Rabu, 23 April 2014

Perkembangan Kurikulum Pendidikan Hukum (Beberapa Catatan Memperingati Satu Abad Pendidikan Hukum di Indonesia)*



Lintas sejarah

Rechtschool (Sekolah Hukum) yang didirikan 100 tahun lalu (1909) untuk menghasilkan ahli hukum yang bekerja sebagai Jaksa dan Panitera di Landraad berbeda dengan Rechtshogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) yang menghasilkan Meester in de Rechten (Mr), sarjana hukum sekarang. RH (Rechts Hogeschool) didirikan 84 tahun yang lalu (28 Oktober 1924) dan yang kemudian dalam alam kemerdekaan (1950) menjadi Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat (terjemahan dari Faculteit der Rechtsgeleertheid en Sociale Wetenschappen).

Secara garis besar kurikulum pendidikan tinggi hukum dapat dibedakan antara 5 periode:
(a) masa Hindia-Belanda (1924 – 1950);
(b) masa pendidikan-bebas dalam alam kemerdekaan (1950 – 1965);
(c) masa pendidikan-terpimpin dengan sistem kredit semester (1965 – 1990);
(d) masa kurikulum 1993 – 2002 ; dan
(e) masa setelah 2002 ( - 2008/9).

Makalah ini hanya akan membahas pengetahuan dan ingatan saya sampai dengan tahun 2002, yaitu tahun di mana Komisi Disiplin Ilmu Hukum (KDIH) yang merupakan penerus Konsorsium Ilmu Hukum (KIH) berhenti berfungsi.[1]

Pengetahuan saya tentang masa Hindia-Belanda, hanya dari bahan pustaka dan dokumen sejarah. Sedangkan masa pendididkan-bebas (vrije studie), pendidikan-terpimpin (SKS) dan masa kurikulum  1993 saya alami sendiri (periode b-c- dan d).Saya kuliah di FHUI 1955 – 1961 dan mulai bekerja sebagai asisten dosen tahun 1959, dibawah bimbingan bpk Paul Moedikdo Moeliono, SH dari Lembaga Kriminologi UI.

Pembatasan bahasan

Karena terbatasnya waktu dan kesempatan, maka fokus uraian dalam makalah ini ditujukan kepada isu yang sering diperdebatkan, bahwa lulusan fakultas hukum tidak siap bekerja sebagai  sarjana hukum profesional. Isu ini sering dikaitkan dengan dua hal:

(a)    bahwa pada pendidikan tinggi hukum yang berasal dari Hindia-Belanda, hanya
diperuntukkan bagi mengisi lowongan pegawai pamong praja kolonial (ambtenaar), dan
(b)   bahwa pola pendidikan tinggi hukum di Indonesia harus merujuk pada pola
      pendidikan “professional school” seperti di negara Anglo-American (Singapura,
      Malaysia, Amerika Serikat).

Isu di atas mulai hangat diperdebatkan a.l. sejak Prof. Mochtar Kusumaatmadja (setelah kembali dari studi di Harvard University) dalam tahun 1975 mengkritik pendidikan hukum di Indonesia hanya menghasilkan sarjana hukum “theoretical-scientific typeatau “academic-university type.Beliau menganjurkan agar pendidikan hukum lebih diarahkan pada sarjana hukum yang professional(dalam arti lebih siap-kerja sebagai advokat).

Isu pendidikan hukum hanya menciptakan “ambtenaar” (sebelum 1950)

Saya pikir isu ini tidak sepenuhnya tepat dan juga menyesatkan. Dilupakan bahwa banyak tokoh-tokoh sarjana hukum Indonesia lulusan Rechtshogeschool (RH) menjadi pemimpin utama kemerdekaan Indonesia: Prof. Soepomo, Prof. Moh. Yamin, Mr. Sartono, Ketua Mahkamah Agung pertama Mr. Kusuma Atmadja, Jaksa Agung pertama Mr. Soeprapto, Prof. Djokosoetono, Prof. Sudiman Kartohadiprodjo, Prof. Resink, Prof. Gautama, dll. Isu ini terlalu sering di”politik”kan sehingga mengalihkan pandangan kita pada apa yang sebenarnya kurang dalam pendidikan hukum tahun 1950 – 1965 (yang merupakan kurikulum pertama terjemahan dari kurikulum RH masa Hindia Belanda) Menurut saya adalah “metode mengajar dan belajar”yang keliru, yaitu :

(a)    tidak lagi dipergunakan buku pelajaran tebal dalam bahasa Belanda, diganti dengan buku pelajaran tipis (intisari) dalam bahasa Indonesia;
(b)   tidak ada lagi rujukan ke yurisprudensi Mahkamah Agung terakhir untuk menjelaskan suatu asas hukum atau penafsiran norma hukum; dan
(c)    mahasiswa belajar dari catatan kuliah (diktat) dan dengan cara menghafal (rote learning).

Kesimpulan: bukan kurikulumnya yang salah, tetapi metode pengajarannya. Dan ini memang mudah terjadi dalam masa pendidikan-bebas, di mana seorang mahasiswa tidak dibatasi masa studinya (periode b).

Masa Pendidik-terpimpin dengan SKS (1965 – 1990)

Masa studi mulai dibatasi (mulai ada istilah mahasiswa drop-out atau DO) dan studi diukur dengan kredit per semester. Untuk menjadi SH perlu 144 kredit.

Kurikulum berubah sesuai dengan kesepakatan yang dibuat dalam rapat-rapat Sub-Konsorsium Ilmu Hukum yang dipimpin oleh Prof. Padmo Wahyono.

Terjadi masalah dalam pasar kerja sarjana hukum, yang meminta Sarjana Hukum dengan kualifikasi jurusan. Misalnya: Departemen Luar Negeri hanya mau sarjana hukum internasional, Kejaksaan Agung menolak sarjana hukum perdata. Di fakultas timbul pertanyaan, apa benar “penjurusan” (Belanda:” richting”) sudah menunjukkan spesialisasi, padahal bedanya hanya penulisan skripsi. Apa benar terdapat perbedaan keahlian (spesialisasi) yang besar antara : “sarjana hukum internasional”, “sarjana hukum pidana”, dan “sarjana hukum perdata”? Apa penamaan ini benar?


Periode kurikulum 1993 (sampai 2002)

Masa Dekan FHUI saya berakhir tahun 1990 dan segera saya memegang jabatan baru sebagai Sekretaris Konsorsium Ilmu Hukum (dengan Prof. Mochtar Kusumaatmadja, sebagai ketua). Pengalaman selama enam tahun (1984 – 1990) sebagai Dekan serta adanya dua program kerjasama di bidang hukum dengan pihak luar negeri - dengan Belanda: Juridische Samenwerking Nederland-Indonesie atau Kerjasama Hukum Indonesia-Belanda (KSHIB) dan dengan  Amerika Serikat: ELIPS. Pengalaman ini  membantu saya untuk menyarankan berbagai pembaruan untuk pendidikan tinggi hukum di Indonesia, melalui forum dekan-dekan fakultas hukum negeri (terutama forum “the seven samurai”: USU, UI, UNPAD, UNDIP, UGM, UNAIR dan UNHAS)[2].

Kecuali pembaruan kurikulum melalui SK Mendikbud (tahun 1993, kemudian disempurnakan tahun 1994), struktur fakultas hukum juga ditata kembali dengan menghilangkan “jurusan” dan menyatakan bahwa program ilmu hukum adalah hanya satu program studi, yang menghasilkan hanya satu jenis sarjana hukum.

Disamping itu, aspek pendidikan ‘profesional” yang diminta Prof. Mochtar diakomodir dengan adanya:

(a)    pendidikan kemahiran hukum (legal skills training); dan
(b)   pembentukan Unit Kerja dengan nama Laboratorium Hukum, untuk mempersiapkan “case materials” pendidikan kemahiran litigasi dan non-litigasi.

Dalam Lab-Hukum ini juga ada sub-unit: (a) bantuan hukum (untuk “sense of social responsibility for legal aid to the poor”, (b) bantuan kepada mahasiswa untuk “legal writing”, dan (c) bantuan bahasa (Indonesia dan asing). Sayangnya “inovasi-inovasi” ini tidak pernah diselenggarakan dengan sungguh-sungguh, sehingga seperti pula Pusat Dokumentasi Hukum (tempat penelusuran peraturan di bawah UU dan PP), lembaga-lembaga tersebut menjadi “fosil” (tulang-tulang binatang purbakala)! Sayang sekali !

Gagasan pendidikan hukum yang mengarah pada pendidikan “profesional” digagas kembali a.l. dalam studi Bappenas 1995 – 1997, dan dikatakan sebagai berikut:

The application of curriculum 1993 (also called “curriculum 1994”) is also parallel to future legal practices, particularly in facing the globalization era and Free Trade Era in the21st century … The Curriculum 1993 is in line or able to comply with the needs of legal practice in the future” (Final Report, hal. 65).

 Setelah berakhir KIH (KDIH) dalam tahun 2002, timbul pula gagasan dari sejumlah dekan fakultas hukum untuk mengubah kembali Kurikulum 1993, agar fakultas hukum menjadi “professional school”, seperti yang ada di Singapura, Malaysia dan Amerika Serikat. Salah satu alasan yang diajukan adalah bahwa model (Hindia) Belanda yang dipakai di Indonesia tidak menyediakan sarjana hukum yang dapat siap-bekerja di kantor hukum (seperti contoh di Amerika Serikat). Bila argumentasi ini benar, maka bagaimana mungkin Universitas dan fakultas hukum di Belanda dapat menghasilkan advokat-advokat Belanda? Saya kira, di sini pun terjadi pikiran yang menyesatkan. Kesimpulan saya untuk membangun “professional school”, tidak perlu orientasi ke negara Anglo-American; fakultas-fakultas hukum di Belanda (dengan kurikulumnya yang ditiru Indonesia) juga adalah “sekolah yang mendidik sarjana hukum menjadi siap bekerja” secara profesional.

Jadi apa yang perlu dibenahi? Menurut saya bukan kurikulum, tetapi “metode mengajar.” Saran saya  belajarlah dari Belanda dan ubah pengajaran dari TBL (Teacher-based learning) menjadi SBL (Student-based learning), dan ikuti PBL (Project-based learning) dengan benar.

Penutup

Apa yang saya kemukakan di atas tentunya bukanlah kata-akhir. Diakui bahwa terdapat unsur subyektivitas dalam ulasan saya, karena Kurikulum yang dihasilkan (struktur dan falsafahnya) dalam tahun 1993 memang konsep saya. Substansi tentu dapat berubah (isi dari suatu mata kuliah, buku-buku dan karangan yang perlu dipelajari). Tetapi pesan saya hanyalah, bila ingin mengubah kajilah secara mendalam apa yang sebenarnya keliru, kurikulum atau metode mengajarnya, ataukah memang kedua-duanya? Kesadaran (awareness) tentang letak kekeliruan ini adalah yang memerlukan perhatian!

                                                                        Jakarta, 9 Januari 2009
                                                                        Disampaikan dalam rangka kegiatan “100     
Tahun Pendidikan Hukum di Indonesia” – Diskusi Panel di FH-UI, Depok.



Daftar Pustaka Acuan

  1. ABNR & MKK, 1997, Law Reform in Indonesia, Results of a research study
undertaken for the World Bank, khususnya, hal. 61 – 72
  1. Mardjono Reksodiputro, 2008, “Belajar dari Masa-Lalu: Gagasan Membangun
Fakultas Hukum UI ke Masa Depan”, disampaikan dalam Rapat Rutin Bulanan
Senat Akademik FH-UI di Kampus Depok.


[1] 1990 – 2000 Konsorsium Ilmu Hukum dipimpin oleh Prof.Mochtar Kusumaatmadja dengan saya sebagai Sekretaris Konsorsium – 2000 s/d 2002 KIH berubah nama menjadi Komisi Disiplin Ilmu Hukum dengan saya sebagai Ketua dan Valerine Kriekhoff sebagai Sekretaris KDIH.
[2] Istilah the Seven Samurai diambil dari sebuah film Jepang waktu itu – Dekan-dekan yang pernah  terlibat dalam istilah ini adalah a.l. Solly Lubis (USU), Charles Himawan  (UI), Sri Sumantri (UNPAD), Satjipto Rahardjo (UNDIP), Sudikno Mertokusumo (UGM), JE Sahetapy (UNAIR) dan  … (UNHAS).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar