Pengantar
Dewan
Advokat Nasional (disingkat DAN) dalam RUU Advokat 2013[1], ditafsirkan
sebagai salah satu upaya untuk menjembatani hiruk-pikuk
(“gaduh”) yang selama ini ada di dalam dan di antara organisasi profesi
advokat di Indonesia. Suatu survey ditahun 1996-1997 yang dilakukan BAPPENAS
(jadi sebelum Era Reformasi ! )[2] memberikan
observasi sebagai berikut: “Tidak ada
koordinasi kerja antara sejumlah asosiasi profesional,sebab masing-masing
organisasi berpusat pada diri sendiri (ego-sentris). Juga tidak ada kesatuan
kerja yang mengarah pada suatu program bersama untuk pembangunan hukum”.
Pada waktu
itu para advokat diwakili oleh organisasi profesi: Peradin, Ikadin, AAI, HPHI,
dan AKHI.Disamping itu masih ada organisasi sarjana hukum, seperti: Persahi
(umum sarjana hukum), INI (Notaris), IKAHI (Hakim), dan Persaja (Jaksa). Survey
menemukan adanya “ketegangan di antara mereka” dan merekomendasikan sebagai
kebijakan jangka pendek (1-2 tahun) agar “memusatkan
program kerja mereka pada upaya peningkatan kepercayaan masyarakat kepada
profesi hukum”.[3] Dan sebagai akibat
“diagnosis dari survey ini”,
menyimpulkan bahwa “Asosiasi profesi telah
kehilangan keteladanan mereka untuk
memperbaiki perilaku buruk para anggotanya”, maka direkomendasikanlah untuk
: ”Perancangan Buku Pedoman Standar Kerja
dan Etika Profesi untuk mereka yang bekerja dalam profesi hukum”[4]
Sekarang
lebih dari 10 (sepuluh) tahun sejak temuan survey tersebut, kelihatannya keadaan belumlah berubah. Ini tidak
berarti bahwa para advokat tinggal diam. Berbagai usaha telah dilakukan,
seperti adanya UU Advokat No.18/2003, timbulnya PERADI (sebagai usaha
membentuk wadah-tunggal), campur-tangan
Ketua MA untuk mendamaikan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dengan Kongres
Advokat Indonesia (KAI), Juni 2010. Dan sekarang akan ada RUU Advokat 2013
dengan salah satu usulnya adalah Dewan Advokat Nasional atau DAN[5].
Makalah
ini tidak akan membicarakan pro-atau-kontra
pasal-pasal dalam RUU Advokat 2013 yang sekarang tengah dibahas di DPR.Yang
ingin disarankan adalah bagaimana suatu
Dewan Advokat dapat berperan sebagai perancang Buku Standar Kerja dan Etika
Profesi serta menjadi Dewan Kehormatan Profesi Hukum.
Perlukah ada Advokat ?
Mungkin
ada yang tersinggung dengan pertanyaan ini atau setidak-tidaknya menganggap
pertanyaan ini “konyol” (sia-sia) atau
“tidak-bernilai”.Tetapi – menurut saya - pertanyaan ini perlu diajukan untuk kita bersama memahami untuk apa masyarakat
menciptakan profesi advokat dalam lingkungannya.Dalam kamus-kamus hukum,
“advokat” dirujuk sebagai “penasihat
dalam perkara hukum” (di dalam ataupun di luar pengadilan) atau juga “ahli hukum yang berwenang bertindak sebagai
penasihat atau pembela perkara di pengadilan”.
Tetapi
pernahkah kita bertanya apakah memang
kita selalu perlu penasihat dalam perkara hukum yang kita hadapi dan apakah
kita selalu perlu seorang pembela
perkara kita di pengadilan (seperti: verplichte
vertegenwoordiging Raad van Justitie) ? Bukankah kita boleh membela diri
kita sendiri (the right of self-representation – propria persona) ? Di
sinilah saya mau mempersoalkan keinginan advokat mau dinamakan seorang “penegak hukum” (law enforcement officer)-sama dengan Polisi dan Jaksa ( yang memang
diperlukan Pemerintah “menegakkan hukum/UU yang dibuatnya”). Fungsi Advokat bukanlah “menegakkan hukum”, tetapi membantu atau melayani pencari
keadilan. Posisi Advokat seperti inilah yang akan saya pergunakan dalam
makalah ini.Advokat sebagai “attorney atau
counsellor at law” yang juga (di
Negara Maju) adalah “officer of the
court” (pejabat pengadilan, sama derajatnya dengan JPU dalam sidang
pengadilan – tanpa perlu dinamakan “penegak-hukum”).
Para Advokat sebagai “moral force”
Dalam
bulan November 1999, saya pernah menulis pada awal Era Reformasi, mengharapkan tujuan para advokat adalah “bersatu,agar merupakan suatu “moral
force” yang tangguh, dan bekerja professional (non-KKN), dengan tunduk pada
Kode Etik Profesi”. Ini adalah masa idealism,
dan makalah singkat ini dibawakan bersama oleh saya dengan Kartini Mulyadi,
advokat senior/mantan hakim/juga notaris dalam pertemuan yang diprakarsai oleh
BPHN dan ILUNI-FH.[6]
Konsep
“himpunan advokat” – baik sendiri ataupun bersama melalui organisasi profesi –
untuk menjadi kekuatan moral yang
membawa perubahan dalam sistem hukum di Indonesia, bukanlah hal baru.
Lihatlah, program bantuan hukum pada si Lemah (legal aid), baik yang tradisional ataupun yang membawa konsep
“perubahan struktural”. Oleh karena itu keinginan agar para advokat di awal Era
Reformasi juga menjadi moral force menghilangkan
KKN di Indonesia adalah sesuatu yang logis.Tetapi untuk itu diperlukan
kepercayaan dan dukungan masyarakat ! Harapan ini sirna karena perpecahan yang
terjadi diantara sesama organisasi profesi.[7] Begitulah yang
dapat disimpulkan dari laporan studi PSHK yang diterbitkan tahun 2001 (3 tahun
setelah euphoria reformasi). Juga tujuh tahun kemudian (2008) saya dengan
pesimistis menulis dengan judul “Apakah komunitas Advokat Indonesia ditakdirkan
mempunyai “Multi-Bar Association”?”[8] Kalau memang
demikian “takdir” komunitas Indonesia, maka saya ingin mengajukan di bawah ini
beberapa saran tentang peran dan
tanggung jawab yang dapat dilakukan oleh DAN (Dewan Advokat Indonesia) versi
RUU Advokat 2013.
Dewan Advokat Indonesia (pada awalnya)[9]
Dalam
pemahaman saya Dewan ini pada awalnya
hanya akan berperan sebagai perancang buku dalam bidang etika (suatu
uraian yang lebih lengkap berdasarkan KEAI), dengan terutama memberi
pedoman tentang: a)tatacara perilaku dan standar perilaku para
Advokat Indonesia (normative ethics);
dan b)memecahkan masalah moral praktis (applied ethics). Oleh karena itu, (menurut hemat saya) Dewan sebaiknya
membatasi dirinya dahulu hanya dalam
hal menyusun dan mencari persetujuan organisasi profesi advokat yang ada, tentang
suatu “Rancangan Buku Standar Kerja dan
Etika Profesi untuk Advokat Indonesia” (SKEP-AI).Rancangan buku ini dapat
dibahas bersama atau masing-masing dengan organisasi-organisasi profesi untuk
mendapat penyempurnaan dan kesepakatan
bersama, sehingga ada rujukan yang dapat dipakai untuk “menilai perilaku seorang Advokat” yang memberi jasa hukum di dalam
masyarakat Indonesia (termasuk tentu dalam proses pengadilan). Apabila Dewan
telah selesai menyusun Buku ini dan pada dasarnya disetujui oleh
organisasi-organisasi profesi, maka langkah kedua adalah membuka diri untuk menerima pertanyaan (bukan pengaduan) tentang masalah-masalah praktis yang menyangkut praktek
para Advokat di Indonesia.Jawaban (sementara) juga akan direkam dan diarsipkan (dalam internet ?) sebagai bahan
referensi untuk kasus serupa. Buku SKEP-AI dan “Kumpulan Tanya-Jawab Masalah
Moral dalam praktik Advokat Indonesia”, dapat dipergunakan dalam kursus pendidikan calon-advokat, maupun
didiskusikan dalam Kongres Advokat
yang khusus membahas penyempurnaan bahan-bahan kursus pendidikan calon-advokat.
Menurut
saya apabila Dewan dapat berkiprah dengan bijaksana,dalam ketiga hal tersebut di atas (SKEP-AI, Tanya-Jawab, dan Kongres
Khusus), maka akan mulai pulih juga peran Advokat sebagai suatu “kekuatan
moral” yang dipercaya dan disegani masyarakat.Dan ungkapan “mobile officium” (profesi
terhormat) di mata masyarakat akan
mulai jadi kenyataan !
Peran DAN sebagai Dewan Kehormatan Etik
Peran lanjutan ini hanya dapat dilakukan setelah pada awalnya Dewan mendapat
kepercyaan semua organisasi profesi Advokat di Indonesia (yang ada dan terdaftar sekarang di Mahkamah Agung).
Dalam fungsi kedua ini Dewan, hanya
akan bertindak dalam kasus yang dimintakan banding
kepadanya oleh organisasi profesi. Setiap kasus yang melibatkan permasalahan
etika dan standar kerja seorang Advokat, pertama-tama harus diputus di dalam dan oleh Organisasi Advokat
bersangkutan. Dalam hal tidak dapat diselesaikan secara tuntas, maka organisasi
bersangkutan mengajukan masalahnya kepada DAN sebagai Dewan Kehormatan Etik tertinggi. Dengan demikian kita tetap menghormati “kedaulatan” masing-masing
organisasi profesi Advokat, tetapi
sekaligus juga membuka jalan agar ada penyelesaian tuntas setiap masalah/dilema
etika profesi advokat.
Benturan Perilaku Advokat dalam Masyarakat
Yang saya
maksud dengan “benturan” di sini adalah perilaku Advokat yang mendapat kritikan-keras dari warga masyarakat
yang merupakan Kliennya. Karena itu perlu dibatasi dahulu (dirumuskan) dalam
pekerjaan apa mungkin terjadi benturan itu. Menurut saya paling tidak ada enam bidang-kemahiran (fields of skills) profesi advokat yang
harus dikuasai seorang Advokat di Indonesia, yaitu:
1)Memberi
nasihat hukum (legal advise);
2)Membantu
dalam perundingan (negotiation);
3)Menyusun
rancangan kontrak (drafting);
4)Melakukan
investigasi lapangan (investigating);
5)Melakukan
penelitian dokumen (documentary
research);dan
6)Mewakili
di muka Pengadilan (litigating/defense
counsel).
Di dalam
ke enam bidang-kemahiran ini seorang Advokat mungkin di”gugat” bantuannya
(kemahirannya) oleh seorang Klien (ataupun pihak lain) karena dianggap telah
melakukan perbuatan yang melanggar etika profesi (kemungkinan adanya mal-practice). Buku tentang “standar kerja” dan “etika” serta “kumpulan tanya-jawab
masalah moral” akan membantu Organisasi Profesi Advokat bersangkutan menilai
kepatutan bertindak advokat anggotanya.
Dengan
merujuk pada bahan yang pernah dipublikasi oleh American Bar Association, maka saya ingin juga mengingatkan adanya
berbagai “dimensi” dari kewajiban Advokat,yaitu[10] :
1)Kewajiban Advokat kepada Masyarakat.
Kewajiban
ini pertama-tama dapat kita tarik dari Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) yang
menyatakan bahwa advokat adalah suatu profesi terhormat (officium mobile). Dalam sebuah karangan[11] saya mengatakan,
bahwa istilah ini mengandung arti adanya kewajiban yang mulia dalam
melaksanakan pekerjaan mereka. Arti dari kata “terhormat” ini juga berarti
bahwa advokat itu selalu harus
menjunjung kehormatan dan menjaga wibawa profesinya, serta tidak saja
berusaha menyempurnakan hukum, namun juga sistem peradilannya. Inilah bahan
dasar untuk menjadikan para advokat melalui organisasinya menjadi suatu “moral force”
yang memberi rasa aman kepada masyarakat.Bagian kewajiban advokat kepada
masyarakat yang lain, adalah juga memberi
bantuan jasa hukum kepada mereka yang secara ekonomi tidak mampu.
2)Kewajiban Advokat kepada Pengadilan.
Di
negara-negara maju yang demokratis, seorang Advokat yang melakukan kewajbannya
mendampingi Klien di Pengadilan, diakui dan dihormati sebagai seorang “pejabat
pengadilan” (officer of the court),sama
dan sederajat dengan JPU dan Hakim. Jadi untuk mendapat penghormatan sebagai
“pejabat pengadilan” tidak perlu “mengada-ada” mau jadi “penegak hukum” (law enforcement officer) ! Fungsi Advokat lain sekali dari Polisi dan
JPU (kedua yang terakhir ini adalah memang “penegak hukum” – “sterke arm van de wet”).
Sebagai
“pejabat pengadilan, maka seorang Advokat harus mendukung kewenangan (authority) Pengadilan dan menjaga
kewibawaan (dignity) jalannya Sidang.
Oleh karena itulah maka ada tata-tertib sopan-santun (decorum) sidang yang harus dipatuhinya dan menunjukkan sikap
penghargaan profesional (professional respect)
kepada Hakim, Advokat-lawan atau JPU serta para saksi. Di sinilah terdapat
kemungkinan “contempt of court” dan “obstruction of justice” yang
kedua-duanya intinya adalah “pelecehan Pengadilan”.Dan tentang hal ini perlu
perumusan juga nantinya oleh DAN.
3)Kewajiban Advokat kepada Sejawat Profesi.
Dalam
persaingan “melindungi dan mempertahankan” kepentingan Klien, sering antara
para Advokat atau antara Advokat dan JPU terjadi “pertentangan” (contest), yang kadang-kadang terbawa
oleh sikap Klien-klien mereka yang “bermusuhan”. Keadaan ini tidak boleh
mempengaruhi Advokat dalam perilakunya, pedoman yang dapat dipegang adalah
sesuai ungkapan ini “do as adversaries do
in law: strive mightily, but eat and drink as friends !” Juga dalam “persaingan” tidak jarang terjadi pergantian
Advokat oleh seorang Klien, di sini harus diperhatikan adanya asas “the
obligation to refrain from deliberately stealing each other’s clients” ,
namun juga ada asas: “it is for the
client to decide who shall represent him/her”. Pertentangan seperti ini
tidak mudah diselesaikan dalam praktik dan karena itu suatu “kumpulan tanya-jawab”
(berdasarkan kasus nyata) yang di susun oleh DAN akan sangat membantu.
4)Kewajiban Advokat kepada Klien
Dari
istilah (slogan ?) “Advokat suatu profesi terhormat (officium mobile)” kita dapat menyimpulkan bahwa seorang Advokat
harus mendapat kepercayaan penuh dari Klien yang diwakilinya. Hubungan
kepercayaan ini terlihat dari ungkapan “the
lawyer as a fiduciary” (kepercayaan) dan
adanya “the duty of fidelity”
(kesetiaan) para Advokat terhadap
Kliennya.
Masalah-masalah
yang mungkin ada dalam praktik di Indonesia adalah berkenaan dengan “konflik
kepentingan”, terutama dalam kantor advokat yang mempekerjakan sejumlah besar
advokat. Akibat dari asas bahwa Advokat wajib menjaga kepercayan dan setia
kepada Kliennya, maka ada asas yang mengatakan “Advokat dilarang menerima
perkara yang akan merugikan kepentingan Kliennya”. Permasalahan seperti ini
yang dapat timbul dalam praktek, juga dapat dicari pemecahannya dalam “Kumpulan
tanya-jawab” yang disusun oleh DAN.
Penutup
Di atas saya
mencoba memberi pandangan saya, bagaimana kita dapat memanfaatkan Dewan Advokat
Indonesia, yang anggotanya dipilih oleh DPR dari calon-calon yang diusulkan
oleh Presiden. Peran Negara melalui kekuasaan Eksekutif dan kekuasaan
Legislatif ini diharapkan akan memberi “legitimasi”
yang kuat kepada Dewan ini. Apakah peran kekuasaan Yudikatif, juga tidak
diperlukan di sini ? Mungkin nanti dimana perlu, apabila ada sanksi-sanksi yang
diberikan oleh suatu Organisasi Profesi Advokat kepada anggotanya, diperlukan
kekuasaan Yudikatif untuk membantu menegakkannya. Namun, masalah pemberian
sanksi pada Advokat yang melanggar Etika Profesi kita simpan saja sampai Dewan
dapat menyiapkan suatu Buku Standar Kerja dan Etika Profesi untuk Advokat Indonesia (SKEP-AI) dan “Kumpulan
tanya-jawab tentang “Masalah Moral dalam Praktik Advokat Indonesia”.Yang
kesemuanya harus disepakati oleh semua
organisasi profesi advokat di Indonesia dan dapat ditambah dan diubah harafiah maupun penafsirannya pada
Kongres-kongres berkala (setiap dua tahun?).
Kedudukan
Dewan sperti diuraikan di atas ini, dimaksudkan agar tidak terlalu jauh mencampuri perkembangan organisasi advokat yang
ada sekarang, dan mungkin juga cukup dilakukan melalui amandemen
pasal-pasal tertentu dari UU Advokat No.18/2003.
*Makalah ini telah disampaikan dalam Radio Talk Show yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional dengan Kantor Berita Radio (KBR) 68 H Rabu,2 Oktober 2013
[1] RUU Tentang Advokat, yang diterbitkan
oleh Badan Legislasi DPR-RI, 2013
[2]ABNR
& MKK,1999,Reformasi Hukum di
Indonesia (terjemahan Diagnostic Assessment of Legal Development
in Indonesia – Proyek Bank Dunia dan Bappenas RI), Jakarta:
CYBERconsult, hal.75,161.
[3]Loc.cit.
[4]Op.cit.hal.175.
[5]
Meskipun makalah ini akan merujuk pada Dewan Advokat Nasional (DAN), tetapi saya tidak merujuk dan membahas
pasal-pasal dalam Bab VI RUU.
[6]“Beberapa
Catatan terhadap RUU Profesi Advokat (Konsep Sub-Tim RUU Advokat-38 Pasal)”,1999,
dalam Mardjono Reksodiputro,2009,Menyelaraskan
Pembaruan Hukum,Jakarta:KHN-RI, hal 239.
[7]Lihat
Binziad Kadafi (Koordinator) dkk,2001,Advokat
Indonesia Mencari Legitimasi.Studitentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di
Indonesia. Jakarta: PSHK.
[8]Dalam
Mardjono Reksodiputro, Op.cit. hal
265 – 269.
[9]Dewan di sini tidak merujuk pada pasal 36 -
53 RUU Advokat 2013, karena konsepnya ingin mengubah apa yang ada dalam RUU.
[10]Uraian
dalam bagian ini diambil dari karangan saya untuk memberi Orasi Ilmiah pada
ulang tahun ke-15 (28 Juli 2005) Asosiasi Advokat Indonesia (AAI): “Etika
Profesi Menjunjung Kehormatan Advokat”, Loc.cit
247 – 255.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar