Senin, 30 Juni 2014

Quo Vadis Rancangan KUHP dan KUHAP Kita ? “Apa kata Dunia?”*


“Di tengah krisis keadilan, hilangnya rasa malu dan gencarnya
semangat menggugat hukum saat ini, sosok Soe Hok-gie pantas ditampilkan.
[ Ia ]…menawarkan nilai-nilai keteladanan, utamanya integritas dan kebersihan hati.
…akar masalahnya adalah integritas dan kepantasan di negeri ini !”
 
Jakob Oetama, “Gelisah atas nama Integritas”(2009)[1]

 

Pengantar

Judul di atas menggunakan “ungkapan kegelisahan: Apa kata Dunia – kalau kita tetap bersifat begini (tidak ada kebersihan hati dan integritas)”. Meniru dari iklan pajak :”Sudah siang begini belum punya NPWP dan belum bayar Pajak – Apa kata Dunia ?”
 

Kita semua gelisah - sudah limabelas tahun reformasi hukum, tetapi kekuasaan tetap menggoda hukum. Dan  pendapat Jakob Oetama ini sekarang terkenang kembali oleh saya. Memang kekuasaan dapat mengubah sifat manusia, dahulu pendekar HAM sekarang mementingkan ego-politik, institusi yang diwakilinya dan terutama takut hilang kekuasaan. Lembaga-lembaga yang didirikan untuk menegakkan hukum kembali (hukum yang tumbang di masa Orde Baru) terlihat menunjukkan “budaya kekuasaan” yang egoistis-dimulai MK dan MA yang tidak mau diawasi oleh KY (yang dibentuk oleh Konstitusi) dan sekarang KPK yang merasa tidak perlu ada “pengawasan” melalui KUHP dan KUHAP.Mereka lupa sejarah ! Lupa bagaimana dahulu dalam masa Orde Baru untuk kepentingan politik dibangun “ketakutan pada ideologi komunis” dan untuk itu dibangun lembaga KOPKAMTIB yang “maha-kuasa”,yang dianggap tidak perlu pegawasan,karena petinggi-petinggi lembaga ini adalah “pembela dan patriot negara”, yang menyuarakan suara-rakyat dan  dibutuhkan untuk menumpas komunisme dari muka bumi Indonesia. Itulah sejarah Indonesia 50 tahun yang lalu. Belum terlalu lama, tetapi kita sudah lupa! Kalau begini: Apa kata Dunia ?
 

Seperti juga masa lalu, sekarang juga  masyarakat dijadikan paranoid terhadap ancaman korupsi – para koruptor sebagai “public enemy number one”. Rakyat yang hidup dalam kesengsaraan dan kemiskinan terhibur melihat banyaknya petinggi-petinggi negara dan tokoh politik serta para selebriti yang dijatuhi hukuman berat dan masuk penjara agar menderita. Seperti “wong cilik” yang telah lama menderita dalam kemiskinan, sekarang mereka “wong elite”  yang hidup dalam kemewahan juga akan menderita. Rakyat senang: KPK adalah “pembela dan patriot negara” yang menyuarakan penderitaan mereka: “kemiskinan dan kesengsaraan karena akibat korupsi para koruptor”. Penyadapan tanpa-pengawasan harus “dihalalkan” – kewenangan lembaga KPK menahan dan menyita tidak memerlukan pengawasan lagi – karena mereka adalah pemburu “public enemy number-one”. Rakyat dibuat lebih paranoid dengan mengumumkan bahwa KPK “sedang digoyang – digerogoti – akan dilemahkan” oleh para “pendukung koruptor” melalui pembaruan KUHP dan KUHAP. Kalau caranya begitu: Apa kata Dunia ?
 

Apa tujuan makalah ini ? Apakah saya akan membela para koruptor ? Apakah saya akan mengatakan bahwa korupsi tidak berbahaya dan tidak sistematis ? Apakah saya akan mengatakan bahwa korupsi bukan “extra-ordinary crime” yang penanganannya tidak memerlukan “extra-ordinary measures” ? Tidak bukan itu tujuan makalah initidak untuk membela para koruptor – tidak untuk menisbikan pendapat bahwa korupsi di Indonesia berbahaya – tidak untuk menisbikan pandangan bahwa perlu ada cara yang “luar-biasa” untuk memberantas korupsi di Indonesia ! Tujuan saya hanya agar rakyat tidak “terangsang” oleh provokasi para pencari kekuasaan-politik – agar rakyat mau berpikir rasional dan tidak emosional – dan agar rakyat tidak melupakan sejarah kelam Indonesia tahun 1965 dan tahun-tahun berikutnya ketika ada lembaga Kopkamtib yang tanpa pengawasan ! Hanya itu maksud saya !
 

Kemana Integritas ?

Integritas adalah ketegasan dalam karakter seseorang dalam hal kejujuran dan loyalitas kepada prinsip dan asas, ini merupakan kekuatan dalam menghadapi berbagai godaan a.l. tentang keangkuhan dan egoism diri. Wawasan tentang masa depan sistem hukum kita yang harus dapat mengayomi masyarakat terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan,  dikaburkan dengan keangkuhan merasa lebih tahu apa yang dibutuhkan dalam waktu sekarang, ditambah takut hilangnya kekuasaan lembaga     dimana dia bekerja dan merupakan sumber kekuasaannya. Lembaga Kopkamtib dan pimpinannya merupakan contoh dalam sejarah Indonesia.
 

Adakah KPK akan menjadi lembaga serupa dalam sejarah hukum dan “perang terhadap musuh nomor satu Indonesia” ? Dulu yang dilawan adalah  ideologi komunis dan para anggota PKI, sekarang korupsi yang sistemik dan para pejabat korup ? Tetapi perlukah KPK menjadi “serupa Kopkamtib” yang kebal kritik dan penentu apa yang diperlukan oleh masyarakat Indonesia ? Apakah keberhasilan represif (menangkap dan membawa kepengadilan para koruptor) dan re-aktif  saja yang menjadi ukuran keberhasilan dan mendapat pujian ? Apakah jumlah korupsi yang terbongkar akan merupakan hasil akhir pekerjaan KPK ? Tetapi bukankah  keberhasilan tugas pro-aktif (mencegah dan membangun kesadaran masyarakat) harus juga di ukur ? Mengapa hasilnya tidak terdengar menggembirakan ? Kalau begitu saja hasilnya -- Apa kata Dunia ?
 

Kasasi mengkebiri Wewenang dan Kebebasan Hakim Agung ?

Berasal dari kata Latin “cassatie” dan berarti “verbreking, vernietiging van vonnis of arrest (putusan penggadilan) van lagere rechter”.Ketentuan bahwa putusan bebas tidak dapat dimintakan kasasi adalah tepat dengan pertimbangan bahwa:1)putusan bebas (seharusnya) didasarkan pada penemuan dalam sidang PN maupun PT tentang fakta-fakta yang diajukan oleh JPU maupun oleh Terdakwa/Advokatnya; sedangkan kasasi (hanya) menilai kebenaran hukum yang dipergunakan hakim PT dan hakim PN; dan 2)membatasi ketentuan mengenai kasasi, tidak berarti membatasi kebebasan hakim agung, karena kebebasan hakim (PN,PT dan MA) tidak berarti dia “bebas-tanpa batas”, artinya (hanya) “dia tidak boleh dipengaruhi oleh ketidak-jujuran (yang berasal dari pengaruh politik maupun ekonomi)”.
 

Dalam kaitan ini dapat pula ditanggapi ketentuan MK tentang Peninjauan Kembali (PK). Sifat hakekat PK adalah mencegah atau meminimalisir terjadinya miscarriage of justice (putusan yang sesat dari pengadilan) – yaitu kekeliruan dalam putusan hakim yang memidana seorang Terdakwa, disebabkan tidak seluruh fakta diungkapkan/terungkap  dalam persidangan PN dan PT. Adanya fakta baru ini yang disebut sebagai novum –artinya: fakta baru, yang seandainya diajukan/diketahui pada sidang-sidang terdahulu akan berakibat putusan berbeda bagi Terdakwa (dapat bebas, tetapi dapat pula mendapat pidana yang lebih ringan). Ingat, bahwa meskipun diajukan PK, namun Terpidana harus tetap menjalani pidananya sampai ada putusan berbeda dari MA. Karena itu – menurut saya - adalah tepat, bahwa PK boleh diajukan tanpa batas. Namun, MA harus sangat cermat mengawasi pemahaman tentang novum (fakta-baru yang sangat potensial pengaruhnya pada putusan hakim sebelumnya) dan cermat menjaga agar tidak ada “fakta baru” yang bukan novum yang diselundupkan oleh advokat dalam permohonan PK-nya. Khawatir bahwa dibukanya pintu PK berulang-kali akan membanjiri MA dengan permohonan PK, menunjukkan bahwa MA tidak sanggup mengawasi masuknya “fakta-baru yang bukan novum”, dan karena itu ingin membatasi PK dengan mengorbankan hak seorang Terpidana untuk tetap berjuang melawan putusan pengadilan yang dianggapnya “sesat”.
 

Perlawanan organisasi anti-korupsi (termasukKPK ?) terhadap ketentuan: a)putusan bebas tidak dapat di kasasi, dan b)PK tidak boleh dibatasi, adalah karena ketakutan akan banyaknya koruptor yang akan dapat lolos dari penghukuman. Bila dikaji lebih dalam ini berarti ketidakpercayaan kepada para hakim (PN,PT,MA). Dan sebenarnya merupakan penghinaan terhadap korps hakim, karena hakim dianggap berpotensi “disuap” dan/atau berpotensi “tidak cermat menguasai hukum”, hingga akan membebaskan koruptor, dan tidak dapat diperbaiki melalui kasasi. Juga penghinaan terhadap korps hakim agung, yang dianggap tidak cakap membedakan PK yang patut dipertimbangkan dan yang tidak. Apakah benar karena ketidak-percayaan masyarakat kita pada pengadilan, maka perubahan KUHAP harus disesuaikan dengan sikap ini, dan menahan modernisasi KUHAP, yang berintikan perlindungan HAM ?Kalau memang mau begitu: Apa kata dunia?
 

Kodifikasi KUHP di “fitnah” sebagai akan merobohkan KPK ?

Berasal dari kata “codify” dan berarti “to arrange (especially laws) into a Code or system” – melalui kodifikasi dicoba untuk menetapkan keseluruhan hukum dalam suatu bidang hukum tertentu dalam Kitab Undang-Undang (wetboek). Adanya code berarti ada sistem, sehingga dicegah kesimpang-siuran dan benturan antara berbagai norma. Ada norma-induk atau norma –pokok yang diletakkan dalam KUHP dan selanjutnya dikembangkan atau diperinci dalam sejumlah aturan-aturan – yang boleh saja ditempatkan di luar KUHP. Jadi kodifikasi tidak menafikan atau mengharamkan adanya aturan-aturan khusus di luar KUHP. Kodifikasi tidak menghapus atau menghilangkan Lex specialis (Undang-undang Khusus). Beberapa asas yang (dahulu) sudah harus dikenal dan dipahami oleh mahasiswa fakultas hukum semester pertama dan kedua (tahun pertama – dahulu namanya propadeuse atau tingkat persiapan) adalah :
 

-Pertama: Lex specialis derogat legi generali = de bijzondere wet gaat voor de algemene wet (UU khusus berlaku lebih dahulu dari UU umum);
 

-Kedua: Lex superior derogat legi inferiori = de hogere wet gaat voor de lagere wet (UU yang lebih tinggi berlaku lebih dahulu dari UU yang lebih rendah);
 

-Ketiga: Lex posterior derogat legi priori = de latere wet gaat voor de eerdere (UU yang dibuat terakhir berlaku lebih dahulu dari yang dibuat lebih dahulu).
 

Ini adalah keinginan adanya sistem (susunan yang teratur) dalam kodifikasi dan sama sekali tidak mengharamkan adanya Lex specialis (UU Khusus di luar KUHP). Mungkin takut UU No.20/2001 tentang Perubahan atas UU No.31/1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi “tercabut” karena ada Bab tentang Korupsi dalam KUHP ? Kalau takut, maka bukankah mudah saja dibuat peraturan dalam UU, yang menyatakan bahwa UU No.20/2001 juncto (bersama dengan) UU No.31/1999 tetap berlaku bersama KUHP Baru.Karena itu aturan dalam Bab Korupsi di KUHP Baru harus dirumuskan tidak boleh  bertentangan dengan UU Tentang Pemberantasan Korupsi dalam UU tahun 2001 jo tahun 1999. Dan itu secara khusus juga harus diatur dalam hal kejahatan-kejahatan tentang Pencucian Uang, Terorisme, Pencemaran Lingkungan Hidup dan sebagainya. Semua kejahatan ini (termasuk Korupsi) harus ada induknya – tindak pidana umumnya (de algemene wet). Tanpa Lex Generali tidak akan dapat dikatakan ada Lex Specialis (seperti tidak akan ada istilah  “kiri”, bila tidak ada pula “kanan”). Jadi logis (berdasarkan penalaran) bila dalam KUHP Baru sebagai induk, harus ada ketentuan norma yang menyatakan perbuatan yang diberi nama korupsi adalah terlarang dan diancam pidana. Ketentuan lanjutan dapat dibuat di luar KUHP Baru (boleh juga dengan menyatakan UU yang lama tetap berlaku). Pemahaman seperti ini harus dilakukan dengan pendekatan yuridis-ilmiah dan jauh dari pendekatan power politics. Ucapan emosional bahwa ada kekuatan yang ingin merobohkan (menggergaji ?) KHN melalui RKUHP, sudah merupakan pendekatan power politics. Kalau cara non-ilmiah ini dipakai: Apa kata Dunia ?
 

Apa tujuan adanya hakim komisaris dan perlunya ijin penyadapan ?

Rancangan KUHAP memuat beberapa  penyempurnaan untuk melindungi HAM Tersangka dan Terdakwa, a.l. adanya hakim komisaris (hakim pemeriksa pendahuluan-disingkat HPP) dan adanya ketentuan tentang perlunya pembatasan dan ijin untuk melakukan penyadapan (intersepsi) komunikasi warga negara.Dapat dimengerti, kalau ketentuan-ketentuan ini membuat mereka yang sekarang dapat bebas melakukan pejelidikan – penyidikan – dan penyadapan , merasa dikurangi kebebasannya. Mengapa perlu adanya HPP ini ? Intinya adalah agar Penyidik dan Jaksa/Penuntut Umum diawasi dalam wewenangnya. Adalah “rahasia umum” bagaimana Penyidik dan Penuntut Umum dapat menjadikan suatu sengketa pribadi dan perdata menjadi perkara pidana (dikriminalisasi ?) dan dijadikan sarana ATM (pemerasan !). Kalau kita prihatin dengan keadaan ini, maka seharusnya kita tidak menolak HPP sebagai “oversight” (pihak ketiga yang mengawasi). Dengan segala hormat kepada KPK yang telah berjuang keras melawan semangat korupsi di pejabat-pejabat dan pelaku usaha kita, tetapi sebagai instansi dalam jajaran penegakan hukum, maka seharusnya mereka tidak alergi terhadap pengawasan. Bukankah sumber utama dari adanya korupsi yang meng-gurita di Indonesia, adalah alergi para pejabat terhadap pengawasan ? Kalau KPK menolak diawasi dan merasa berada di atas hukum: Apa kata Dunia ?
 

Mengapa penyadapan harus dibatasi dan perlu ada ijin pihak ketiga yang netral ? Penyadapan terhadap komunikasi seseorang dan pengawasan terhadap perilakunya adalah pelanggaran hak pribadi/privasi yang dilindungi terhadap pelanggaran HAM. Kita sempat marah mengetahui bahwa Presiden kita dan Ibu Negara pernah “disadap” pembicaraannya oleh intelijen asing, begitu pula rumah Gubernur DKI Jakarta diketahu pernah dipasangi alat penyadap (di kamar-kamar rumah dinas-kamar duduk dan kamar tidur ?)- entah oleh siapa intel Indonesia – lawan politik – KPK ?. Masyarakat mengecam keras perbuatan tersebut, namun sekarang KPK meminta agar mereka dijinkan untuk melakukan penyadapan orang-orang yang mereka sangka ada kaitan dengan korupsi, secara bebas. Kalau KPK boleh menyadap,menahan dan menyita barang siapa saja berdasarkan penilaian (diskresi) mereka sendiri : Maka apa kata Dunia    - Ingatlah:”Power tends to corrupt, and absolute power corrupts the whole institution!”



[1] Rudy Badil dkk (Editor).2009.Soe Hok-gie…sekali lagi, Jakarta, KPG, hal.xv

* Tulisan ini diselesaikan tanggal 30 Juni 2014