Lintas sejarah
Rechtschool (Sekolah Hukum) yang didirikan 100
tahun lalu (1909) untuk menghasilkan ahli hukum yang bekerja sebagai Jaksa dan
Panitera di Landraad berbeda dengan Rechtshogeschool (Sekolah Tinggi
Hukum) yang menghasilkan Meester in de Rechten (Mr), sarjana
hukum sekarang. RH (Rechts Hogeschool) didirikan 84 tahun yang lalu (28 Oktober
1924) dan yang kemudian dalam alam kemerdekaan (1950) menjadi Fakultas Hukum
dan Pengetahuan Masyarakat (terjemahan dari Faculteit der Rechtsgeleertheid en Sociale Wetenschappen).
Secara garis
besar kurikulum pendidikan tinggi hukum dapat dibedakan antara 5 periode:
(a) masa
Hindia-Belanda (1924 – 1950);
(b) masa
pendidikan-bebas dalam alam kemerdekaan (1950 – 1965);
(c) masa
pendidikan-terpimpin dengan sistem kredit semester (1965 – 1990);
(d) masa
kurikulum 1993 – 2002 ; dan
(e) masa setelah
2002 ( - 2008/9).
Makalah ini
hanya akan membahas pengetahuan dan ingatan saya sampai dengan tahun 2002,
yaitu tahun di mana Komisi Disiplin Ilmu Hukum (KDIH) yang merupakan penerus
Konsorsium Ilmu Hukum (KIH) berhenti berfungsi.[1]
Pengetahuan saya
tentang masa Hindia-Belanda, hanya dari bahan pustaka dan dokumen sejarah. Sedangkan
masa pendididkan-bebas (vrije studie),
pendidikan-terpimpin (SKS) dan masa kurikulum
1993 saya alami sendiri (periode b-c- dan d).Saya kuliah di FHUI 1955 –
1961 dan mulai bekerja sebagai asisten dosen tahun 1959, dibawah bimbingan bpk
Paul Moedikdo Moeliono, SH dari Lembaga Kriminologi UI.
Pembatasan bahasan
Karena
terbatasnya waktu dan kesempatan, maka fokus uraian dalam makalah ini ditujukan
kepada isu yang sering diperdebatkan, bahwa lulusan fakultas hukum tidak siap
bekerja sebagai sarjana hukum
profesional. Isu ini sering dikaitkan dengan dua hal:
(a)
bahwa pada pendidikan tinggi
hukum yang berasal dari Hindia-Belanda, hanya
diperuntukkan bagi mengisi lowongan pegawai pamong praja kolonial (ambtenaar), dan
(b)
bahwa pola pendidikan tinggi
hukum di Indonesia harus merujuk pada pola
pendidikan “professional school” seperti di negara
Anglo-American (Singapura,
Malaysia, Amerika
Serikat).
Isu di atas
mulai hangat diperdebatkan a.l. sejak Prof. Mochtar Kusumaatmadja (setelah
kembali dari studi di Harvard University) dalam tahun 1975 mengkritik
pendidikan hukum di Indonesia hanya menghasilkan sarjana hukum “theoretical-scientific type” atau “academic-university type.” Beliau
menganjurkan agar pendidikan hukum lebih diarahkan pada sarjana hukum yang “professional” (dalam arti lebih siap-kerja sebagai
advokat).
Isu pendidikan hukum hanya menciptakan “ambtenaar” (sebelum 1950)
Saya pikir isu
ini tidak sepenuhnya tepat dan juga menyesatkan. Dilupakan bahwa banyak
tokoh-tokoh sarjana hukum Indonesia lulusan Rechtshogeschool (RH) menjadi pemimpin utama kemerdekaan Indonesia:
Prof. Soepomo, Prof. Moh. Yamin, Mr. Sartono, Ketua Mahkamah Agung pertama Mr.
Kusuma Atmadja, Jaksa Agung pertama Mr. Soeprapto, Prof. Djokosoetono, Prof.
Sudiman Kartohadiprodjo, Prof. Resink, Prof. Gautama, dll. Isu ini terlalu
sering di”politik”kan sehingga mengalihkan pandangan kita pada apa yang
sebenarnya kurang dalam pendidikan hukum tahun 1950 – 1965 (yang merupakan
kurikulum pertama terjemahan dari kurikulum RH masa Hindia Belanda) Menurut
saya adalah “metode mengajar dan belajar”yang keliru, yaitu :
(a)
tidak lagi dipergunakan buku
pelajaran tebal dalam bahasa Belanda, diganti dengan buku pelajaran tipis (intisari)
dalam bahasa Indonesia;
(b)
tidak ada lagi rujukan ke
yurisprudensi Mahkamah Agung terakhir untuk menjelaskan suatu asas hukum atau
penafsiran norma hukum; dan
(c)
mahasiswa belajar dari catatan
kuliah (diktat) dan dengan cara menghafal (rote learning).
Kesimpulan: bukan
kurikulumnya yang salah, tetapi metode pengajarannya. Dan ini memang mudah
terjadi dalam masa pendidikan-bebas, di mana seorang mahasiswa tidak dibatasi
masa studinya (periode b).
Masa Pendidik-terpimpin dengan SKS (1965 – 1990)
Masa studi mulai
dibatasi (mulai ada istilah mahasiswa drop-out atau DO) dan studi diukur dengan
kredit per semester. Untuk menjadi SH perlu 144 kredit.
Kurikulum
berubah sesuai dengan kesepakatan yang dibuat dalam rapat-rapat Sub-Konsorsium
Ilmu Hukum yang dipimpin oleh Prof. Padmo Wahyono.
Terjadi masalah
dalam pasar kerja sarjana hukum, yang meminta Sarjana Hukum dengan kualifikasi
jurusan. Misalnya: Departemen Luar Negeri hanya mau sarjana hukum
internasional, Kejaksaan Agung menolak sarjana hukum perdata. Di fakultas
timbul pertanyaan, apa benar “penjurusan” (Belanda:” richting”) sudah menunjukkan spesialisasi, padahal bedanya hanya
penulisan skripsi. Apa benar terdapat perbedaan keahlian (spesialisasi) yang
besar antara : “sarjana hukum internasional”, “sarjana hukum pidana”, dan
“sarjana hukum perdata”? Apa penamaan ini benar?
Periode kurikulum 1993 (sampai 2002)
Masa Dekan FHUI
saya berakhir tahun 1990 dan segera saya memegang jabatan baru sebagai
Sekretaris Konsorsium Ilmu Hukum (dengan Prof. Mochtar Kusumaatmadja, sebagai
ketua). Pengalaman selama enam tahun (1984 – 1990) sebagai Dekan serta adanya
dua program kerjasama di bidang hukum dengan pihak luar negeri - dengan Belanda:
Juridische Samenwerking
Nederland-Indonesie atau Kerjasama Hukum Indonesia-Belanda (KSHIB) dan
dengan Amerika Serikat: ELIPS. Pengalaman
ini membantu saya untuk menyarankan
berbagai pembaruan untuk pendidikan tinggi hukum di Indonesia, melalui forum
dekan-dekan fakultas hukum negeri (terutama forum “the seven samurai”: USU, UI, UNPAD, UNDIP, UGM, UNAIR dan UNHAS)[2].
Kecuali
pembaruan kurikulum melalui SK Mendikbud (tahun 1993, kemudian disempurnakan
tahun 1994), struktur fakultas hukum juga ditata kembali dengan menghilangkan
“jurusan” dan menyatakan bahwa program ilmu hukum adalah hanya satu program studi, yang menghasilkan
hanya satu jenis sarjana hukum.
Disamping itu,
aspek pendidikan ‘profesional” yang diminta Prof. Mochtar diakomodir dengan
adanya:
(a)
pendidikan kemahiran hukum (legal skills training); dan
(b)
pembentukan Unit Kerja dengan
nama Laboratorium Hukum, untuk mempersiapkan “case materials” pendidikan kemahiran litigasi dan non-litigasi.
Dalam Lab-Hukum
ini juga ada sub-unit: (a) bantuan hukum (untuk “sense of social responsibility for legal aid to the poor”, (b)
bantuan kepada mahasiswa untuk “legal
writing”, dan (c) bantuan bahasa (Indonesia dan asing). Sayangnya
“inovasi-inovasi” ini tidak pernah diselenggarakan dengan
sungguh-sungguh, sehingga seperti pula Pusat Dokumentasi Hukum (tempat
penelusuran peraturan di bawah UU dan PP), lembaga-lembaga tersebut menjadi
“fosil” (tulang-tulang binatang purbakala)! Sayang sekali !
Gagasan
pendidikan hukum yang mengarah pada pendidikan “profesional” digagas kembali
a.l. dalam studi Bappenas 1995 – 1997, dan dikatakan sebagai berikut:
“The application of curriculum 1993 (also
called “curriculum 1994”) is also parallel to future legal practices,
particularly in facing the globalization era and Free Trade Era in the21st
century … The Curriculum 1993 is in line or able to comply with the needs of
legal practice in the future” (Final Report, hal. 65).
Setelah berakhir KIH (KDIH) dalam tahun 2002,
timbul pula gagasan dari sejumlah dekan fakultas hukum untuk mengubah kembali
Kurikulum 1993, agar fakultas hukum menjadi “professional school”, seperti yang ada di Singapura, Malaysia dan
Amerika Serikat. Salah satu alasan yang diajukan adalah bahwa model (Hindia)
Belanda yang dipakai di Indonesia tidak menyediakan sarjana hukum yang dapat
siap-bekerja di kantor hukum (seperti contoh di Amerika Serikat). Bila
argumentasi ini benar, maka bagaimana mungkin Universitas dan fakultas hukum di
Belanda dapat menghasilkan advokat-advokat Belanda? Saya kira, di sini pun
terjadi pikiran yang menyesatkan. Kesimpulan
saya untuk membangun “professional school”,
tidak perlu orientasi ke negara Anglo-American; fakultas-fakultas hukum
di Belanda (dengan kurikulumnya yang ditiru Indonesia) juga adalah “sekolah
yang mendidik sarjana hukum menjadi siap bekerja” secara profesional.
Jadi apa yang
perlu dibenahi? Menurut saya bukan kurikulum, tetapi “metode mengajar.” Saran
saya belajarlah dari Belanda dan ubah
pengajaran dari TBL (Teacher-based
learning) menjadi SBL (Student-based
learning), dan ikuti PBL (Project-based
learning) dengan benar.
Penutup
Apa yang saya
kemukakan di atas tentunya bukanlah kata-akhir. Diakui bahwa terdapat unsur
subyektivitas dalam ulasan saya, karena Kurikulum yang dihasilkan (struktur dan
falsafahnya) dalam tahun 1993 memang konsep saya. Substansi tentu dapat berubah
(isi dari suatu mata kuliah, buku-buku dan karangan yang perlu dipelajari).
Tetapi pesan saya hanyalah, bila ingin mengubah kajilah secara mendalam apa
yang sebenarnya keliru, kurikulum atau metode mengajarnya, ataukah memang
kedua-duanya? Kesadaran (awareness)
tentang letak kekeliruan ini adalah yang memerlukan perhatian!
Jakarta,
9 Januari 2009
Disampaikan
dalam rangka kegiatan “100
Tahun Pendidikan Hukum di Indonesia” – Diskusi Panel di FH-UI,
Depok.
Daftar Pustaka Acuan
- ABNR & MKK, 1997, Law Reform in Indonesia, Results of a research study
undertaken for the World Bank, khususnya, hal. 61 – 72
- Mardjono Reksodiputro, 2008, “Belajar dari Masa-Lalu: Gagasan Membangun
Fakultas Hukum UI ke Masa Depan”, disampaikan dalam Rapat Rutin Bulanan
Senat Akademik FH-UI di Kampus Depok.
[1] 1990 – 2000 Konsorsium Ilmu Hukum dipimpin oleh Prof.Mochtar
Kusumaatmadja dengan saya sebagai Sekretaris Konsorsium – 2000 s/d 2002 KIH
berubah nama menjadi Komisi Disiplin Ilmu Hukum dengan saya sebagai Ketua dan
Valerine Kriekhoff sebagai Sekretaris KDIH.
[2] Istilah the Seven Samurai diambil
dari sebuah film Jepang waktu itu – Dekan-dekan yang pernah terlibat dalam istilah ini adalah a.l. Solly
Lubis (USU), Charles Himawan (UI), Sri
Sumantri (UNPAD), Satjipto Rahardjo (UNDIP), Sudikno Mertokusumo (UGM), JE
Sahetapy (UNAIR) dan … (UNHAS).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar