Senin, 09 Desember 2013

Permohonan Pengujian UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama di MK*



Pengantar
Sebagai Dosen (gurubesar pensiun) di bidang Kriminologi dan Hukum Pidana saya akan mencoba membahas judul tersebut di atas, sebatas kemampuan dan pengetahuan saya. Secara garis besar saya membagi uraian saya sebagai berikut :

I.          Situasi Sosial-Politik Sekitar Diterbitkannya UU No. 1/PNPS/1965
II.        Penyusunan Rancangan KUHP Nasional (mulai 1981/1982)
III.       Era Reformasi (1998 – sekarang)
IV.      Tugas Pengadilan Memberi Makna Pada Peraturan Perundang-undangan
V.       Kesimpulan

Dalam uraian ini tidak akan dibahas secara rinci perumusan ketentuan-ketentuan dalam UU No. 1/PNPS/1965 ini, maupun unsur-unsur yang membuat perbuatan tertentu tersebut menjadi delik (tindak pidana). Nomor paragraf dibuat  terus berurutan, agar memudahkan dalam diskusi.

I.          Situasi Sosial-Politik sekitar Diterbitkannya UU No. 1/PNPS/1965
1)            UU ini diterbitkan pada awal tahun 1965 (27 Januari 1965). Tentunya sudah dipersiapkan dan dibahas sebelumnya, paling tidak tahun 1964. Bagaimana keadaan tahun 1964 itu ? Dalam Penjelasan Umum No. 2 undang-undang tersebut, tersurat dan tersirat kecemasan Pemerintah tentang adanya organisasi-organisasi ”... yang menyalahgunakan dan/atau mempergunakan Agama sebagai pokok, ... dan telah berkembang kearah yang sangat membahayakan Agama-agama yang ada”.

2)            Apa yang dimaksud dengan Agama-agama yang ada? Dalam Penjelasan Pasal Demi Pasal tercantum 6 (enam) macam Agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, yaitu : Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Cu (Confusius). Apakah selain ke-6 macam agama ini, kepercayaan lain dilarang? Rupanya tidak, karena dengan tegas dinyatakan : ”Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya : Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoisme dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar”. Bagi saya, ini berarti bahwa UU  yang dibuat dalam Pemerintahan Sukarno tersebut, tetap mengakui jaminan konstitusi tentang kebebasan beragama dan kepercayaan.
3)            Melalui Pasal 4 Undang-undang ini, disisipkanlah pasal baru dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana kita (KUHP, yang terjemahannya diterbitkan oleh BPHN tahun 1988), yaitu Pasal 156 a. Seperti dikatakan  dalam terjemahan ini (hal. 13) : ”Untuk dapat memahami suatu karya yuridis, seperti KUHP ini, ... harus mengerti bukan saja bahasa ..., melainkan juga budaya dimana KUHP .... ditumbuhkan ... serta berakar”. Oleh karena itu, UU No. 1/PNPS/1965 beserta Pasal 156a KUHP, harus dipahami dalam situasi waktu itu. A.l. dalam pasal 156a, yang dilarang adalah mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan : ”.. b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Seperti dicatat dalam sejarah ± sembilan bulan setelah undang-undang ini diterbitkan, terjadi peristiwa G 30 S. Apakah undang-undang ini dibuat mengantisipasi kerusuhan yang akan terjadi? Untuk menjawabnya diperlukan Kajian khusus untuk itu. Sekedar catatan tambahan saja, dalam buku Victor M. Fie, dikatakan bahwa ”PKI menginfiltrasi Angkatan Bersenjata antara tahun : 1964-1965” (h. 61-74).

4)            Beberapa peristiwa internasional mungkin juga  membawa pengaruh terhadap timbul dan dilaksanakannya undang-undang ini (sekedar spekulasi saya). Misalnya: Perkembangan di Mesir (pengambilalihan kekuasaan oleh Presiden Gamal Abdel, Nasser, 1952 – 1970 dan perkembangan di Iran, (Ayatollah Khomeini muncul menentang Shah Iran, 1967-1970; dan 1979 Pemerintahan Shah Iran jatuh). Serta ”Perang Enam Hari” antara Mesir dengan Israel (1967).

5)            Dalam KUHPidana, ternyata Pasal 156a disisipkan antara Pasal 156 (menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia : karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tatanegara) dan Pasal 157 (menyiarkan ... tulisan ... yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan ... penghinaan ... terhadap golongan rakyat Indonesia...). Pasal 156 dan 157 ini dikenal sebagai pasal-pasal ”haatzaai” (inciting hate). Biasanya pasal-pasal ini kurang diperhatikan, yang didiskusikan sebagai ”primadona” adalah Pasal 154 (perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah ...). Tuduhan terhadap Pasal 154 (bersama-sama dengan UU Subversi No. 11/PNPS/1963) adalah karena dipergunakan untuk ”membrangus” lawan politik. Hal ini bertentangan dengan UUD 1945, yaitu Pasal 28 (kemerdekaan berserikat ... mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan). Dan memang banyak ”korban politik”, karena Pemerintah  ingin menghalangi oposisi terhadap politik pemerintah. Kekeliruan Pemerintah (dan Pengadilan) adalah mempergunakan Pasal 154 ini secara sewenang-wenang terhadap lawan poltik. Seharusnya, Pengadilan yang bebas dan tidak berpihak dapat membuat penafsiran yang adil tentang apa yang dimaksud dengan ”penghinaan terhadap Pemerintah”.

6)            Tetapi untuk Pasal 156, sebenarnya pejuang HAM tidak boleh mengeluh, karena justru dimaksudkan  dipergunakan untuk melindungi HAM dari golongan/kelompok minoritas (ras,, agama, keturunan, dsb-nya). Di luar negeri pun dikenal pasal serupa Pasal 156 ini, untuk ”melawan” yang dinamakan ”hate crimes” (awal Maret 2010 ini, telah terjadi ”hate crimes”, ”racist incidents” terhadap mahasiswa Afro-American (kulit hitam) di University California, San Diego, Campus. Polisi dan pimpinan Universitas bertindak keras dan tegas untuk menghindari terjadinya kerusuhan dan sudah mulai ada demonstrasi mahasiswa kulit berwarna/hitam). Logika saya, kalau kita menganggap UU No. 1/PNPS/1965 (bersama Pasal 156a yang ada di dalamnya) bertentangan dengan Konstitusi, maka pasal 156 KUHP (yang melindungi kelompok minoritas) juga harus ditolak dan dicabut. Apakah memang dimaksudkan demikian ? Apakah hal ini tidak merugikan perjuangan menegakkan HAM ?

II.        Penyusunan Rancangan KUHP Nasional (mulai 1981/1982)
7)            Rancangan KUHP Nasional (selanjutnya Rancangan saja) disusun oleh suatu Tim yang dipimpin oleh Prof. Sudarto, SH (dengan Konsultan Prof. Oemar Seno Adjie, SH), dimulai tahun anggaran 1981/1982 dan selesai 1992/1993. Konsep Rancangan diserahkan kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh, SH, yang meneruskannya kepada Menteri yang baru Oetojo Oesman, SH. Ini adalah versi-1, dan di bawah Menteri Oetojo, Menteri Muladi, Menteri Yusril Ihza Mahendra, telah terjadi perubahan-perubahan pada versi-1, sehingga yang terakhir adalah tahun 2008 (versi-4).

8)            Dalam versi-1 sampai dengan versi-4 Rancangan,  terdapat Bab VI dengan judul ”Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama”. Bab ini pada dasarnya tidak berubah perumusannya mulai dari versi-1 s/d versi-4. Adapun pasal-pasal dalam bab ini menghimpun sejumlah pasal yang sudah ada dalam KUHP (Hindia Belanda), yaitu Pasal 156a (sudah dibicarakan), 175 (merintangi pertemuan keagamaan), 176 (mengganggu pertemuan keagamaan), 177 (menghina petugas agama atau benda-benda keagamaan), dan 502 (membuat gaduh didekat bangunan ibadah). Selanjutnya ada beberapa delik baru, yang dimasukkan dalam Bab VI Rancangan, yaitu : perusakan bangunan ibadah, penghinaan terhadap Tuhan, penodaan terhadap agama dan ajarannya, serta tindak pidana penyiarannya.

9)            Adapun alasan pembenaran yang dikemukakan dalam diskusi Tim Rancangan waktu itu a.l. bahwa bab ini adalah perwujudan dari sila pertama dalam Pancasila, yang berarti bahwa dalam masyarakat Indonesia agama merupakan sendi utama dalam hidup bermasyarakat. Perbuatan yang dilarang disini adalah perbuatan tercela dengan tidak menghormati agama atau umat beragama, yang dapat menimbulkan keresahan dalam masyarakat atau umat beragama yang bersangkutan. Dalam pemikiran Tim, pasal-pasal dalam bab ini, termasuk Pasal 156a (yang merupakan inti dari UU No. 1/PNPS/1965 yang dimohonkan pembatalan), memungkinkan penindakan hukum secara dini, setelah perbuatan bersangkutan dilakukan, tetapi sebelum adanya keonaran, dengan membawa pelaku (-pelaku) nya ke Pengadilan, karena membahayakan harmonisasi sosial dalam masyarakat Indonesia.

10)         Adapun pendapat terakhir dalam butir 9 ini dapat dikaitkan dengan adanya dua bentuk delik, yaitu : (a) delik yang bersifat menyakiti atau merugikan kepentingan hukum (rechtsgoed), dan karena itu akibat (kerugian) harus terjadi dahulu (krenkings delicten), seperti pembunuhan dan pencurian, dan (b) delik yang menimbulkan ancaman atau keadaan bahaya untuk suatu kepentingan hukum yang dilindungi, disini terjadinya pelanggaran tidak ditunggu, tetapi hukum pidana sudah bertindak preventif terhadap ancaman yang terjadi (gevaarzettings delicten) [lihat Remmelink, hal. 61 dstnya]. Contohnya adalah penghasutan, pornografi, dan delik penyebaran. UU No 1/PNPS/1965 menurut saya dirancang sebagai ”gevaarzettings delict”. Menurut sarjana hukum Belanda (gurubesar) Enschede (hal 171-172), maka antara lain ukuran dalam penyusunan undang-undang (maatstaven voor wetgeving) adalah manfaatnya (doelmatigheid) dan kemungkinan pelaksanaannya (practicabiliteit).Hal ini adalah berkaitan dengan kemungkinan penegakkannya serta dampaknya pada prevensi umum (practical use and effectivity principal).Karena itu Pemerintah harus dapat ”mengemudikan pelaksanaan” (teori Enschede tentang ”stuur systeem”) undang-undang tersebut.


III.  Era Reformasi (1998 – sekarang )
11)             Dalam masa pemerintahan Suharto (masa ”Orde Baru” 1967-1998 telah terjadi perubahan sosial yang cepat (dibidang ekonomi politik, struktur sosial, nilai-nilai masyarakat, dan hukum), tetapi juga dibarengi dengan keadaan yang ”tidak – sehat”. Kelompok-kelompok kepentingan yang dekat dengan Presiden Suharto (Kroni Cendana) memanfaatkan kesempatan untuk mengambil keuntungan yang berlebihan (KKN). Dalam masa ”Reformasi” ini (1998 – 2010), kita memang  menghadapi tantangan mengubah atau membalikkan sistem ”diktator” dan ”KKN” tersebut dan menghapus hal-hal yang negatif. Salah satu yang sedang diperjuangkan adalah secara sungguh-sungguh mempraktek jaminan konstitusi : ”kemerdekaan ... untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu” (Bab XI : Agama Pasal  29 ayat 2 UUD 1945). Juga menghormati Bab XA Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 28E ayat 1 (freedom of religion), ayat 2 dan 3 (freedom of expression), Pasal 28 I ayat 1 (hak beragama), dan ayat 2 (bebas dari perlakuan diskriminatif). Semuanya ini memang menjadi tujuan reformasi yang diperjuangkan bersama sejak 1998.

12)             Pertanyaan yang kiranya perlu saya jawab adalah apakah UU No. 1/PNPS/1965 (khususnya Pasal 156a) yang diberlakukan pada jaman Orde Lama (Presiden Sukarno) dan Pasal-pasal yang dekat dengannya Pasal 156 dan Pasal 157 (yang berlaku mulai jaman Hindia Belanda) bertentangan dengan tujuan reformasi tersebut di atas ? Bertentangan dengan Bab XI dan Bab XA Konstitusi Indonesia ?

13)             Mula-mula ingin saya jelaskan, bahwa ada kemungkinan besar, bilamana kita terlalu terpaku pada bunyi/rumusan peraturan dan mementingkan penjelasan secara yuridis (juristic exposition), khususnya mengutamakan pendekatan teknis-yuridis, kita sampai pada kesimpulan adanya pertentangan dan benturan. Namun, seharusnya kita mau menyadari pula bahwa secara sosiologis dan politis, sering sekali yang keliru bukanlah ”rumusan peraturannya” (karena ini terkait pada situasi sosial- politik jamannya), tetapi penafsiran dan pelaksanaannya oleh penegak hukum (Polisi dan Jaksa) serta pengadilan (Hakim). Pendekatan inilah yang akan saya ambil untuk menjawab pertanyaan dalam butir 12 di atas. Perlu saya jelaskan disini bahwa saya belum dapat (sempat) membaca dan mempelajari yurisprudensi (putusan pengadilan) tentang kasus yang mendakwakan seseorang atau .suatu organisasi dengan UU No. 1/PNPS/1965 dan atau Pasal 156a KUHP, yang dijadikan dasar kekhawatiran penggunaan undang-undang ini secara melanggar HAM ! (lihat lima kasus yang diajukan dalam halaman 55 – 57 bahan Tim Advokasi Kebebasan Beragama ).

14)             Pendekatan lain yang saya yakini adalah bahwa  ideologi negara Pancasila kita memang menghendaki adanya toleransi antar umat beragama, baik yang menyangkut keyakinan agama, ibadah agama, maupun hukum agama. Dalam pendekatan ini saya juga berkeyakinan bahwa pengamalan agama dalam kehidupan pribadi harus dapat terlaksana tanpa campur–tangan Negara, namun pengamalan ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat, sering memerlukan campur-tangan Negara, justru untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dalam kehidupan beragama (Pasal 28 I ayat 2 Konstitusi Indonesia).

III.       Tugas pengadilan memberi makna pada peraturan perundanga-undangan
15)         Dari pendekatan saya di butir 13 (bahwa kekeliruan mungkin ada pada penafsiran dan pelaksanaan oleh penegak hukum dan pengadilan), dan butir 14 (bahwa pengamalan agama dalam kehidupan bermasyarakat sering memerlukan campur-tangan Negara), kiranya dapat di duga bahwa saya tidak dari sebelumnya (a priori) sudah berpendapat bahwa UU No.1/PNPS/1965 adalah buruk. Kalaupun dapat ditemukan penggunaan undang-undang (dan Pasal 156a KUHP) yang bertentangan dengan Bab XI : Agama Pasal 29 ayat 2, maka menurut saya perlu dikaji lebih lanjut apakah bukan penafsiran dan penegakkannya yang keliru ? Dalam kriminalisasi secundaire (yaitu memberi label pelanggar hukum pidana pada seseorang dalam concreto) harus dipertimbangkan oleh hakim, apakah kerugian yang tergambar oleh perbuatan tersebut (lihat butir 10) memang masuk akal dan merupakan suatu ”public issue”. Selanjutnya dalam menentukan kesalahan terdakwa hakim perlu pula mempertimbangkan asas subsidiaritas (apakah kepentingan hukum yang terlanggar, masih dapat dilindungi dengan cara lain) dan asas proporsionalitas (apakah ada keseimbangan antara kerugian yang timbul dari perbuatan tersebut dengan reaksi/pidana yang akan diberikan). Ada kemungkinan bahwa hakim-hakim Indonesia terlalu ”ceroboh” dalam menegakkan undang-undang ini !

16)         Di sini saya ingin meminjam pendapat pakar sosiologi hukum, Almarhum Prof. Satjipto Rahardjo (wafat Januari 2010) yang melalui ”hukum progresif”-nya menganjurkan kita untuk berani ”menafsirkan hukum, demi keadilan”. Contoh yang saya peroleh dari beliau adalah keberanian hakim Belanda dalam penafsiran tentang ”pencurian listrik”,, tentang ”ketiadaan sifat melawan hukum materil”(materiele wederrechterlijkheid) dalam hukum pidana, dan tentang ”perluasan pengertian perbuatan melawan hukum” (onrechtmatige daad) dalam bidang hukum perdata. Beliau mengharapkan dari para hakim (terutama di Mahkamah Agung) ada ”terobosan yang cerdas” menghadapi masa transisi dalam era reformasi ini. Secara singkat dasar falsafah  hukum beliau adalah : ”hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya”.

17)         Saya juga ingin mengajukan pendapat Almarhum Prof. Roeslan Saleh (wafat tahun 1994) yang secara gigih memperjuangkan masuknya pasal 16 dalam ketentuan umum Rancangan KUHP (versi-1), yang inti-sarinya mengatakan : ’’dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan, hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum”. Saya sendiri pun sering merujuk kepada hakim agung (1932 - 1938) Amerika, Benjamin N. Cardozo yang berceramah dengan tema ”The Judge as Legislator’’. Baik Satjipto Rahardjo, Roeslan Saleh, maupun Cardozo mendorong pemikiran bahwa rumusan Legislator (DPR dan Pemerintah) harus ditafsirkan secara kreatif dalam kasus-kasus yang diajukan ke Pengadilan (badan Yudikatif). Seperti yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa ”hukum adalah untuk manusia, dan bukan sebaliknya”. Maka kita pun harus mengingat bahwa yang diminta oleh masyarakat adalah penegakan hukum, dan bukan penegakan undang-undang”. Ini adalah ”adagium” yang sering dilupakan oleh alat-alat penegak hukum dan pengadilan kita, ini pula yang diminta oleh Satjipto Rahardjo dengan ”hukum progresifnya”, oleh Roeslan Saleh dengan ”hakim harus mengutamakan keadilan di atas kepastian undang-undang”, dan pesan Cardozo agar hakim juga bertindak menemukan dan menghaluskan hukum sebagai ”Legislator”.

18)         Sebagai tambahan, saya juga ingin mengajukan pendapat    seorang sarjana hukum (gurubesar) Belanda M.P. Vrij,yang  mengajukan antara lain teori ”sub-sosial” (subsocialiteit theorie). Menurut teori ini suatu tindak pidana yang terjadi mempunyai empat akibat-sosial dalam masyarakat, yaitu : (a) dorongan mengulangi oleh pelaku, (b) rasa tidak puas korban, (c) keinginan meniru oleh pihak ketiga, dan (d) rasa kecewa pihak keempat. Adapun fungsi penghukuman oleh pengadilan, adalah mau mempertimbangkan adanya gejolak-gejolak sosial-psikologis tersebut (keempat akibat subsosial tersebut), dalam membuat putusan. Menurut Vrij, hakim dalam memutus, (baca : menafsirkan peraturan ke dalam kasus) wajib  memperhatikan rasa keadilan,  yang harus disarikannya dari sentimen-moral publik. Yang penting harus dijaga adalah agar putusan pengadilan berdasarkan sentimen-moral publik, tercapaii melalui ”fair trial” dan bukan ”lynch justice”. Mengikuti pikiran-pikiran Satjipto Rahardjo, Roeslan Saleh dan Cardozo, kita harapkan bahwa Mahkamah Agung kita dapat berperan melakukan terobosan hukum dan keadilan, agar kasus-kasus yang dibawa ke pengadilan sebagai penegakan hukum melalui UU no 1/PNPS/1965 (dan pasal 156a KUHP) diadili sesuai dengan amanat Konstitusi kita yang melindungi kebebasan beragama dan kebebasan berkeyakinan (tetapi tetap menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain). Dengan pengadilan memberi makna sesuai Konstitusi kita atas UU No. 1/PNPS/1965/dan pasal 156a KUHP), maka dapat dihindari kemungkinan provokasi-provokasi yang dapat menimbulkan keonaran dan perselisihan kehidupan beragama di Indonesia.

IV.      Kesimpulan.
A.           Dari penelitian singkat dan sederhana tentang sejarah, terutama situasi sekitar diterbitkannya UU No 1/PNPS/1965 (termasuk Pasal 156a KUHP), dapat diduga bahwa :
(i)            Undang-undang ini tetap ingin menghormati pasal 29  UUD 1945, khususnya ayat 2 yang menjamin kemerdekaaan penduduk Indonesia memeluk agamanya dan kepercayaannya ; dan karena itulah Pasal 156a masih tercantum dalam terjemahan (resmi) KUHP yang disusun BPHN Dep. Kehakiman, maupun dalam konsep Rancangan KUHP Nasional (versi-1,1993);  dan
(ii)          Peristiwa G30S yang terjadi dalam  tahun yang sama (1965), beberapa bulan setelah terbitnya undang-undang ini, mungkin merupakan salah satu alasan penyusunannya, dengan a.l. menegaskan dalam pasal 156a ayat b, untuk menkriminalisasi perbuatan yang bermaksud ’’agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga,yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa  ’’.(lihat pula Penjelasan Pasal 4 UU ini).

Dengan demikian UU No. 1/PNPS/1965 (termasuk pasal 156a KUHP) masih sejalan  ( tidak bertentangan) dengan pasal 28E dan pasal 28 I Konstitusi RI (UUD 1945 setelah perubahan ke-1, ke-2, ke-3, dan ke-4) yang memuat pemahaman dasar tentang ’’freedom of religion’’ dan ’’freedom of expression’’ yang tertuang dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR).

B.       Dengan tetap dipertahankannya UU No. 1/PNPS/1965 (termasuk pasal 156a KUHP) dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia, maka adalah kewajiban Mahkamah Konstitusi serta Mahkamah Agung (beserta jajaran Pengadilannya) untuk memberikan penafsiran bermakna, yang sesuai dengan rasa keadilan dalam masyarakat serta untuk menghindari terjadinya perselisihan dalam kehidupan beragama di Indonesia. Suasana di Indonesia dewasa ini, menurut pengamatan saya yang subyektif, memang seperti dikatakan Dalang terkenal Ki Manteb Sudarsono ”...mirip dengan lakon-lakon wayang pasca perang Baratayudha...” (Suara Pembaruan, Rabu 6 Januari 2010, hal.24). Saya juga sepakat dengan pedapat MUI bahwa fungsi keberadaan undang-undang ini adalah mencegah terjadinya kekacauan akibat perselisihan dalam kehidupan beragama di Indonesia (Republika, Kamis 25 Februari 2010, hal.12).

C.       Untuk menghindari penggunaan sewenang-wenang UU No 1/PNPS/1965 (dan Pasal 156a KUHP), maka rumusan delik dapat diubah menjadi delik materiil (atau ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sebagai delik materiil), yaitu bahwa delik akan  menjadi sempurna hanya apabila terjadi suatu akibat yang nyata, seperti terjadinya keonaran yang dapat mengancam jiwa dan atau barang, jadi telah merugikan kepentingan hukum yang ingin dilindungi (ini disebut pula ”krenkings delict”). Ataupun membiarkannya dalam rumusannya sekarang, namun dengan penafsiran bahwa bentuknya adalah suatu perbuatan yang dilarang karena  akan menimbulkan ancaman bahaya  bagi suatu kepentingan hukum yang dilindungi (dalam hal ini kehidupan beragama yang harmonis antar umat berbagai agama dalam masyarakat Indonesia yang multikultural). Terjadinya pelanggaran atas kepentingan hukum ini tidak ditunggu terjadinya, tetapi hukum pidana sudah bertindak preventif terhadap ancaman tadi (ini disebut ”gevaarzettingsdelict”). Hakim wajib merumuskan ancaman bahaya ini dalam putusannya (sebagai bagian dari legal reasoning yang kuat dan meyakinkan). Kesimpulan terahir ini mudah-mudahan sejalan dengan keinginan sarjana hukum Indonesia (gurubesar) Satya Arinanto, yaitu sebagai upaya pencarian konsepsi ”keadilan transisional” di Indonesia.

*Pendapat  ini  disampaikan sehubungan dengan surat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Nomor : 026/PAN.MK/II/2010, tertanggal 10 Februari 2010, Perihal : Permohonan menjadi Ahli.

                                                            Jakarta, 24 Maret 2010
                                                          

DAFTAR PUSTAKA YANG DIRUJUK:

1) Arinanto, Satya, 2003, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia,  Jakarta: Pusat Studi Hukum Tatanegara FHUI;

2) Enschede, Prof,mr, Ch, “Problemen van strafwetgeving”, dalam Prof.mr W.F. de Gaay Fortman, 1982, Problemen van Wetgeving, Kluwer-Deventer;

3) Fic, Victor M, 2005, Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi ..., dengan Pengantar John O. Sutter, Yayasan Obor;

4) Levi, Edward H, 1949, An Introduction to Legal Reasoning, The University of Chicago Press;

5) Naipospos,Bonar Tigor dan Robertus Robert (Editor), 2009, Beragama, Berkeyakinan & Berkonstitusi: Tinjauan Konstitusional Praktik Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, SETARA Institute

6) Redlich, Norman, “Religious Liberty” dalam Norman Dorsen, 1984, Our Endangered Rights, New York: Pantheon Books;

7) Remmelink, Jan, dan Tristam P.Moeliono dkk (penerjemah), 2003, Hukum Pidana, Komentar ..., Gramedia Pustaka Utama;

8) Tim Advokasi Kebebasan Beragama, 2009, Permohonan Pengujian Materiil Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965  Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama Terhadap Undang-undang Dasar 1945 ( bahan Perbaikan Permohonan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar