Selasa, 24 Desember 2013

Pendekatan Darurat Pemberantasan Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan*



Pengantar
Judul diatas segera menarik perhatian,karena menimbulkan pertanyaan: apa yang mau dikorupsi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) ? Dan mengapa ada keadaan darurat ?Saya juga mencari jawaban atas kedua pertanyaan tersebut dan mencoba menjawabnya sebagai berikut. Memang Direktorat Jenderal (baca: Kantor Pemerintah) yang terkenal “basah” dan menyebarkan “aroma korupsi” adalah antara lain: Bea Cukai, Pajak dan Imigrasi. Di ketiga kantor ini “klien”nya adalah: perusahaan,pengusaha. dan (umumnya) orang yang berkecukupan dalam harta kekayaan. Tetapi di Ditjen Pemasyarakatan (PAS), “klien”nya pada umumnya adalah “rakyat kecil” yang miskin harta dan miskin pengetahuan hukum. Bagaimana dapat terjadi korupsi dalam suasana demikian ?

Tetapi dalam dekade terakhir (dalam era reformasi ini). kita melihat ada perubahan dalam “klien” Lapas, mulai kita saksikan banyak pemilik perusahaan, pengusaha besar dan orang yang berkecukupan harta, menjadi penghuni Lapas (karena menjadi terpidana korupsi).Aroma “diskriminasi” antara penghuni Lapas yang berharta dan yang miskin, mulai tercium di sini. Fasilitas yang sangat tidak mencukupi di Lapas disertai dengan kapasitas Lapas yang diisi sangat berlebihan (disebut dengan “over capacity”- seharusnya “over crowded”) – menimbulkan “pasar gelap” (black market) untuk memperoleh “fasilitas langka” (a.l.ruangan, pangan,  kunjungan, dan kesempatan pengobatan). Disinilah mulainya “korupsi” dalam pengertian “menjual keistimewaan atau kesempatan”. Tetapi mengapa ini telah menjadi keadaan darurat ?

Berita-berita yang mulai terdengar dan tersebar sejak dua tahun yang lalu, membuat kita menjadi sangat terkejut. Karena banyak Lapas rupanya telah berada di bawah kendali “mafia narkoba”. Adanya “mafia korupsi” dalam Lapas sudah sangat memprihatinkan kita, apalagi kalau keadaan ini bergabung dengan “mafia narkoba”. Ini sungguh keadaan “gawat-darurat” !
 
Gawat-Darurat[1]
Keadaan ini disebabkan adanya kerjasama (kolusi) antara “mafia korupsi” di Lapas dengan “mafia narkoba” yang mulai menanam pengaruhnya di Lapas.Seharusnya dalam komunitas Lapas yang terkendali-erat sebagai komunitas narapidana (napi) dalam Lapas dengan “pengamanan-tinggi” (high or maximum security), maka setiap perilaku menyimpang dan tidak disiplin akan cepat terungkap dan mendapat sanksi untuk menjerakan pelaku dan mencegah napi lain mencontoh.Sikap seperti ini akan dilakukan oleh petugas yang memahami “budaya penjara”[2]. Ini tidak terjadi dalam Lapas-lapas yang sekarang mendapat sorotan media-massa. Kecurigaan tentu timbul bahwa semua kegawatan yang terjadi itu (termasuk kemungkinan “pemberontakan” oleh napi, “dibiarkan” oleh petugas (tentu dengan balas-jasa – hanky-panky). Dalam keadaan seperti ini, maka kegawatan tersebut telah meningkat menjadi keadaan darurat.

Korupsi yang sekarang dicoba ditanggulangi oleh KPK adalah korupsi besar yang merugikan negara bermilyar dolar (misalnya,korupsi di bidang Migas) atau trilyunan rupiah (misalnya,korupsi di sektor Pajak dan Bea Cukai).Tetapi berbeda sekali dengan korupsi di Lapas[3], karena itu mungkin luput dari perhatian publik (atau dirasakan kurang berarti) karena pihak yang dirugikan adalah “klien” Lapas yang merupakan “pelanggar hukum” (warga masyarakat yang tercela).Dilupakan bahwa sekarang perilaku “oknum-petugas” terhadap “klien” Lapas yang menurut istilah mereka adalah “warga-binaan”(untuk di-didik menjadi warga taat hukum), telah sangat bertentangan dengan konsep “pemasyarakatan narapidana” yang dicetuskan 50 tahun yang lalu oleh Dr.Sahardjo, Menteri Kehakiman era Bung Karno.

Dengan masuknya “narkoba “ ke dalam Lapas, dan diduga telah menjadi “bisnis-tambahan” oknum-petugas tertentu, maka tidaklah keliru untuk meminta pertanggungjawaban pimpinan Ditjen PAS[4]. Mulai dari Dirjen dan jajaran di kantornya, sampai Kepala Lapas dan jajarannya. Menurut hemat saya “narkoba” seratus kali lebih berbahaya daripada “korupsi”, target “korupsi” adalah mengganggu “keuangan-negara” – tetapi target “narkoba” adalah merusak “anak-bangsa” (agar menjadi budak-budak pedagang narkoba). Manakah yang lebih jahat “oknum-petugas” Lapas yang melindungi “Bandar-Narkoba” yang merusak Warga-masyarakat dibandingkan dengan “oknum-petugas” Pajak atau Bea Cukai yang melindungi “Pengusaha-besar” yang merugikan keuangan Negara ? Kalau saya yang pertama,dan karena  kita telah sepakat bahwa, korupsi harus diberantas secara tuntas dengan “prosedur luar-biasa” (extra-ordinary  measures),bukankah kesepakatan itu juga harus berlaku untuk narkoba ? Kita sudah mempunyai BNN (Badan Narkotika Nasional) untuk menghadapi para Bandar-narkoba di tengah masyarakat, tetapi bagaimana dengan Bandar-narkoba yang berlindung dalam Lapas ?  

Pengawasan terhadap Jajaran Ditjen PAS[5]
Dalam era Reformasi yang sudah bergulir 15 tahun ini, maka salah satu asas yang utama adalah akuntabilitas, yang berisi “keterbukaan” dan “pengawasan”. Kesediaan Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan mempunyai “komisi pengawas” menunjukkan kesepakatan mereka dengan asas akuntabilitas (meskipun masih ada juga “gesekan”). Tetapi kita semua menyaksikan bahwa asas ini tidak dianut oleh Ditjen PAS, buktinya adalah dalam KUHAP tahun 1980 sudah tercantum adanya “Hakim WasMat” (hakim yang mengawasi dan mengamati Lapas-yang juga dikenal di Luar Negeri), tetapi dalam UU Pemasyarakatan 1995, kehadiran “pengawasan dari luar” ditolak.

Ini adalah kebiasaan-keangkuhan pejabat pemerintahan di Indonesia, yang menolak pengawasan dari luar jajarannya yang bukan atasannya. Konsep “civil society” mengharuskan adanya pengawasan oleh dan akuntabilitas kepada publik. Bencana nasional “Lapas jadi sarang Bandar-narkoba”, harus segera diatasi dengan akuntabilitas melalui suatu “Komisi Pengawas Pemasyarakatan”(ini harus merupakan “tindakan darurat pertama”) yang terdiri seluruhnya dari orang-luar Pemasyarakatan.Tindakan darurat kedua adalah mengaktifkan Hakim Wasmat. Untuk saya bencana yang mungkin akan kita hadapi dalam 5-10 tahun mendatang dari narkoba yang bersarang di Lapas adalah lebih besar dari bahaya korupsi yang sekarang meluas di Indonesia.

Ahmad Tabroni[6] meyampaikan dalam analisanya tentang “darurat lapas nasional” ini, adanya empat permasalahan:a) “kelebihan kapasitas”; b)”lemahnya koordinasi dan pengawasan”; c)”minimnya kesejahteraan petugas”; dan d)”melencengnya filosofi pemasyarakatan”. Saya sangat setuju dengan analisa dari seorang pemerhati masalah Lapas dari kalangan publik ini, tetapi sya ingin menggaris bawahi masalah “melencengnya filosofi pemasyarakatan”. Bukankah ini sangat memalukan bagi kalangan Ditjen Pemasyarakatan (bukan saja yang sekarang berada di sana, tetapi juga mereka yang telah pensiun !). Untuk apa mereka mempunyai Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP), untuk apa mereka mencanangkan adanya “ilmu” pemasyarakatan narapidana, kalau tempat pembinaan (Lapas) menjadi sarang “Bandar narkoba” (yang bila tidak dirazia BNN tidak akan pernah terbongkar !). Masalah “kesempitan” Anggaran dan Fasilitas, malah dijadikan “kesempatan” bersekongkol denga “mafia narkoba”!

Mencari Pemimpin
Dari uraian di atas, maka pertanyaan yang akan timbul adalah siapa yang sanggup “membersihkan” jaringan korupsi yang berkolusi dengan jaringan narkoba di Lapas-lapas Indonesia ? Beberapa minggu lalu Kementerian Hukum dan HAM sedang mencari seorang Direktur Jenderal yang punya kredibilitas,kemampuan,komitmen dan program-kerja untuk mengatasi “gawat-darurat” dalam Lapas-lapas Indonesia.[7] Apakah pejabat ini  dapat dicari dari “orang-dalam” Ditjen PAS ? Saya berpendapat tidak mungkin. Ini bukan ketidak-percayaan pada “kejujuran”, tetapi seperti telah terlihat terulang-kali di Indonesia , “sukar untuk menindak teman-sejawat yang telah lama sama-sama berkarier di kantor yang sama”, juga “sukar melawan sistem anti-hukum yang sudah berurat-berakar kemana-mana”. Jadi harus dicari seseorang dari luar jajaran Pemasyarakatan !

Saya hanya dapat menyebut beberapa kriteria – orang yang memenuhinya masih perlu dicari. Kriterianya (bagi) saya adalah sebagai berikut:

1)Harus berasal dari militer atau kepolisian – mengapa ? Karena “pembersihan Lapas” harus dengan “tangan keras – tegas – tapi adil”;

2)Kalau dari militer sebaiknya punya pengalaman sebagai Polisi Militer dan kalau dari kepolisian, sebaiknya punya pengalaman di BNN – mengapa ? Karena militer harus punya pengalaman “kepolisian” dan polisi harus punya pengalaman “memerangi narkoba”;

3)Sebaiknya juga punya pengalaman di bidang intelejen – mengapa ? Karena “pembersihan Lapas” dari jaringan narkoba dan korupsi harus memakai bantuan informan dan “under cover agents”;  dan

4)Sebaiknya laki-laki – mengapa ? Ini bukan masalah gender, tetapi para “hantu mafia narkoba” (mereka adalah  pemodal” yang berada dibelakang Bandar-narkoba) mungkin akan “menyepelekan” perempuan – tetapi memang sebaiknya  ada Wakil Dirjen yang perempuan,yang dapat menyusun strategi mencari informasi dari istri-istri dan ibu-ibu para narapidana, merekalah yang secara teratur mengunjungi dan mendapat berbagai keluhan masalah dari keluarganya di Lapas-lapas.


Penutup
“Benang Kusut Jeruji Besi” seperti yang diistilahkan oleh Forum Keadilan dan analisa “Darurat Lapas Nasional” istilah Ahmad Tabroni, mengajak kita merenungkan bagaimana pembaruan dalam sistem kepenjaraan kita melalui konsep “Pemasyarakatan Sahardjo” (1963), yang ingin menghilangkan sistem “bui” jaman penjajahan Hindia Belanda, dapat begitu dicemari oleh anak-buah Ditjen Pemasyarakatan, sehingga menjadi “Sarang Kejahatan” (istilah Forum Keadilan, hal 12).

Apa yang salah ? Oknumkah ? Sistemkah ? Pendidikan di AKIP kah ?
Dan seperti pada masalah-maslah sosial yang lain di Indonesia – benang kusut permasalahan sosial ini memerlukan pengkajian mendalam oleh ahli-ahli ilmu sosial – tidak ada gunanya negara kita membanggakan “kemajuan di bidang ekonomi yang tinggi” serta “kemajuan di bidang teknologi yang canggih”, kalau masalah-masalah sosial seperti ini saja tidak/belum dapat kita atasi.  


Makalah ini telah disampaikan pada Radio Talk Show dan Diskusi Publik di Komisi Hukum Nasional RI Rabu, 28 Agustus 2013.


[1] Lihat juga, Ahmad Tabroni “Darurat Lapas Nasional” dalam Suara Pembaruan,Rabu, 21 Agustus 2013, hal.10 dan lihat juga Majalah Forum Keadilan No 16, 25 Agustus 2013 yang membahas tentang “Benang Kusut Jeruji Besi”- Kongsi Bandar Ekstasi dengan Pejabat Penjara.
[2] Dalam buku-buku Kriminologi dibahas sebagai “Prison Culture” – lihat A.Josias Simon R & Thomas Sunaryo,2011, Studi Kebudayaan Lembaga Pemayarakatan di Indonesia, Penerbit Lubuk Agung.
[3] Kemungkinan korupsi terbesar di Lapas adalah di bidang pengadaan Pangan dan Obat-obatan
[4] Kalau sekarang publik menkritik Kepala Negara karena banyaknya mis-management dan korupsi dalam jajaran pemerintah/kementerian, mengapa kita tidak mengkritik Ditjen PAS untuk bertanggungjawab?
[5] Lihat juga Muhammad Mustofa, “Penjara harus diurus oleh Kementerian tersendiri”,Forum Keadilan,No 16,25 Agustus 2013, hal.18
[6]  Ahmad Tabroni,Op.cit
[7] Ada lebih dari 600 Lapas di seluruh pelosok Nusantara kita !

Rabu, 11 Desember 2013

Kasus Bank Century : WARISAN untuk Presiden Yang Akan Datang*



Pendahuluan
Kita berada diambang pergantian pemerintahan dalam tahun 2014. Dalam negara hukum yang demokratis (dan Indonesia adalah demikian menurut konstitusinya) pergantian ini harus dianggap normal. Seperti pada setiap pergantian jabatan, maka akan ada serah terima kekuasaan beserta serah terima permasalahan yang belum tuntas solusinya. Dengan perkataan lain, pemerintahan yang lama akan “mewariskan” kepada pemerintahan yang baru sejumlah permasalahan yang dihadapinya pada masa kekuasaannya. Salah satu permasalahan yang akan di”waris”kan kepada Presiden dan DPR yang akan berkuasa dalam periode 2014 – 2019 adalah kasus Bank Century ![1]

Warisan ini memang menarik untuk dibahas secara hukum, karena mempunyai berbagai dimensi hukum (disamping dimensi politiknya) yang menurut saya tidak  biasa. Pertama-tama adalah dimensi “kebijakan” – apakah kebijakan yang keliru dari segi penilaian seorang pejabat pemerintah tentang situasi, dapat dipermasalahkan secara hukum ? Kedua dimensi pertanggungjawaban atasan atas perbuatan bawahan – seberapa jauh atasan harus turut bertanggungjawab atas perbuatan bawahan. Dan ketiga, dimensi kemungkinan adanya tindak pidana yang terjadi – artinya ada kesengajaan ataupun kelalaian yang menyebabkan dilanggarnya UU No.31/1999 jo UUNo.20/2001 tentang Korupsi.

Yang tentu juga menarik untuk dibahas dalam konteks ketatanegaraan adalah polemik tentang kemungkinan “permakzulan” (impeachment) terhadap Presiden, karena  dugaan terlibat dalam kasus Bank Century ini. Tetapi hal ini tidak akan dibicarakan di sini, cukup mencatat bahwa polemik terjadi sekitar bulan Januari 2010 dan menyebabkan Presiden merasa perlu untuk membicarakan hal ini dalam suatu pertemuan dengan pimpinan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara: MPR, DPD, DPR, BPK, MA, MK, dan KY di Istana Bogor.[2]  

Beberapa orang telah diproses secara hukum pidana mengenai kasus Bank Century[3]  ini, seperti: Rafat Al Rizvi, Hesham Al Warraq (keduanya pemegang saham pengendali-dihukum in absentia)[4], Hermanus Hasan Muslim,dkk (Direksi), Robert Tantular (pemilik saham minoritas -telah selesai menjalani pidana penjara 4 tahun), Budi Mulya dan Siti C.Fadjrijah (keduanya mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia dan pada saat ini masih tersangka menurut KPK)[5]. Bank Indonesia bulan Juni 2013 juga sudah digeledah dan ada 20 kotak dengan dokumen yang disita (=dibawa penyidik untuk dipinjam guna pemeriksaan). Di dalam skala kasus-kasus yang punya implikasi politik, ini termasuk salah satu skandal besar yang tercatat dalam sejarah perkara pidana Indonesia.Kecuali melibatkan tokoh-tokoh politik seperti Presiden, Wakil Presiden, Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia, jumlah uang yang dipermasalahkan juga cukup besar 6,7 Triliun Rupiah atau waktu itu (2008) sekitar -/+700 Juta Dolar Amerika Serikat.

Bagaimana nasib perkara seperti ini untuk pemerintah yang akan datang ? Warisan
kasus yang menggugah pertanyaan dan spekulasi !


Hukum, kekuasaan dan manipulasi
Orang awam hukum umumnya berpendirian bahwa hukum diperlukan untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat (tertib sosial). Terutama dalam bidang perekonomian pendekatan seperti ini ditekankan oleh pemerintah (baca: Penguasa). Berbagai macam peraturan diterbitkan pemerintah dengan alasan agar terdapat ketertiban dalam usaha pemerintah mengatur perilaku di bidang ekonomi. Untuk memperkuat pemerintah dalam “memaksakan” sesuatu aturan, maka sering sekali pelanggara aturan tersebut diancam dengan sanksi pidana.Bidang hukum pidana ini dikenal sebagai hukum pidana administratif (administrative offenses - Ordnungswidrigkeiten). Menurut saya kasus Bank Century ini pertama-tama dan utama adalah pelanggaran tindak pidana administratif.

Untuk meninjau dimensi pertama, kita kembali kepada kebijakan pemerintah untuk menyatakan suatu peristiwa sebagai mempunyai daya membahayakan sistem perekonomian.  Seandainya dapat dibuktikan bahwa penilaian tersebut keliru, dapatkah pejabat yang membuat kebijakan tersebut dituntut berdasarkan hukum ? Dalam kasus Bank Century peristiwa ini dibawa ke ranah hukum, karena kebijakan ini membawa akibat kerugian keuangan pada negara. Menurut saya kasus ini dapat membawa preseden buruk apabila pertanggungjawaban politik (political liability) tidak dipisahkan dengan baik dibanding dengan pertanggungjawaban administratif (administrative liability). Mengapa demikian? Secara singkat dapat dikatakan, karena dalam hal pertama (political liability), maka secara sopan-santun politik pejabat bersangkutan cukup mengundurkan diri saja. Dan hal ini sudah cukup sebagai sanksi atas kebijakan yang keliru. Tetapi dalam hal kedua (administrative liability), maka pejabat tersebut harus diajukan di muka Pengadilan Tatausaha Negara dan kalau dinyatakan bersalah dapat dikenakan tindakan disiplin atau mungkin sampai pada pemberian denda administratif yang bersifat punitif (punitive fine).Kalau jalan kedua yang diambil, maka tentu (seharusnya) hal ini akan menutup karier selanjutnya dari pejabat bersangkutan, dan paling tidak, ini juga dapat berakibat besar terhadap kekayaannya (apabila harus membayar punitive fine yang sangat tinggi).

Dalam kasus Bank Century (dilihat dalam dimensi kedua) juga ada dugaan terdapat kekeliruan pejabat pemerintah karena kekeliruan bawahannya. Gubernur Bank Indonesia maupun Menteri Keuangan pada waktu itu tentunya membuat keputusan mereka berdasarkan “pengetahuan mereka yang terbaik” (to the best of their knowledge) dalam menilai laporan fakta dan analisa yang dibuat bawahan mereka, dengan memperhitungkan pula keadaan ekonomi dunia pada waktu itu. Tentunya dalam kegentingan yang dibayangkan mereka ketika Bank Century kalah kliring dan melihat kondisi bank tersebut, sudah sepatutnya mereka bertindak ekstra hati-hati dalam menilai fakta dan analisa bawahan mereka. Dalam hal dapat diduga bahwa terdapat kelalaian dalam hal ketelitian yang diperlukan pada waktu itu, maka tentunya mereka dapat dimintakan pertanggungjawaban atas kekeliruan analisa bawahan mereka (ini sesuai dengan ajaran respondeat superior – let the master answer). Juga di sini diperlukan penilaian oleh pengadilan atau tim yang independen tentang seberapa jauhnya kesalahan mereka sebagai atasan.

Dimensi ketiga dari Bank Century adalah adanya indikasi telah terjadi tindak pidana korupsi, karena itu penyidikan kasus ini dibebankan kepada KPK. Kebijakan memberi dana talangan yang menurut berita mencapai 6,7 Triliun rupiah dianggap telah merugikan keuangan negara dan karena itu dapat termasuk korupsi. Terdapat berbagai dugaan dan persangkaan tentang dana talangan ini. Kalau mendengar Robert Tantular, dana talangan yang dimintanya hanyalah satu Triliun Rupiah, dan dia pun heran mengapa kemudian menjadi 7 kali lebih besar.Siapa harus bertanggungjawab atas “pembengkakan” dana ini? Dan ke mana dana itu disalurkan ? Teka-teki ini membawa berbagai spekulasi yang pada dasarnya mempunyai implikasi hukum pidana tetapi juga implikasi politis !

Apa yang kita lihat dari uraian singkat di atas adalah kemungkinan Bank Century ini memang merupakan skandal yang melibatkan “manipulasi hukum oleh kekuasaan”.

Bagaimana sebaiknya pemerintah yang akan datang menghadapi warisan dugaan “skandal manipulasi hukum oleh kekuasaan” ini ?


Saran Penanganan Kasus Bank Century di Tahun 2014
Saya berpendapat bahwa kasus ini tidak akan dapat diselesaikan tuntas dalam masa pemerintahan SBY. Kasus ini mempunyai muatan politik yang besar dan karena itu sebaiknya jangan diteruskan dalam jalur politik selama periode Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden di tahun 2014. Apa yang sebenarnya terjadi dalam tahun 2008 dengan masalah Bank Century, yang berjalan bersamaan dengan krisis dunia yang dipacu oleh masalah subprime mortgage default di Amerika Serikat, yang kemudian menjalar juga ke Eropah, kita belum  tahu secara jelas. Yang ada adalah hanya dugaan, persangkaan dan spekulasi. Bila ini dibiarkan membesar dalam masa Pemilu 2014, maka ditakutkan akibatnya tidak akan dapat terkendali dengan baik.Dan hal ini dapat merusak iklim demokrasi di Indonesia yang masih rapuh sendi-sendinya.

Ini tidak berarti bahwa kasus Bank Century harus di “peti-es”kan! Ini adalah warisan yang harus diterima oleh Presiden yang akan datang. Sebaiknya pemerintah yang akan datang membentuk suatu Panitia Independen yang melapor kepada DPR dan Presiden untuk memeriksa kasus ini dan memutuskan dalam hal pertama (tentang political dan administrative liability) dan hal kedua (tentang respondeat superior). Adapun tentang hal ketiga, mengenai ada atau tidak adanya  pelanggaran undang-undang korupsi harus tetap diserahkan kepada dan diselesaikan oleh KPK.[6]


Kesimpulan
Kasus Bank Century memang merupakan “bola panas” yang harus diterima oleh Presiden yang akan datang untuk diselesaikannya bersama dengan jajaran kabinet serta DPR dan Mahkamah Agung. Apakah nanti Mahkamah Konstitusi dan KY serta KPK akan memainkan peranan tergantung kepada situasi politik setelah Pemilu.Jalur politik akan dimainkan oleh Presiden dan DPR. Jalur hukum akan dimainkan oleh MA dengan KPK dan mungkin pula KY.Sedangkan MK akan bertindak sebagai pengawas untuk melihat bahwa Konstitusi tidak dilanggar, seandainya “percaturan” politik akan meminta pertanggungjawaban kepada pemerintahan yang lama.


*Tulisan ini telah diterbitkan di Newsletter Komisi Hukum Nasional - November 2013


[1] Kasus bail-out ini terjadi tahun 2008, di mana dana sebesar Rp 6,7 Triliun diinjeksikan secara bertahap olreh Bank Indonesia (BI) dan Lembaga Penjamin  Simpanan (LPS).Ada dua buku yang ditulis tentang hal ini oleh Chudry Sitompul, SH,MH, dkk  dari Universitas Indonesia tentang Skandal Bank Century : Rekayasa Bail-out Rp 6,7 Triliun  dan  Lolosnya Pemegang Saham Pengendali, Pusat Pengkajian Hukum Acara dan Sistem Peradilan, FHUI, 2012. Bank ini sekarang bernama Bank Mutiara.
[2] Di DPR telah dibentuk Panitia Khusus Bank Century  yang menjadikan kegiatan talangan ini menjadi isyu politik dengan saran dilakukan penyidikan kriminal terhadap mantan Gubernur BI/sekarang WaPres Boediona dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
[3] PT Bank Century Tbk  adalah merger antara Bank CIC, Bank Danpac dan Bank Pikko, dengan persetujuan BI dan Bapepam bulan Desember 2004. Ada indikasi terdapat penyimpangan dalam cara merger,karena tidak sesuai dengan SOP yang ada.
[4] Mereka dihukum  15 tahun penjara dan dende Rp 15 Miliar serta membayar uang pengganti Rp 3,1 Triliun karena melakukan korupsi dan pencucian uang. Hingga saat ini mereka masih berada di luar negeri (melarikan diri).
[5] Budi Mulya adalah Deputi V Bidang Pengawasan dan Siti Fadjrijah adalah Deputi IV Bidang Pengelolaan Moneter Devisa di BI.
[6] Pemerintah Indonesia pada bulan Agustus 2013  telah minta bantuan otoritas hukum di Pulau Jersey (di Selat Inggris) untuk membekukan asset yang diduga berasal dari Bank Century dan dilarikan ke luar negeri oleh Rafat Ali Rizvi (yang telah diminta di ekstradisi).Untuk keperluan ini telah diterbitkan Peraturan Presiden No.9/2012 untuk menjadi dasar meminta Mutual Legal Asistance..Aset Bank Century di Jersey diduga mencapai 40 juta Dolar Amerika Serikat.