Rabu, 20 April 2016

Beberapa Catatan Untuk Perjalanan Sejarah Hukum Pidana Indonesia*


Pengantar

Tulisan ini akan mencoba memberikan selayang-pandang perjalanan sejarah hukum pidana kita. Baik hukum pidana materiil maupun hukum acara pidana (hukum pidana formil). Tentu untuk sebagian makalah ini saya harus memakai memori/ingatan saya dan tentu akan bersifat subyektif dalam komentar saya terhadap perjalanan sejarah tersebut. Tulisan ini juga akan bersifat lebih deskriptif daripada analitis dan karena itu juga masih memerlukan perbaikan berdasarkan pertanyaan dan kritik yang akan diajukan.



Uraian singkat di bawah ini dibagi dua: A) berhubungan dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dimulai dengan Wetboek van Strafrecht voor Nedelands Indie 1918  dan  B) tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimulai dengan Het Herziene Indonesisch Reglement 1941.



----------



A)-Wetboek van Strafrecht (WvS-HB) untuk Hindia Belanda

WvS HB ini diundangkan dalam tahun 1915 dengan Staatsblad No.732 tetapi mulai berlaku 1 Januari 1918, dan karena itu jangan kita lupakan umurnya sudah hampir 100 tahun (satu abad !). Tentu nilai dan norma yang jadi dasar penyusunannya sudah berbeda. Karena itu menurut saya  adalah sangat mengherankan bahwa terjadi kelambatan yang sangat besar dalam membicarakan Rancangan 1993 KUHP Nasional yang secara resmi disampaikan kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh pada bulan Maret 1993 (lebih dari 20 tahun yang lalu !) dan disusun oleh suatu Tim yang resmi diangkat Pemerintah RI mulai tahun 1983 (jadi telah dikerjakan selama 10 tahun !).



Sebelum adanya WvS pemerintah Hindia Belanda membiarkan daerah-daerah swapraja memakai hukum adat sebagai sumber langsung hukum pidana. Tetapi memang disamping itu terdapat pula “strafrecht voor de Inheemsche groepen”, namun yang hanya berlaku apabila secara tegas dinyatakan demikian (voor zoover het uitdrukkelijk tooepasselijk is verklaard). Dan dalam kenyataannya yang dinyatakan secara tegas berlaku adalah perbuatan-perbuatan yang dalam hukum adat tidak ada persamaannya (geen aequivalent). Keadaan ini berlaku sampai tahun 1873, karena pada waktu itu mulai berlaku KUHPidana untuk golongan Bumiputera dan Timur Asing dan ada pula KUHPidana untuk golongan Eropah (yang terakhir ini sudah berlaku sejak tahun 1866).



Secara umum dan sederhana kita dapat simpulkan bahwa semasa Indonesia dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda, terdapat tiga periode berbeda dalam politik hukum pidana di Indonesia[1]:



  1. periode sampai tahun 1873,  di mana golongan Bumiputera masih dapat tunduk kepada hukum pidana yang bersumber langsung pada hukum adat; dengan ketentuan bahwa untuk hal-hal tertentu (umumnya yang berhubungan dengan tatakelola pemerintahan dan perdagangan hasil bumi yang dikuasai pemerintah), secara tegas (uitdrukkelijk) dinyatakan berlaku ketentuan dalam “peraturan perundang-undangan hukum pidana untuk golongan-golongan bumiputera” (strafrecht voor de Inheemsche groepen);



  1. periode mulai tahun 1873,  di mana terdapat dua KUHPidana, yaitu untuk golongan Bumiputera dan Timur Asing, dan yang lain untuk golongan Eropah. Ini dikenal sebagai sistem dualism;



  1. periode mulai tahun 1918, di mana ada sistem unifikasi dalam KUHPidana, yaitu berlakunya Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indie dalam tahun 1918, yang berlaku untuk semua golongan penduduk: Bumiputera (Indonesia), Timur Asing (Tionghoa dan Arab) dan Eropah (termasuk Jepang dan yang dipersamakan sebagai golongan Eropah). KUHPidana/WvS H-B ini, berdasarkan asas konkordansi, adalah serupa dengan WVS di Belanda yang mulai berlaku September 1886 di Belanda.



Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP- RI) 1918 untuk RI

WvS yang ditulis dalam bahasa Belanda adalah yang sah merupakan undang-undang otentik yang berlaku bagi rakyat Indonesia sejak kemerdekaan kita dari pemerintahan Hindia Belanda. Dengan sejumlah perubahan (yang kurang signifikan ?) dalam periode 1942 – 1945 (periode pemerintahan militer Jepang di Indonesia) dan dalam tahun 1945 – 1950 (periode perang kemerdekaan Republik Indonesia), maka WvS ini tetap berlaku[2]



Jadi WvS Hindia Belanda ini (S 1915-732  yang berlaku mulai 1 Jan 1918), oleh Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 dinyatakan berlaku di Republik Indonesia – ini kemudian dipertegas dengan UU No.1/1946, menjadi berlaku untuk seluruh wilayah RI dan nama resmi WvS Ned-Indie menjadi WvS saja. Kemudian pada masa RIS (periode adanya Lembaga Konstituante di Bandung) diterbitkan UU No.73/1958, untuk menegaskan kembali berlakunya UU No.1/1946 untuk seluruh wilayah RI. Setelah adanya Dekrit Presiden Sukarno 1959, untuk kembali kepada UUD 1945 dan dibubarkannya Lembaga Konstituante, maka dengan UU No.1/1960 dikukuhkan kembali bahwa WvS (KUHP) berlaku untuk seluruh wilayah RI (namun selalu patut diingat bahwa WvS ini teksnya masih dalam bahasa Belanda !).



Yang aneh adalah yang dipergunakan dalam praktek hukum dan dalam pendidikan hukum adalah terjemahan tidak resmi (atau tidak disahkan) dari undang-undang otentik berbahasa Belanda.Ada berbagai terjemahan WvS menjadi KUHP[3] dan juga buku tentang hukum pidana yang ditulis dalam bahasa Indonesia, dan inilah yang menjadi rujukan para praktisi dan teoritisi hukum pidana di Indonesia. Meskipun sejumlah kritik dari kalangan hukum sudah sering diajukan, namun belum ada tanggapan Pemerintah kita tentang anomali ini. Juga Mahkamah Agung dan jajaran pengadilan di bawahnya tidak meresahkan kemungkinan salah atau beda tafsir dalam teks bahasa Indonesia terhadap teks bahasa Belanda.Saya tidak tahu apakah ada Negara lain (Malaysia ?) yang juga demikian, undang-undang masih dalam bahasa asli dari pemerintah jajahan (misalnya bahasa Inggris), tetapi pengadilannya dan sistem hukumnya memakai terjemahan tidak resmi (tidak disahkan).



Adapun catatan saya ini, bukanlah mengada-ada hal yang kecil. Menurut saya dalam dunia hukum, maka bahasa adalah utama.Argumentasi hukum dibuat dalam tulisan dan bahasa Indonesia, dan hakim (atau pihak lawan – advokat atau JPU) akan menafsirkan dan memberi argumentasi-kontra. Bagaimana melakukan hal ini dengan hukum pidana materiil (KUHP 1918) yang mempunyai berbagai terjemahan dari WvS-HB ? [4]



Rancangan KUHP Nasional versi 2014 (berada di DPR-RI)

Sekarang pada awal tahun 2016 di DPR sedang dibicarakan Konsep/Rancangan KUHP Nasional kita. Rancangan ini diajukan secara resmi oleh Pemerintah pada tahun 2014 (karena itu selanjutnya dalam makalah ini dinamakan R-KUHP 2014)[5]. Seperti telah dijelaskan sebelumnya naskah R-KUHP yang pertama diserahkan pada tahun 1993 kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh, sehingga naskah ini sampai di DPR 21 tahun setelah resmi diterima dari Panitia Penyusunan Rancangan KUHP, dengan ketua Prof.R.Soedarto,SH (1982-1986), Prof.Mr.Roeslan Saleh (1986-1987) dan Prof.Mardjono Reksodiputro (1987-1993).



R-KUHP versi 2014, tentu telah memuat berbagai perubahan dibanding R-KUHP 1993. Karena saya hanya mengikuti perkembangan Rancangan tersebut sampai tahun 2000 (ada naskah resmi R-KUHP 1999/2000), dan selanjutnya hanya berdasarkan perkembangan di  media massa, maka pemahaman saya juga akan terbatas dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Namun beberapa perubahan yang sangat mendasar dibanding WvS 1918, akan saya sampaikan di bawah ini. Sebagian catatan di bawah ini diambil dari buku saya (MR,2007, Pembaharuan Hukum Pidana – Kumpulan Karangan – Buku Keempat, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia).



Kesepakatan umum yang diambil dalam Buku I dan Buku II

Sejumlah pokok pikiran yang kemudian dijabarkan lebih lanjut adalah sbb:



Beberapa asas dalam Buku I:

1)Dihapuskannya perbedaan antara “kejahatan” dan “pelanggaran”;

2)Dipergunakannya istilah “tindak pidana” untuk “strafbaarfeit”;

3)Pengertian bentuk-bentuk “kesalahan”  dalam dolus dan culpa ditegaskan maknanya:

4)Pertanggungjawaban pidana korporasi dicantumkan (vicarious liability dan strict liability );

5)Dicantumkan adanya “kurang kemampuan bertanggungjawab” (verminderde toerekeningsvatbaarheid atau irresistible impulse);

6)Tetap mengakui asas legalitas, namun memberi tempat pada “hukum pidana adat/delik adat” dengan pidana “pemenuhan kewajiban adat”[6];

7)Pidana mati diakui sebagai pidana yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif[7];

8)Pidana pokok ditambah dengan pidana “tutupan”, pidana “pengawasan”, dan pidana “kerja sosial”;

9)Dalam sistem pemidanaan diperkenalkan pidana “denda dengan kategori” dan “double track system” (sistem dua jalur), yaitu adanya “tindakan” (maatregel), disamping pidana (straf)[8];

10)Dicantumkan ketentuan tentang “tujuan pemidanaan” dan “pedoman pemidanaan bagi hakim” (straftoemetingsleidraad).



Beberapa jenis tindak pidana baru dalam Buku II

1)Melalui Buku I (asas-asas) dikenal “delik adat” dalam rumusan “berlakunya hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana, walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan”[9] ;

2)Tindak pidana terhadap keamanan negara dari bahaya komunisme, ini  merupakan delik terhadap negara dan pemerintahan;

3)Tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama, ini  merupakan delik terhadap ketertiban sosial;

4)Tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan, ini merupakan delik “contempt  of court” atau delik “against the administration of justice”;

5)Tindak pidana terhadap pencemaran lingkungan, ini merupakan delik membahayakan keamanan orang dan barang;

6)Tindak pidana  komputer, ini dapat merupakan “fraud by computer manipulation” – computer espionage – software piracy – computer sabotage – unauthorized access” –  dan secara umum dapat dikategorikan sebagai “computer related economic crimes”;



Dalam usaha menyederhanakan sistematik dalam Buku II, maka saya pernah mengajukan usul untuk membagi delik-delik dalam 7 (tujuh) bab atau kategori besar, yaitu :



1.Tindak pidana terhadap negara dan pemerintahan;

2.Tindak pidana terhadap ketertiban sosial;

3.Tindak pidana terhadap kejujuran;

4.Tindak pidana terhadap harta benda atau barang;

5.Tindak pidana terhadap rasa susila;

6.Tindak pidana terhadap keamanan dan kebebasan orang;

7.Tindak pidana terhadap pelayaran dan penerbangan.



Namun, usul ini tidak diterima, karena akan mengubah seluruh sistematik dari Buku II (KUHP1918 sekarang mengenal 31+10 Bab/Kategori dan 570 Pasal; R-KUHP 2000 mengenal 32 Bab/Kategori dan 645 Pasal;  serta R-KUHP 2014 (sekarang di DPR) memakai 36 Bab/Kategori dan 756  Pasal).



Sekarang dalam tahun 2016, masih saja kita belum mempunyai KUHP Nasional. Padahal setelah 10 tahun Panitia menyusunnya (1982 – 1992) dan menyerahkannya kepada Pemerintah, diperlukan 20  tahun untuk rancangan tersebut sampai kepada DPR (1993 – 2012). Secara garis besar, perubahan yang terjadi dalam Konsep sekarang hanyalah sekitar 25-30% dibandingkan Konsep-Awal.  Sungguh lambat sekali cara kerja para petinggi sarjana hukum Indonesia !



Sepanjang pengetahuan saya, ada beberapa krtitik tajam yang mungkin  akan  memperlambat jalannya diskusi di DPR tentang R-KUHP.

1.Tentang akan berlakunya “delik adat”

Salah satu keberatan yang diajukan dalam tahun 1980-an (waktu perumusan oleh Panitia Awal) adalah bahwa  “delik adat” tidak tertulis, sehingga bagaimana prosedurnya menentukan ada - tidaknya suatu perbuatan yang harus dianggap sebagai delik-adat ?. Dan bagaimana pula  cara pengaduannya ke Kepolisian, bila tidak ada rumusan tertulis. Jawaban Panitia pada waktu itu adalah a.l.: kalau pemerintah Hindia Belanda mau memberi perhatian kepada delik adat dan kemudian oleh kita  melalui UU No.1 Drt 1951 dipertegas kembali, maka sepantasnya hal ini juga wajib dilakukan dalam R-KUHP. Pemerintah Hindia-Belanda dahulu meminta Kepala-kepala Adat untuk turut menentukan delik-adat dan sanksinya, dengan cara meminta mereka mendampingi Majelis Hakim Pengadilan Negeri. Apakah hal itu tidak dapat dilakukan dalam masyarakat kita yang telah merdeka ? Apabila ada kendala dalam melaporkan delik-adat ke Kepolisian, apakah tidak dapat prosedur dilakukan oleh Kepala-Adat langsung ke Pengadilan ?Kita telah mengakui adanya masyarakat multi-kultural  Indonesia dan adanya pluralisme hukum, maka adalah kewajiban kita untuk mencari solusi dalam masalah ini.



2. Tentang adanya pasal-pasal yang dianggap akan melemahkan kebebasan menyampaikan pendapat (terutama oleh Pers)

Dewan Pers pernah mengemukakan dalam media massa bahwa R-KUHP 1993 bertentangan dengan era kebebasan pers Negara demokrasi, karena banyaknya pasal-pasal (ada sekitar 40-an ?) yang dapat menjerat pers dalam tugasnya memberi informasi kepada publik. Sepanjang pemeriksaan saya, maka semua pasal yang dituduhkan sebagai melemahkan kebebasan pers, sebenarnya ditujukan kepada pelaku manusia yang menyebarkan fitnah, kabar bohong atau menyerang kehormatan seseorang. Apabila Dewan Pers ingin agar pasal-pasal ini dikecualikan bagi lembaga pers, maka menurut saya caranya adalah dengan atau dalam undang-undang: a)membuat prosedur, bahwa dalam hal yang dilaporkan adalah individu atau lembaga Pers, maka harus dilalui dahulu pelaporan kepada dan keputusan Dewan Pers; dan

b)Dewan Pers menerbitkan Pedoman agar jelas yang dimaksud dengan “trial by the press”  dan  “berita untuk kepentingan umum” (public interest).   



3. Tentang bab khusus Korupsi yang dianggap sebagai “bencana” terhadap legitimasi adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Dalam R-KUHP 2014, terdapat Bab XXXII dengan judul Tindak Pidana Korupsi (berisi 14 Pasal). Bab ini tidak ada dalam R-KUHP 1993 maupun dalam R- KUHP 1999/2000, jadi dimasukkan oleh Panitia-panitia Penyusun Rancangan KUHP antara tahun 2000 – 2014. Sedangkan R-KUHP 2014 ini telah beredar diantara kalangan akademisi dan pejabat penegak hukum (kepolisian,kejaksaan,KPK) dan pejabat Pengadilan sebelum tahun 2013. Namun, baru tahun 2014 mulai diperdebatkan bahwa masuknya Bab ini adalah untuk membubarkan KPK. Adapun argumentasinya secara singkat adalah sbb: KPK dibentuk khusus untuk menangani masalah korupsi yang sudah sangat mengkhawatirkan di Indonesia. Korupsi adalah tindak pidana khusus (bijzondere delict), dengan adanya delik dalam KUHP, maka delik akan menjadi delik umum (algemeen delict), dan karena itu KPK tidak berhak lagi menanganinya dan harus dinyatakan bubar. Pendapat yang berbeda menyatakan bahwa dengan mengikuti pendapat di kalangan hukum pidana Belanda, maka pendapat umum kalangan hukum pidana Indonesia adalah bahwa untuk hukum pidana (materiil dan formil) kita menganut asas kodifikasi (untuk menyusun peraturan per-uu-an pidana yang konsisten dan koheren/bertalian secara logis). Adanya delik umum sebagai delik pokok untuk korupsi (perbuatan curang, penyuapan, kejahatan dalam jabatan) tidak meniadakan keperluan adanya peraturan perundang-undangan khusus tentang korupsi. Berarti UU Korupsi di luar KUHP masih dapat dipertahankan dan sekaligus tentunya adanya UU khusus Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi yang membentuk KPK dan UU tentang Pengadilan Khusus Korupsi juga dapat dipertahankan. Hanya saja, isi Bab XXXII tersebut masih harus disesuaikan dengan pikiran di atas.  

----------

B)-Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) untuk Hindia Belanda

HIR ini diundangkan dengan Staatsblad 1941 No.44, terjemahan yang dipergunakan adalah “Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui” atau Reglemen Indonesia 1941 saja. Reglemen ini dimulai pada tahun 1846 dan diundangkan dengan S.1948-57 untuk mulai berlaku 1 Mei 1848. Diperbaharui dengan S.1926-559 dan terakhir dengan S.1941-44. Reglemen ini mengatur tentang “kepolisian, hukum acara perdata dan hukum acara pidana” dan berlaku untuk orang Indonesia dan golongan Timur Asing di Jawa dan Madura. Untuk daerah di luar Jawa dan Madura berlaku peraturan lain (tetapi serupa) bernama Rechtsreglement Buitengewesten (Reglemen Daerah Luar) dengan S.1927-227 dan untuk golongan Eropah berlaku Reglement Op De Rechtsvordering (Reglemen Hukum Acara) dengan S.1847-52. Gambaran sederhana dan singkat di atas, hanya ingin menunjukkan adanya dualisme dalam hukum acara, antara golongan Eropah dengan golongan Bumiputera dan Timur Asing serta antara daerah Jawa Madura dengan daerah luar Jawa dan Madura.



Keadaan ini berangsur-angsur berubah pada masa pendudukan militer Jepang dan kemudian setelah pemerintah kita dapat menyatukan seluruh Indonesia. Perhatian kita adalah hanya pada HIR yang kemudian pada tahun 1981 telah berubah total menjadi KUHAP. Adapun HIR 1941 adalah versi terakhir hukum acara pidana Hindia Belanda yang merupakan pembaruan dari IR tahun 1926, sebagai jawaban atas kritik-kritik yang diajukan oleh sarjana-sarjana hukum Belanda terhadap tatacara menangkap dam menahan warga desa yang dicurigai melalukan kejahatan. Kepala Desa yang merupakan kepanjangan tangan polisi kolonial sering melakukan perbuatan sewenang-wenang dalam menangkap dan menahan warganya. [10]



Jepang masuk di Indonesia (Hindia Belanda) pada bulan Maret 1942, kurang lebih satu tahun setelah HIR 1941 berlaku.Melalui Undang-undang No.1 Drt tahun 1951, maka HIR 1941 ini dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.



 Menurut saya usaha pemerintahan Hindia Belanda untuk memperbaiki sistem peradilan pidana di Indonesia, melalui HIR1941 tidak dapat terlaksana, karena masuknya pemerintahan militer Jepang. Karena itu, maka aparat sistem peradilan pidana Indonesia pada waktu masuknya militer Jepang masih memakai semangat kolonial  IR 1926. Hal ini ditambah dengan sistem peradilan pemerintahan militer Jepang yang dikenal sangat keras dan bengis. Sehingga pada waktu awal kemerdekaan kita, sistem peradilan Indonesia ditangani oleh aparat petugas yang dididik dengan semangat IR 1926 dan semangat militer fasis Jepang (dengan polisi militer dan Kempetai-nya). Antara tahun 1945 – 1981 (selama 36 tahun), inilah budaya SPP kita masih bercirikan semangat “kolonial” dan “kempetai”.[11] Keadaan inilah yang dikritik dalam Seminar Hukum Ke-II yang diselenggarakan oleh LPHN (Lembaga Pembinaan Hukum Nasional) di Universitas Diponegoro, Semarang tanggal 27 – 30 Desember 1968.Dalam seminar ini para Advokat yang tergabung dalam PERADIN (Persatuan Advokat Indonesia) mengeluhkan bagaimana parahnya pelanggaran hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana dan ditujukan kepada perlakuan aparat hukum dalam jaman Indonesia Merdeka kepada rakyatnya sendiri. Perjuangan untuk mempunyai hukum acara pidana Nasional baru berhasil 13 tahun kemudian dengan KUHAP 1981. Bagi saya ini, sekali lagi, ini menunjukkan bagaimana lambatnya para petinggi sarjana hukum Indonesia bekerja untuk memperbaharui hukumnya, dari berciri kolonial menjadi berciri nasional yang menghormati hak asasi manusia !         





Rancangan KUHAP Nasional versi 2014 (berada di DPR-RI)[12]  

Sekarang dalam tahun 2016 (25 tahun setelah berlakunya KUHAP 1981), akan dibicarakan di DPR Rancangan KUHAP Nasional Yang Telah Diperbaharui (R-KUHAP). Namun, masih saja ada kritik tajam tentang pembaruan yang diajukan,yang mungkin akan memperlambat pengesahan undang-undang ini.



Catatan saya tentang KUHAP 1981 dapat dibaca antara lain dalam buku saya tahun 2007, yang berjudul Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan – Buku Ketiga, diterbitkan oleh Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia.



Adapun kritik tajam yang saya maksud di atas adalah:



  1. Tentang kewenangan Jaksa-Penuntut Umum (JPU)

Salah satu kelemahan pada KUHP 1981 adalah bahwa kurang jelas terlihat adanya Sistem Peradilan Pidana Yang Terpadu (Integrated Criminal Justice System). Desain prosedur SPP ini terlihat terkotak-kotak yang didasarkan pada pendapat bahwa setiap sub-sistem dalam SPP ini seolah-olah mandiri dan memegang monopoli atas wewenangnya. Asas pembagian kewenangan diartikan sebagai separation (pemisahan yang menimbulkan persaingan) dan bukan distribution (pembagian suatu tugas bersama dalam SPP). Setelah JPU memeriksa dan menyetujui Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat Penyidik, maka dia wajib membawa dan mempertahankan BAP tersebut di sidang Pengadilan. Sebenarnya ada dua asas yang harus dipergunakan, namun bertolak-belakang dalam proses ini: a)Semua tindak pidana yang cukup bukti, wajib di bawa ke sidang pengadilan, kecuali kepentingan umum menghendaki penutupan perkara tertentu; dan b)Hanya apabila kepentingan umum menghendakinya, maka setiap tindak pidana tertentu yang cukup buktinya, wajib diselesaikan di sidang pengadilan.Baik dalam asas pertama dan kedua, JPU diberi kesempatan menilai perlunya suatu tindak pidana diteruskan ke siding pengadilan[13]. Menurut saya, dalam pelaksanaan KUHAP 1981 sekarang, maka JPU diposisikan hanya sebagai “kurir pembawa BAP” dan yang kemudian bertugas mempertahankannya di muka sidang pengadilan.  





  1. Tentang Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP)

Konsep HPP ini dalam rancangan sebelumnya dinamakan Hakim Komisaris, mengikuti istilah yang dipergunakan dalam hukum pidana Belanda.Sebenarnya HPP ini sudah diusulkan dalam rancangan pertama KUHAP 1981 (pemrakarsa adalah Prof. Umar Senoadji sebagai Menteri Kehakiman), tetapi ditolak oleh pihak Kepolisian dan pihak Kejaksaan, karena dianggap akan melakukan intervensi pada wewenang mereka masing-masing,yaitu penyidikan dan penyusunan dakwaan.Maksud proses ini adalah untuk “mengawasi” agar penyidikan dan penuntutan tidak dilakukan dengan sewenang-wenang, dan hanya yang benar-benar cukup bukti dan diperlukan untuk kepentingan umum dibawa ke sidang pengadilan. KUHAP 1981 memakai lembaga “pra-peradilan”, meskipun secara harafiah hanya dalam hal penangkapan dan penahanan. Namun menurut saya meskipun tersangka tidak ditangkap/ditahan, dia berhak meminta hakim pra-peradilan memeriksa apakah memang ada cukup bukti menyatakannya sebagai Tersangka.Mengapa? Karena status tersangka akan berakibat adanya berbagai pembatasan HAM yang dapat dilakukan pada dirinya dan hartanya (tidak dapat ke luar negeri, siap untuk diperiksa setiap waktu, penggeledahan, penyitaan ). Konsep dasarnya adalah mencegah kesewenang-wenangan Penyidik dan JPU, yang berasumsi subyektif terhadap Tersangka[14].



*Makalah ini telah disampaikan sebagai Kuliah Tamu pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera pada tanggal 7 April 2016.

[1] Pemahaman sejarah pembentukan WvS H-B ini penting, agar kita dapat lebih baik menyusun KUHP Nasional kita. Jangan lupa akan ungkapan “Apa yang ada pada masa sekarang adalah akibat masa lalu, dan apa yang kita perbuat untuk keadaan sekarang ini, akan berakibat pada keadaan yang akan datang”.
[2]Teks bahas Belanda yang berlaku sampai sekarang dapat dibaca dalam buku kumpulan peraturan Engelbrecht,1989,De Wetboeken, Wetten en Verordeningen, Benevens de Grondwet van de Republiek Indonesie – (Di dalam jilid ini dicantumkan undang-undang, peraturan-peraturan, ordonansi-ordonansi,dll, dari zaman Hindia Belanda yang masih berlaku sampai sekarang),P.T.Ichtiar Baru – Van Hoeve, Jakarta., halaman 1223 – 1310.
[3].Ada beberapa terjemahan WvS menjadi KUHP yang dipergunakan oleh berbagai pihak di Indonesia, di kalangan akademisi banyak dipergunakan terjemahan Prof.Moeljatno, gurubesar Hukum Pidana di FH-UGM (1960-an). Di UI dan di PTIK/AHM tahun 1950-an beredar Diktat Perkuliahan Prof.Satochid Kartanegara, gurubesar Hukum Pidana UI/PTIK/AHM yang memuat teks-teks KUHP dalam bahasa Belanda dan terjemahannya – tetapi Prof.Satochid selalu memakai teks Belanda dalam perkuliahannya. Terjemahan KUHP yang terbaru adalah dari Prof.Andi Hamzah dengan Edii Revisi-nya tahun 2008.  
[4] Teori hukum Indonesia harus dibangun dari argumentasi dan yurisprudensi dalam praktek hukum Indonesia, berdasarkan teks undang-undang yang berbahasa Indonesia. Dengan cara begitulah akan berkembangnya ilmu hukum pidana Indonesia.Sekarang kita “dipaksa” memakai teori hukum asing !
[5] Secara resmi R-KUHP ini disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tanggal 11 Des 2012 ke DPR – namun karena ada pergantian anggota DPR dan pergantian Presiden, maka menurut saya secara efektif baru tahun 2014 diterima oleh DPR baru dan tahun 2015 menjadi program Presiden Joko Widodo – karena itu saya namakan R-KUHP 2014.
[6] Asas legalitas memang menuju kepada kepastian hukum, namun tidak kalah penting adalah asas rasa keadilan dalam masyarakat – adanya “delik adat” dengan “kewajiban adat” mengutamakan rasa keadilan.
[7] Maksud “alternatif” adalah adanya pidana lain yang diancamkan agar dapat dijatuhkan hakim, misalnya “seumur hidup” – jadi asasnya berbeda dengan di Singapura untuk delik narkoba.
[8] R-KUHP berusaha mengutamakan denda sebagai sanksi, agar mudah mengubah bila ada inflasi, maka digunakan model “kategori” – “double track system” juga bertujuan mengurangi narapidana dalam Lapas.
[9] Ketentuan ini hanya menegaskan kembali asas yang sudah ada dalam UU No.1 Drt/ 1951
[10] Sistem pemerintahan pamong praja kolonial adalah sebagai berikut: Dibawah Gubernur Jenderal (yang mewakili Raja Belanda di Indonesia) terdapat para Residen, Asisten Residen dan Kontrolir yang semuanya orang Belanda (totok atau campuran/indo). Di bawah ini baru terdapat pamong praja Indonesia, mulai Regent (Bupati), Patih, Wedana, Asisten Wedana dan terakhir Kepala Desa. Cara pemerintahan ini yang dinamakan “indirect rule”,dengan mempergunakan administrator bumiputera untuk memerintah rakyat dengan pejabat-pejabat Belanda dalam posisi-posisi strategis sebagai pengawas. Dan dari Kepala Desa sampai Residen, semua mempunyai kewenangan kepolisian (De uitoefening van de politie – Pasal 1, 2, 3 HIR 1941).
[11] Yang perlu kita simak dari sejarah ini adalah: 1)Belanda (yang dianggap kolonial) telah mencoba untuk lebih memperhatikan HAM Tersangka dan Terdakwa serta Terpidana melalui HIR 1941, namun tidak sempat mendidik aparat Indonesianya (polisi, jaksa dan hakim) memakainya. 2)Kalau pada tahun 1945 – 1981 penegak hukum kita dianggap banyak melanggar HAM, hal itu adalah karena budaya-kerja mereka terbawa oleh cara kolonial IR 1926 (bukan HIR 1941) dan sistem polisi militer Jepang (Kempettai). 3)Kritik sekarang terhadap KUHAP 1981 menunjukkan, bahwa perubahan undang-undang saja tidak mungkin mengubah budaya kerja aparat hukum kita. Perlu “revolusi mental” aparat hukum kita agar mereka dapat dianggap menghormati HAM Tersangka. Terdakwa dan Terpidana.   
[12] R-KUHAP ini juga disampaikan ke DPR oleh Presiden SBY pada Desember 2012 – tetapi baru efektif tahun 2014,dan tahun 2015 menjadi program Presiden Jokowi – karena itu saya namakan R-KUHAP 2014.
[13] Kedua asas ini adalah asas diskresi JPU (Prosecutorial Discretion) dan merupakan ke3bijakan yang dapat diberikan oleh Jaksa Agung kepada jajarannya. Untuk yang pertama, misalnya delik korupsi dan narkoba, semua wajib ke Pengadilan, tetapi untuk yang kedua, misalnya kasus “Nenek Minah” dan delik harta benda yang serupa, maka penyelesaian cukup di Kejaksaan.Dalam kasus yang serius (seperti tuduhan korupsi Pejabat Tinggi atau debat tentang persangkaan dilakukannya delik oleh Pejabat Tinggi), maka Jaksa Agung menggunakan “hak oportunitasnya” atas dasar kepentingan umum. Kewenangan Jaksa Agung ini dinamakan “asas oportunitas” dan bukan asas diskresi.
[14] Memang lembaga hukum dalam KUHAP 1981 dibuat serupa dengan lembaga habeas corpus di hukum acara Amerika Serikat, memberikan hak kepada Tersangka untuk melawan penangkapan atau penahanannya. Lembaga ini diajukan a.l.oleh Adnan Buyung Nasution dkk, untuk melawan kesewenang-wenangan Penyidik dan JPU dalam proses peradilan antara tahun 1945 – 1981 ( antara lain disuarakan oleh PERADIN dalam Seminar Hukum Ke-II, 1968, di UNDIP, Semarang). Sekarang ada cara melakukan intimidasi kepada seseorang “tersangka” yaitu dengan “diumumkan ke media massa tetapi tidak ditangkap ataupun ditahan”. Dengan cara ini, maka tidak ada batas waktu untuk membawa seseorang ke Pengadilan untuk membela diri perkaranya. Dari beberapa kasus dikabarkan juga adanya penyalahgunaan cara ini, dengan meminta “balas-jasa” agar “tersangka” ini tidak ditahan. Karena itu, maka seharusnya ketentuan Pra-Peradilan juga berlaku bagi mereka yang tidak ditahan, tetapi kasusnya “diambangkan” sampai berlarut-larut, dengan adanya dugaan itikad buruk dari Penyidik dan JPU.