Kamis, 18 Juni 2015

Politik Hukum dalam Bidang Penegakan Hukum



 (Keynote Address pada Seminar Nasional Program Studi Magister Ilmu Hukum - Universitas Bhayangkara Jakarta Raya; 13 Juni 2015)


Yang terhormat Pimpinan Universitas Bhayangkara,
Yang terhormat Pimpinan dan Dosen Program Studi  Magister Ilmu Hukum,
Para Hadirin yang kami muliakan,
Merupakan kehormatan bagi saya mendapat undangan dari Ketua Progaram Studi Magister Ilmu Hukum, Bapak Prof. I Made Widnyana, menjadi pembicara pengantar dalam Seminar Nasional ini. Saya mencoba untuk memenuhi harapan dari Panitia Seminar,namun apabila saya telah tidak mengikuti TOR Panitia,saya mohon maaf. Kemungkinan besar saya telah mengikuti pandangan subyektif saya tentang Tema Seminar yang sangat menarik ini. Ijinkan saya menyampaikan ikhtisarnya terlebih dahulu.
Pertama-tama saya akan menjelaskan tentang keberpihakan saya kepada salah satu dari dua arus pendekatan dalam teori-teori penegakan hukum pidana. Begitu juga tentang persepsi saya tentang tidak adanya penelitian mendalam tentang akar permasalahan terjadinya tindak pidana di Indonesia, sekaligus menjelaskan perlunya diperhatikan tiga prinsip dalam menyusun KUHP Nasional kita. Pada akhirnya saya akan mencoba mengulas singkat proses penegakan hukum pidana yang sedang berlangsung di Indonesia, diikuti dengan beberapa saran dan kesimpulan.

Pengantar
Kalau melihat pada berita di media massa maupun laporan dari kepolisian, maka kejahatan di Indonesia dalam 10 tahun terakhir ini memang meningkat. Yang banyak menarik perhatian karena keseriusannya, adalah tentunya kejahatan korupsi dan kejahatan narkoba. Pada korupsi yang menimbulkan kegelisahan masyarakat adalah banyaknya pejabat negara dan tokoh politik yang menjadi pelakunya.[1] Sedangkan dalam hal narkoba peranan pelaku berkebangsaan asing kelihatannya cukup dominan dan penyebaran narkoba ini sudah hampir merata di Indonesia, termasuk pada generasi muda. Dan baru-baru ini Presiden secara menyeluruh dan dengan kebijakan “sekarang untuk masa akan datang” (nu en bij voorbaat), menyatakan akan menolak semua dan setiap permohonan Grasi dari Terpidana Mati Delik Narkoba. Apa yang sedang terjadi di Indonesia ?

Dua Arus Pendekatan dalam Penegakan Hukum
Saya ingin mengemukakan dahulu, bahwa ada dua arus pendekatan dalam hal kita melihat peranan Penegakan Hukum Pidana: pertama, adalah yang melihat bahwa ketidaktertiban warga masyarakat menaati peraturan hukum pidana yang dibuat Negara, hanya dapat diberantas dengan melalui “sikap yang keras”, sehingga hanya sedikit warga yang berani melanggar peraturan. Sedangkan pendapat berbeda datang dari pendapat kedua, yang mengutamakan pendekatan moral dan melihat kepada kenyataan atau realitas di bidang sosial dan ekonomi masyarakat, dan karena itu melihat bahwa warga akan menaati peraturan Negara hanya apabila mereka memang percaya bahwa peraturan dan penegakan hukumnya tersebut adil bagi mereka. Kedua pendekatan ini mempengaruhi saya dalam menulis makalah ini, dan sejujurnya saya berpihak kepada pendekatan kedua.

Berbagai teori tentang sebab-musabab kejahatan:
Selanjutnya perlu juga saya sampaikan bahwa, Kriminologi (ilmu pengetahuan yang saya tekuni) telah mencoba menjelaskan mengapa orang melakukan kejahatan. Tetapi hingga kini tidak ada teori yang memuaskan dalam menjelaskan sebab-musabab kejahatan itu. Mengapa demikian ? Perlu juga dijelaskan bahwa berbeda dengan pendekatan yuridis (juristic approach),yang melihat kejahatan ini secara normatif, maka Kriminologi melihat kejahatan itu sebagai suatu gejala sosial dan sebagai suatu perilaku manusia yang menyimpang dari norma-norma dan nilai-nilai yang dominan dalam masyarakat yang bersangkutan.

Secara umum pendekatan dalam teori-teori tersebut dapat digolongkan ke dalam 3(tiga) mashab besar : Klasik, Positivis dan Kritis. Mashab Klasik adalah yang melihat manusia sebagai bersifat “bebas-memilih”, rasional dan hedonistik. Ini menjadi inti falsafah hukum pidana (materiil dan formil) yang tumbuh di Eropa Kontinental (berakar pada Code Napoleon 1810). Tokohnya adalah a.l. Cesare Beccaria dan Feuerbach. Lawan mashab ini adalah mashab Positivis yang melihat manusia itu dipengaruhi oleh konstitusi fisiknya dan lingkungan sosialnya. Tokohnya adalah a.l.Cesare Lombroso (1876), van Hamel dan Von Liszt.  Sedangkan mashab ketiga adalah teori-teori yang berorientasi sosiologis mulai dari Lacassagne, Tarde dan Bonger (Economic Conditions and Crime,1916), kemudian  Edwin Sutherland tahun 1940-an (teori differential association dan  white collar crime) sampai dengan teori-teori “radikal” tahun 1970-an dari Ian Taylor dkk (The New Criminology  dan Critical Criminology).

Berdasarkan hukum pidana yang berlaku dan diterapkan di Indonesia, maka pendekatan/falsafah Mashab Klasik masih dipertahankan, karena para pejabat penegak hukum kita masih percaya bahwa manusia itu punya kemampuan “bebas-memilih” (free will)  dan “rasional” (karena itu cukup disosialisasikan saja aturan-aturan perbuatan yang diancam pidana), serta juga bersifat “hedonistik” (akan menolak sesuatu yang merugikan/menyakiti dirinya). Politik kriminal ini slogannya adalah: “berilah ancaman pidana yang berat”, dibarengi “prevensi-individual” dan “prevensi-umum”, maka hal ini akan cukup untuk mencegah orang melakukan kejahatan. Politik kriminal yang menganjurkan hukuman penjara berat/lama (termasuk hukuman mati) adalah penganut mashab ini. Contoh yang menarik untuk dikaji adalah kewajiban Hakim menjatuhkan hukuman mati (mandatory death sentence), bagi seseorang yang memiliki sejumlah gram tertentu narkoba di Singapura dan Malaysia. Benarkah delik narkoba telah berkurang di negara-negara tersebut ?

Adalah berbeda  teori-teori yang dikembangkan oleh Mashab Positivis yang lebih menekankan pada perlunya differensiasi pelaku (misalnya perempuan hamil, anak, motivasi pelaku  dan  perlunya individual treatment) serta merujuk pada perlunya usaha perbaikan lingkungan sosial (broken homes, kemiskinan, kebodohan, dan daerah kumuh). Teori ini ditujukan pada “politik kriminal” yang berintikan “re-sosialisasi” atau pemasyarakatan narapidana (seperti “pengobatan” untuk pecandu narkotika dan “pembinaan mental” untuk teroris/pengikut ajaran-agama radikal yang sesat).

Sedangkan  teori-teori Mashab Kritis ( (misalnya teori “differential association” dari Sutherland ) menyadarkan kita bahwa tidak akan dapat dibuat satu teori umum yang akan menjelaskan semua macam kejahatan yang dilakukan manusia. Suatu teori hanya dapat menjelaskan sebagian saja dari “kebenaran” yang menyebabkan perbuatan tersebut dilakukan. Banyak faktor (multiple factors theories) yang berkonvergensi menyebabkan terjadinya suatu perbuatan melanggar hukum pidana (misalnya: keserakahan – frustrasi – agresivitas dapat menyebabkan seorang menjadi  pembunuh). Tetapi juga politik kriminal dari kelompok yang berkuasa (political power)  dapat  mempengaruhi dan menentukan perbuatan macam apa yang dianggap kriminal (misalnya perbuatan subversi, terorisme dan korupsi).[2]  

Bertambahnya perbuatan yang dianggap kejahatan, telah juga lebih menyulitkan kita untuk menjelaskan apa yang dinamakan kejahatan. Makin modern dan kompleksnya kehidupan kita, maka lebih banyak juga aturan yang harus kita taati, dalam administrasi pemerintahan. Pada waktu ini untuk setiap undang-undang baru yang mengatur kehidupan bermasyarakat kita (hukum administrasi negara), maka hampir pasti ada ketentuan tentang sanksi pidananya (administrative penal law).[3] Oleh karena itu tidak mungkin akan ada teori umum atau penjelasan umum tentang sebab orang melakukan kejahatan. Melalui riset kriminologi  yang dicari adalah hanya a.l. pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana terbentuknya aturan-aturan hukum pidana dan bagaimana reaksi masyarakat terhadap masing-masing bentuk kejahatan tersebut (termasuk reaksi dari masing-masing penegakan hukumnya – misalnya dalam masalah gratifikasi dan pengiriman parcel Lebaran). Melalui hasil riset-riset tersebut dicoba untuk dibuat kebijakan kriminal yang tepat. (Contoh adalah kebijakan kriminal di Indonesia sekarang yang tidak menghukum penjara, tetapi merehabilitasi, pengguna narkoba).  
Seperti dikemukakan di atas, maka memang tidak ada Teori sebab-musabab kejahatan secara umum yang memuaskan dan tentunya hal ini juga berakibat kepada tidak adanya kata sepakat tentang  pendekatan penegakan hukum apa yang paling efektif.   

Beberapa Prinsip dalam peyusunan Per-UU-an Pidana
Penegakan hukum pidana, pada dasarnya bermaksud menegakkan KUHP. Dan KUHP kita aslinya dan yang otentik teksnya, adalah Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie  tahun 1918 (tiga tahun lagi akan berumur 100 tahun !). Umurnya yang sudah hampir 100 tahun tentunya mencerminkan juga nilai dan norma pada masa itu. Usaha untuk menciptakan KUHP Nasional sudah beberapa kali dilakukan (mulai tahun 1982) dan Rancangan terakhir (2013) pada dasarnya masih mengacu pada Rancangan yang diserahkan 22 tahun yang lalu kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh.[4]

Adapun 3 (tiga) prinsip yang menurut saya, merupakan pedoman dalam merumuskan perbuatan-perbuatan tertentu menjadi terlarang dan diancam pidana dalam Rancangan KUHP 1993,  adalah sebagai berikut :

a)   hukum pidana hanya dapat dipergunakan untuk menegaskan ataupun menegakkan kembali nilai-nilai sosial dasar (basic social values) hidup bermasyarakat dalam Negara Indonesia – nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Negara Pancasila tentunya adalah penting disini;

b)   namun demikian, hukum pidana juga sedapat mungkin hanya dipergunakan dalam keadaan dimana cara lain melakukan pengendalian sosial (social control) tidak atau belum efektif (ingat asas: ultimum remedium), karena itu harus dihindari kriminalisasi yang berlebihan; dan

c)    dalam menggunakan hukum pidana sesuai dengan kedua prinsip di atas, haruslah diusahakan dengan sungguh-sungguh bahwa caranya seminimal mungkin mengganggu hak dan kebebasan individu, tanpa tentu saja mengurangi perlindungan terhadap kepentingan kolektifitas masyarakat Indonesia yang demokratis dan modern – untuk itu perlu diperhatikan Bab XA dalam Konsitusi kita.

Prinsip pertama dan kedua penting dalam kita mempertimbangkan apakah suatu perbuatan itu pantas untuk masuk dalam perundang-undangan hukum pidana (hukum pidana materiil/hukum pidana substantif). Sedangkan prinsip ketiga, penting dalam tata-cara pemidanaannya dan   penegakkannya (hukum pidana formil/hukum acara pidana).

Menurut hemat saya, diperlukan riset untuk menentukan apakah ketiga prinsip tersebut di atas memang telah dipergunakan dalam menentukan aturan hukum pidana dalam RKUHP maupun di luar KUHP 1918 kita, ataukah terlalu banyak perbuatan dinyatakan pelanggarannya adalah kejahatan, sehingga terjadi “inflasi  pengertian kejahatan”,yang dapat berakibat kurang dihargainya hukum dan penegakan hukum pidana.[5]

Proses Penegakan Hukum Pidana
Kita lihat sekarang tentang proses penegakannya. Hukum pidana ditegakkan dengan membawa pelakunya ke Pengadilan dan memberinya hukuman. Tujuan penegakan hukum pidana tidak saja untuk memberi kepuasan kepada korban (doktrin retribusi/pembalasan), tetapi juga untuk mencegah pelaku mengulangi perbuatannya, dan tentu  juga untuk mencegah pelaku potensial meniru perbuatan tersebut.[6] Dalam konsep hukum pidana, yang pertama disebut individual deterrence, sedangkan yang kedua dikenal sebagai general deterrence. Kedua konsep ini sebenarnya mengandung makna “membuat takut, sebagai dasar pencegahan”. Oleh karena itu sering dikatakan bahwa dalam usaha pencegahan ini, maka hukuman penjara yang lama akan merupakan cara yang benar untuk individual deterrence (tidak mengulangi lagi perbuatannya) dan  general deterrence (tidak mau meniru perbuatan tersebut). Pendekatan seperti ini mengikuti mashab Klasik (seperti saya utarakan di atas dan juga merupakan pendekatan “garis keras”), karena berpendapat: manusia “rasional" yang “bebas-memilih”, tidak akan mau melakukan perbuatan yang akan “menyengsarakannya” (pidana penjara atau pidana mati). Perlu juga dicatat, bahwa proses SPP yang berlaku atau dijalankan  di Indonesia pada umumnya adalah Crime Control Model (CCM), yang intinya adalah “speed and finality”, dan tidak menyukai rintangan yang dibawa oleh campur-tangan Advokat pada proses Penyidikan.

Banyak bahan Pustaka yang menjelaskan bahwa Riset-riset yang dilakukan untuk memverifikasi apakah penjatuhan pidana yang berat (penjara yang lama atau seumur hidup) memang dapat memenuhi tujuan penegakkan hukum itu tidak atau belum membawa kepastian. Seharusnya hal  ini tidaklah  mengherankan, karena kita juga belum memahami apa yang mendorong seseorang melakukan kejahatan.

Ambillah contoh, seperti kejahatan korupsi atau kejahatan narkoba.Usaha untuk memberi “ketakutan yang besar” kepada pelaku-potensial (seperti kepastian hukuman mati/mandatory capital punishment  untuk pelanggaran narkoba di Singapura dan Malaysia,  serta beberapa kali hukuman mati untuk pelaku korupsi di RRT) ternyata tidak memberi efek jera yang diharapkan.Dengan mengambil  contoh di atas, maka pendekatan  “penjeraan” dan “menakuti” yang dijadikan konsep inti dari penegakan hukum untuk kejahatan serius, memang  perlu dikaji ulang. Kalau kita ingin mengurangi kejahatan, maka pidana yang berat yang bertujuan menakutkan warga, bukanlah “obat-mujarab”nya.[7]

Pendekatan “penjeraan” melalui pemberian hukuman yang “menakutkan” menimbulkan permasalahan baru. Kita tidak ingin hidup dalam masyarakat yang dicekam oleh rasa takut yang mendalam , karena pidana yang dijatuhkan Pengadilan adalah semata-mata karena mengikuti keinginan “balas-dendam” publik (didorong oleh pandangan penguasa) yang kecewa (akibat ke-4 teori sub-sosial Vrij). Kita pun harus sadar, bahwa suatu negara dimana penguasa dapat  sewenang-wenang menentukan apa saja yang boleh dan tidak-boleh dilakukan warga dan dapat mengendalikan pengadilan, akan membawa masyarakatnya kepada suatu negara otoriter (ingat tentang undang-undang subversi di masa Orde Baru).

Sampailah saya kepada bagian akhir Pembicaraan ini : …

Apa yang harus dilakukan ?
Pertama, kita harus mau mengakui bahwa hukuman berat tidak akan menjerakan atau menakutkan bagi pelaku atau calon-pelaku kejahatan serius, apalagi yang bermotif keuntungan finansial (seperti korupsi atau penjualan narkoba illegal). Karena mereka akan selalu merasa yakin dapat “lebih-pintar” dari pelaku yang tertangkap, dan kalau pun tertangkap dan dipidana, mereka dengan keuangan yang dipunyainya merasa akan dapat “membeli” kemudahan dan keringanan dalam sistem peradilan pidana kita. Karena itu suatu sistem peradilan pidana yang “tidak-korup” dan bekerja secara efisien yang diperlukan di sini.

Kedua, yang terpenting adalah bahwa seorang pelaku kejahatan mengetahui adanya kepastian yang kuat, bahwa  dia akan tertangkap dan diadili untuk perbuatannya. Dan dalam kejahatan yang berimplikasi finansial (seperti Korupsi dan Penjualan Narkoba illegal), dia tidak akan dapat menikmati keuntungan finansialnya, malahan akan menjadi “lebih miskin” (denda yang sangat tinggi, disertai perampasan keuntungan dari kejahatan), dari pada sebelum melakukan perbuatannya. Kepastian tertangkap ini, tentunya harus pula diikuti dengan keyakinan seorang pelaku bahwa dia tidak akan dapat menghindar dari hukumannya. Karena itu sistem peradilan pidana yang efektif dengan tenaga-tenaga  yang benar-benar profesional  yang mutlak diperlukan di sini.

Ketiga, kita harus berani mengakui juga bahwa sistem pemasyarakatan pidana di Indonesia merupakan kegagalan kita bersama, dalam menerapkan konvensi PPB tentang “standar minimum perlakuan terhadap narapidana” (tidak menderitakan narapidana berlebihan dan tidak menjadikan perilakunya lebih-buruk). Kebijakan kriminal menghindarkan pengguna-narkoba dari Lembaga Pemasyarakatan (dan memberi  mereka kesempatan rehabilitasi) adalah kebijakan kriminal yang positif. Di dalam LP mereka tidak akan dapat menghidarkan diri dari “dorongan” tetap mengkonsumsi narkoba, malah akan diperalat “bandar narkoba” (perhatikan laporan media massa tentang mudahnya bandar-narkoba yang berada di dalam LP tetap dapat menjalankan usahanya di luar LP [8]sungguh mengherankan dunia bahwa kurang profesionalnya para petugas Lapas, ditolerir selama ini di Indonesia ! Tidak terlihat usaha untuk memperbaiki SDM Pemasyarakatan)[9].

Keempat, kita harus dapat menerima pendapat bahwa “masalah kejahatan” adalah bagian dari masalah sosial kita. Tidak saja pelaku kejahatan adalah hasil dari mayarakat kita (the society deserves its criminals), tetapi juga cara kita menghadapi kejahatan itu adalah hasil masyarakat kita (the way you treat crime,reflects your society). Jadi, lakukanlah penelitian dan taatilah hasil penelitian dalam merumuskan kebijakan kriminal yang efektif, efisien dan dengan tetap memperhatikan hak-hak Tersangka, Terdakwa dan Terpidana.[10]

Kelima, memang sering sekali kejahatan yang terjadi menimbulkan amarah kita – misalnya; dalam kejahatan seksual (apalagi terhadap anak-anak atau remaja) ,atau dalam kejahatan finansial yang menimbulkan kerugian besar pada negara  (seperti Korupsi dan penipuan finansial yang merugikan banyak warga) – tetapi reaksi kita sedapatnya janganlah emosional. Kepercayaan harus tetap diberikan kepada Penegak Hukum dan Pengadilan untuk memeriksa dan mengadili perilaku kejahatan ini secara rasional.  

Penutup - Kesimpulan
1)   Apabila dikaji secara jujur, maka sebagian besar pendekatan tersebut di atas belum atau tidak dilaksanakan selama ini. Pendekatan yang dilakukan adalah masih melihat kepada kejahatan (seperti Korupsi dan Narkoba) sebagai perilaku sifat manusia perorangan yang buruk/jahat dan karena itu perlu hukuman yang seberat-beratnya[11]. Akar permasalahan yang ada dalam sistem pemerintahan dan masyarakat tidak/belum dicari. Tidak heran bahwa, obat mujarab “tangkap-adili - dan hukum berat” tidak memberi hasil berkurangnya kejahatan Korupsi dan Narkoba di Indonesia.
2)   Meskipun usaha bersama/kerjasama  antar Penegak Hukum (Kepolisian – Kejaksaan – KPK – BNN) serta Lembaga Peradilan (PN – PT – MA) telah menunjukkan peningkatan, namun “gesekan” dan “benturan” antar lembaga juga masih terjadi.[12] Ketidakpercayaan kepada sistem penegakan hukum dan sistem peradilan (perdata dan pidana) kita, diakibatkan kuatnya intervensi non-profesional dan intervensi politik pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Meskipun hal ini sudah mulai berkurang, namun perlu dijaga, agar keangkuhan/arogansi sektoral tidak berkembang kearah merasa paling berjasa dalam peperangan melawan kejahatan (terutama kejahatan Korupsi dan Narkoba, yang telah dijadikan isyu politik).
3)   Untuk masa lima tahun Pemerintahan sekarang ini, maka sebaiknya diusahakan agar strategi pemberantasan kejahatan (terutama Korupsi dan Narkoba) tidak dijadikan isyu politk pencitraan perorangan atau instansi. Sebagaimana  juga strategi meningkatkan kemakmuran rakyat-kecil di Indonesia harus didasarkan pada kenyataan masyarakat kita, maka perang melawan korupsi dan perdagangan illegal narkoba juga harus serupa (yaitu diperoleh dari kajian ilmiah dan hasil penelitian).

Seperti dicoba disampaikan sebelumnya dalam tulisan ini, pendekatan rasional dengan sistem peradilan pidana terpadu (terutama antar instansi penegak hukum) -berdasarkan penelitian dan pengkajian tentang akar permasalahan berbagai macam kejahatan di Indonesia- harus diusahakan menjadi strategi perang melawan kejahatan. Slogan yang dapat ditiru adalah : ”Striving for Prosperity without Crime” – Berusaha-kuat menuju Kemakmuran tanpa Kejahatan”.[13]

13/06/2015
-OO000OO-



[1] A.l.kasus KomJen Polri Susno Duadji (mantan Ka Bareskrim); kasus Bank Century; kasus Bendahara Umum Partai Demokrat M.Nazaruddin; kasus Ketua Umum PSSI Nurdin Halid; kasus Gayus Tambunan (Pejabat Dirjen Pajak); kasus Anggota2 DPR; dan terakhir (September 2014) kasus Gubernur Riau, dll.  
[2] Seorang sarjana Belanda Prof M.P.Vrij dengan teori “subsosial”-nya mengatakan bahwa suatu tindak pidana/ kejahatan akan mempunyai empat akibat subsosial: 1)dorongan mengulangi dari pelaku; 2)rasa tidak puas korban; 3)keinginan meniru oleh pihak ketiga; dan 4)rasa kecewa pihak ke-empat/publik. Akibat sub-sosial ke- tiga dan ke-empat inilah yang mempengaruhi putusan hakim tentang hukuman.
[3] Lihat Idlir Peci,2006, Sounds of Silence, Disertasi di Universitas Groningen Belanda – membahas a.l. perbedaan antara criminal law  dengan  administrative sanctioning law.,
[4] Rancangan KUHP yang diserahkan Tim kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh bulan Maret 1993, berturut-turut diketuai oleh: Prof.Soedarto, kemudian Prof.Roeslan Saleh dan selanjutnya Prof.Mardjono Reksodiputro. Naskah tersebut disusun dari tahun 1982 sampai dengan tahun 1993. Dan sampai sekarang belum juga sempat dibicarakan di DPR- setelah 22 tahun selesai !
[5] Legal cynicism :”Laws were made to be broken” – “To make money, there are no right and wrong ways anymore, only easy ways and hard ways” – menunjukkan bahwa warga menilai hukum tidak mengikat.
[6] Lihat pendapat M.P.Vrij dengan teori sub-sosialnya di Catatan Kaki No.2 di atas. Perlu juga diperhatikan pendapat Packer tentang perbedaan antara Crime Control Model (CCM) dan Due Process Mode (DPM)l.
[7] Menarik adalah pendapat yang pernah dilontarkan tahun 2009 oleh Budayawan Emha Ainun Najib, dikatakannya: “ Korupsi (adalah) milik kita semua …(adalah) penyakit sistem (struktural) – (dan) penyakit manusia … (serta) penyakit budaya (diunduh dari  InfoKorupsi – Artikel- Maret 2009).  
[8] Lihat misalnya, berita “Napi Narkoba Rutin Kirim Rp 100 Juta dari Penjara” (kasus Pony Tjandra dan istrinya Santi), dalam Suara Pembaruan 2 Oktober 2014, hal.A 21
[9] Seluruh penghuni Lapas dan Rutan per 30 September 2013, adalah 156.965 orang – yang terlibat dalam delik Narkoba dan Psikitropika adalah sebanyak 56.240 orang – atau sejumlah -/+ 36 %
[10] Perlu dikaji pendapat “adanya suatu sistem nilai dalam masyarakat kita (birokrasi – pengusaha – politisi) yang mentolerir penyimpangan dari aturan di bidang keuangan dan perdagangan – melihat secara sinis terhadap hukum dan penegak hukum”.
[11] Lihat pendapat Hendardi (Setara Institute) tentang “Pencabuatan Hak Politik Koruptor”, dalam Suara Pembaruan 29 September, hal.A 10
[12] Yang terakhir adalah bentrokan antara TNI dengan Polri di Batam, Kepulauan Riau; sebelumnya ada kasus yang terkenal dengan nama “Cicak vs Buaya” dan mungkin ada lagi yang lain.
[13] Slogan Asia Crime Prevention Foundation – yang berpusat di Jepang – didirikan tahun 1982 untuk membantu UNAFEI – dan  tahun 2000 mendapat status “General Consultative Status” dari PBB.