Selasa, 18 April 2017

In Memoriam Paul Moedikdo Moeliono





IN MEMORIAM Paul Moedikdo (1927-2016)
 Pakar Kriminologi yang Berpendirian Tegas
 Sebuah nekrologi oleh Jan van Olden**




Hidup jauh dari tanah air

Paul Moedikdo hanyalah seorang dari sekian banyak orang Indonesia yang bermukim di Negeri Belanda karena dipaksa oleh keadaan akibat pergolakan politik di Indonesia pada tahun 1965 dimana terjadi pengejaran-tanpa-ampun terhadap segala sesuatu yang berbau haluan kiri sehingga banyak cendekiawan dan aktivis yang dipaksa mencari kebahagiaan di luar negeri, jauh dari tanah air. Perkenalan saya dengan sosok Paul Moedikdo terjadi pada tahun 1977 di Jakarta dimana pada saat itu saya bekerja untuk Universitas Leiden yang sedang menjalin kerja sama dengan Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Indonesia. Paul adalah seorang pakar dalam bidang kriminologi yang bekerja di Institut Willem Pompe yang bernaung di bawah Universitas Utrecht. Sebagai seorang Indonesia ia merupakan seorang dosen tamu yang ideal dalam upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan penelitian pada Fakultas Ilmu Sosial di Jakarta. Inilah awal persahabatan dan kerja sama di antara kami, yang diawali dari proyek yang terkait dengan Fakultas Ilmu Sosial dan kemudian berlanjut pada kerja sama yang lebih luas dalam bidang hukum antara Indonesia dan Belanda sepanjang kurun waktu tahun 1985 sampai 1992 dan pada tahun-tahun berikutnya.
Paul Moedikdo Moeliono dilahirkan di Bandung pada tanggal 18 April 1927 dari lingkungan keluarga intelektual—keluarga campuran Indonesia dan Belanda, dimana bakat dipupuk dengan baik dan prestasi akademik dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Ia  memiliki 4 saudara berbakat yang semuanya menjadi guru besar (2 orang), dokter (1), penyair dan peneliti (1). Paul sendiri mengenyam pendidikan tinggi Fakultas Hukum di Jakarta pada waktu tinggal di Indonesia yang pada waktu itu sedang terlibat dalam perjuangan untuk meraih kemerdekaan dari Belanda. Meskipun Paul adalah seorang patriot sejati yang juga aktif terlibat dalam pergerakan nasional, tetapi hubungan keluarga (ia menikah dengan seorang perempuan Belanda) dan hubungan budaya membuatnya merasa terikat dengan Belanda dan tidak dapat dengan serta merta membenci segala sesuatu yang berbau Belanda. Ia tumbuh dan dibesarkan sebagai seorang Katolik, sedangkan pendidikannya memberinya suatu pandangan hidup yang hampir bersifat calvinistik—dimana kewajiban untuk berbuat baik adalah sesuatu yang utama baginya dan sesungguhnya ia selalu dibayangi oleh rasa bersalah karena kegagalan pribadi dalam melaksanakan kewajiban tersebut.

Perintis Studi Sosio-Legal

Paul merasa amat dekat dengan Indonesia Merdeka dan oleh karenanya hidup serta karyanya dalam kurun waktu setelah Indonesia meraih kemerdekaan dicurahkan bagi pembangunan dan perkembangan negaranya dan tidak terlintas dalam pikirannya untuk meninggalkan Indonesia dan pergi ke Belanda. Sementara itu sebagai dosen di Universitas Indonesia ia amat disegani dan demikian juga sebagai seorang pakar dalam bidang kriminologi serta tokoh pembaharu pendidikan dan salah satu pendiri jurusan ilmu-ilmu sosial  dalam lingkup Fakultas Hukum. Disamping berkarya dalam bidang pendidikan tinggi, Paul juga seorang pembela handal dan dalam perannya inilah ia mendampingi puluhan aktivis masyarakat yang mengalami masalah karena kritik-kritik yang mereka sampaikan.
Tahun-tahun dan bulan-bulan sebelum tanggal 30 September 1965 adalah masa penuh gejolak di Indonesia; Soekarno sedang menggalang konfrontasi melawan imperialisme Barat dan di berbagai kota sering diadakan unjuk rasa oleh para mahasiswa atau pengikut partai-partai politik untuk menentang praktik-praktik neokolonialisme di luar Indonesia atau ‘musuh-musuh masyarakat’ dan ‘para penindas masyarakat’.
 Ini merupakan iklim yang berbahaya bagi seseorang yang berpendirian keras seperti Paul Moedikdo, seorang pembela aktivis yang hak demokratisnya dilanggar dan yang tidak takut menghadapi debat publik. Walaupun demikian perasaan yang amat kuat mengenai kewajiban yang seolah-olah menjadi misinya dalam hidup membuatnya terus melanjutkan pekerjaannya dalam bidang hukum sampai suatu saat istrinya yang tidak sanggup lagi menanggung tekanan dan ancaman yang mereka terima setiap hari,  memintanya untuk mengungsi ke Belanda.
Akhirnya Paul Moedikdo menyerah dan pada tahun 1967 ia dan keluarganya pindah ke Belanda. “Saya harus memilih antara dua cinta, dan saya memilih cinta saya yang paling besar yaitu istri saya”. Ucapan ini kelihatannya juga merupakan cara baginya untuk menghalau kepedihan atas pilihan yang dibuatnya.
Di Belanda, Paul Moedikdo diangkat sebagai staf Institut Willem Pompe untuk Ilmu Hukum Pidana yang sedang mengalami proses peremajaan dan pembaharuan. Pada penghujung tahun enam puluhan di tengah merebaknya arus demokratisasi di Belanda, lembaga ini mencari jalur baru untuk ”ikut membangun masyarakat yang bersifat lebih adil dan egaliter”. Pengalaman serta pemahaman yang diperoleh Paul Moedikdo ketika di Indonesia bersambungan persis dengan konsep serta cara-cara berpikir dari suatu generasi baru ahli-ahli hukum pidana dan sosiologi hukum di Belanda seperti Toon Peters, Constantijn Kelk dan Martin Moerings yang kebetulan semuanya juga aktif dalam kerja sama Indonesia-Belanda. Hukum Pidana tidak diselenggarakan dalam suatu lingkungan politik yang netral, tetapi pada suatu keadaan dimana terdapat ketimpangan kekuasaan kekuasaan negara yang kuat melawan warga negara yang lemah. Suatu keadaan yang dirasakan sendiri oleh Paul di Jakarta.

Lagi Pembaruan Pendidikan di Indonesia

Sementara itu jalinan kerja sama ilmiah antara Indonesia dan Belanda telah pulih kembali dan Paul Moedikdo, sepuluh tahun setelah kepergiannya yang dramatis dari Indonesia, kembali sebagai seorang pakar kriminologi dan dosen tamu pada Universitas Indonesia di Jakarta. Ia memperoleh kesempatan untuk kembali melakukan pekerjaannya dan bekerja sama dengan para sejawat lamanya dari Fakultas Ilmu Sosial yang sekarang berdiri sendiri. Antara tahun 1977 sampai 1982 Paul Moedikdo berulang kali mengunjungi Indonesia dalam rangka kerja sama antara Universitas Leiden dan Universitas Indonesia untuk mengembangkan pendidikan kriminologi, diantaranya memperkenalkan teori-teori baru dalam kriminologi termasuk yang oleh beberapa orang disebut sebagai “teori-teori yang agak radikal”. Ia menginginkan agar pemikiran-pemikiran baru ini dapat dimasukkan ke dalam kurikulum.
Pada awalnya usulan dan gagasan yang disampaikan dengan penuh keyakinan ini  disambut dengan antusias, tetapi ketika kerja sama ini memasuki tahapan pengajuan proposal konkrit, yang harus ditempuh dengan mendapat persetujuan dari Dekan dan Departemen Pendidikan, timbullah ketegangan. Timbul pandangan bahwa usulan pembaruan yang diajukannya telah melangkah terlalu jauh, termasuk diantaranya memperkenalkan berbagai kritik sosial dan teori yang diilhami oleh gagasan Karl Marx, yang pada masa pemerintahan Soeharto merupakan sesuatu yang mengandung risiko. Mahasiswa dan para pembantunya diawasi oleh petugas intelijen negara dan sewaktu-waktu dapat diciduk dan mengalami intimidasi. Ketika meletus protes pada tahun 1978, kampus Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial dikepung oleh tentara dan Dekan dipanggil untuk menurunkan semua poster dan tempelan yang bernada anti Soeharto. Karena tekanan tersebut pimpinan Fakultas dan Departemen akhirnya memutuskan untuk membatalkan pembaruan kurikulum dan menghentikan bagian ini dari kerja sama yang sedang berjalan. Hal ini sangat disesali oleh Paul Moedikdo, meskipun ia dapat memahami keputusan ini karena ia menyadari bahwa yang akan menanggung risiko adalah rekan-rekan Indonesianya serta para mahasiswa dan bukan sosok Paul Moedikdo sendiri.
Tetapi bagi Paul masih terasa dampak lanjutannya. Pada tahun 1982 ia menulis suatu makalah untuk konperensi yang diselenggarakan oleh NUFFIC mengenai Eurosentrisme dan Ilmu Pengetahuan. Paul menguraikan bagaimana upayanya untuk mengubah kurikulum mata kuliah kriminologi di universitas gagal karena konteks politik pada proses perubahan tersebut. Pernyataan tersebut oleh Dekan pada waktu itu dipandang sebagai suatu bentuk penentangan terhadap Fakultas Ilmu Sosial, padahal Paul sendiri pernah ikut melahirkannya. Hal ini berakibat pada renggangnya hubungan Paul dan Fakultas, meskipun Paul telah berusaha menerangkan posisinya.

Pembaruan Bantuan Hukum

Sementara itu di Belanda Direktur NOVIB, Sjef Teunis, mengajak Paul untuk bekerja sama dengan pimpinan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dalam menerapkan suatu strategi baru dimana lembaga tersebut tidak lagi sekedar memberikan bantuan hukum kepada para pencari keadilan perorangan, tetapi juga dengan berbagai cara mengkritik struktur politik dan ekonomi yang tidak adil serta penyalahgunaan kekuasaan. Pendiri dan Ketua LBH Adnan Buyung Nasution adalah seorang pembela hak-hak azasi manusia yang flamboyan dan terkenal di dunia internasional. Bersama Paul, Adnan dengan kawan-kawannya telah membawa LBH menjadi lebih radikal dan menggalakkan debat publik mengenai hal-hal yang berkaitan dengan ketidak-adilan struktural dalam bidang hukum dan sosial yang mengakibatkan posisi hukum yang lemah, pemutusan hubungan kerja yang sewenang-wenang dalam konflik perburuhan atau pengambil alihan lahan tanpa kompensasi yang adil.
Strategi yang lebih berbau politik dan dinamakan bantuan hukum struktural ini memiliki dampak yang amat besar terhadap bangkitnya kesadaran sosial serta hak-hak azasi manusia di Indonesia. Menurut beberapa orang mungkin inilah warisan intelektual yang paling penting dari Paul Moedikdo. Sebenarnya melalui LBH yang bergerak dengan lebih bebas dari pada suatu institusi pendidikan, Paul berhasil meraih apa yang tidak dapat diraihnya ketika ia berkiprah di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial.
Paul memperoleh peluang baru untuk melanjutkan karyanya untuk memajukan pendidikan dalam bidang kriminologi, ketika pada tahun 1985 kembali terjalin suatu kerja sama dalam bidang hukum yang lebih luas antara Indonesia dan Belanda, dimana pemeran utama kali ini bukan lagi Fakultas Ilmu Sosial tetapi Fakultas Hukum. Paul Moedikdo menyambut dengan tangan terbuka dan tidak menyia-nyiakan peluang ini dan bersama Toon Peters seorang pakar sosiologi-hukum dari Utrecht mereka menggarap suatu program yang bertemakan hukum dan masyarakat. Mereka kemudian juga duduk sebagai penasihat dan pendamping bagi lima ahli hukum terkemuka Indonesia, salah satu diantaranya Adnan Buyung Nasution, dalam penelitian yang mereka lakukan. Titik puncak dari tujuh tahun pendampingan yang intensif dan diskusi serta dorongan yang mereka berikan adalah ketika pada tahun 1992 Adnan Buyung Nasution berhasil mempertahankan promosi doktornya dengan disertasi yang menjawab pertanyaan apakah demokrasi parlementer merupakan suatu konsep Barat, seperti yang sering didengung-dengungkan oleh Soekarno dan lain lain, atau dapatkah hal tersebut diterapkan di Indonesia. Suatu pertanyaan yang setelah dikaji dengan seksama oleh Adnan dengan bantuan Paul Moedikdo, terutama dalam kaitannya dengan perdebatan yang terjadi di Konstituante  antara tahun 1956 sampai 1959, dapat secara tegas dijawab dengan “ya, dapat diterapkan di Indonesia".
Setelah memasuki masa pensiun, ‘oom Paul’ tetap menjadi guru dan menjadi tempat bertanya bagi orang Indonesia maupun Belanda yang menggeluti kajian kritis mengenai hukum di Indonesia. Alih pengetahuan dipandangnya secara harafiah: sebagian besar perpustakaannya diberikan kepada para mahasiswa dan peneliti serta seringkali disertai pesan pribadi, yang kemudian menyebabkan diskusi yang menimbulkan inspirasi melalui telepon dan surat.
Pada tahun-tahun terakhirnya, ia lebih banyak menarik diri dari umum, tidak lagi banyak tamu yang mengunjunginya (pada saat itu kondisinya sudah menurun) dan ia menjadi lebih senang mendengarkan musik karya Bach daripada membaca buku. Ketika istrinya jatuh sakit, tanpa ragu Paul merawatnya dengan sepenuh hati. Tetapi hal inipun hampir tidak dapat dilakukannya lagi, hanya rasa tanggung jawabnya yang besar yang memberinya kekuatan sampai akhir tahun. Beberapa saat kemudian Paul harus menjalani perawatan di rumah sakit, karena suatu keluhan yang ringan, dan menjelang hari Natal pada tanggal 22 Desember 2016, Paul Moedikdo Moeliono wafat pada usia 89 tahun.


** Jan van Olden – adalah seorang sahabat dari Paul Moedikdo. Nekrologi atau catatan ini dibuat pada April 2017Tulisan asli yang berbahasa Belanda dapat dilihat di Newsletter  Nederlandse Vereniging voor Criminologie beralamat di https://criminologie.nl/portfolio/de-criminoloog-17/ halaman 6 dan 7 -MR.



¨¨¨