Senin, 21 November 2016

Reformasi Hukum Jokowi



NOTABENE


REFORMASI HUKUM JOKOWI*

Kantor Staf Presiden RI yang dikomandoi oleh Teten Masduki menerbitkan sebuah buku tebal 510 halaman yang memuat juga berbagai foto kegiatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kala (JK). Sangat impresif dalam menjelaskan kegiatan Negara dalam buku berjudul: “2 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK, Akselerasi Mewujudkan Indonesia Sentris”. Banyak kegiatan di bidang pembangunan ekonomi dan politik diuraikan secara cukup rinci masalahnya dan tujuannya. Memang suatu laporan kemajuan ekonomi yang dapat dianggap cukup meyakinkan !

Tetapi bagaimana dengan pembangunan di bidang hukum, yang merupakan pelaksanaan dari NAWACITA butir ke-4 program pemerintahan Jokowi-JK, yaitu; Reformasi Sistem dan Penegakan Hukum, Bebas Korupsi, Bermartabat dan Terpercaya ?” Rupanya dalam laporan kegiatan dua tahun ini, pembangunan bidang hukum terdapat dalam Bab-4 yang berjudul: “Reformasi Birokrasi dan Perundangan” (hal.126 – 192) dan laporannya terutama berkisar pada kegiatan:pembangunan E-Government a.l. melalui kegiatan Kemdagri menyusun suatu sistem Perda Elektronik, menderegulasi Perda Diskriminatif dan yang tidak Pancasilais, serta mempercepat program reformasi regulasi terutama untuk 42 ribu jenis Perda yang menghambat investasi. Kalau dipandang dari segi pembangunan ekonomi dan politik, maka yang direformasi dalam pembangunan hukum disini adalah (hanya) pembangunan hukum untuk menopang ekonomi digital.

Cukupkah ini kalau dibandingkan dengan program pembangunan ekonomi yang terdiri dari berbagai macam paket reformasi ekonomi ? Tentu kita sepakat bahwa hal ini belum cukup ! Meskipun memang ada reformasi di bidang perundang-undangan,khususnya yang menyangkut hambatan terhadap investasi ekonomi, namun bagaimana dengan reformasi birokrasi ? Tidaklah cukup untuk mengatakan bahwa dengan e-government juga akan terjadi reformasi di bidang birokrasi. Kekeliruan ini kemudian juga disadari oleh Presiden dengan mengganti Menteri PAN-RB pada waktu perombakan kabinet 27 Juli 2016 !

Jadi apa yang sebenarnya diinginkan oleh Presiden untuk mengoperasionalkan NAWACITA butir ke-4 di atas ? Kalau merujuk kepada laporan kinerja dua tahun di atas, maka terlihat adanya “Enam Masalah Pokok Kabinet Kerja” ini. Dan dalam uraian permasalahan yang perlu diselesaikan terdapat antara lain: tugas ke-3 berupa reformasi hukum dengan fokus kepada penegakan dan kepastian hukum, tugas ke-5 menanggulangi terorisme dan narkoba illegal, serta mungkin tugas ke-4 yaitu melaksanakan amnesti pajak, dengan semboyannya: ungkap-tebus-lega. Pertanyaan kalangan hukum adalah, apakah hanya ini yang merupakan program kerja pemerintahan Jokowi-JK untuk reformasi hukum, yang masih akan dilanjutkan dalam dua tahun yang akan datang ?

Rupanya masih ada dokumen lain yang (mungkin) menggambarkan apa yang ingin dilaksanakan dalam sisa dua tahun ke depan. Dokumen dengan logo #KERJANYATA mempunyai topik khusus Reformasi Hukum yang dirumuskan sebagai “Revitalisasi dan Reformasi Hukum dari Hulu ke Hilir”. Rumusan yang sangat menjanjikan ini, ditopang dengan dua alur pemikiran yang (menurut saya) masih memerlukan penjelasan yang logis tentang alasan dan maksudnya. Dua alur pemikiran yang dinyatakan merupakan atau dijadikan dasar “Revitalisasi dan Reformasi Hukum dari Hulu ke Hilir”,  itu berbunyi:

1.Menghadirkan kembali Negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara.
2..Menolak Negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.

Bagi saya kedua alur pikiran di atas  ini sungguh terkesan “bombastis” (banyak menggunakan kata yang indah serta muluk, tetapi tidak ada artinya). Padahal tujuannya sederhana dan (menurut saya) masuk akal, yaitu yang dinyatakan dalam Dokumen tersebut di atas sebagai: “Pemulihan Kepercayaan Publik, (pada) Keadilan dan Kepastian Hukum”. Sungguh, inilah inti dari permasalahan hukum dewasa ini !

Tujuan “Revitalisasi dan Reformasi Hukum” itu, kemudian dijabarkan ke dalam dua tingkatan program yang juga cukup  masuk akal, yaitu:
Program tingkat pertama (yang dapat kita namakan tiga progam induk) berupa:
A.Penataan Regulasi Berkualitas;
B.Pembenahan Kelembagaan Penegak Hukum Profesional;
C.Pembangunan Budaya Hukum Kuat.

Program Induk ini dijabarkan kembali dalam tujuh program tingkat dua, yaitu:
1.Pelayanan Publik;
2.Penyelesaian Kasus;
3.Penataan Regulasi;
4.Pembenahan Manajemen Perkara;
5.Penguatan SDM;
6.Penguatan Kelembagaan; dan
7.Pembangunan Budaya Hukum.

Terlepas dari alur pikiran yang bombastis di atas, kita masih harus melihat bagaimana ke-7 program tingkat dua ini akan dioperasionalkan dengan tetap berpegang kepada ke-3 program induknya. Inilah yang akan jadi batu ujinya. Pertanyaan adalah siapakah arsitek program pembangunan hukum pemerintahan Jokowi-JK ini ? Kalau para investor dan pelaku usaha memuji paket-paket ekonomi yang telah diajukan Tim Ekonominya, namum tidaklah hal ini dapat dikatakan kepada Tim Hukum pemerintahan ini. Tampaknya mereka ini kurang menguasai persoalan yang dihadapi dalam bidang pembangunan hukum. Ataukah memang pembangunan bidang hukum hanya dianggap perlu sebatas mendukung pembangunan ekonomi, sehingga tujuan kepercayaan publik, pada keadilan dan kepastian hukum itu, hanyalah suatu ilusi (sesuatu yang hanya di angan-angan; khayalan) saja ? (MR-Nov-2016) -.


*Diterbitkan dalam Jurnal SELISIK dari Program Magister Hukum Universitas Pancasila.

Jumat, 12 Agustus 2016

Mustahil Memahami Penegakan Hukum di Indonesia (Ajakan Untuk Berdiskusi)

Sebuah buku tentang Indonesia menjelaskan bahwa begitu banyak hal yang mengherankan Penulisnya tentang keadaan di Indonesia[1]. Dalam penafsiran saya ini dapat disingkat dengan ungkapan “tidak satunya ucapan dengan perbuatan para pemimpin di Indonesia”. Seorang teman berujar “itulah sifat pemimpin politik”, kalau mau murah-hati kita katakan ucapan mereka itu “diplomatis”, kalau kita berang maka dikatakan mereka adalah “pembohong”!
Tetapi saya tidak ingin membawa diskusi ini ke kancah debat tentang  pidato dan janji “surga” para pemimpin politik. Saya hanya mau meninjau dari bahan tertulis yang say baca tentang realitas sosial di Indonesia.Kita mulai dari peristiwa pernyataan Haris Azhar (Kontras) yang mengungkap pernyataan pengedar narkoba Almarhum Freddy Budiman (telah dieksekusi mati), tentang terlibatnya oknum TNI dan Polisi dalam peredaran narkotika di Indonesia. Sebelumnya KomJen Pol. Budi Waseso (Badan Narkotika Nasional) juga pernah mengakui sulitnya memberantas perdagangan illegal narkoba di Indonesia, karena adanya oknum-oknum aparat TNI,Polri dan BNN yang bermain. Tentunya hal seperti ini tidaklah harus dianggap mustahil, lihat saja literatur tentang usaha pemberantasan narkoba di negara-negara maju demokratis yang lebih terbuka dalam informasinya.Banyak juga cerita tentang “korupsi” oleh oknum alat penegak hukum (polisi dan penuntut umum) serta peradilan (hakim dan advokat). Mengapa harus dianggap hal ini mustahil di Indonesia ?
Bagi saya yang adalah  aneh, karena TNI dan Polri langsung melawan, dengan melaporkan Haris Azhar melakukan fitnah. Apakah keterlibatan oknum TNI dan Polri ini mustahil ? Media massa sempat beberapa kali dengan geram memberitakan bahwa peredaran illegal narkoba di Indonesia dikendalikan oleh Terpidana narkoba yang sedang menjalankan masa pidananya di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Bagaimana hal itu mungkin – perkiraan orang awam ini pasti mustahil. Tetapi saya membaca buku laporan keadaan peredaran illegal narkoba di  Lapas Kerobokan[2] dan di pulau Bali[3]. Ternyata menyeramkan sekali ! Kalau kita percaya separuhnya saja tentang faktanya (separuhnya lagi kita anggap penafsiran Penulisnya), maka sudah terpecahkan bagaimana peredaran narkoba dapat dikendalaikan dari Lapas dengan bantuan petugas Lapas dan Polri. Tidak tertutup kemungkinan oknum-oknum Jaksa, Hakim dan Pejabat setempat juga terlibat. Minimal dengan cara “tutup mata” (orang Betawi menamakannya “belaga pilon”). Jadi bukan mustahil ! Apakah ini fiksi ? Saya pikir tidak ! Kenapa ini beredar, tanpa digugat seperti Haris Azhar ? Lihatlah kutipan di bawah ini :
   “Snowing in Bali is the story the drug trafficking and dealing scene that’s made Bali one of the world’s most important destination in the global distribution of narcotics… From the highs of multi-million dollar deals to the desperate lows of death row in Indonesian high security jail, Snowing in Bali is a unique, uncensored insight into a hidden world”.
   “Hotel K is the schocking inside story of the jail and its inmates, revealing the wild ‘sex nights’ organized by corrupt guards for the prisoners who have cash to pay, the jail’s ecstacy factory, the killings made like suicides, the days out at the beach, the escapes and the corruption that means anything is for sale …”
Buku-buku ini pasti dibaca di dunia internasional dan sudah beredar beberapa tahun! Bagaimana kredibilitas Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dimata dunia luar negeri ? Beliau (atas nasihat KemHukham, JA dan MA?) menyatakan akan menolak semua grasi napi narkoba yang dihukum mati. Jaksa Agung mencoba untuk meningkatkan citranya dengan melaksanakan eksekusi pidana mati, dengan sebelumnya melakukan berbagai wawancara di media massa.Sekarang ada berita tentang “curhat” seorang pengedar narkoba (diberitakan dapat dilakukannya dari dalam Lapas), dan Petinggi TNI dan Polri marah dan “minta bukti”. Bacalah kedua buku Kathryn Bonella tentang Bali dan seharusnya Presiden segera memerintahkan pembentukan suatu Tim Independen yang punya integritas untuk menelisik kebenaran cerita Freddy Budiman, maupun Kathryn Bonella ! Ini tidak terjadi, mengapa ?

Untuk Blog MR –  8 Agustus 2016

[1] Elizabeth Pisani,2014, Indonesia Etc.Exploring the Improbable Nation, The Lontar Foundation.
[2] Kathryn Bonella,2012,The Schocking Inside Story of Bali’s Most Notorious Jail Hotel K,
[3] Kathryn Bonella,2015,Snowing in Bali The Incredible inside Account Of Bali’s Hidden Drug World,

Senin, 08 Agustus 2016

PENGUATAN INTEGRITAS MAHASISWA PASCASARJANA DALAM MEMBANGUN BUDAYA HUKUM*


 (Dapatkah Universitas Mengajar Lulusannya Untuk
Tidak Melakukan Perilaku Koruptif ?- Catatan untuk Diskusi)

Pengantar
Judul utama merujuk kepada Tema yang diberikan Prof. Eddy O.S. Hiariej kepada saya tanggal 1 Juli 2016, namun aslinya memakai kata Pancasila pada akhir kalimat. Saya menghilangkannya, karena tidak merasa kompeten bicara tentang arti ”budaya hukum Pancasila”. Judul di bawahnya adalah refleksi dan penafsiran saya tentang apa yang dapat saya lakukan dengan tema tersebut, yang sesuai dengan kemampuan saya (seorang sarjana hukum lulusan 1961 yang tertarik dengan masalah-masalah kriminologi).Tanggal 22 Juli, saya mendapat TOR acara Kuliah Umum ini, namun saya tidak dapat mengubah makalah agar sesuai pesan untuk menulis makalah dengan judul “Implikasi Integritas Mahasiswa terhadap Pembangunan Hukum Yang Pancasilais”. Mohon maaf !
Kalau kita ingin bicara tentang “integritas”, menurut saya, intinya adalah pada “kejujuran” (honesty) dan “keterbukaan” (transparency) serta “kesediaan bertanggungjawab” (accountability). Ketiga sifat inilah yang ingin ditanamkam pada para mahasiswa, dengan harapan akan membangun suatu budaya hukum (legal culture)[1] yang mampu “melawan” semua perilaku yang melanggar ketiga sifat moral di atas.
Salah satu contoh pelanggaran atas ketiga sifat moral tersebut, menurut saya, terdapat pada perbuatan yang kita kenal sebagai tindak pidana korupsi (tipikor ). Bagi saya perbuatan yang menurut UU 20/2001 jo.UU 31/1999 disebut “tipikor”, adalah hanya sebagian saja dari “perilaku koruptif” (corrupt behavior). Perilaku koruptif (corruptio = merusak; menyuap; omkoping-bribery)  adalah pelanggaran moral[2] dan karena itu bagi profesi hukum pada dasarnya adalah pelanggaran atas etika profesi, suatu perilaku menyimpang (deviant behavior) terhadap nilai dan norma profesinya. Pengertian kita tentang moral atau akhlak (“memilih apa yang benar atau baik, dibandingkan dengan apa yang salah atau buruk”) tidak mudah dan tidak selalu sama. Bagi saya etika profesi adalah bagian dari ilmu tentang akhlak (moral science) dan pelanggaran atas etika profesi dapat berupa perbuatan immoral (misalnya:menipu), tetapi dapat juga berupa perilaku menyimpang (misalnya:di bidang seksual).Yang terakhir ini sangat relatif sifatnya dan berlaku ungkapan “beauty is in the eyes of the beholder”.
Makalah ini secara tidak langsung memang ingin menuju kepada diskusi tentang usaha pendidikan hukum di universitas, dengan harapan dapat menghasilkan lulusan yang taat kepada etika profesi hukum.[3] Atau dengan kata lain: mendidik lulusan yang taat pada “etika profesi hukum” dan mempunyai “kepribadian (karakter) anti-korupsi” (dalam arti “tipikor”, dan juga dalam jabatannya nanti  kebal terhadap penyalahgunaan kekuasaan).

Kesimpulan -1: Tulisan ini ingin mengajak berdiskusi, tentang pendidikan universiter di bidang hukum, yang menghasilkan lulusan yang taat pada etika profesi hukum dan mempunyai kepribadian “anti-korupsi”. Kepribadian yang “kebal” terhadap berperilaku menyimpang dari nilai dan norma profesinya. Dengan demikian diharapkan lulusan ini akan dapat turut membangun suatu budaya hukum yang “anti-korupsi”. Mudah-mudahan makalah ini juga dapat dipergunakan untuk berdiskusi tentang “Implikasi Integritas Mahasiswa Terhadap Pembangunan Hukum Yang Pancasilais”.

Poznan Declaration
Pada tanggal 26 September 2014, di kota Poznan Polandia, sejumlah wakil universitas yang bergabung dalam Compostela Group of Universities (CGU) telah menyerukan suatu pernyataan tentang pentingnya pendidikan “etika dan anti-korupsi” di perguruan tinggi. Pernyataan ini dikenal sebagai “Poznan Declaration” yang berintikan “mainstreaming ethics and anti-coruption in higher education”. Deklarasi ini kemudian segera mendapat dukungan dari World Academy of Art and Science (WAAS), World University Consortium (WUC) dan Transparency International (TI).[4] Mengarusutamakan (mainstreaming – menjadikannya cara berpikir yang utama oleh umum) etika dengan sikap anti-korupsi inilah yang diharapkan dapat dilakukan melalui pendidikan yang berlangsung di unversitas. Apakah hal ini memang dapat dilakukan ?Dan bagaimana caranya?
Pemikiran di belakang deklarasi ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
“It seems likely that dysfunctional governmental and anti-social market behaviors have their roots in the value system of decisison makers at various levels, many of whom have been educated at universities. Key to anti-corruption has been research to expose and analyze such “toxic” cutures, attitudes and behaviors …”[5]
 Deklarasi ini mendapat banyak reaksi di Eropa, antara lain dikatakan:”…is a first important step for higher education in joining governments, businesses and civil society in the global fight against corruption.[6] Namun,nada gembira ini dibarengi pula  dengan permintaan kehati-hatian seperti dikatakan oleh Marcus Tannenberg:
 The substantial endorsements for the Poznan Declaration reflect that there are good reasons for higher education to take on these challenges. But even as support is ample, there are difficulties connected to implementation … the goal is not to deliver a ready-made package, but rather to inspire educators, so that they themselves can integrate ethics and anti-corruption, how, and if, they see fit”.[7] (garis-bawah MR).
Reaksi yang lain (berbeda?) datang dari Matthew Stephenson[8], yang menulis suatu karangan berjudul “Can Universities Teach People Not to Be Corrupt ? Reflections on the Poznan Declaration” . Tulisan ini menarik bagi saya, karena selain mengajukan tiga argumentasi untuk mendukung permintaan Marcus Tannenberg, untuk  tidak terfokus kepada “a ready made package” tetapi mencoba “to inspire educators, … integrate ethics and anti-corruption, how, and if, they seem fit”, tulisan ini ditutup pula  dengan kata-kata sebagai berikut:
Finally, there is one point where I am in 100% agreement with the authors and proponents of the Ponzan Declaration, and that is the need to act more aggressively to root out corruption within the universities themselves. As the Poznan Declaration puts it, universities need to “talk the talk and walk the walk[9] by ‘ensuring impartiality in teaching, student assessment [and] research[,] and [ensuring] that matters regarding awards of degrees, employment and promotions are based on legitimate, transparent and objective criteria’. To my mind, this should be at the very top of the agenda for university-centered anticorruption approach, not at the bottom. … Students, especially university students, tend to be hyper-aware of hypocrisy in all its forms. It‘s hopeless and perhaps even counterproductive, to push an anti-corruption curriculum in a university where students regularly pay bribes for grades admission, where cheating and plagiarism are rampant, and where other forms of corruption and dishonesty are widespread. Indeed, I would much prefer the Poznan Declaration’s supporters to refocus their attention and efforts almost entirely on fighting corruption within the university, rather than trying to use university courses to teach anticorruption norms…. I tend to think that focusing on fighting corruption within the education sector will do more to spread anti-corruption norms than will the creation of anti-corruption courses and curricula”.(Garis-bawah dari MR).

Kesimpulan - 2: Pada tahun 2014 telah terjadi kemajuan berarti dalam usaha global melawan tatacara sejumlah Negara - yang memerintah dengan melalui perilaku koruptif para penguasanya -, dengan diumumkannya “Poznan Declaration”  - yang ber-intikan seruan melakukan “mainstreaming ethics and anti-corruption” dalam pendidikan universiter. Berarti mengajak universitas turut serta dalam usaha pemerintah, kalangan bisnis dan masyarakat-madani melawan korupsi di masyarakat. Debat yang terjadi adalah bagaimana caranya, dan pendapat yang yang perlu kita perhatikan adalah: 1)jangan menharapkan adanya “ready made package”, tetapi usahakanlah “to inspire the educators”, dan 2)janganlah lupa bahwa “fighting corruption within the education sector” (dalam universitas/fakultas kita) lebih berarti dalam menyebarkan nilai dan norma anti-korupsi, dibandingkan dengan pemberian kuliah/ceramah tentang hal tersebut.
Namun,ternyata pendapat ini berbeda dengan yang rupanya telah dilakukan sebelumnya oleh sejumlah universitas maupun organisasi anti-korupsi dalam bentuk pendidikan  (laporan  dibawah ini berasal dari tahun 2013, artinya sebelum Poznan Declaration) .

Program Pendidikan Anti-korupsi
Ternyata ada beberapa program pendidikan universiter yang telah melakukan usaha pengajaran dan riset di bidang anti-korupsi. Dibawah ini ada beberapa program saja yang saya kutip dari sumber U4 Anti-Corruption Resource Centre – “U4 Expert Answer[10].Antara lain (Saya kutip aslinya – dengan tambahan catatan sekedarnya) :
1).Academic anti corruption courses
“Most corruption training courses provided by universities are integrated into academic programs on political science, public administration, criminal justice or international law”. Untuk program S2 dan S3 Hukum, maka keterangan di atas dapat dimanfaatkan oleh para Dosen yang bersangkutan, namun menurut saya lebih penting adalah apabila dijadikan suatu usulan penelitian Tesis atau Disertasi. Beberapa contoh disampaikan di bawah ini. Keterangan U4 lebih lanjut adalah sebagai berikut:
a)Master in Anti-Corruption Studies (MACS):
Diberikan oleh International Anti-Corruption Academy dan dijelaskan: “…aims to enable professionals in managerial or leadership position to become better-acquainted with the intertwined manner in which corruption manifest itself, and the social complexities surrounding it”.
b)Mata kuliah Corruption, Development, and Good Governance:
Diberikan di George Washington University dengan penjelasan:”…this course aims to help students to understand the roots of corruption and the variants in different cultures, evaluates how corruption affects and distorts economic growth, …”
c)MA in Corruption and Governance:
Diberikan oleh School of Law, Politics and Sociology, University of Sussex dan diberi penjelasan: “…the Sussex Centre for the Study of Corruption (SCSC) takes an interdisciplinary approach to analyzing what corruption is, where and why it flourishes and also what can be done to counteract it”.
d)MSc Counter Fraud and Counter Corruption Studies:
Diberikan oleh Institute of Criminal Justice Studies, University of Portsmouth dengan penjelasan bahwa pendidikan ini merupakan postgraduate program untuk memenuhi “growing professionalisation agenda in many public and private sector organizations to counter fraud and corruption”. Tujuannya adalah:”… to meet the needs of these staff to provide a challenging programme of study that enhances the knowledge and skills of counter fraud and counter corruption staff”.

Selanjutnya ada pula:
2)Other anti-corruption courses, yang diberikan oleh sejumlah organisasi-nirlaba, antara l;ain:
a)U4 Anti-Corruption Online Courses (web-based courses – based on self-study, group work and written assignments – a minimum of 30 hours will be needed to complete each course) – info yang diberikan adalah untuk tahun 2013 Februari s/d November, dengan 8 online courses:
a-1)Essentials of Anti-Corruption;
a-2)Money in Politics: Curbing corruption in political finance;
a-3)Corruption in the health sector:
a-4)Corruption in natural resource management;
a-5)Corruption in the education sector;
a-6)Understanding the UN Convention against Corruption;
a-7)Introducing anti-corruption into sector work; dan
a-8)In-country Workshops.

b)Global infrastructure Anti-Corruption Centre (GIACC), menerbitkan:
b-1)GIACC Online Anti-Corruption Training Module;
b-2)GIACC/TI-UK Anti-Corruption Training Manual.

(Masih banyak lagi program yang dapat di akses melalui http://www.U4.no)

Kesimpulan - 3 : Contoh di atas menunjukkan bahwa sebelum Poznan Declaration, kegiatan pendidikan dan latihan dibidang anti-korupsi sudah diadakan di berbagai universitas maupun organisasi non-akademik. Bagi  saya tidak jelas apakah program-program di atas telah dipelajari  juga untuk menjadi contoh di Indonesia (misalnya oleh KPK atau Kejaksaan Agung, yang menurut saya juga harus mengutamakan bidang prevensi dengan melalui pendidikan di perguruan tinggi, disamping fokus utama sekarang pada represi !).

Diskusi (Beberapa catatan sementara – untuk diskusi, sekarang ataupun pada kesempatan lain):

1)Ada 3(tiga) konsep yang secara garis besar harus kita sepakati, yaitu konsep tentang “moral” sebagai dasar dari “etika profesi” dan “budaya hukum anti-korupsi”, yang akan merupakan sasaran akhir pendidikan di program Pascasarjana ini. Benarkah keterkaitan ini ? Ada pertanyaan berikut yang juga sangat mendasar: apabila kita bertujuan untuk mendidik para mahasiswa untuk berpikiran kritis, dapatkah kita sekaligus mendidik mereka dengan “mengajarkan mereka apa yang menurut kita adalah nilai-nilai yang benar” ? (bandingkan dengan sistem penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang dilakukan pada tahun 1980an).
2)Kalau etika profesi adalah suatu kode moral (moral code) bagi perilaku wajar dalam berbagai interaksi sosial,maka cara mendidiknya kepada para mahasiswa haruslah melalui percontohan dengan cara diskusi kasus-kasus nyata yang terjadi disekitar kita - Benarkah ini? Dan untuk profesi hukum apakah kasus-kasus nyata dari  Pengadilan dapat “disadur” menjadi “kasus-kasus hipotetis” ? Apakah ini adalah bentuk “looking into the past (backward looking)”, to build a better future (forward looking – capacity assessment) ?.

3)Sudah ada “Kode Etik Advokat Indonesia” (KEAI 2002), sudah ada juga
“Pedoman Etika dan Perilaku Hakim” yang disusun Komisi Yudisial serta “Pedoman Perilaku Hakim” (yang mengadopsi Bengalore Principles) yang disusun Mahkamah Agung (mungkin ada pula Kode Etik Jaksa/Penuntut Umum??) - Apakah bila ingin membuat kasus hipotetis (untuk bahan diskusi kuliah) berbagai asas dalam kode etik ini dapat dimanfaatkan ?.[11]

4)Kalau kita pergunakan sebagai pedoman adalah pemikiran dari American Bar Association (ABA), maka etika profesi hukum itu (untuk Advokat) sekurang-kurangnya dapat dibagi dalam 4(empat) kewajiban (obligations) yaitu: kepada Masyarakat (to the Public); kepada Pengadilan (to the Courts); kepada Klien (to His Clients); kepada Sejawat Profesi (to Other Lawyers) –Apakah untuk keperluan Rencana Pembelajaran Semester (RPS yang disarankan Pendidikan Tinggi), pembagian ini  dapat membantu dalam penyusunan kolom-kolom “kemampuan akhir”, “bahan kajian”, “bentuk pembelajaran”, dan “metode pembelajaran” (dan lain-lain) untuk perkuliahan?.

5)KEAI 2002 mempergunakan untuk profesi advokat istilah “officium mobile”,yang mengandung arti adanya kewajiban yang mulia , serupa dengan kata “noblesse oblige”, yaitu kewajiban perilaku yang terhormat (honorable), murah-hati (generous) dan bertanggungjawab (responsible). Ciri-ciri di atas, tidak saja berlaku untuk advokat, tetapi untuk seluruh profesi hukum, yang dapat berupa sebagai hakim, jaksa/penuntut umum dan juga sebagai dosen dan peneliti. - Apakah pengajaran tentang “menjunjung kehormatan dan menjaga wibawa profesi hukum” akan juga menciptakan budaya hukum yang anti-korupsi – suatu budaya hukum yang Pancasilais ? 

Penutup
Tulisan ini bermaksud menunjukkan bahwa masih ada perdebatan dalam hal adanya gagasan  “untuk memperkuat integritas mahasiswa dan mengajarkan etika di universitas, dengan tujuan membantu terciptanya lulusan yang dapat memperkuat budaya anti-korupsi”. Menurut saya hal ini antar lain terjadi karena memang tidak mudah untuk mendapat kesatuan pendapat tentang arti “budaya hukum anti-korupsi”, yang tidak sekedar  pernyataan di bibir (lip-service) saja ! Dalam kaitan ini menarik untuk memperhatikan berita media massa di Indonesia tentang  pernyataan Presiden Jokowi untuk hati-hati “menkriminalisasi diskresi dalam kebijakan pejabat pemerintah daerah”.

Juga menarik adalah bahwa di Amerika Serikat Mahkamah Agung-nya rupanya juga ragu tentang konsep-hukum perbuatan korupsi, khususnya sehubungan dengan dakwaan bribery kepada seorang pejabat negara setingkat gubernur negara bagian.[12]. Meskipun demikian, menurut saya, kejadian denial (penolakan keras) adanya “korupsi di Pemerintahan Malaysia”[13] dan penolakan keras adanya tanggungjawab Pemerintah Indonesia dalam tragedi tahun 1965[14], harus membuat kita sadar bahwa pendidikan di universitas memang harus dapat membantu berakarnya moral yang berintikan “kejujuran” – “keterbukaan” - dan “kesediaan bertanggungjawab” pada lulusan kita, tentang perbuatan dan kebijakan publik dimana mereka (akan) terlibat. Menurut saya sepantasnya hal ini juga merupakan bagian dari pendidikan ke arah budaya hukum yang Pancasilais !

*Makalah ini telah disampaikan pada Kuliah Umum Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada – 30 Juli 2016.

Bahan Pustaka:

1)GAB The Global Anticorruption Blog http://globalanticorruptionblog.com/ 2016/03/29/ yang menyatakan: “One of the purposes of this blog… is to promote the interchange of ideas across disciplinary boundaries,… between researchers and practitioners”. Yang merujuk lebih lanjut kepada sejumlah halaman atau URL antara lain tentang The Poznan Declaration.
2)Beberapa karangan tentang kode etik  dalam buku (kumpulan karangan)  Mardjono Reksodiputro : Menyelaraskan Pembaruan Hukum (tahun 2009) dan  Perenungan Perjalanan Reformasi Hukum (tahun 2013). Keduanya diterbitkan di Jakarta oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia.




[1] Bagi saya “budaya hukum” merujuk kepada perilaku,sikap dan persepsi terhadap hukum dari masyarakat secara umum  atau komunitas tertentu – karena itu hukum janganlah hanya dipelajarai secara yuridis-normatif dan doktrinal, tetapi harus juga secara sosiologis.
[2]Pelanggaran moral dapat saja juga dalam bidang “rumah-tangga”, seperti selingkuh suami atau istri ataupun perbuatan menelantarkan anak; tetapi dapat juga dalam profesi hukum - ingat ucapan Lord Acton “power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely”.
[3]Untuk saya ini adalah “professional legal ethics” yang memuat “etika yudisial” dan “etika advokat” (JPU termasuk disini, sebagai advokat Negara); lihat Mardjono Reksodiputro “Rancangan Peraturan tentang Pedoman Etika dan Perilaku: Menjauhkan Diri dari Yang Haram” (Suatu Pengamatan Yuridis-Sosial), (2006)
[5]Poznan Declaration 26 September 2014 “Whole-Of-University Promotion of Social Capital, Health and Development”, diakses melalui http://goo.gl/xIYKNj.
[6]European Confederation of Young Entrepeneures, dapat diakses melalui http://www.yesforeurope.eu/blog/   
[7]Marcus Tannenberg dari University of Gothenburg adalah salah seorang yang merumuskan naskah Poznan Declaration, bersama Prof. Bo Rothstein dan Prof. Lennart Levi, dapat diakses melalui http://corruptionresearchnetwork.org/acrn-news/blog/
[8]Matthew Stephenson adalah gurubesar Ilmu Hukum di Harvard Law School Chief Editor The Global Anticorruption Blog, yang dapat diakses melalui https://globalanticorruptionblog.com/

[9]Menurut saya yang dimaksud dengan ungkapan ini adalah consistency (konsekwen)- “talk the talk” berarti melakukan sendiri juga apa yang dikatakan sebagai nasihat dan “walk the walk” artinya melakukan sendiri juga apa yang disarankannya untuk dilaksanakan.
[10]U4 adalah suatu resource centre for development practitioners who wish to effectively address corruption challenges in their work – dioperasikan oleh Chr. Michelsen Institute (CMI), Bergen, Norwegia, yang dapat diakses melalui http://www.u4.no
[11]Mardjono Reksodiputro op.cit. ; lihat juga Henry S.Drinker,1954,Legal Ethics, Columbia University Press.
[12]Lihat putusan US Supreme Court June 2016 dalam perkara Gubernur Negara Bagian Virginia tentang bribery/gratification oleh Jonnie Williams –yang  mengaburkan pengertian “official act.”
[13]Lihat skandal US$3,5 Milyar uang negara yang dituduhkan kepada Perdana Menteri Malaysia Najib Razak sebagai Pengawas korporasi 1MDB – dan  assetnya sedang diusut di Swiss dan USA.
[14]Lihat  penolakan Pemerintah Jokowi, tentang keterlibatan dan tanggungjawab negara terhadap Tragedi 1965 dan keterangan Nursyahbani Katjasungkana (koordinator IPT 1965) pada 20 Juli 2016 di https://m.tempo.co/read/news/2016/07/20/063789126/putusan-pengadilan-rakyat-1965-indonesia-harus-minta-maaf.