Skandal
Kasus Gayus
(Pendekatan
Interdisipliner dan Hukum-
Makalah
untuk Pemicu Diskusi)*
Pendahuluan
Makalah yang diminta adalah “Kasus Gayus ditinjau dari
pendekatan hukum”. Penafsiran saya yang diminta oleh Panitia adalah “juristic
approach/exposition”, seperti yang mungkin akan dilakukan seorang
Advokat dalam membedah kasus kliennya.
Hal itu tidak akan saya lakukan,dan judul di atas dengan segala kekurangan dan
ketidakjelasannya saya pergunakan untuk melihat
masalah yang hanya saya ketahui dari berita-berita media massa.
Dengan hanya berbekal pengetahuan yang diperoleh dari
membaca surat kabar dan majalah serta melihat dan mendengar siaran televisi[1],
maka saya berkesimpulan bahwa ada 4
(empat) sisi dalam Kasus Gayus ini. Adapun sisi-sisi itu adalah :
A.
Kasus Gayus sebagai kasus korupsi –
Kasus penyuapan (bribery) seorang
pegawai negeri (ambtenaar-civil servant)
untuk mengingkari sumpah jabatannya dan melakukan penyimpangan terhadap
kewajibannya.
B.
Kasus Gayus sebagai suatu contoh
dari perilaku menyimpang (deviant
behavior) yang dilakukan oleh satu atau lebih perusahaan besar yang memang punya kekuasaan ekonomi (economic power and elite deviance).
C.
Kasus Gayus sebagai contoh
penyalahgunaan wewenang oleh satu atau lebih petugas penegak hukum (law
enforcement officer) yang telah menimbulkan “geger-media” dan terbongkarnya
“rahasia-umum” tentang “fasilitas yang dapat dinikmati bila dapat membelinya”.
D.
Harta kekayaan yang terungkap dalam
kasus Gayus, melebihi dugaan semula.
Ke“heboh”an kasus ini dengan ke”empat” sisi di atas
menyebabkan saya menjulukinya suatu “skandal”, yang saya pakai dalam judul
makalah ini.
Apa yang dimaksud dengan “skandal” itu ? Skandal
artinya “perbuatan yang memalukan – perbuatan yang menurunkan martabat
seseorang (KBI, hal.1323).Scandal artinya
juga schocking atau sangat
menghebohkan ! Saya memakai istilah ini karena “luar-biasa menarik” kasus Gayus
ini, seorang pegawai negeri tingkat menengah-bawah (III/a) melalui pekerjaan
dan kewenangannya dapat meraih harta-kekayaan (rumah mewah bertingkat ratusan
milyar dalam rekening2 bank – batangan emas dan uang kertas Dolar Singpura yang
masih baru dalam kotak deposito) yang tidak dapat dibayangkan akan dimiliki
seorang pegawai tinggi (IV/e) yang jujur bekerja di pemerintah Indonesia.[2]
Sistem ekonomi negara kita a.l. mendapat julukan
bersifat “rent seeking economics” .
Menurut saya artinya adalah bahwa di dalam kegiatan ekonomi, peranan
“perantara/makelar” adalah biasa (mulai dari perpanjangan KTP/SIM/STNK sampai
a.l mengurus keringanan untuk SPT Pajak). Dari sini juga timbul istilah
“markus” (makelar kasus hukum) dalam sistem “mafia peradilan”. Pengertian “rent seeking economics” a.l ditandai
oleh “bureaucrats who extract bribe or rent for applying their
legal but discretionary powers for awarding legitimate or illegitimate benefits
to clients” (penguasa birokrasi yang minta suap atau upeti untuk menerapkan
kekuasaan sahnya secara diskresi, untuk menguntungkan klien secara sah maupun
tidak). Kalau ini memang sudah diakui ada dalam sistem perekonomian Indonesia
dan terutama mulai “berjangkit sebagai
penyakit-menular” pada masa Era Orde Baru dilingkungan
“istana Cendana”, maka mengapa menjadi sedemikian hebohnya kasus ini ? Mari
kita lihat ke-empat sisi kasus ini satu per satu.
A.Kasus
Gayus – kasus korupsi
Seperti banyak kasus yang ditangani Kepolisian,
Kejaksaan atau/dan KPK,
maka ini perbuatan yang dipersangkakan melanggar UU
Pemberantasan Tipikor. Sebagai seorang pegawai golongan III/a (pegawai
menengah) Gayus telah menjadi perantara/makelar untuk mengurus pemberian
keringanan kepada satu atau lebih wajib pajak. Untuk jasa menjadi makelar-pajak
ini dia mendapat upah untuk diri sendiri atau teman di kantornya yang dapat
membantu urusan tersebut. Sederhana sekali, karena banyak kantor konsultan
pajak melakukan hal serupa.
Apa yang keliru dari Gayus adalah bahwa dia adalah
“orang dalam” yang terikat pada sumpah jabatan sebagai petugas “pemungut-payak”
(tax collector). Karena itu dia dapat
dijerat dengan UU Tipikor,
-pasal 2: secara melawan hukum… memperkaya diri
sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara,
dan/atau
-pasal 3:dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orng lain atau
suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan,
atau sarana yang ada padanya, karena jabatan atau kedudukan,
yang dapat merugikan …
Karena Gayus seorang pegawai negeri, maka dapat juga
dituduhkan kepadanya “kejahatan-jabatan” (ambt
misdrijf) dalam KUHP/WvS :
-pasal 416:sebgai seorang pejabat…sengaja membuat
secara palsu atau memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk
pemeriksaan administrasi…
dan/atau
-pasal 418,419:…pejabat yang menerima hadiah atau
janji padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya … diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya …
Sebagai kasus korupsi (di Indonesia !), ini menurut saya tidak perlu dihebohkan, bukankah
sudah banyak kita melihat kasus-kasus serupa yang sampai di pengadilan ataupun
masuk berita surat kabar ?! Begitu banyak pejabat-pejabat (termasuk
birokrat,penegak hukum,hakim dan anggota DPR) yang menyalahgunakan jabatannya
untuk memperkaya diri dan merugikan keuangan dan perekonomian negara. Sudah
diberitakan sejak masih ada Peraturan Penguasa Perang Pusat 013/1958 (Era Orde
Lama), terus berkembang dengan “rent
seeking economics” dan KKN Orde Baru, dan sekarang masih berlanjut,
sehingga perlu dibuat “extra ordinary
measures”melalui pendirian KPK dengan UU no 30/2002.
Justru lembaga terahir ini menurut saya lebih
menghebohkan dengan “kasus Antasari”, “kasus Susno Duadji” dan “kasus
Bibit-Chandra”. Masing-masing punya ke-unik-an dan ke-heboh-an tersendiri !
Tetapi kasus Gayus, seperti diuraikan diatas adalah “kasus-biasa” (untuk
Indonesia !).
Mungkin kedua atau ketiga sisi lain dari kasus Gayus
yang perlu dipelajari – mari kita lihat.
B.Kasus
Gayus, kasus “Elite Deviance”
Dalam sebuah buku tentang penyimpangan-penyimpangan
yang dilakukan
oleh mereka yang punya “kuasa-ekonomi” berkolusi
dengan mereka yang punya “kuasa-politik/birokrasi” di Amerika Serikat,
diceriterakan tentang suatu kasus dalam jaman pemerintah Nazi-Jerman (1941).
Kasus industri kimia terbesar waktu itu di Jerman (I.G.Farben) yang secara
sukarela bekerjasama dengan pemerintah Nazi mendirikan pabrik kimia sintetis di
Selesia-Polandia. Pemerintah Nazi menyumbang tenaga kerja -/+ 10.000 tahanan
Yahudi dari Kamp Auschwitz. Para tahanan itu dipekerjakan dengan bengis (kerja
keras, makanan seadanya, tidak ada perawatan kesehatan) dan banyak tahanan yang
sakit/mati (dimasukkan kamar gas/dibakar). Yang menjadi pertanyaan waktu itu,
mengapa industriawan Farben ini menyalahi konsep ekonomi- konvensional ?
Bukankah pekerja- tahanan ini adalah “bagian dari modal” yang harus di”rawat”,
meskipun mereka berstatus “budak” yang tidak punya hak. Mengapa mereka
diperlakukan seperti “kayu bakar” ?
Menurut Simon & Eitzen, elite-ekonomi Jerman itu
mau berkolusi dengan cara-cara elite-politik, karena telah meng”adaptasi” teori
dan praktek moral elite-politik Nazi. Dikatakannya: “By adapting the theory and
practice of Nazi morality… (Farben) was able to depart from the conventional economics
…(and) reduced slave labor to consumable raw material… the living …waste …was
shipped to the gassing chambers…”[3]
Apa yang ingin saya sampaikan melalui contoh ini ?
Yaitu bahwa penyimpangan oleh kelompok elite (kelompok berkuasa ;
politik/ekonomi)
dimulai dengan
“adaptasi dalam teori dan praktek pada moral yang berlaku setempat”.
Moral dan praktek dalam dunia bisnis di negara kita adalah bahwa “semua dapat
di-atur/di-urus asal ada pelicinnya (uang-rokok)”.Dengan menerima sebagai hal
yang “biasa” atau “lumrah”, maka kelompok elite-bisnis akan mencari
“perantara/makelar” yang dapat membantunya mencapai tujuannya (ini salah satu
unsur dalam “rent-seeking economics).
Pola pikir yang (mungkin) berkembang di dunia bisnis
Indonesia dalam permasalahan yang mereka hadapi tentang perpajakan adalah
:”Kalau ada yang dapat bantu meringankan beban pajak perusahaan, mengapa tidak
kita manfaatkan. Kalau memang perlu biaya untuk “melicinkan prosesnya”, tentu
harus kita sediakan, sesuai yang “biasa berlaku”. Ini adalah “lumrah”
Cara berpikir seperti ini adalah logis dan rasional
dan dinamai juga “the construction of rationalization for elite deviance”. [4]
Kalau dapat dibuktikan di Pengadilan, maka
Elite-Ekonomi ini dapat juga
dituntut melalui UU Tipikor berdasarkan:
-pasal 13:Setiap orang yang memberikan hadiah atau
janji kepada pegawai
negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang
melekat pada jabatan atau kedudukannya … (pengertian “orang”
termasuk pula “korporasi” atau
“perusahaan”)
dan/ atau pasal 209 KUHP (delik suap), atau mungkin juga dapat
didakwa delik korupsi: “perbuatan gratifikasi”, yang mencakup
pemberian uang; barang; rabat; komisi;
pinjaman tanpa bunga;
tiket perjalanan; fasilitas
penginapan; perjalanan wisata,
pengobatan cuma-cuma; dsbnya.
C.Kasus
Gayus, kasus penyalahgunaan wewenang oleh penegak
hukum.
Peristiwa “jalan-jalan”nya Gayus ke Bali, adalah berangkat
dari Rumah Tahanan Mako Brimob Kelapa Dua,Depok. Menurut peraturan, lokasi ini
sebenarnya “Rutan-cabang” (seperti yang ada di Kejaksaan Agung,dan Polda Metro
Jaya). Rutan-rutan ini diatur oleh Keputusan Menteri Kehakiman tahun 1985
tentang Organisasi dan Tatakerja Rutan dan Rupbasan (Rumah Penyimpanan Benda
Sitaan Negara). Dalam praktek mereka berdiri sendiri dan dikelola oleh personil
kesatuan masing-masing. Koordinasi dengan Rutan di bawah Dirjen Pemasyarakatan,
yaitu Rutan di LP Cipinang atau LP Salemba, tidak ada (sangat lemah).
Dalam kasus Gayus, dia meninggalkan Rutan dengan
seijin petugas penjaga
dan dengan alasan yang dibenarkan penjaganya (personil
Brimob).Menurut
pengetahuan saya petugas penjaga punya wewenang
memberi ijin ke luar .asalkan: a) menjaga tahanan tidak ada kesempatan/risiko
melarikan diri ; dan b) ada alasan rasional berdasarkan rasa kemanusiaan
(kesehatan; kematiaan dalam keluarga,dsbnya). Jangan lupa asas“Gayus belum
bersalah menurut hukum, atas perbuatan yang didakwakan, sebelum ada keputusan
pengadilan yang berkekuatan tetap (in
kracht van gewijsde)”.
Kalau di sini ada tindak pidana suap atau tindak
pidana korupsi dalam bentuk gratifikasi, maka ini perlu dibuktikan di
pengadilan. Sementara ini
sembilan angota Brimob yang menjadi petugas penjaga
diperiksa dalam
kaitan pelanggaran kode etik. Mengapa ? Belum atau
mungkin tidak akan pernah jelas. Seperti “kasus heboh Artalyta Suryani”, yang
menikmati pidananya sebagai pelaku korupsi, dengan memanfaatkan “harta
korupsinya” (sungguh kejadian yang “aneh”/tidak masuk akal – tetapi lazim di
Indonesia !).
Kalau ini “lazim”(sudah umum) apa yang menghebohkan
kasus “plesiran”
Gayus ke Bali ? Saya berpendapat foto wartawan yang
me-mergoki-nya menonton pertandingan tenis dengan karcis-mahal, dengan menyamar
memakai rambut palsu (wig).Jadi bukan
perbuatan suapnya, tetapi pertanyaan-pertanyaan : untuk apa ke (bertemu siapa
di ) Bali ? – bagaimana cara pembiayaan transport dan hotel ? – mengapa dia
terlihat begitu santai (lugu) dan percaya diri (karena ada
“pelindung-pelindung” yang punya kuasa besar ?), dsbnya.
Yang menarik juga tentunya adalah bahwa kasus Gayus
terungkap bukan karena kerja-keras atau kejelian “aparat” penegak hukum, tetapi
karena indikasi-awal diungkapkan dalam kasus lain oleh mantan-Kepala Bareskrim
Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji. Tanpa beliau sebagai “whistle blower”, menurut saya, tidak akan ada Kasus Gayus !
D.Tentang
“harta-kekayaan Gayus”
Menurut berita-berita di surat kabar, Penyidik
(Kepolisian) menemukan harta-kekayaan Gayus yang tidak sesuai (mencurigakan)
dibanding dengan penghasilannya sebagai pegawai negeri dengan pangkat III/a.
Kekayaannya
berupa: rumah mewah bertingkat di Kelapa Gading,
Jakarta Utara; mobil mewah (Mercedes ?); uang dalam beberapa rekening bank
(domestik dan asing ?), dan kotak-deposit di bank berisi batangan emas (?) dan
uang dolar Singapura yang masih baru dan masih terikat kertas (bank?).
Ini semua tentu menarik perhatian bila diberitakan
surat kabar. Seperti dongeng saja: pegawai tingkat III/a mendapat
“harta-karun”/lotere-undian!
Tetapi harta ini diduga tidak diperoleh secara sah,
tetapi melalui korupsi, gratifikasi atau suap. Bagaimana lanjutan
harta-kekayaan ini ? Ternyata tidak jelas, apakah semua sudah disita atau hanya
sebagian ? Terdengar kabar PPATK tidak/belum diikutsertakan dalam menelusuri
jejak asal-usul
harta kekayaan yang disimpan di berbagai bank. Mengapa
? Bukankah PPATK mempunyai kewenangan dan kemampuan menelusuri dana-dana yang
diduga berasal dari tindak pidana dan akan disamarkan oleh pemiliknya ?
Melihat besarnya jumlah uang dan kekayaan yang
dipegang (dimiliki ?) oleh Gayus, dan dengan dugaan bahwa pangkat III/a yang
dimilikinya tidak memberinya kekuasaan yang besar dan diskresi yang luas,timbul
dugaan
bahwa Gayus hanyalah “makelar-penghubung” dan
“pengelola-uang-haram”(financial manager)
dari sejumlah petinggi pajak
(siapa sebenarnya
yang punya uang tersebut ? Gayus atau orang lain, yang
menitipkan pada Gayus ? Ini harus dapat diungkap dalam sidang pengadilan !)
Kesimpulan
Tidak mudah membuat kesimpulan dalam kasus Gayus
seperti diuraikan oleh saya dengan 4 (empat) sisinya itu. Menurut saya dilihat
dari sudut hukum pidana kasus Gayus ini bukan
kasus yang luar biasa ( not an
extra-ordinary case). Mungkin sekali kasus ini menjadi heboh (sekali)
karena pemberitaan pers yang gencar, dimulai dari “penangkapannya”oleh “SatGas
Mafia Hukum” di Singapura, harta-kekayaannya yang luar biasa untuk pegawai
tingkat III/a, dan terahir ini fotonya yang sedang menonton tenis di Bali
dengan menyamar. Selanjutnya juga karena adanya berbagai komentar petinggi
hukum dan “tuduh-menuduh”, sehingga ada desakan agar kasus Gayus diambil alih
oleh KPK.
Menurut saya dapat saja kasus ini menjadi “kasus-selebriti” dan menarik untuk
dikaji secara mendalam oleh ilmu hukum pidana (dan kriminologi) apabila dapat
ditemukan bukti adanya penyimpangan oleh elit-bisnis dan dijadikannya juga satu
atau lebih korporasi sebagai Tersangka, Terdakwa dan Terpidana dalam kasus
Tipikor. Dipergunakannya lembaga hukum “pertanggungjawaban pidana korporasi”
oleh JPU dan tanggapan Pengadilan akan hal ini, akan membuka lembaran baru
dalam ilmu hukum pidana Indonesia. Seperti kita ketahui bersama sejak tahun
1955 (UU-TPE) sampai sekarang (2010), peraturan kita mengakui bahwa korporasi
dapat dipidana, tetapi hingga saat ini belum satupun kasus yang memutuskan hal
ini. Apa kendala Penyidik dan JPU membawa korporasi ke pengadilan sebagai Terdakwa
?
Apabila dipergunakan “pembalikan beban pembuktian” atas harta-kekayaan Gayus untuk
merampasnya bagi keuntungan negara, maka inipun akan menjadikan kasus Gayus,
“kasus-selebriti”. Ini sekaligus akan membuka jalan memudahkan diterimanya (R)UU Perampasan Aset Tindak Pidana oleh
DPR-RI.
--00O00—
*Makalah
ini telah disampaikan dalam Seminar yang diselenggarakan oleh Program
Studi
Kajian Ilmu Kepolisian -
Universitas Indonesia
tanggal 16 Desember 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar