Kamis, 28 Mei 2015

Skandal Kasus Gayus (Pendekatan Interdisipliner dan Hukum - Makalah untuk Pemicu Diskusi)



Skandal Kasus Gayus
(Pendekatan Interdisipliner dan Hukum-
Makalah untuk Pemicu Diskusi)*

Pendahuluan

Makalah yang diminta adalah “Kasus Gayus ditinjau dari pendekatan hukum”. Penafsiran saya yang diminta oleh Panitia  adalah “juristic approach/exposition”, seperti yang mungkin akan dilakukan seorang Advokat  dalam membedah kasus kliennya. Hal itu tidak akan saya lakukan,dan judul di atas dengan segala kekurangan dan ketidakjelasannya saya pergunakan untuk melihat  masalah yang hanya saya ketahui dari berita-berita media massa.

Dengan hanya berbekal pengetahuan yang diperoleh dari membaca surat kabar dan majalah serta melihat dan mendengar siaran televisi[1], maka  saya berkesimpulan bahwa ada 4 (empat) sisi dalam Kasus Gayus ini. Adapun sisi-sisi itu adalah :

A.    Kasus Gayus sebagai kasus korupsi – Kasus penyuapan (bribery) seorang pegawai negeri (ambtenaar-civil servant) untuk mengingkari sumpah jabatannya dan melakukan penyimpangan terhadap kewajibannya.
B.     Kasus Gayus sebagai suatu contoh dari perilaku menyimpang (deviant behavior) yang dilakukan oleh satu atau lebih perusahaan besar yang memang punya kekuasaan ekonomi (economic power and elite deviance).
C.     Kasus Gayus sebagai contoh penyalahgunaan wewenang oleh satu atau lebih petugas penegak  hukum (law enforcement officer) yang telah menimbulkan “geger-media” dan terbongkarnya “rahasia-umum” tentang “fasilitas yang dapat dinikmati bila dapat membelinya”.
D.    Harta kekayaan yang terungkap dalam kasus Gayus, melebihi dugaan semula.


Ke“heboh”an kasus ini dengan ke”empat” sisi di atas menyebabkan saya menjulukinya suatu “skandal”, yang saya pakai dalam judul makalah ini.
Apa yang dimaksud dengan “skandal” itu ? Skandal artinya “perbuatan yang memalukan – perbuatan yang menurunkan martabat seseorang (KBI, hal.1323).Scandal artinya juga schocking atau sangat menghebohkan ! Saya memakai istilah ini karena “luar-biasa menarik” kasus Gayus ini, seorang pegawai negeri tingkat menengah-bawah (III/a) melalui pekerjaan dan kewenangannya dapat meraih harta-kekayaan (rumah mewah bertingkat ratusan milyar dalam rekening2 bank – batangan emas dan uang kertas Dolar Singpura yang masih baru dalam kotak deposito) yang tidak dapat dibayangkan akan dimiliki seorang pegawai tinggi (IV/e) yang jujur bekerja di pemerintah Indonesia.[2]

Sistem ekonomi negara kita a.l. mendapat julukan bersifat “rent seeking economics” . Menurut saya artinya adalah bahwa di dalam kegiatan ekonomi, peranan “perantara/makelar” adalah biasa (mulai dari perpanjangan KTP/SIM/STNK sampai a.l mengurus keringanan untuk SPT Pajak). Dari sini juga timbul istilah “markus” (makelar kasus hukum) dalam sistem “mafia peradilan”. Pengertian “rent seeking economics” a.l ditandai oleh “bureaucrats who extract bribe or rent for applying their legal but discretionary powers for awarding legitimate or illegitimate benefits to clients” (penguasa birokrasi yang minta suap atau upeti untuk menerapkan kekuasaan sahnya secara diskresi, untuk menguntungkan klien secara sah maupun tidak). Kalau ini memang sudah diakui ada dalam sistem perekonomian Indonesia dan terutama mulai “berjangkit sebagai
penyakit-menular” pada masa Era Orde Baru dilingkungan “istana Cendana”, maka mengapa menjadi sedemikian hebohnya kasus ini ? Mari kita lihat ke-empat sisi kasus ini satu per satu.


A.Kasus Gayus – kasus korupsi

Seperti banyak kasus yang ditangani Kepolisian, Kejaksaan atau/dan KPK,
maka ini perbuatan yang dipersangkakan melanggar UU Pemberantasan Tipikor. Sebagai seorang pegawai golongan III/a (pegawai menengah) Gayus telah menjadi perantara/makelar untuk mengurus pemberian keringanan kepada satu atau lebih wajib pajak. Untuk jasa menjadi makelar-pajak ini dia mendapat upah untuk diri sendiri atau teman di kantornya yang dapat membantu urusan tersebut. Sederhana sekali, karena banyak kantor konsultan pajak melakukan hal serupa.

Apa yang keliru dari Gayus adalah bahwa dia adalah “orang dalam” yang terikat pada sumpah jabatan sebagai petugas “pemungut-payak” (tax collector). Karena itu dia dapat dijerat dengan UU Tipikor,

-pasal 2: secara melawan hukum… memperkaya diri sendiri atau orang lain
             atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau
             perekonomian negara,
             dan/atau
-pasal 3:dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orng lain atau
             suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan,
             atau sarana yang ada padanya, karena jabatan atau kedudukan,
             yang dapat merugikan …

Karena Gayus seorang pegawai negeri, maka dapat juga dituduhkan kepadanya “kejahatan-jabatan” (ambt misdrijf) dalam KUHP/WvS :

-pasal 416:sebgai seorang pejabat…sengaja membuat secara palsu atau memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi…
dan/atau
-pasal 418,419:…pejabat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya …  diberikan karena kekuasaan  atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya …

Sebagai kasus korupsi (di Indonesia !), ini menurut saya tidak perlu dihebohkan, bukankah sudah banyak kita melihat kasus-kasus serupa yang sampai di pengadilan ataupun masuk berita surat kabar ?! Begitu banyak pejabat-pejabat (termasuk birokrat,penegak hukum,hakim dan anggota DPR) yang menyalahgunakan jabatannya untuk memperkaya diri dan merugikan keuangan dan perekonomian negara. Sudah diberitakan sejak masih ada Peraturan Penguasa Perang Pusat 013/1958 (Era Orde Lama), terus berkembang dengan “rent seeking economics” dan KKN Orde Baru, dan sekarang masih berlanjut, sehingga perlu dibuat “extra ordinary measures”melalui pendirian KPK dengan UU no 30/2002.

Justru lembaga terahir ini menurut saya lebih menghebohkan dengan “kasus Antasari”, “kasus Susno Duadji” dan “kasus Bibit-Chandra”. Masing-masing punya ke-unik-an dan ke-heboh-an tersendiri ! Tetapi kasus Gayus, seperti diuraikan diatas adalah “kasus-biasa” (untuk Indonesia !).

Mungkin kedua atau ketiga sisi lain dari kasus Gayus yang perlu dipelajari – mari kita lihat.


B.Kasus Gayus, kasus “Elite Deviance”

Dalam sebuah buku tentang penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan
oleh mereka yang punya “kuasa-ekonomi” berkolusi dengan mereka yang punya “kuasa-politik/birokrasi” di Amerika Serikat, diceriterakan tentang suatu kasus dalam jaman pemerintah Nazi-Jerman (1941). Kasus industri kimia terbesar waktu itu di Jerman (I.G.Farben) yang secara sukarela bekerjasama dengan pemerintah Nazi mendirikan pabrik kimia sintetis di Selesia-Polandia. Pemerintah Nazi menyumbang tenaga kerja -/+ 10.000 tahanan Yahudi dari Kamp Auschwitz. Para tahanan itu dipekerjakan dengan bengis (kerja keras, makanan seadanya, tidak ada perawatan kesehatan) dan banyak tahanan yang sakit/mati (dimasukkan kamar gas/dibakar). Yang menjadi pertanyaan waktu itu, mengapa industriawan Farben ini menyalahi konsep ekonomi- konvensional ? Bukankah pekerja- tahanan ini adalah “bagian dari modal” yang harus di”rawat”, meskipun mereka berstatus “budak” yang tidak punya hak. Mengapa mereka diperlakukan seperti “kayu bakar” ?

Menurut Simon & Eitzen, elite-ekonomi Jerman itu mau berkolusi dengan cara-cara elite-politik, karena telah meng”adaptasi” teori dan praktek moral elite-politik Nazi. Dikatakannya: “By adapting the theory and practice of Nazi morality… (Farben) was able to depart from the conventional economics …(and) reduced slave labor to consumable raw material… the living …waste …was shipped to the gassing chambers…”[3]

Apa yang ingin saya sampaikan melalui contoh ini ? Yaitu bahwa penyimpangan oleh kelompok elite (kelompok berkuasa ; politik/ekonomi)
dimulai dengan  “adaptasi dalam teori dan praktek pada moral yang berlaku setempat”. Moral dan praktek dalam dunia bisnis di negara kita adalah bahwa “semua dapat di-atur/di-urus asal ada pelicinnya (uang-rokok)”.Dengan menerima sebagai hal yang “biasa” atau “lumrah”, maka kelompok elite-bisnis akan mencari “perantara/makelar” yang dapat membantunya mencapai tujuannya (ini salah satu unsur  dalam “rent-seeking economics).

Pola pikir yang (mungkin) berkembang di dunia bisnis Indonesia dalam permasalahan yang mereka hadapi tentang perpajakan adalah :”Kalau ada yang dapat bantu meringankan beban pajak perusahaan, mengapa tidak kita manfaatkan. Kalau memang perlu biaya untuk “melicinkan prosesnya”, tentu harus kita sediakan, sesuai yang “biasa berlaku”. Ini adalah “lumrah”
Cara berpikir seperti ini adalah logis dan rasional dan dinamai juga “the construction of rationalization for elite deviance”. [4]

Kalau dapat dibuktikan di Pengadilan, maka Elite-Ekonomi ini dapat juga
dituntut melalui UU Tipikor berdasarkan:

-pasal 13:Setiap orang yang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai
              negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang
              melekat pada jabatan atau kedudukannya … (pengertian “orang”
              termasuk pula “korporasi” atau “perusahaan”)

              dan/ atau pasal 209 KUHP (delik suap), atau mungkin juga dapat
              didakwa delik korupsi: “perbuatan gratifikasi”, yang mencakup
              pemberian uang; barang; rabat; komisi; pinjaman tanpa bunga;
              tiket perjalanan; fasilitas penginapan; perjalanan wisata,
              pengobatan cuma-cuma; dsbnya.

 
C.Kasus Gayus, kasus penyalahgunaan wewenang oleh penegak
    hukum.

Peristiwa “jalan-jalan”nya Gayus ke Bali, adalah berangkat dari Rumah Tahanan Mako Brimob Kelapa Dua,Depok. Menurut peraturan, lokasi ini sebenarnya “Rutan-cabang” (seperti yang ada di Kejaksaan Agung,dan Polda Metro Jaya). Rutan-rutan ini diatur oleh Keputusan Menteri Kehakiman tahun 1985 tentang Organisasi dan Tatakerja Rutan dan Rupbasan (Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara). Dalam praktek mereka berdiri sendiri dan dikelola oleh personil kesatuan masing-masing. Koordinasi dengan Rutan di bawah Dirjen Pemasyarakatan, yaitu Rutan di LP Cipinang atau LP Salemba, tidak ada (sangat lemah).

Dalam kasus Gayus, dia meninggalkan Rutan dengan seijin petugas penjaga
dan dengan alasan yang dibenarkan penjaganya (personil Brimob).Menurut
pengetahuan saya petugas penjaga punya wewenang memberi ijin ke luar .asalkan: a) menjaga tahanan tidak ada kesempatan/risiko melarikan diri ; dan b) ada alasan rasional berdasarkan rasa kemanusiaan (kesehatan; kematiaan dalam keluarga,dsbnya). Jangan lupa asas“Gayus belum bersalah menurut hukum, atas perbuatan yang didakwakan, sebelum ada keputusan pengadilan yang berkekuatan tetap (in kracht van gewijsde)”.

Kalau di sini ada tindak pidana suap atau tindak pidana korupsi dalam bentuk gratifikasi, maka ini perlu dibuktikan di pengadilan. Sementara ini
sembilan angota Brimob yang menjadi petugas penjaga diperiksa dalam
kaitan pelanggaran kode etik. Mengapa ? Belum atau mungkin tidak akan pernah jelas. Seperti “kasus heboh Artalyta Suryani”, yang menikmati pidananya sebagai pelaku korupsi, dengan memanfaatkan “harta korupsinya” (sungguh kejadian yang “aneh”/tidak masuk akal – tetapi lazim di Indonesia !).

Kalau ini “lazim”(sudah umum) apa yang menghebohkan kasus “plesiran”
Gayus ke Bali ? Saya berpendapat foto wartawan yang me-mergoki-nya menonton pertandingan tenis dengan karcis-mahal, dengan menyamar memakai rambut palsu (wig).Jadi bukan perbuatan suapnya, tetapi pertanyaan-pertanyaan : untuk apa ke (bertemu siapa di ) Bali ? – bagaimana cara pembiayaan transport dan hotel ? – mengapa dia terlihat begitu santai (lugu) dan percaya diri (karena ada “pelindung-pelindung” yang punya kuasa besar ?), dsbnya.

Yang menarik juga tentunya adalah bahwa kasus Gayus terungkap bukan karena kerja-keras atau kejelian “aparat” penegak hukum, tetapi karena indikasi-awal diungkapkan dalam kasus lain oleh mantan-Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji. Tanpa beliau sebagai “whistle blower”, menurut saya,  tidak akan ada Kasus Gayus !


D.Tentang “harta-kekayaan Gayus”

Menurut berita-berita di surat kabar, Penyidik (Kepolisian) menemukan harta-kekayaan Gayus yang tidak sesuai (mencurigakan) dibanding dengan penghasilannya sebagai pegawai negeri dengan pangkat III/a. Kekayaannya
berupa: rumah mewah bertingkat di Kelapa Gading, Jakarta Utara; mobil mewah (Mercedes ?); uang dalam beberapa rekening bank (domestik dan asing ?), dan kotak-deposit di bank berisi batangan emas (?) dan uang dolar Singapura yang masih baru dan masih terikat kertas (bank?).

Ini semua tentu menarik perhatian bila diberitakan surat kabar. Seperti dongeng saja: pegawai tingkat III/a mendapat “harta-karun”/lotere-undian!
Tetapi harta ini diduga tidak diperoleh secara sah, tetapi melalui korupsi, gratifikasi atau suap. Bagaimana lanjutan harta-kekayaan ini ? Ternyata tidak jelas, apakah semua sudah disita atau hanya sebagian ? Terdengar kabar PPATK tidak/belum diikutsertakan dalam menelusuri jejak asal-usul
harta kekayaan yang disimpan di berbagai bank. Mengapa ? Bukankah PPATK mempunyai kewenangan dan kemampuan menelusuri dana-dana yang diduga berasal dari tindak pidana dan akan disamarkan oleh pemiliknya ?

Melihat besarnya jumlah uang dan kekayaan yang dipegang (dimiliki ?) oleh Gayus, dan dengan dugaan bahwa pangkat III/a yang dimilikinya tidak memberinya kekuasaan yang besar dan diskresi yang luas,timbul dugaan
bahwa Gayus hanyalah “makelar-penghubung” dan “pengelola-uang-haram”(financial manager) dari sejumlah petinggi pajak (siapa sebenarnya
yang punya uang tersebut ? Gayus atau orang lain, yang menitipkan pada Gayus ? Ini harus dapat diungkap dalam sidang pengadilan !)


Kesimpulan

Tidak mudah membuat kesimpulan dalam kasus Gayus seperti diuraikan oleh saya dengan 4 (empat) sisinya itu. Menurut saya dilihat dari sudut hukum pidana kasus Gayus ini bukan kasus yang luar biasa ( not an extra-ordinary case). Mungkin sekali kasus ini menjadi heboh (sekali) karena pemberitaan pers yang gencar, dimulai dari “penangkapannya”oleh “SatGas Mafia Hukum” di Singapura, harta-kekayaannya yang luar biasa untuk pegawai tingkat III/a, dan terahir ini fotonya yang sedang menonton tenis di Bali dengan menyamar. Selanjutnya juga karena adanya berbagai komentar petinggi hukum dan “tuduh-menuduh”, sehingga ada desakan agar kasus Gayus diambil alih oleh KPK.

Menurut saya dapat saja kasus ini menjadi “kasus-selebriti” dan menarik untuk dikaji secara mendalam oleh ilmu hukum pidana (dan kriminologi) apabila dapat ditemukan bukti adanya penyimpangan oleh elit-bisnis dan dijadikannya juga satu atau lebih korporasi sebagai Tersangka, Terdakwa dan Terpidana dalam kasus Tipikor. Dipergunakannya lembaga hukum “pertanggungjawaban pidana korporasi” oleh JPU dan tanggapan Pengadilan akan hal ini, akan membuka lembaran baru dalam ilmu hukum pidana Indonesia. Seperti kita ketahui bersama sejak tahun 1955 (UU-TPE) sampai sekarang (2010), peraturan kita mengakui bahwa korporasi dapat dipidana, tetapi hingga saat ini belum satupun kasus yang memutuskan hal ini. Apa kendala Penyidik dan JPU membawa korporasi ke pengadilan sebagai Terdakwa ?

Apabila dipergunakan “pembalikan beban pembuktian” atas harta-kekayaan Gayus untuk merampasnya bagi keuntungan negara, maka inipun akan menjadikan kasus Gayus, “kasus-selebriti”. Ini sekaligus akan membuka jalan memudahkan diterimanya  (R)UU Perampasan Aset Tindak Pidana oleh DPR-RI.

--00O00—

*Makalah ini telah disampaikan dalam Seminar yang diselenggarakan oleh Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian - Universitas Indonesia tanggal 16 Desember 2010.




[1] Terutama berita-berita dalam bulan November 2010 setelah beredar foto Gayus di Bali 5 November
[2] Menurut berita surat kabar harta kekayaan yang diketahui sekitar US$ 2,7 juta !
[3]David R.Simon & D.Stanley Eitzen,1986,Elite Deviance,Allyn,Inc,Boston,hal 228
[4] Op cit, hal 245

Tidak ada komentar:

Posting Komentar