Senin, 09 Desember 2013

Wacana tentang Dewan Advokat Nasional (Suatu Saran Pemanfaatannya)*



Pengantar
Dewan Advokat Nasional (disingkat DAN) dalam RUU Advokat 2013[1], ditafsirkan sebagai salah satu upaya untuk menjembatani hiruk-pikuk (“gaduh”) yang selama ini ada di dalam dan di antara organisasi profesi advokat di Indonesia. Suatu survey ditahun 1996-1997 yang dilakukan BAPPENAS (jadi sebelum Era Reformasi ! )[2] memberikan observasi sebagai berikut: “Tidak ada koordinasi kerja antara sejumlah asosiasi profesional,sebab masing-masing organisasi berpusat pada diri sendiri (ego-sentris). Juga tidak ada kesatuan kerja yang mengarah pada suatu program bersama untuk pembangunan hukum”.

Pada waktu itu para advokat diwakili oleh organisasi profesi: Peradin, Ikadin, AAI, HPHI, dan AKHI.Disamping itu masih ada organisasi sarjana hukum, seperti: Persahi (umum sarjana hukum), INI (Notaris), IKAHI (Hakim), dan Persaja (Jaksa). Survey menemukan adanya “ketegangan di antara mereka” dan merekomendasikan sebagai kebijakan jangka pendek (1-2 tahun) agar “memusatkan program kerja mereka pada upaya peningkatan kepercayaan masyarakat kepada profesi hukum”.[3] Dan sebagai akibat “diagnosis dari  survey ini”, menyimpulkan bahwa “Asosiasi profesi telah kehilangan keteladanan mereka untuk memperbaiki perilaku buruk para anggotanya”, maka direkomendasikanlah untuk : ”Perancangan Buku Pedoman Standar Kerja dan Etika Profesi untuk mereka yang bekerja dalam profesi hukum”[4]

Sekarang lebih dari 10 (sepuluh) tahun sejak temuan survey tersebut, kelihatannya keadaan belumlah berubah. Ini tidak berarti bahwa para advokat tinggal diam. Berbagai usaha telah dilakukan, seperti adanya UU Advokat No.18/2003, timbulnya PERADI (sebagai usaha membentuk  wadah-tunggal), campur-tangan Ketua MA untuk mendamaikan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dengan Kongres Advokat Indonesia (KAI), Juni 2010. Dan sekarang akan ada RUU Advokat 2013 dengan salah satu usulnya adalah Dewan Advokat Nasional atau DAN[5].

Makalah ini tidak akan membicarakan pro-atau-kontra pasal-pasal dalam RUU Advokat 2013 yang sekarang tengah dibahas di DPR.Yang ingin disarankan adalah bagaimana suatu Dewan Advokat dapat berperan sebagai perancang Buku Standar Kerja dan Etika Profesi  serta  menjadi Dewan Kehormatan Profesi Hukum.

Perlukah ada Advokat ?
Mungkin ada yang tersinggung dengan pertanyaan ini atau setidak-tidaknya menganggap pertanyaan ini “konyol” (sia-sia) atau “tidak-bernilai”.Tetapi – menurut saya - pertanyaan ini perlu diajukan untuk kita bersama memahami untuk apa masyarakat menciptakan profesi advokat dalam lingkungannya.Dalam kamus-kamus hukum, “advokat” dirujuk sebagai “penasihat dalam perkara hukum” (di dalam ataupun di luar pengadilan) atau juga “ahli hukum yang berwenang bertindak sebagai penasihat atau pembela perkara di pengadilan”.

Tetapi pernahkah kita bertanya apakah memang kita selalu perlu penasihat dalam perkara hukum yang kita hadapi dan apakah kita selalu perlu seorang pembela perkara kita di pengadilan (seperti: verplichte vertegenwoordiging Raad van Justitie) ? Bukankah kita boleh membela diri kita sendiri (the right of self-representation – propria persona) ? Di sinilah saya mau mempersoalkan keinginan advokat mau dinamakan seorang “penegak hukum” (law enforcement officer)-sama dengan Polisi dan Jaksa ( yang memang diperlukan Pemerintah “menegakkan hukum/UU yang dibuatnya”). Fungsi Advokat bukanlahmenegakkan hukum”, tetapi membantu atau melayani pencari keadilan. Posisi Advokat seperti inilah yang akan saya pergunakan dalam makalah ini.Advokat sebagai “attorney atau counsellor at law” yang juga (di Negara Maju) adalah “officer of the court” (pejabat pengadilan, sama derajatnya dengan JPU dalam sidang pengadilan – tanpa perlu dinamakan “penegak-hukum”).   

Para Advokat sebagai “moral force”
Dalam bulan November 1999, saya pernah menulis pada awal Era Reformasi, mengharapkan tujuan  para advokat adalah “bersatu,agar merupakan suatu “moral force” yang tangguh, dan bekerja professional (non-KKN), dengan tunduk pada Kode Etik Profesi”. Ini adalah masa idealism, dan makalah singkat ini dibawakan bersama oleh saya dengan Kartini Mulyadi, advokat senior/mantan hakim/juga notaris dalam pertemuan yang diprakarsai oleh BPHN dan ILUNI-FH.[6]

Konsep “himpunan advokat” – baik sendiri ataupun bersama melalui organisasi profesi – untuk menjadi kekuatan moral yang membawa perubahan dalam sistem hukum di Indonesia, bukanlah hal baru. Lihatlah, program bantuan hukum pada si Lemah (legal aid), baik yang tradisional ataupun yang membawa konsep “perubahan struktural”. Oleh karena itu keinginan agar para advokat di awal Era Reformasi juga menjadi moral force menghilangkan KKN di Indonesia adalah sesuatu yang logis.Tetapi untuk itu diperlukan kepercayaan dan dukungan masyarakat ! Harapan ini sirna karena perpecahan yang terjadi diantara sesama organisasi profesi.[7] Begitulah yang dapat disimpulkan dari laporan studi PSHK yang diterbitkan tahun 2001 (3 tahun setelah euphoria reformasi). Juga tujuh tahun kemudian (2008) saya dengan pesimistis menulis dengan judul “Apakah komunitas Advokat Indonesia ditakdirkan mempunyai “Multi-Bar Association”?”[8] Kalau memang demikian “takdir” komunitas Indonesia, maka saya ingin mengajukan di bawah ini beberapa saran tentang peran dan tanggung jawab yang dapat dilakukan oleh DAN (Dewan Advokat Indonesia) versi RUU Advokat 2013.

Dewan Advokat Indonesia (pada awalnya)[9]
Dalam pemahaman saya Dewan ini pada awalnya hanya akan berperan sebagai perancang buku dalam bidang etika (suatu uraian yang lebih lengkap berdasarkan KEAI), dengan terutama memberi pedoman tentang: a)tatacara perilaku dan standar perilaku para Advokat Indonesia (normative ethics); dan b)memecahkan masalah moral praktis (applied ethics). Oleh karena itu, (menurut hemat saya) Dewan sebaiknya membatasi dirinya dahulu hanya dalam hal menyusun dan mencari persetujuan organisasi profesi advokat yang ada, tentang suatu “Rancangan Buku Standar Kerja dan Etika Profesi untuk Advokat Indonesia” (SKEP-AI).Rancangan buku ini dapat dibahas bersama atau masing-masing dengan organisasi-organisasi profesi untuk mendapat penyempurnaan dan  kesepakatan bersama, sehingga ada rujukan yang dapat dipakai untuk “menilai perilaku seorang Advokat” yang memberi jasa hukum di dalam masyarakat Indonesia (termasuk tentu dalam proses pengadilan). Apabila Dewan telah selesai menyusun Buku ini dan pada dasarnya disetujui oleh organisasi-organisasi profesi, maka langkah kedua adalah membuka diri untuk menerima pertanyaan (bukan pengaduan) tentang masalah-masalah praktis yang menyangkut praktek para Advokat di Indonesia.Jawaban (sementara) juga akan direkam dan  diarsipkan (dalam internet ?) sebagai bahan referensi untuk kasus serupa. Buku SKEP-AI dan “Kumpulan Tanya-Jawab Masalah Moral dalam praktik Advokat Indonesia”, dapat dipergunakan dalam kursus pendidikan calon-advokat, maupun didiskusikan dalam Kongres Advokat yang khusus membahas penyempurnaan bahan-bahan kursus pendidikan calon-advokat.

Menurut saya apabila Dewan dapat berkiprah dengan bijaksana,dalam ketiga hal tersebut di atas (SKEP-AI, Tanya-Jawab, dan Kongres Khusus), maka akan mulai pulih juga peran Advokat sebagai suatu “kekuatan moral” yang dipercaya dan disegani masyarakat.Dan ungkapan “mobile officium” (profesi terhormat) di mata masyarakat akan mulai jadi kenyataan !  

Peran DAN sebagai Dewan Kehormatan Etik
Peran lanjutan ini hanya dapat dilakukan setelah pada awalnya Dewan mendapat kepercyaan semua organisasi profesi Advokat di Indonesia (yang ada dan terdaftar sekarang di Mahkamah Agung). Dalam fungsi kedua ini Dewan, hanya akan bertindak dalam kasus yang dimintakan banding kepadanya oleh organisasi profesi. Setiap kasus yang melibatkan permasalahan etika dan standar kerja seorang Advokat, pertama-tama harus diputus di dalam dan oleh Organisasi Advokat bersangkutan. Dalam hal tidak dapat diselesaikan secara tuntas, maka organisasi bersangkutan mengajukan masalahnya kepada DAN sebagai Dewan Kehormatan Etik tertinggi. Dengan demikian kita tetap menghormati “kedaulatan” masing-masing organisasi profesi Advokat,  tetapi sekaligus juga membuka jalan agar ada penyelesaian tuntas setiap masalah/dilema etika profesi advokat.

Benturan Perilaku Advokat dalam Masyarakat
Yang saya maksud dengan “benturan” di sini adalah perilaku Advokat yang mendapat kritikan-keras dari warga masyarakat yang merupakan Kliennya. Karena itu perlu dibatasi dahulu (dirumuskan) dalam pekerjaan apa mungkin terjadi benturan itu. Menurut saya paling tidak ada enam bidang-kemahiran (fields of skills) profesi advokat yang harus dikuasai seorang Advokat di Indonesia, yaitu:

1)Memberi nasihat hukum (legal advise);
2)Membantu dalam perundingan (negotiation);
3)Menyusun rancangan kontrak (drafting);
4)Melakukan investigasi lapangan (investigating);
5)Melakukan penelitian dokumen (documentary research);dan
6)Mewakili di muka Pengadilan (litigating/defense counsel).

Di dalam ke enam bidang-kemahiran ini seorang Advokat mungkin di”gugat” bantuannya (kemahirannya) oleh seorang Klien (ataupun pihak lain) karena dianggap telah melakukan perbuatan yang melanggar etika profesi (kemungkinan adanya mal-practice). Buku tentang “standar kerja” dan “etika” serta “kumpulan tanya-jawab masalah moral” akan membantu Organisasi Profesi Advokat bersangkutan menilai kepatutan bertindak advokat anggotanya.

Dengan merujuk pada bahan yang pernah dipublikasi oleh American Bar Association, maka saya ingin juga mengingatkan adanya berbagai “dimensi” dari kewajiban Advokat,yaitu[10] :

1)Kewajiban Advokat kepada Masyarakat.
Kewajiban ini pertama-tama dapat kita tarik dari Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) yang menyatakan bahwa advokat adalah suatu profesi terhormat (officium mobile). Dalam sebuah karangan[11] saya mengatakan, bahwa istilah ini mengandung arti adanya kewajiban yang mulia dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Arti dari kata “terhormat” ini juga berarti bahwa advokat itu selalu harus menjunjung kehormatan dan menjaga wibawa profesinya, serta tidak saja berusaha menyempurnakan hukum, namun juga sistem peradilannya. Inilah bahan dasar untuk menjadikan para advokat melalui organisasinya menjadi suatu “moral force” yang memberi rasa aman kepada masyarakat.Bagian kewajiban advokat kepada masyarakat yang lain, adalah juga memberi bantuan jasa hukum kepada mereka yang secara ekonomi tidak mampu.

2)Kewajiban Advokat kepada Pengadilan.
Di negara-negara maju yang demokratis, seorang Advokat yang melakukan kewajbannya mendampingi Klien di Pengadilan, diakui dan dihormati sebagai seorang “pejabat pengadilan” (officer of the court),sama dan sederajat dengan JPU dan Hakim. Jadi untuk mendapat penghormatan sebagai “pejabat pengadilan” tidak perlu “mengada-ada” mau jadi “penegak hukum” (law enforcement officer) ! Fungsi Advokat lain sekali dari Polisi dan JPU (kedua yang terakhir ini adalah memang “penegak hukum” – “sterke arm van de wet”).

Sebagai “pejabat pengadilan, maka seorang Advokat harus mendukung kewenangan (authority) Pengadilan dan menjaga kewibawaan (dignity) jalannya Sidang. Oleh karena itulah maka ada tata-tertib sopan-santun (decorum) sidang yang harus dipatuhinya dan menunjukkan sikap penghargaan profesional (professional respect) kepada Hakim, Advokat-lawan atau JPU serta para saksi. Di sinilah terdapat kemungkinan “contempt of court” dan “obstruction of justice” yang kedua-duanya intinya adalah “pelecehan Pengadilan”.Dan tentang hal ini perlu perumusan juga nantinya oleh DAN.

3)Kewajiban Advokat kepada Sejawat Profesi.
Dalam persaingan “melindungi dan mempertahankan” kepentingan Klien, sering antara para Advokat atau antara Advokat dan JPU terjadi “pertentangan” (contest), yang kadang-kadang terbawa oleh sikap Klien-klien mereka yang “bermusuhan”. Keadaan ini tidak boleh mempengaruhi Advokat dalam perilakunya, pedoman yang dapat dipegang adalah sesuai ungkapan ini “do as adversaries do in law: strive mightily, but eat and drink as friends !” Juga dalam  “persaingan” tidak jarang terjadi pergantian Advokat oleh seorang Klien, di sini harus diperhatikan adanya asas  the obligation to refrain from deliberately stealing each other’s clients” , namun juga ada asas: “it is for the client to decide who shall represent him/her”. Pertentangan seperti ini tidak mudah diselesaikan dalam praktik dan karena itu suatu “kumpulan tanya-jawab” (berdasarkan kasus nyata) yang di susun oleh DAN akan sangat membantu.

4)Kewajiban Advokat kepada Klien
Dari istilah (slogan ?) “Advokat suatu profesi terhormat (officium mobile)” kita dapat menyimpulkan bahwa seorang Advokat harus mendapat kepercayaan penuh dari Klien yang diwakilinya. Hubungan kepercayaan ini terlihat dari ungkapan “the lawyer as a fiduciary” (kepercayaan) dan adanya “the duty of fidelity” (kesetiaan) para Advokat terhadap Kliennya.

Masalah-masalah yang mungkin ada dalam praktik di Indonesia adalah berkenaan dengan “konflik kepentingan”, terutama dalam kantor advokat yang mempekerjakan sejumlah besar advokat. Akibat dari asas bahwa Advokat wajib menjaga kepercayan dan setia kepada Kliennya, maka ada asas yang mengatakan “Advokat dilarang menerima perkara yang akan merugikan kepentingan Kliennya”. Permasalahan seperti ini yang dapat timbul dalam praktek, juga dapat dicari pemecahannya dalam “Kumpulan tanya-jawab” yang disusun oleh DAN.

Penutup
Di atas saya mencoba memberi pandangan saya, bagaimana kita dapat memanfaatkan Dewan Advokat Indonesia, yang anggotanya dipilih oleh DPR dari calon-calon yang diusulkan oleh Presiden. Peran Negara melalui kekuasaan Eksekutif dan kekuasaan Legislatif ini diharapkan akan memberi “legitimasi” yang kuat kepada Dewan ini. Apakah peran kekuasaan Yudikatif, juga tidak diperlukan di sini ? Mungkin nanti dimana perlu, apabila ada sanksi-sanksi yang diberikan oleh suatu Organisasi Profesi Advokat kepada anggotanya, diperlukan kekuasaan Yudikatif untuk membantu menegakkannya. Namun, masalah pemberian sanksi pada Advokat yang melanggar Etika Profesi kita simpan saja sampai Dewan dapat menyiapkan suatu Buku Standar Kerja dan Etika Profesi untuk  Advokat Indonesia (SKEP-AI) dan “Kumpulan tanya-jawab tentang “Masalah Moral dalam Praktik Advokat Indonesia”.Yang kesemuanya harus disepakati oleh semua organisasi profesi advokat di Indonesia dan dapat ditambah dan diubah harafiah maupun penafsirannya pada Kongres-kongres berkala (setiap dua tahun?).      

Kedudukan Dewan sperti diuraikan di atas ini, dimaksudkan agar tidak terlalu jauh mencampuri perkembangan organisasi advokat yang ada sekarang, dan mungkin juga cukup dilakukan melalui amandemen pasal-pasal tertentu dari UU Advokat No.18/2003.
 
*Makalah ini telah disampaikan dalam Radio Talk Show yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional dengan Kantor Berita Radio (KBR) 68 H Rabu,2 Oktober 2013


[1] RUU Tentang Advokat, yang diterbitkan oleh Badan Legislasi DPR-RI, 2013

[2]ABNR & MKK,1999,Reformasi Hukum di Indonesia (terjemahan Diagnostic Assessment of Legal Development in Indonesia – Proyek Bank Dunia dan Bappenas RI), Jakarta: CYBERconsult, hal.75,161.

[3]Loc.cit.

[4]Op.cit.hal.175.

[5] Meskipun makalah ini akan merujuk pada Dewan Advokat Nasional (DAN), tetapi saya tidak merujuk dan membahas pasal-pasal dalam Bab VI RUU.

[6]“Beberapa Catatan terhadap RUU Profesi Advokat (Konsep Sub-Tim RUU Advokat-38 Pasal)”,1999, dalam Mardjono Reksodiputro,2009,Menyelaraskan Pembaruan Hukum,Jakarta:KHN-RI, hal 239.

[7]Lihat Binziad Kadafi (Koordinator) dkk,2001,Advokat Indonesia Mencari Legitimasi.Studitentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Jakarta: PSHK.  

[8]Dalam Mardjono Reksodiputro, Op.cit. hal 265 – 269.

[9]Dewan di sini tidak merujuk pada pasal 36 - 53 RUU Advokat 2013, karena konsepnya ingin mengubah apa yang ada dalam RUU.

[10]Uraian dalam bagian ini diambil dari karangan saya untuk memberi Orasi Ilmiah pada ulang tahun ke-15 (28 Juli 2005) Asosiasi Advokat Indonesia (AAI): “Etika Profesi Menjunjung Kehormatan Advokat”, Loc.cit 247 – 255.


[11]Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar