Selasa, 24 Desember 2013

Pendekatan Darurat Pemberantasan Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan*



Pengantar
Judul diatas segera menarik perhatian,karena menimbulkan pertanyaan: apa yang mau dikorupsi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) ? Dan mengapa ada keadaan darurat ?Saya juga mencari jawaban atas kedua pertanyaan tersebut dan mencoba menjawabnya sebagai berikut. Memang Direktorat Jenderal (baca: Kantor Pemerintah) yang terkenal “basah” dan menyebarkan “aroma korupsi” adalah antara lain: Bea Cukai, Pajak dan Imigrasi. Di ketiga kantor ini “klien”nya adalah: perusahaan,pengusaha. dan (umumnya) orang yang berkecukupan dalam harta kekayaan. Tetapi di Ditjen Pemasyarakatan (PAS), “klien”nya pada umumnya adalah “rakyat kecil” yang miskin harta dan miskin pengetahuan hukum. Bagaimana dapat terjadi korupsi dalam suasana demikian ?

Tetapi dalam dekade terakhir (dalam era reformasi ini). kita melihat ada perubahan dalam “klien” Lapas, mulai kita saksikan banyak pemilik perusahaan, pengusaha besar dan orang yang berkecukupan harta, menjadi penghuni Lapas (karena menjadi terpidana korupsi).Aroma “diskriminasi” antara penghuni Lapas yang berharta dan yang miskin, mulai tercium di sini. Fasilitas yang sangat tidak mencukupi di Lapas disertai dengan kapasitas Lapas yang diisi sangat berlebihan (disebut dengan “over capacity”- seharusnya “over crowded”) – menimbulkan “pasar gelap” (black market) untuk memperoleh “fasilitas langka” (a.l.ruangan, pangan,  kunjungan, dan kesempatan pengobatan). Disinilah mulainya “korupsi” dalam pengertian “menjual keistimewaan atau kesempatan”. Tetapi mengapa ini telah menjadi keadaan darurat ?

Berita-berita yang mulai terdengar dan tersebar sejak dua tahun yang lalu, membuat kita menjadi sangat terkejut. Karena banyak Lapas rupanya telah berada di bawah kendali “mafia narkoba”. Adanya “mafia korupsi” dalam Lapas sudah sangat memprihatinkan kita, apalagi kalau keadaan ini bergabung dengan “mafia narkoba”. Ini sungguh keadaan “gawat-darurat” !
 
Gawat-Darurat[1]
Keadaan ini disebabkan adanya kerjasama (kolusi) antara “mafia korupsi” di Lapas dengan “mafia narkoba” yang mulai menanam pengaruhnya di Lapas.Seharusnya dalam komunitas Lapas yang terkendali-erat sebagai komunitas narapidana (napi) dalam Lapas dengan “pengamanan-tinggi” (high or maximum security), maka setiap perilaku menyimpang dan tidak disiplin akan cepat terungkap dan mendapat sanksi untuk menjerakan pelaku dan mencegah napi lain mencontoh.Sikap seperti ini akan dilakukan oleh petugas yang memahami “budaya penjara”[2]. Ini tidak terjadi dalam Lapas-lapas yang sekarang mendapat sorotan media-massa. Kecurigaan tentu timbul bahwa semua kegawatan yang terjadi itu (termasuk kemungkinan “pemberontakan” oleh napi, “dibiarkan” oleh petugas (tentu dengan balas-jasa – hanky-panky). Dalam keadaan seperti ini, maka kegawatan tersebut telah meningkat menjadi keadaan darurat.

Korupsi yang sekarang dicoba ditanggulangi oleh KPK adalah korupsi besar yang merugikan negara bermilyar dolar (misalnya,korupsi di bidang Migas) atau trilyunan rupiah (misalnya,korupsi di sektor Pajak dan Bea Cukai).Tetapi berbeda sekali dengan korupsi di Lapas[3], karena itu mungkin luput dari perhatian publik (atau dirasakan kurang berarti) karena pihak yang dirugikan adalah “klien” Lapas yang merupakan “pelanggar hukum” (warga masyarakat yang tercela).Dilupakan bahwa sekarang perilaku “oknum-petugas” terhadap “klien” Lapas yang menurut istilah mereka adalah “warga-binaan”(untuk di-didik menjadi warga taat hukum), telah sangat bertentangan dengan konsep “pemasyarakatan narapidana” yang dicetuskan 50 tahun yang lalu oleh Dr.Sahardjo, Menteri Kehakiman era Bung Karno.

Dengan masuknya “narkoba “ ke dalam Lapas, dan diduga telah menjadi “bisnis-tambahan” oknum-petugas tertentu, maka tidaklah keliru untuk meminta pertanggungjawaban pimpinan Ditjen PAS[4]. Mulai dari Dirjen dan jajaran di kantornya, sampai Kepala Lapas dan jajarannya. Menurut hemat saya “narkoba” seratus kali lebih berbahaya daripada “korupsi”, target “korupsi” adalah mengganggu “keuangan-negara” – tetapi target “narkoba” adalah merusak “anak-bangsa” (agar menjadi budak-budak pedagang narkoba). Manakah yang lebih jahat “oknum-petugas” Lapas yang melindungi “Bandar-Narkoba” yang merusak Warga-masyarakat dibandingkan dengan “oknum-petugas” Pajak atau Bea Cukai yang melindungi “Pengusaha-besar” yang merugikan keuangan Negara ? Kalau saya yang pertama,dan karena  kita telah sepakat bahwa, korupsi harus diberantas secara tuntas dengan “prosedur luar-biasa” (extra-ordinary  measures),bukankah kesepakatan itu juga harus berlaku untuk narkoba ? Kita sudah mempunyai BNN (Badan Narkotika Nasional) untuk menghadapi para Bandar-narkoba di tengah masyarakat, tetapi bagaimana dengan Bandar-narkoba yang berlindung dalam Lapas ?  

Pengawasan terhadap Jajaran Ditjen PAS[5]
Dalam era Reformasi yang sudah bergulir 15 tahun ini, maka salah satu asas yang utama adalah akuntabilitas, yang berisi “keterbukaan” dan “pengawasan”. Kesediaan Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan mempunyai “komisi pengawas” menunjukkan kesepakatan mereka dengan asas akuntabilitas (meskipun masih ada juga “gesekan”). Tetapi kita semua menyaksikan bahwa asas ini tidak dianut oleh Ditjen PAS, buktinya adalah dalam KUHAP tahun 1980 sudah tercantum adanya “Hakim WasMat” (hakim yang mengawasi dan mengamati Lapas-yang juga dikenal di Luar Negeri), tetapi dalam UU Pemasyarakatan 1995, kehadiran “pengawasan dari luar” ditolak.

Ini adalah kebiasaan-keangkuhan pejabat pemerintahan di Indonesia, yang menolak pengawasan dari luar jajarannya yang bukan atasannya. Konsep “civil society” mengharuskan adanya pengawasan oleh dan akuntabilitas kepada publik. Bencana nasional “Lapas jadi sarang Bandar-narkoba”, harus segera diatasi dengan akuntabilitas melalui suatu “Komisi Pengawas Pemasyarakatan”(ini harus merupakan “tindakan darurat pertama”) yang terdiri seluruhnya dari orang-luar Pemasyarakatan.Tindakan darurat kedua adalah mengaktifkan Hakim Wasmat. Untuk saya bencana yang mungkin akan kita hadapi dalam 5-10 tahun mendatang dari narkoba yang bersarang di Lapas adalah lebih besar dari bahaya korupsi yang sekarang meluas di Indonesia.

Ahmad Tabroni[6] meyampaikan dalam analisanya tentang “darurat lapas nasional” ini, adanya empat permasalahan:a) “kelebihan kapasitas”; b)”lemahnya koordinasi dan pengawasan”; c)”minimnya kesejahteraan petugas”; dan d)”melencengnya filosofi pemasyarakatan”. Saya sangat setuju dengan analisa dari seorang pemerhati masalah Lapas dari kalangan publik ini, tetapi sya ingin menggaris bawahi masalah “melencengnya filosofi pemasyarakatan”. Bukankah ini sangat memalukan bagi kalangan Ditjen Pemasyarakatan (bukan saja yang sekarang berada di sana, tetapi juga mereka yang telah pensiun !). Untuk apa mereka mempunyai Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP), untuk apa mereka mencanangkan adanya “ilmu” pemasyarakatan narapidana, kalau tempat pembinaan (Lapas) menjadi sarang “Bandar narkoba” (yang bila tidak dirazia BNN tidak akan pernah terbongkar !). Masalah “kesempitan” Anggaran dan Fasilitas, malah dijadikan “kesempatan” bersekongkol denga “mafia narkoba”!

Mencari Pemimpin
Dari uraian di atas, maka pertanyaan yang akan timbul adalah siapa yang sanggup “membersihkan” jaringan korupsi yang berkolusi dengan jaringan narkoba di Lapas-lapas Indonesia ? Beberapa minggu lalu Kementerian Hukum dan HAM sedang mencari seorang Direktur Jenderal yang punya kredibilitas,kemampuan,komitmen dan program-kerja untuk mengatasi “gawat-darurat” dalam Lapas-lapas Indonesia.[7] Apakah pejabat ini  dapat dicari dari “orang-dalam” Ditjen PAS ? Saya berpendapat tidak mungkin. Ini bukan ketidak-percayaan pada “kejujuran”, tetapi seperti telah terlihat terulang-kali di Indonesia , “sukar untuk menindak teman-sejawat yang telah lama sama-sama berkarier di kantor yang sama”, juga “sukar melawan sistem anti-hukum yang sudah berurat-berakar kemana-mana”. Jadi harus dicari seseorang dari luar jajaran Pemasyarakatan !

Saya hanya dapat menyebut beberapa kriteria – orang yang memenuhinya masih perlu dicari. Kriterianya (bagi) saya adalah sebagai berikut:

1)Harus berasal dari militer atau kepolisian – mengapa ? Karena “pembersihan Lapas” harus dengan “tangan keras – tegas – tapi adil”;

2)Kalau dari militer sebaiknya punya pengalaman sebagai Polisi Militer dan kalau dari kepolisian, sebaiknya punya pengalaman di BNN – mengapa ? Karena militer harus punya pengalaman “kepolisian” dan polisi harus punya pengalaman “memerangi narkoba”;

3)Sebaiknya juga punya pengalaman di bidang intelejen – mengapa ? Karena “pembersihan Lapas” dari jaringan narkoba dan korupsi harus memakai bantuan informan dan “under cover agents”;  dan

4)Sebaiknya laki-laki – mengapa ? Ini bukan masalah gender, tetapi para “hantu mafia narkoba” (mereka adalah  pemodal” yang berada dibelakang Bandar-narkoba) mungkin akan “menyepelekan” perempuan – tetapi memang sebaiknya  ada Wakil Dirjen yang perempuan,yang dapat menyusun strategi mencari informasi dari istri-istri dan ibu-ibu para narapidana, merekalah yang secara teratur mengunjungi dan mendapat berbagai keluhan masalah dari keluarganya di Lapas-lapas.


Penutup
“Benang Kusut Jeruji Besi” seperti yang diistilahkan oleh Forum Keadilan dan analisa “Darurat Lapas Nasional” istilah Ahmad Tabroni, mengajak kita merenungkan bagaimana pembaruan dalam sistem kepenjaraan kita melalui konsep “Pemasyarakatan Sahardjo” (1963), yang ingin menghilangkan sistem “bui” jaman penjajahan Hindia Belanda, dapat begitu dicemari oleh anak-buah Ditjen Pemasyarakatan, sehingga menjadi “Sarang Kejahatan” (istilah Forum Keadilan, hal 12).

Apa yang salah ? Oknumkah ? Sistemkah ? Pendidikan di AKIP kah ?
Dan seperti pada masalah-maslah sosial yang lain di Indonesia – benang kusut permasalahan sosial ini memerlukan pengkajian mendalam oleh ahli-ahli ilmu sosial – tidak ada gunanya negara kita membanggakan “kemajuan di bidang ekonomi yang tinggi” serta “kemajuan di bidang teknologi yang canggih”, kalau masalah-masalah sosial seperti ini saja tidak/belum dapat kita atasi.  


Makalah ini telah disampaikan pada Radio Talk Show dan Diskusi Publik di Komisi Hukum Nasional RI Rabu, 28 Agustus 2013.


[1] Lihat juga, Ahmad Tabroni “Darurat Lapas Nasional” dalam Suara Pembaruan,Rabu, 21 Agustus 2013, hal.10 dan lihat juga Majalah Forum Keadilan No 16, 25 Agustus 2013 yang membahas tentang “Benang Kusut Jeruji Besi”- Kongsi Bandar Ekstasi dengan Pejabat Penjara.
[2] Dalam buku-buku Kriminologi dibahas sebagai “Prison Culture” – lihat A.Josias Simon R & Thomas Sunaryo,2011, Studi Kebudayaan Lembaga Pemayarakatan di Indonesia, Penerbit Lubuk Agung.
[3] Kemungkinan korupsi terbesar di Lapas adalah di bidang pengadaan Pangan dan Obat-obatan
[4] Kalau sekarang publik menkritik Kepala Negara karena banyaknya mis-management dan korupsi dalam jajaran pemerintah/kementerian, mengapa kita tidak mengkritik Ditjen PAS untuk bertanggungjawab?
[5] Lihat juga Muhammad Mustofa, “Penjara harus diurus oleh Kementerian tersendiri”,Forum Keadilan,No 16,25 Agustus 2013, hal.18
[6]  Ahmad Tabroni,Op.cit
[7] Ada lebih dari 600 Lapas di seluruh pelosok Nusantara kita !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar