Pengantar
Sebagai Dosen
(gurubesar pensiun) di bidang Kriminologi dan Hukum Pidana saya akan mencoba membahas
judul tersebut di atas, sebatas kemampuan dan pengetahuan saya. Secara garis
besar saya membagi uraian saya sebagai berikut :
I.
Situasi
Sosial-Politik Sekitar Diterbitkannya UU No. 1/PNPS/1965
II.
Penyusunan
Rancangan KUHP Nasional (mulai 1981/1982)
III.
Era Reformasi (1998 – sekarang)
IV.
Tugas Pengadilan Memberi Makna Pada Peraturan
Perundang-undangan
V.
Kesimpulan
Dalam uraian ini tidak akan dibahas secara rinci
perumusan ketentuan-ketentuan dalam UU No. 1/PNPS/1965 ini, maupun unsur-unsur
yang membuat perbuatan tertentu tersebut menjadi delik (tindak pidana). Nomor
paragraf dibuat terus berurutan, agar
memudahkan dalam diskusi.
I.
Situasi
Sosial-Politik sekitar Diterbitkannya UU No. 1/PNPS/1965
1)
UU ini diterbitkan pada awal tahun 1965 (27 Januari
1965). Tentunya sudah dipersiapkan dan dibahas sebelumnya, paling tidak tahun
1964. Bagaimana keadaan tahun 1964 itu ? Dalam Penjelasan Umum No. 2
undang-undang tersebut, tersurat dan tersirat kecemasan Pemerintah tentang adanya organisasi-organisasi ”... yang
menyalahgunakan dan/atau mempergunakan Agama sebagai pokok, ... dan telah
berkembang kearah yang sangat
membahayakan Agama-agama yang ada”.
2)
Apa yang dimaksud dengan Agama-agama yang ada? Dalam
Penjelasan Pasal Demi Pasal tercantum 6 (enam) macam Agama yang dipeluk hampir
seluruh penduduk Indonesia, yaitu : Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan
Khong Cu (Confusius). Apakah selain ke-6 macam agama ini, kepercayaan lain
dilarang? Rupanya tidak, karena
dengan tegas dinyatakan : ”Ini tidak
berarti bahwa agama-agama lain, misalnya : Yahudi, Zarasustrian, Shinto,
Taoisme dilarang di Indonesia. Mereka
mendapat jaminan penuh seperti yang
diberikan oleh pasal 29 ayat 2 Undang-undang
Dasar”. Bagi saya, ini berarti bahwa UU yang dibuat dalam Pemerintahan Sukarno
tersebut, tetap mengakui jaminan
konstitusi tentang kebebasan beragama dan kepercayaan.
3)
Melalui Pasal 4 Undang-undang ini, disisipkanlah pasal
baru dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana kita (KUHP, yang terjemahannya
diterbitkan oleh BPHN tahun 1988), yaitu Pasal
156 a. Seperti dikatakan dalam
terjemahan ini (hal. 13) : ”Untuk dapat memahami suatu karya yuridis, seperti
KUHP ini, ... harus mengerti bukan saja bahasa ..., melainkan juga budaya
dimana KUHP .... ditumbuhkan ... serta berakar”. Oleh karena itu, UU No.
1/PNPS/1965 beserta Pasal 156a KUHP, harus dipahami dalam situasi waktu itu.
A.l. dalam pasal 156a, yang dilarang adalah mengeluarkan perasaan atau
melakukan perbuatan : ”.. b. Dengan maksud agar supaya orang tidak
menganut agama apapun juga, yang
bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa”.
Seperti dicatat dalam sejarah ± sembilan bulan setelah undang-undang ini
diterbitkan, terjadi peristiwa G 30 S. Apakah
undang-undang ini dibuat mengantisipasi kerusuhan yang akan terjadi? Untuk
menjawabnya diperlukan Kajian khusus untuk itu. Sekedar catatan tambahan saja, dalam
buku Victor M. Fie, dikatakan bahwa ”PKI
menginfiltrasi Angkatan Bersenjata antara tahun : 1964-1965” (h. 61-74).
4)
Beberapa peristiwa internasional mungkin juga membawa pengaruh terhadap timbul dan
dilaksanakannya undang-undang ini (sekedar
spekulasi saya). Misalnya: Perkembangan di Mesir (pengambilalihan kekuasaan
oleh Presiden Gamal Abdel, Nasser, 1952 – 1970 dan perkembangan di Iran, (Ayatollah
Khomeini muncul menentang Shah Iran, 1967-1970; dan 1979 Pemerintahan Shah Iran
jatuh). Serta ”Perang Enam Hari” antara Mesir dengan Israel (1967).
5)
Dalam KUHPidana, ternyata Pasal 156a disisipkan antara Pasal
156 (menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia : karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan,
kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tatanegara) dan Pasal 157 (menyiarkan ... tulisan ... yang isinya mengandung
pernyataan perasaan permusuhan ... penghinaan ... terhadap golongan rakyat Indonesia...). Pasal 156 dan 157 ini dikenal
sebagai pasal-pasal ”haatzaai” (inciting
hate). Biasanya pasal-pasal ini kurang diperhatikan, yang didiskusikan
sebagai ”primadona” adalah Pasal 154 (perasaan permusuhan,
kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah
...). Tuduhan terhadap Pasal 154 (bersama-sama dengan UU Subversi No.
11/PNPS/1963) adalah karena dipergunakan untuk ”membrangus” lawan politik. Hal
ini bertentangan dengan UUD 1945, yaitu Pasal 28 (kemerdekaan berserikat ...
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan). Dan memang banyak ”korban
politik”, karena Pemerintah ingin
menghalangi oposisi terhadap politik pemerintah. Kekeliruan Pemerintah (dan Pengadilan) adalah mempergunakan Pasal 154 ini secara sewenang-wenang terhadap
lawan poltik. Seharusnya, Pengadilan yang bebas dan tidak berpihak dapat
membuat penafsiran yang adil tentang apa yang dimaksud dengan ”penghinaan terhadap Pemerintah”.
6)
Tetapi untuk Pasal
156, sebenarnya pejuang HAM tidak boleh mengeluh, karena justru dimaksudkan
dipergunakan untuk melindungi HAM dari golongan/kelompok minoritas (ras,, agama, keturunan, dsb-nya). Di luar
negeri pun dikenal pasal serupa Pasal 156 ini, untuk ”melawan” yang dinamakan ”hate crimes” (awal Maret 2010 ini,
telah terjadi ”hate crimes”, ”racist
incidents” terhadap mahasiswa Afro-American (kulit hitam) di University
California, San Diego, Campus. Polisi dan pimpinan Universitas bertindak keras
dan tegas untuk menghindari terjadinya kerusuhan dan sudah mulai ada demonstrasi
mahasiswa kulit berwarna/hitam). Logika saya, kalau kita menganggap UU No.
1/PNPS/1965 (bersama Pasal 156a yang ada di dalamnya) bertentangan dengan
Konstitusi, maka pasal 156 KUHP (yang
melindungi kelompok minoritas) juga
harus ditolak dan dicabut. Apakah memang dimaksudkan demikian ? Apakah hal ini
tidak merugikan perjuangan menegakkan HAM ?
II.
Penyusunan
Rancangan KUHP Nasional (mulai 1981/1982)
7)
Rancangan KUHP Nasional (selanjutnya Rancangan saja)
disusun oleh suatu Tim yang dipimpin oleh Prof. Sudarto, SH (dengan Konsultan
Prof. Oemar Seno Adjie, SH), dimulai tahun anggaran 1981/1982 dan selesai
1992/1993. Konsep Rancangan diserahkan kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh,
SH, yang meneruskannya kepada Menteri yang baru Oetojo Oesman, SH. Ini adalah
versi-1, dan di bawah Menteri Oetojo, Menteri Muladi, Menteri Yusril Ihza
Mahendra, telah terjadi perubahan-perubahan pada versi-1, sehingga yang
terakhir adalah tahun 2008 (versi-4).
8)
Dalam versi-1 sampai dengan versi-4 Rancangan, terdapat Bab VI dengan judul ”Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan
Beragama”. Bab ini pada dasarnya tidak berubah perumusannya mulai dari
versi-1 s/d versi-4. Adapun pasal-pasal dalam bab ini menghimpun sejumlah pasal yang sudah ada dalam KUHP (Hindia
Belanda), yaitu Pasal 156a (sudah
dibicarakan), 175 (merintangi
pertemuan keagamaan), 176 (mengganggu
pertemuan keagamaan), 177 (menghina
petugas agama atau benda-benda keagamaan), dan 502 (membuat gaduh didekat bangunan ibadah). Selanjutnya ada beberapa
delik baru, yang dimasukkan dalam
Bab VI Rancangan, yaitu : perusakan
bangunan ibadah, penghinaan terhadap Tuhan, penodaan terhadap agama dan
ajarannya, serta tindak pidana penyiarannya.
9)
Adapun alasan pembenaran yang dikemukakan dalam diskusi
Tim Rancangan waktu itu a.l. bahwa bab ini adalah perwujudan dari sila pertama
dalam Pancasila, yang berarti bahwa dalam masyarakat Indonesia agama merupakan sendi utama dalam hidup bermasyarakat. Perbuatan yang dilarang
disini adalah perbuatan tercela
dengan tidak menghormati agama atau umat beragama, yang dapat menimbulkan keresahan dalam masyarakat
atau umat beragama yang bersangkutan. Dalam pemikiran Tim, pasal-pasal dalam
bab ini, termasuk Pasal 156a (yang merupakan inti dari UU No. 1/PNPS/1965 yang dimohonkan pembatalan),
memungkinkan penindakan hukum secara
dini, setelah perbuatan bersangkutan dilakukan, tetapi sebelum adanya keonaran,
dengan membawa pelaku (-pelaku) nya ke Pengadilan, karena membahayakan
harmonisasi sosial dalam masyarakat Indonesia.
10)
Adapun pendapat terakhir dalam butir 9 ini dapat dikaitkan
dengan adanya dua bentuk delik, yaitu
: (a) delik yang bersifat menyakiti atau
merugikan kepentingan hukum (rechtsgoed), dan karena itu akibat
(kerugian) harus terjadi dahulu (krenkings
delicten), seperti pembunuhan dan pencurian, dan (b) delik yang menimbulkan ancaman atau keadaan bahaya untuk
suatu kepentingan hukum yang dilindungi, disini terjadinya pelanggaran tidak ditunggu, tetapi hukum pidana
sudah bertindak preventif terhadap
ancaman yang terjadi (gevaarzettings
delicten) [lihat Remmelink, hal.
61 dstnya]. Contohnya adalah penghasutan, pornografi, dan delik penyebaran. UU
No 1/PNPS/1965 menurut saya dirancang sebagai ”gevaarzettings delict”. Menurut sarjana hukum Belanda (gurubesar) Enschede (hal 171-172), maka antara
lain ukuran dalam penyusunan undang-undang (maatstaven
voor wetgeving) adalah manfaatnya (doelmatigheid)
dan kemungkinan pelaksanaannya (practicabiliteit).Hal
ini adalah berkaitan dengan kemungkinan penegakkannya serta dampaknya pada prevensi
umum (practical use and effectivity
principal).Karena itu Pemerintah harus dapat ”mengemudikan pelaksanaan” (teori
Enschede tentang ”stuur systeem”) undang-undang
tersebut.
III. Era Reformasi (1998 – sekarang )
11)
Dalam masa pemerintahan Suharto (masa ”Orde Baru”
1967-1998 telah terjadi perubahan sosial yang cepat (dibidang ekonomi politik,
struktur sosial, nilai-nilai masyarakat, dan hukum), tetapi juga dibarengi
dengan keadaan yang ”tidak – sehat”. Kelompok-kelompok kepentingan yang dekat
dengan Presiden Suharto (Kroni Cendana) memanfaatkan kesempatan untuk mengambil
keuntungan yang berlebihan (KKN). Dalam masa ”Reformasi” ini (1998 – 2010),
kita memang menghadapi tantangan mengubah atau membalikkan sistem
”diktator” dan ”KKN” tersebut dan menghapus hal-hal yang negatif. Salah satu
yang sedang diperjuangkan adalah secara sungguh-sungguh mempraktek jaminan
konstitusi : ”kemerdekaan ... untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaan itu” (Bab XI : Agama
Pasal 29 ayat 2 UUD 1945). Juga
menghormati Bab XA Hak Asasi Manusia, khususnya
Pasal 28E ayat 1 (freedom of religion), ayat 2 dan 3 (freedom of expression), Pasal 28 I ayat 1 (hak beragama), dan ayat 2
(bebas dari perlakuan diskriminatif). Semuanya ini memang menjadi tujuan reformasi yang diperjuangkan bersama
sejak 1998.
12)
Pertanyaan
yang kiranya perlu saya jawab adalah apakah
UU No. 1/PNPS/1965 (khususnya Pasal 156a) yang diberlakukan pada
jaman Orde Lama (Presiden Sukarno) dan Pasal-pasal yang dekat dengannya Pasal 156 dan Pasal 157 (yang berlaku mulai jaman Hindia Belanda) bertentangan dengan tujuan
reformasi tersebut di atas ? Bertentangan
dengan Bab XI dan Bab XA Konstitusi Indonesia
?
13)
Mula-mula ingin saya jelaskan, bahwa ada kemungkinan
besar, bilamana kita terlalu terpaku pada bunyi/rumusan peraturan dan mementingkan
penjelasan secara yuridis (juristic exposition),
khususnya mengutamakan pendekatan teknis-yuridis, kita sampai pada kesimpulan
adanya pertentangan dan benturan. Namun, seharusnya kita mau menyadari pula
bahwa secara sosiologis dan politis,
sering sekali yang keliru bukanlah ”rumusan
peraturannya” (karena ini terkait pada situasi sosial- politik jamannya), tetapi penafsiran dan pelaksanaannya oleh
penegak hukum (Polisi dan Jaksa) serta
pengadilan (Hakim). Pendekatan inilah
yang akan saya ambil untuk menjawab
pertanyaan dalam butir 12 di atas. Perlu saya jelaskan disini bahwa saya
belum dapat (sempat) membaca dan mempelajari yurisprudensi (putusan pengadilan)
tentang kasus yang mendakwakan seseorang atau .suatu organisasi dengan UU No.
1/PNPS/1965 dan atau Pasal 156a KUHP, yang dijadikan dasar kekhawatiran
penggunaan undang-undang ini secara melanggar HAM ! (lihat lima kasus yang
diajukan dalam halaman 55 – 57 bahan Tim Advokasi Kebebasan Beragama ).
14)
Pendekatan
lain yang saya yakini adalah
bahwa ideologi negara Pancasila kita
memang menghendaki adanya toleransi antar umat beragama, baik yang menyangkut keyakinan
agama, ibadah agama, maupun hukum agama. Dalam pendekatan ini saya juga berkeyakinan bahwa pengamalan
agama dalam kehidupan pribadi harus
dapat terlaksana tanpa campur–tangan
Negara, namun pengamalan ajaran agama
dalam kehidupan bermasyarakat, sering memerlukan campur-tangan Negara, justru untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dalam kehidupan beragama (Pasal 28 I ayat 2 Konstitusi Indonesia).
III. Tugas pengadilan memberi makna pada peraturan
perundanga-undangan
15)
Dari pendekatan saya di butir 13 (bahwa kekeliruan mungkin ada pada penafsiran dan pelaksanaan
oleh penegak hukum dan pengadilan), dan butir 14 (bahwa pengamalan agama dalam kehidupan bermasyarakat sering
memerlukan campur-tangan Negara), kiranya dapat di duga bahwa saya tidak dari
sebelumnya (a priori) sudah
berpendapat bahwa UU No.1/PNPS/1965 adalah buruk. Kalaupun dapat ditemukan
penggunaan undang-undang (dan Pasal 156a KUHP) yang bertentangan dengan Bab XI
: Agama Pasal 29 ayat 2, maka menurut saya perlu dikaji lebih lanjut apakah bukan penafsiran dan penegakkannya yang keliru
? Dalam kriminalisasi secundaire
(yaitu memberi label pelanggar hukum pidana pada seseorang dalam concreto) harus dipertimbangkan oleh
hakim, apakah kerugian yang tergambar oleh perbuatan tersebut (lihat butir 10)
memang masuk akal dan merupakan suatu ”public
issue”. Selanjutnya dalam menentukan kesalahan terdakwa hakim perlu pula mempertimbangkan
asas subsidiaritas (apakah kepentingan hukum yang terlanggar, masih dapat
dilindungi dengan cara lain) dan asas proporsionalitas (apakah ada keseimbangan
antara kerugian yang timbul dari perbuatan tersebut dengan reaksi/pidana yang
akan diberikan). Ada kemungkinan bahwa hakim-hakim Indonesia terlalu ”ceroboh”
dalam menegakkan undang-undang ini !
16)
Di sini saya ingin meminjam pendapat pakar sosiologi
hukum, Almarhum Prof. Satjipto Rahardjo
(wafat Januari 2010) yang melalui ”hukum progresif”-nya menganjurkan kita untuk
berani ”menafsirkan hukum, demi
keadilan”. Contoh yang saya peroleh dari beliau adalah keberanian hakim
Belanda dalam penafsiran tentang ”pencurian listrik”,, tentang ”ketiadaan sifat
melawan hukum materil”(materiele wederrechterlijkheid)
dalam hukum pidana, dan tentang ”perluasan pengertian perbuatan melawan hukum” (onrechtmatige daad) dalam bidang hukum
perdata. Beliau mengharapkan dari para hakim (terutama di Mahkamah Agung) ada ”terobosan yang cerdas” menghadapi masa transisi dalam era reformasi ini. Secara
singkat dasar falsafah hukum beliau
adalah : ”hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya”.
17)
Saya juga ingin mengajukan pendapat Almarhum Prof. Roeslan Saleh (wafat tahun 1994) yang secara gigih memperjuangkan
masuknya pasal 16 dalam ketentuan umum Rancangan KUHP (versi-1), yang
inti-sarinya mengatakan : ’’dalam
mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan, hakim sejauh mungkin mengutamakan
keadilan di atas kepastian hukum”. Saya sendiri pun sering merujuk kepada
hakim agung (1932 - 1938) Amerika, Benjamin
N. Cardozo yang berceramah dengan tema ”The
Judge as Legislator’’. Baik Satjipto
Rahardjo, Roeslan Saleh, maupun Cardozo
mendorong pemikiran bahwa rumusan
Legislator (DPR dan Pemerintah) harus
ditafsirkan secara kreatif dalam kasus-kasus yang diajukan ke Pengadilan
(badan Yudikatif). Seperti yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa ”hukum
adalah untuk manusia, dan bukan sebaliknya”. Maka kita pun harus mengingat
bahwa yang diminta oleh masyarakat adalah ”penegakan hukum, dan bukan penegakan
undang-undang”. Ini adalah ”adagium”
yang sering dilupakan oleh alat-alat penegak hukum dan pengadilan kita, ini
pula yang diminta oleh Satjipto Rahardjo dengan ”hukum progresifnya”, oleh
Roeslan Saleh dengan ”hakim harus mengutamakan keadilan di atas kepastian
undang-undang”, dan pesan Cardozo agar hakim juga bertindak menemukan dan
menghaluskan hukum sebagai ”Legislator”.
18)
Sebagai tambahan, saya juga ingin mengajukan pendapat seorang
sarjana hukum (gurubesar) Belanda M.P. Vrij,yang mengajukan antara lain teori ”sub-sosial” (subsocialiteit theorie). Menurut teori
ini suatu tindak pidana yang terjadi mempunyai empat akibat-sosial dalam
masyarakat, yaitu : (a) dorongan mengulangi oleh pelaku, (b) rasa tidak puas
korban, (c) keinginan meniru oleh pihak ketiga, dan (d) rasa kecewa pihak
keempat. Adapun fungsi penghukuman oleh pengadilan, adalah mau mempertimbangkan
adanya gejolak-gejolak sosial-psikologis tersebut (keempat akibat subsosial tersebut), dalam membuat putusan. Menurut Vrij,
hakim dalam memutus, (baca : menafsirkan peraturan ke dalam kasus) wajib memperhatikan rasa keadilan, yang harus disarikannya dari sentimen-moral
publik. Yang penting harus dijaga adalah agar putusan pengadilan berdasarkan
sentimen-moral publik, tercapaii melalui ”fair
trial” dan bukan ”lynch justice”.
Mengikuti pikiran-pikiran Satjipto Rahardjo, Roeslan Saleh dan Cardozo, kita
harapkan bahwa Mahkamah Agung kita dapat berperan melakukan terobosan hukum dan
keadilan, agar kasus-kasus yang dibawa
ke pengadilan sebagai penegakan hukum melalui UU no 1/PNPS/1965 (dan pasal 156a
KUHP) diadili sesuai dengan amanat Konstitusi kita yang melindungi kebebasan
beragama dan kebebasan berkeyakinan (tetapi tetap menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain). Dengan pengadilan memberi
makna sesuai Konstitusi kita atas UU No. 1/PNPS/1965/dan pasal 156a KUHP), maka
dapat dihindari kemungkinan provokasi-provokasi yang dapat menimbulkan keonaran
dan perselisihan kehidupan beragama di Indonesia.
IV. Kesimpulan.
A.
Dari penelitian singkat dan sederhana tentang sejarah,
terutama situasi sekitar diterbitkannya UU No 1/PNPS/1965 (termasuk Pasal 156a
KUHP), dapat diduga bahwa :
(i)
Undang-undang ini tetap ingin menghormati pasal 29 UUD 1945, khususnya ayat 2 yang menjamin kemerdekaaan
penduduk Indonesia memeluk agamanya dan kepercayaannya ; dan karena itulah
Pasal 156a masih tercantum dalam terjemahan (resmi) KUHP yang disusun BPHN Dep.
Kehakiman, maupun dalam konsep Rancangan KUHP Nasional (versi-1,1993); dan
(ii)
Peristiwa G30S yang terjadi dalam tahun yang sama (1965), beberapa bulan
setelah terbitnya undang-undang ini, mungkin merupakan salah satu alasan
penyusunannya, dengan a.l. menegaskan dalam pasal 156a ayat b, untuk menkriminalisasi perbuatan
yang bermaksud ’’agar supaya orang tidak
menganut agama apapun juga,yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa ’’.(lihat pula Penjelasan Pasal 4 UU
ini).
Dengan demikian UU
No. 1/PNPS/1965 (termasuk pasal 156a KUHP) masih
sejalan ( tidak bertentangan) dengan pasal 28E dan pasal 28 I Konstitusi
RI (UUD 1945 setelah perubahan ke-1,
ke-2, ke-3, dan ke-4) yang memuat pemahaman dasar tentang ’’freedom of religion’’ dan ’’freedom of expression’’ yang tertuang
dalam Universal Declaration of Human
Rights (UDHR).
B. Dengan
tetap dipertahankannya UU No. 1/PNPS/1965 (termasuk pasal 156a KUHP) dalam
sistem peraturan perundang-undangan Indonesia, maka adalah kewajiban Mahkamah
Konstitusi serta Mahkamah Agung (beserta jajaran Pengadilannya) untuk memberikan penafsiran bermakna, yang sesuai
dengan rasa keadilan dalam masyarakat serta untuk menghindari terjadinya
perselisihan dalam kehidupan beragama di Indonesia. Suasana di Indonesia
dewasa ini, menurut pengamatan saya yang subyektif, memang seperti dikatakan
Dalang terkenal Ki Manteb Sudarsono ”...mirip dengan lakon-lakon wayang pasca
perang Baratayudha...” (Suara Pembaruan, Rabu 6 Januari 2010, hal.24). Saya
juga sepakat dengan pedapat MUI bahwa fungsi keberadaan undang-undang ini
adalah mencegah terjadinya kekacauan akibat perselisihan dalam kehidupan
beragama di Indonesia (Republika, Kamis 25 Februari 2010, hal.12).
C. Untuk
menghindari penggunaan sewenang-wenang UU No 1/PNPS/1965 (dan Pasal 156a KUHP),
maka rumusan delik dapat diubah menjadi
delik materiil (atau ditafsirkan
oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sebagai delik materiil), yaitu
bahwa delik akan menjadi sempurna hanya
apabila terjadi suatu akibat yang nyata, seperti terjadinya keonaran yang dapat
mengancam jiwa dan atau barang, jadi telah
merugikan kepentingan hukum yang ingin dilindungi (ini disebut pula ”krenkings delict”). Ataupun membiarkannya dalam rumusannya sekarang, namun dengan penafsiran
bahwa bentuknya adalah suatu perbuatan yang dilarang karena akan
menimbulkan ancaman bahaya bagi suatu kepentingan hukum yang dilindungi (dalam
hal ini kehidupan beragama yang harmonis antar umat berbagai
agama dalam masyarakat Indonesia yang
multikultural). Terjadinya pelanggaran atas kepentingan hukum ini tidak ditunggu
terjadinya, tetapi hukum pidana sudah bertindak
preventif terhadap ancaman tadi (ini disebut ”gevaarzettingsdelict”). Hakim
wajib merumuskan ancaman bahaya ini dalam putusannya (sebagai bagian dari legal reasoning yang kuat dan
meyakinkan). Kesimpulan terahir ini mudah-mudahan sejalan dengan keinginan
sarjana hukum Indonesia (gurubesar) Satya Arinanto, yaitu sebagai upaya
pencarian konsepsi ”keadilan transisional”
di Indonesia.
*Pendapat ini disampaikan sehubungan dengan surat Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, Nomor : 026/PAN.MK/II/2010, tertanggal 10
Februari 2010, Perihal : Permohonan menjadi Ahli.
Jakarta,
24 Maret 2010
DAFTAR PUSTAKA YANG
DIRUJUK:
1) Arinanto,
Satya, 2003, Hak Asasi Manusia dalam
Transisi Politik di Indonesia,
Jakarta: Pusat Studi Hukum Tatanegara FHUI;
2) Enschede, Prof,mr, Ch, “Problemen van strafwetgeving”, dalam Prof.mr W.F. de Gaay Fortman,
1982, Problemen van Wetgeving,
Kluwer-Deventer;
3) Fic, Victor
M, 2005, Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah
Studi ..., dengan Pengantar John O. Sutter, Yayasan Obor;
4) Levi,
Edward H, 1949, An Introduction to Legal
Reasoning, The University of Chicago Press;
5)
Naipospos,Bonar Tigor dan Robertus Robert (Editor), 2009, Beragama, Berkeyakinan & Berkonstitusi: Tinjauan Konstitusional Praktik
Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, SETARA Institute
6) Redlich,
Norman, “Religious Liberty” dalam
Norman Dorsen, 1984, Our Endangered
Rights, New York: Pantheon Books;
7) Remmelink,
Jan, dan Tristam P.Moeliono dkk (penerjemah), 2003, Hukum Pidana, Komentar ..., Gramedia Pustaka Utama;
8) Tim
Advokasi Kebebasan Beragama, 2009, Permohonan
Pengujian Materiil Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau
Penodaan Agama Terhadap Undang-undang Dasar 1945 ( bahan Perbaikan
Permohonan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar