ditembak matinya terduga bandar narkoba dan terduga anggota organisasi teror, menimbulkan pertanyaan: sudah sedemikian kritiskah kejahatan-kejahatan tersebut sehingga menimbulkan situasi “fear of crime” dalam masyarakat dengan akibat “zero tolerance” ?  Pertanyaan untuk peneliti Kriminologi Indonesia: apakah masyarakat Indonesia telah menjadi masyarakat yang punitive (gemar menghukum-keras) ?[7] 


Masa Yang Akan Datang:
9)-Dalam membangun Asosiasi Cendekia Kriminologi Indonesia, kita dapat mencontoh keberhasilan komunitas-ilmiah/profesi bidang Ekonomi dan komunitas-ilmiah/profesi bidang Kesehatan. Sepanjang pengetahuan saya, di Indonesia,  kedua asosiasi-ilmiah ini yang paling “bersatu” dan mempunyai jaringan kuat diantara para anggotanya, baik di kalangan profesi maupun akademisi. Begitu pula hubungan asosiasi dengan para pembuat keputusan kebijakan (policy decision makers) tingkat nasional maupun daerah terlihat cukup erat.[8] Dengan latar belakang seperti itu, maka dalam penyusunan kebijakan dan peraturan di bidang mereka masing-masing terlihat adanya kestabilan dan keselarasan. Sebaiknya Asosiasi Cendekia Kriminologi Indonesia (ACKI) meniru kedua asosiasi tersebut di atas.

10)-Para ahli Kriminologi Indonesia sudah waktunya menyadarkan para ahli Hukum Pidana Indonesia akan adanya tiga prinsip (golden rules) yang perlu diikuti dalam merumuskan perbuatan-perbuatan tertentu menjadi terlarang dan diancam pidana:
a)hukum pidana hanya dapat dipergunakan untuk menegaskan ataupun menegakkan kembali nilai-nilai sosial dasar (basic social values) hidup bermasyarakat dalam negara Indonesia – nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi negara Pancasila tentunya adalah penting disini;
b)namun demikian hukum pidana sedapat mungkin juga hanya dipergunakan dalam keadaan dimana cara lain melakukan pengendalian sosial (social control) tidak atau belum efektif (ingat asas: ultimum remedium), karena itu harus dihindari kriminalisasi yang berlebihan;
c)dalam menggunakan hukum pidana sesuai dengan kedua prinsip di atas, haruslah diusahakan dengan sungguh-sungguh bahwa caranya seminimal  mungkin mengganggu hak dan kebebasan individu. Tentu saja tanpa mengurangi perlindungan kolektif masyarakat Indonesia yang demokratis dan modern (untuk itu perlu diperhatikan Bab XA dalam konstitusi kita).-   


Kesimpulan
Uraian diatas ingin menyimpulkan bahwa para akademisi  atau para ilmuwan di bidang Kriminologi dapat memegang peranan penting dalam pembuatan putusan-kebijakan (policy decision making) dalam proses SPP. Menurut saya, untuk itu mereka harus bekerja sama dengan para ahli hukum pidana (akademisi, ilmuwan dan praktisi) membangun konsensus bilamana berhadapan dengan tantangan menyusun politik kriminal yang efektif dan manusiawi. Mungkin kita dapat belajar dari model-model penyusunan kebijakan di bidang Ekonomi dan kebijakan di bidang Kesehatan (di Indonesia), yang telah sukses membuat model-model mereka berpengaruh dalam pembuatan putusan kebijakan. Cara mereka (menurut saya) adalah membangun jaringan antar para anggota komunitas-ilmiah (scientific community ) dengan para pembuat kebijakan (policy makers) di pemerintahan.  

--00O00—


Disampaikan dalam Simposium Nasonal Kriminologi Indonesia I
Auditorium Juwono Sudarsono, Kampus FISIP Universitas Indonesia
Pada tanggal 19 September 2018





DAFTAR PUSTAKA (sebagai bagian rujukan untuk penelitian Kriminologi Indonesia yang akan datang)
1-Cohen, Albert, Alfred Lindesmith, Karl Schuessler (1956), The Sutherland Papers, Bloomington: Indiana University Press.

2-Findlay, Mark & Ugljesa Zvekic (1993), Alternative Policing Styles-Cross Cultural Perspectives, UN Interregional Crime and Justice Research Institute, Deventer: Kluwer Law and Taxation Publishers – lihat Chapter 3: Community-Oriented Policing in Urban Indonesia (Mardjono Reksodiputro dan Yanti Purnianti).

3-Golose, Petrus Reinhard (2008), Seputar Kejahatan Hacking-Teori dan Studi Kasus,Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.
4 - -----------------------------------  (2015), Invasi Terorisme Ke Cyberspace, Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.

5-Han Bing Siong (1998), The Japanese Occupation of Indonesia and the Administration of Justice-Myths and Realities, KITLV (Overdruk), Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia and Oceania.
  
6-Hazewinkel-Suringa (1953), Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Strafrecht, Haarlem: Tjeenk Willink & Zoon N.V.

7-Kurniasari, Anne Safrina (2012), Kriminalisasi Penyiksaan oleh Pejabat Publik Sebagai Konsekuensi Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan Di Indonesia, Ringkasan Disertasi, Jakarta: Pascasarjana FH Universitas Indonesia.

8-Miller,Daniel & Don Slater (2003), The Internet - An Ethnographic Approach, Oxford:Berg.

9-Mustofa,Muhammad (2010), Kriminologi-Kajian Sosiologi Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang dan Pelanggaran Hukum, Edisi Kedua, Bekasi:Sari Ilmu Pratama.

10-Ota,Tatsuya, Editor (2003), Victims and Criminal Justice – Asian Perspective, Tokyo: Keio University – Lihat: Chapter 4: Victimization in Indonesia: An Expensive Lesson (Mardjono Reksodiputro dan Mudzakkir); dan Chapter 5: Protection of Female Victim of Violence in Indonesia (Purnianti).

11-Reksodiputro,Mardjono (1997a), Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Buku Kedua, Jakarta: Lembaga Kriminologi UI.
12- ------------------------------- (1997b), Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Buku Ketiga, Jakarta: Lembaga Kriminologi UI.
13- ------------------------------- (2009), Menyelaraskan Pembaruan Hukum, Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia.
14- ------------------------------ (2015), “Politik Hukum dalam Bidang Penegakan Hukum – Keynote Address”, Seminar Nasional Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya.

15-Remmelink,Jan (2003), Hukum Pidana – Komentar atas pasal-pasal terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Terjemahan Tristam Pascal Moeliono, Sh.LLM. dkk, Jakarta:PT.Gramedia Pustaka Utama.

16-Smartt,Ursula (2009), Law For Criminologist – A Practical Guide, London: Sage.

17-Zimring,Franklin E & Gordon J.Hawkins (1973), Deterrence – The Legal Threat in Crime Control, Chicago: The University of Chicago Press.  


[1] Asisten Mahasiswa pada Lembaga Kriminologi UI (LKUI), 1959; Sarjana Hukum UI 1961, MA in Criminology Univ.Pennsylvania 1967, Gurubesar Tetap dalam Ilmu Hukum UI 1993 – Ketua Peminatan Sistem Peradilan Pidana PPS-UI (sekarang); Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum (PMIH) Unv.Pancasila (sekarang) -  Pernah menjadi:  Ketua LKUI – PuDek 3 FIS-UI – Ses Kons.Ilmu Sosial – Ses Kons Ilmu Hukum (KIH) – Ketua PDH FHUI – Ketua Panitia Penyusunan KUHP Nasional - Dekan FHUI – Ketua Kajian Ilmu Kepolisian (KIK) UI - Ses Komisi Hukum Nasional (KHN) RI -   Anggota Board ASEAN Law Association (ALA) – Anggota Board Asia Crime Prevention Foundation (ACPF). 
[2] Ini adalah salah satu lembaga kriminologi tertua di dunia, baru tahun 1965  Prof. Leon Radzinowicz (University of Cambridge) menulis buku The Need For Criminology – and A Proposal for an Institute of Criminology, London: Heinemann, khususnya hlm. 80 – 90.
[3] Sayang pemikirannya tentang teori dialog tidak pernah dituliskan secara detil dan lengkap, hanya di dalam kuliah dan ceramah-ceramahnya (antara lain untuk konsep Bantuan Hukum Struktural) terdapat sedikit keterangan tentang bagaimana teori ini. Lihat juga, Mas Achmad Santosa dan Henny Supolo (2012), Verboden Voor Honden En Inlanders Dan Lahirlah LBH – Catatan 40 Tahun Pasang Surut Keadilan, Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, hal.158 dst-nya  dan  hal.323 dst-nya.
[4] Statistik Kejahatan/Kriminal memang dipergunakan untuk menghitung kejahatan yang terjadi-namun perlu diingat bahwa yang tercatat hanyalah yang dilaporkan dan diketahui oleh Polisi. Banyak yang tidak dilaporkan dan menjadi dark number in criminal statistics (misalnya perkosaan atau penipuan oleh perusahaan Umroh). Menghitung perbandingan antar-tahun atau antar-tempat juga harus memperhatikan jumlah, jenis dan umur penduduk. Untuk menguji kebenaran statistik kriminal yang diperoleh, perlu juga dilakuan victim surveys. 
[5] Keinginan menghukum mati pelaku Korupsi dan pelaku Narkoba sering “terdengar” di Media Massa, a.l. yang menarik adalah pemberatan pidana oleh Hakim Agung dan penolakan grasi oleh Presiden untuk terhukum mati bandar delik narkoba.   
[6] Secara keliru untuk menunjukkan “kelebihan-penghuni” di LaPas dipergunaka istilah “over capacity” – ini berarti LaPas-nya yang “kelebihan-ruangan” – seharusnya istilah yang benar adalah over crowded- ada pendapat yang mengatakan bahwa biaya rehabilitasi yang mahal menyebabkan hanya mereka dari keluarga mampu saja yang dapat mengongkosi kerabatnya yang “kecanduan narkoba”, sehingga yang tertinggal di LaPas adalah mereka yang berasal dari keluarga miskin.
[7] Masyarakat Indonesia telah pernah mengalami situasi “zero tolerance” karena “fear of crime”, yaitu keadaan yang kemudian dikenal sebagai “Petrus” (Penembakan Misterius) dan diakui oleh Presiden Suharto, Pangab/Pangkopkamtib Jenderal LB Murdani, Panglima Kopkamtib Sudomo dan Kaskopkamtib Jenderal Widjojo Soejono. Kegiatan operasi ini dimulai awal tahun 1984 di Jogjakarta dibawah komando Dandim 0734 Garnizun Yogyakarta Letkol CZI Moch.Hasbi.
[8] Pujian saya kepada kedua asosiasi ini memang relatif dan subyektif serta tidak terlepas dari kekecewaan saya kepada asosiasi para ahli hukum dan praktisi hukum (advokat dan notaris) yang tidak dapat menjaga kode etik profesi mereka dan terpecah menjadi beberapa organisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar