Pengantar
Makalah
ini hanya akan membahas permasalahan yang diajukan Tim FGD KPK, yaitu tentang :
-Hakim
Pemeriksa Pendahuluan (HPP)
-Wewenang
Pengadilan Mengadili
-Pemeriksaan
di Sidang Pengadilan,dan
-Upaya
Hukum : Banding – Kasasi – Peninjauan Kembali (PK).
Karena
Penulis bukan seorang Ahli Hukum Acara Pidana dan tidak juga berpraktek sebagai
Advokat di muka Pengadilan di Indonesia, maka catatan-catatan yang dibuat lebih
banyak didasarkan pada rujukan bahan pustaka maupun pemahamannya berdasarkan
diskusi-diskusi.
Sebagaimana
dapat ditafsirkan dari judul makalah, maka pertanyaan
umum yang mendasari FGD ini adalah: “bagaimana
analisa yuridis tentang kelemahan dan kelebihan RUU KUHAP (RKuhap) sehubungan
dengan kedudukan dan kewenangan aparat penegak hukum dalam menangani kasus
korupsi - khususnya efektifitas KPK
dalam menangani wabah korupsi di Indonesia”.
Tentang Hakim Pemeriksa Pendahuluan
Dalam
buku yang melakukan referensi ke hukum acara pidana Belanda dikenal nama “Hakim
Komisaris” (Rechtercommissaris) yang
dalam bahasa Inggris diterjemahan sebagai Examining
Magistrate (dari bahasa Perancis Juge
d’instruction).Menurut Naskah Akademik RKuhap, maka hakim pemeriksa
penduhuluan (selanjutnya HPP) dalam Pasal 1-butir 7 dan Pasal 111 RUU, tidaklah
sama dengan padanannya di Belanda dan Perancis.
Mengapa
ada lembaga ini ? Mungkin ini dapat dicari dari perbedaan yang ada antara tradisi
Civil Law (dengan sistem hukum acara inquisitorial) dengan tradisi Common Law (dengan sistem hukum acara accusatorial).
Dalam
sistem akusatorial posisi JPU dan Terdakwa sederajat, mereka “bertanding” (contest) dengan hakim sebagai wasit (referee). Dalam sistem inkuisitorial, maka hakim berubah[1] dari seorang “impartial referee into an active inquisitor who is free to seek
evidence and to control the nature and objective of the inquiry”.
Pertandingan berubah menjadi individu Terdakwa menghadapi Negara (diwakili
JPU). Dalam sistem civil law, maka
acara pidana terbagi dalam tiga tahap dasar: tahap penyidikan (investigative phase), tahap pemeriksaan
(examining phase-the instruction), dan
tahap persidangan (trial). HPP versi
Indonesia berada dalam tahap pemeriksaan
ini (mekipun wewenang di Perancis lebih luas, yaitu “he is expected to investigate the matter thoroughly and to prepare a complete written record,
so that by the time the examining stage is complete, all the relevant evidence
is in the record”)[2]. Jerman telah
menghapus tahap pemeriksaan ini, dan di Eropa Kontinental modernisasi acara
pidana dilakukan melalui a)membangun “a
core of prosecuting attorneys who act impartially and objectively” dan b)menyusun
sejumlah “procedural safeguards” untuk membantu tersangka/terdakwa
melindungi kepentingannya selama tahap pemeriksaan.
Untuk
membandingkan dengan kebiasaan selama ini, maka perhatikan pendapat di bawah
ini:
“As a consequence of the nature of the
examining phase of the criminal proceeding, the trial itself is different in
character from the common law trial. The evidence has already been taken and the record made, and this record is
available to the accused and his counsel, as well as to the prosecution. The
function of the trial is to present the case to the trial judge … and to allow the prosecutor and the defendant’s
counsel to argue their case”.[3]
Dari
sini dapat dilihat “model KUHAP 1981”[4] yang menjadikan
Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sebagai dokumen utama pada sidang pengadilan
untuk pemeriksaan oleh hakim. Perbedaannya dengan sistem di Perancis dan
Belanda adalah bahwa “BAP’ disusun oleh “examining
judge” yang secara “netral dan obyektif” menyusun “BAP-nya (record – dossier), sedangkan di Indonesia BAP disusun oleh “Penyidik dan JPU” yang “tidak-netral”
dan mungkin juga “tidak-obyektif”! Pemeriksaan
di sidang pengadilan juga sering tidak-netral dan tidak-obyektif lagi, karena
sering hakim lebih mempercayai JPU daripada Advokat Terdakwa. Ini yang
menyebabkan ada tuduhan, bahwa di Indonesia tidak berlaku asas “presumption of innocence” , tetapi yang
ada dalam pemeriksaan di pengadilan adalah asas “presumption of guilt”.[5]
Dalam
RKuhap (2012), maka HPP diberi wewenang menilai jalannya penyidikan dan penuntutan (Note: apakah ada kerancuan,karena apakah tahap penuntutan telah dapat dikatakan dimulai
?) yang diperinci dalam Pasal 111 dalam 10 butir kewenangan. Permohonan
agar HPP mempergunakan kewenanganya itu dapat dilakukan oleh JPU dan Tersangka/Advokatnya (kecuali
kewenangan huruf (i): “layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan”.(Note: disini tidak terlihat ada
kerancuan, karena Penyidik dan JPU serta Advokat memang dapat hadir pada tahap pemeriksaan
oleh HPP,meskipun tahap ini masih dalam tahap “examining phase” !).
Menurut
KUHP Perancis (Code Penal-CP-1958 –
Pasal 49), dikatakan :”The examining
magistrate is charged with conducting investigations
as provided in Chapter 1 of Title III. He may not participate in the trial of penal matters with which he was
acquainted in his position as examining magistrate, or the action shall be void” [6]
CATATAN KHUSUS:
Apakah ketentuan ini “menggangu”
usaha pemberantasan korupsi ?
a)Untuk KPK
harus dibuat ketentuan undang-undang tentang bagaimana HPP ini akan berperan; ada dua kemungkinan:
1)Dibuat
ketentuan bahwa di KPK akan ditunjuk seorang HPP Khusus oleh Mahkamah Agung
(HPP khusus KPK ini dapat diambil dari salah seorang Hakim Agung); atau
2)Dibuat
ketentuan bahwa karena peranan KPK yang khusus dalam menangani korupsi di
Indonesia, maka dalam hukum acara pidana yang berlaku untuk KPK, tidak akan ada
prosedur dengan HPP.
b)Untuk
pemberantasan korupsi yang dilakukan melalui Kepolisian dan Kejaksaan, maka
tetap diperlukan posedur hukum acara pidana dengan HPP.
-------
Tentang Wewenang Pengadilan Untuk
Mengadili
Dalam
bagian ini akan dikemukakan pendapat bahwa ada kerancuan dalam peristilahan di
Indonesia yang menamakan Hakim sebagai
“penegak hukum”. Istilah “penegak hukum” ini berasal dari bahasa Inggris “law enforcement (officer)”, yang merujuk
pada petugas kepolisian dan JPU (prosecutor).
Salah kaprah ini membawa akibat (sampingan) bahwa di Indonesia Hakim lebih
mengidentifikasikan dirinya dengan JPU[7] daripada berdiri
secara netral (bukan pihak dalam perkara). Seharusnya hakim adalah “penegak
keadilan” (dalam bahasa Ingggris “Judge”=Penilai
dan “Justice”=Pemberi Keadilan).[8]
Di
Rancangan KUHAP wewenang mengadili ini diatur dalam Bab-X, dalam Pasal 123, 126
dan 127 tentang wewenang Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah
Agung.Dalam KUHP Belanda (Strafvordering-selanjutnya
Sv), maka hal ini menyangkut
kompetensi sistem pengadilan (bevoegdheid)
yaitu kompetensi absolut dan relatif. Dalam yang pertama (absolut) diatur bebagai
jenis pengadilan yang berwenang
mengadili dalam tingkat pertama, kedua (banding) dan kasasi. Inilah yang diatur
oleh Pasal-pasal 123 – 127 RKuhap. Sedangkan kompetensi relatif merujuk pada pembagian mengadili tindak pidana dalam jenis pengadilan yang sama sesuai
wilayah hukum yang bersangkutan.
Kewenangan Pengadilan Tipikor
masuk wewenang mana ? Dalam hal hanya ada satu Pengadilan Tipikor, yang akan
mengadili semua perkara korupsi yang
diajukan oleh KPK, maka ini (menurut
saya) merupakan kompetensi absolut.
Namum, bilamana ada berbagai “kamar
Tipikor” dalam berbagai Pengadilan
Negeri yang mengadili perkara korupsi (yang diajukan oleh berbagai kantor
Kejaksaan), maka ini termasuk kompetensi relatif.(Note:karena itu dalam Bab X, kewenangan
Pengadilan Tipikor di Jakarta/PN Jakarta Pusat dan kamar-kamar Tipikor di berbagai
Pengadilan Negeri wajiblah ditentukan
dan diatur).
Ada
dua aturan yang menurut pendapat saya patut juga diajukan dalam RKuhp Bab X ini:
a)tentang hak oportunitas JPU dan
b)tentang langkah awal yang perlu
diperhatikan hakim. Dalam Pasal 242 Sv
diatur sbb (terjemahan):”1.Apabila
berdasarkan pemeriksaan pendahuluan Kejaksaan berpendapat bahwa penuntutan
perlu dilanjutkan,maka hal itu harus segera dilakukan, dan 2.Selama pemeriksaan
di sidang pengadilan belum dimulai, dapatlah dilakukan pembatalan, juga atas
dasar kepentingan umum”. Pasal ini berkaitan juga dengan Pasal 167 Sv
(terjemahan):”1.Apabila berdasarkan
penyidikan yang dilakukan Kejaksaan berpendapat bahwa penutututan harus
dilakukan, maka hal itu harus segera dilakukan; dan 2.Penuntutan dapat dianggap
tidak diperlukan, atas dasar kepentingan umum”. Ini adalah tentang hak
oportunitas yang dipunyai setiap JPU
(dan bukan seperti di Indonesia,hanya dipunyai oleh Jaksa Agung).[9] Ketentuan lain yang patut pula ditiru
dalam bagian ini adalah Pasal 268 CP
(terjemahan)”Surat dakwaan wajib diserahkan kepada terdakwa.Sebuah kopi surat
itu wajib ditinggalkan padanya. Penyampaian ini wajib dilakukan secara pribadi-langsung
(in person) apabila terdakwa ditahan”. (Note:Memang
dalam RKuhap ada ketentuan tentang wewenang JPU menhentikan penuntutan dalam Pasal
42 ayat 2 dan 3, tetapi dalam Bab Wewenang Pengadilan untuk Mengadili, kewajiban
dan kewenangan JPU ini patutlah diulangi
agar hakim wajib menilai bahwa prosedur
yang adil telah dilaksanakan JPU. Juga dalam Pasal 135-136 ada aturan tentang tatacara Panggilan dan
Dakwaan oleh JPU, tetapi juga di sini pengulangan
bertujuan agar hakim wajib menilai prosedur yang dilakukan JPU ).
CATATAN KHUSUS:
a)Tentang
Pengadilan Tipikor yang berada di Jakarta, perlu ada ketentuan jelas dalam
RKuhp, yang merujuk tentang adanya
(bukan dibentuknya !) sebuah Peradilan Khusus yang berada di Pusat (dalam
lingkup peradilan umum), yang menerima perkara hanya dari KPK dan melakukan
pula “koordinasi” dari “kamar Tipikor” diberbagai Pengadilan Negeri di
Indonesia.
b)Tentang Penyidik
dan Penuntut Umum yang berada di KPK,
masalah yang menjadi penghalang adalah konsep keliru dan absolut yang berlaku
di Indonesia, bahwa ada “monopoli
penyidikan” pada Kepolisian dan ada “monopoli
penuntutan” pada Kejaksaan. Sebaiknya dalam “iklim reformasi dan
modernisasi SPP Indonesia”, dilakukan pemahaman yang “reformis dan fleksibel”
tentang konsep-konsep ini, sekurang-kurangnya untuk “penegak hukum Tipikor”
yang berada di KPK.
-------
Tentang Pemeriksaan di Sidang
Pengadilan
Pasal
145 ayat 1 RKuhap memuat asas bahwa pemeriksaan dimuka sidang “terbuka untuk umum”. Perkecualiannya (dalam sidang tertutup
untuk umum) ada dalam ayat 2, yaitu dalam “perkara kesusilaan, terdakwa di
bawah umur, dan tindak pidana yang menyangkut rahasia negara”. Keinginan RKuhap
untuk “lebih bersifat akusator,mengurangi sifat inkuisitornya” juga terdapat
dalam KUHP Belanda. Karena itu, maka dalam tahun 1994 (Wet 8 Nov 1993,Stb.591) dimuat aturan baru tentang prosedur “sidang tertutup” dalam “ruang-hakim”
(dikenal sebagai “raadkamerprocedure”.
Di Belanda ada berbagai ketetapan (beschikkingen)
yang dilakukan dalam raadkamer, a.l.beklag (complaint) tentang putusan untuk
tidak melakukan penuntutan; permohonan untuk menunda penuntutan; prosedur
pembatasan memeriksa (inzage) dokumen proses peradilan; prosedur pembatasan
berhubungan dengan advokat; prosedur penahanan sementara atau penangguhan hal
itu,dsb-nya. Di Sv, pasal 21
diatur Competentie raadkamers; 23:
Onderzoek in raadkamer; 24: Motivering beschikking; 25: Proces-verbaal
raadkamerbehandeling.[10] (Note:
Apakah pengaturan seperti ini juga
perlu ada ? Dapat di”bayangkan” dalam perkara
korupsi adalah pelunya Majelis Hakim mendengarkan pembicaraan yang disadap
atau ditunjukkan foto-foto yang “tidak untuk mata-umum” yang juga diambil
secara “tertutup” – bukankah perlu aturan untuk hal seperti ini?
).
Di
atas dikemukakan bahwa salah satu acara sidang-tertutup adalah komplen (complaint) oleh pihak yang
“langsung-berkepentingan” karena tuntutan suatu tindak pidana tidak-dilakukan
atau tidak-dilanjutkan. Di Belanda ketentuan itentang hal itu ada di Pasal 12-13
Sv (Beklag over niet vervolgen).(Note:Suatu ketentuan serupa perlu juga
dimasukkan dalam RKuhap – alasannya kalau kepada JPU diberi hak oportunitas
untuk tidak-melakukan atau tidak-melanjutkan penuntutan, maka kepada korban
yang langsung-berkepentingan (de rechtstreeks belanghebbende) perlu juga
diberikan kewenangan memprotes.Juga
dalam suasana dimana dalam perkara korupsi, sering ada kecurigaan adanya
“tebang-pilih”,maka pasal serupa perlu dipertimbangkan dalam RKuhap.)
Pasal
150 ayat 1 RKuhap menjelaskan bahwa pada awal Acara Pemeriksaan Biasa, “JPU dan
terdakwa/Advokatnya diberi kesempatan menyampaikan penjelasan singkat untuk
menguraikan bukti atau saksi yang hendak diajukan oleh mereka pada persidangan”.
Kemungkinan adanya saksi atau ahli “baru” dapat dilihat pada ayat 11. Model
seperti ini dimaksudkan untuk mengubah kebiasaan dalam sistem-lama-inkuisitor, dimana hakim memeriksa “hanya berdasarkan Berita Acara” yang diajukan oleh JPU. Dikatakan:
“The evidence has already been taken and
the record made, and this record is available to the accused and his counsel,…The
function of the trial is to present the case to the trial judge … to allow the
prosecutor and the defendant’s counsel to argue their cases. It is also … a
public event, which by its very publicity tends to limit the possibility of
arbitrary governmental action”[11].(Note:
Prosedur seperti ini tidak merugikan proses perkara korupsi, malah akan
menguatkan kepercayaan publik bahwa KPK benar independen).
CATATAN KHUSUS:
Ketentuan
ini tidak melemahkan prosedur KPK dalam membawa perkara di Pengadilan – karena
ini memungkinkan pula KPK lebih “berani”
segera mengajukan perkaranya di Pengadilan, sebab penambahan bukti dan saksi
masih dapat diajukan dalam perjalanan perkara.
-------
Tentang Upaya Hukum
Bab
XIII RKuhap mengatur tentang Upaya Hukum Biasa
(Pasal 228-255) dan Bab XIV mengatur tentang Upaya Hukum Luar Biasa (Pasal 256-267)
Upaya
hukum biasa terdiri atas “banding” dan “kasasi”.Banding atau kasasi atas putusan
pengadilan di bawah Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung dapat dilakukan oleh
JPU maupun oleh terdakwa dan Advokatnya, kecuali
terhadap putusan bebas.
Banding
(Appeal;Appel-Hoger Beroep) – juga
dikenal di tradisi Common Law sebagai
“primarily a method of correcting
mistakes of law made by the trial court” – sedangkan dalam tradisi Civil Law “the right of appeal includes the
right to reconsideration of factual, as well as legal issues”.[12] Di Belanda ,maka
banding ini berarti (terjemahan): “pemeriksaan
baru kembali perkaranya”, jadi banding ini akan diperlakukan terhadap
keseluruhan perkaranya.(Note:Ketentuan tentang banding tidak dapat dilakukan bilamana putusannya
adalah “bebas”, Pasal 228, adalah kekeliruan
penyusun RKuhp- pertama karena tidak logis berdasarkan pengertian “banding”,
dan kedua, karena kesalahan penerjemahan dari teks Sv Pasal 404,
yang menyatakan bahwa “banding dapat
diajukan oleh JPU dan terdakwa yang tidak diputus bebas untuk seluruh dakwaan (door
de Of v Justitie en door den verdachte
die niet van de gehele tenlastlegging is vrijgesproken)”.
Kasasi (Cassation;Cassatie) – di
Perancis ini dinamakan “recourse in
cassation”, tetapi di Jerman dinamakan “revision”.
Dikatakan pula “the function … is similar:
to provide an authoritative, final determination of any questions of law
involved in the case”[13]. Adapun
kasasi in tujuan utamanya adalah “kesatuan dalam peradilan” (eenheid inrechtspraak). Asasnya adalah
bahwa dalam kasasi perkaranya tidak lagi diperiksa secara keseluruhan (seperti
pada banding),tetapi hanya dinilai apakah undang-undang/hukum telah diterapkan
secara benar. Ketentuan Pasal 240 RKuhp yang menyatakan bahwa terhadap putusan “yang
diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain MA, …, dapat diajukan
kasasi, kecuali putusan bebas”. Adalah benar ! Bunyi yang serupa juga
terdapat pada Pasal 430 Sv. Menurut Cleiren dan Nijboer,
alasannya memang kompleks dilihat dari sejarahnya (penghormatan kepada Juri yg
telah memutus!), tetapi juga kemudian adanya berbagai pengertian tentang
“putusan bebas”.[14] Namun, ayat 2 menambahkan bahwa
ketentuan ini tidak berlaku dalam hal “cassatie
in het belang der wet”.
Kasasi Demi Kepentingan
Hukum
Dalam RKuhp, maka lembaga ini termasuk Upaya Hukum Luar Biasa (Pasal 256
dst-nya).Upaya hukum luar biasa ini hanya dapat diajukan oleh Jaksa Agung.Apapun
putusan kasasi ini, tetap akan berlaku.Putusan yang telah mempunyai kekuatan-hukum-tetap
tentang penjatuhan pidana, pembebasan atau dilepaskan dari segala tuntutan akan
tetap sah dan berlaku, meskipun setelah kasasi demi kepntingan hukum putusan
ini dianggap tidak-tepat.Namun demikian, terdakwa masih dapat menarik
keuntungan dari putusan ini untuk mempergunakannya dalam permohonan grasi.
Peninjauan Kembali
Lembaga ini dinamakan “peninjauan kembali” dan pemahamannya dapat
dilihat dari kalimat “herziening/revisie is een buitengewoon
rechtsmiddel omdat het in geval van rechtelijke dwalingen correctie van onherroeplijk
beslissingen mogelijk maakt … indien er sprake is van een belangrijke niewe
omstandigheid (novum) … kan ook meerdere malen worden aangewend … kan niet ten
nadele van een veroordeelde uitpakken” (peninjauan kembali/revisi adalah upaya
hukum luar biasa karena dalam hal terdapat kekeliruan-hakim koreksi dari putusan
yang tidak-dapat-dicabut-kembali dimungkinkan … apabila terdapat suatu-hal-baru-yang-penting
(novum) … dapat diajukan banyak-kali … tidak dapat menghasilkan hal yang
merugikan terpidana)[15].Di Belanda
lembaga ini diatur cukup rinci dalam Pasal-pasal 457-481 Sv (24 pasal) menunjukkan
bagaimana lembaga ini dianggap penting dalam hukum acara pidana Belanda.
PENYADAPAN (Pasal 83 -84)
Penyadapan memang merupakan pelanggaran yang serius
atas privacy seorang individu, dan
karena itu sangat ketat aturannya. Hanya diperkenankan terhadap tindak pidana
yang ditetapkan dalam UU dan dilakukan dengan pembatasan berupa ijin dari HPP
dan untuk waktu terbatas. Sifat pelanggaran HAM warganegara di sini lebih
berat/serius disbanding ketentuan tentang pemeriksaan surat (ps 85-87). Saya mengakui bahwa penyadapan ini merupakan
“upaya-paksa luar-biasa” (bijzondere dwangmiddelen) yang “ampuh” di Indonesia
untuk menanggulangi wabah korupsi, khususnya penyuapan. Namun, KPK pun harus
menyadari bahwa bahaya “penyalahgunaan kekuasaan” juga besar. Tentu KPK dapat
meminta agar untuk KPK oleh MA ditunjuk seorang HPP khusus yang berasal dari
MA. Apabila nanti KPK akan membuka “kantor cabang” KPK di beberapa lokasi
tertentu, maka di kantor-kantor cabang tersebut dapat juga ditunjuk HPP khusus.
GANTI
KERUGIAN (Pasal
128-130 dan 133-134)
Tuntutan ganti rugi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana
atas kekeliruan yang melangar UU dang anti rugi terhadap korban merupakan
proses hukum perdata (civil action di
tradisi Common Law dan terechtzitting voor burgerlijke zaken, 511a Sv). Menurut
saya kedua-duanya harus dapat diputus oleh HPP.
JALUR KHUSUS
(Pasal
199)
Ini memang semacam
plea bargaining (yang dikenal
dalam praktek di AS, dan merupakan 90% perkara di Pengadilan tingkat pertama) –
tujuannya adalah “meringankan beban pengadilan yang sudah sarat muatan”. Dalam praktek kewenangan JPU ini harus
dikaitkan juga dengan Pasal 42 ayat 2 (menghentikan penuntutan dengan alasan
tertentu, seperti “afdoening buiten process”).Harus dapat dibedakan antara
“discharge without prosecution” yang dapat dilakukan Penyidik Kepolisian
berdasarkan wewenang “diskresi-kepolisian”, dengan “disposition without trial”,
yang artinya “dakwaan JPU diakui oleh Terdakwa, tanpa bantahan/pembelaan).
SAKSI
MAHKOTA (Pasal
200)
Crown Witness (State
Witness) menurut
saya adalah “saksi utama dari Kerajaan/Negara”. Dinamakan demikian karena
kekuataan dakwaan yang diajukan JPU (sebagai wakil Kerajaan/Negara) sangat
tergantung pada kesaksian “saksi mahkota/ kerajaan/negara” ini. Menurut saya praktek di Indonesia seperti
tercermin dalam Pasal 200 adalah keliru, dan dapat mengakibatkan “miscarriage
of justice” disamping juga melanggar asas HAM “self-incrimination”. Memberi penghargaan
khusus pada seorang terdakwa yang mau membantu ditegakkannya hukum dan
keadilan, tentu baik, namun jangan dipakai untuk memudahkan JPU “mengadu-domba”
antar terdakwa untuk memudahkan proses pembuktian. Ini akan “membodohkan” Penyidik dan JPU dengan memberinya “jalan-pintas” yang
melanggar moral.
PEMBUKTIAN (Pasal 174 – 197)
Ini merupakan bagian yang (mungkin) terpenting dalam
hukum acara (pidana maupun perdata). Dalam Pasal 174 harus dibaca bahwa tidak cukup adanya alat bukti (minimal
dua), tetapi harus juga ada “keyakinan” hakim. Sebaliknya tentu juga begitu,
tidak cukup ada “keyakinan” hakim, karena ini harus ditunjang oleh alat-alat
bukri yang sah. Sistem ini dikenal sebagai “negatief-wettelijke
stelsel”. “Wettelijk” karena harus berdasar alat-bukti yang ditentukan UU dan “negatief” menunjukkan bahwa ini belum cukup, tidak dapat memaksa hakim
untuk menerima bukti-bukti tersebut. Karena “keyakinan” adalah penting
sekali, maka seharusnya dalam setiap putusan Majelis Hakim haruslah jelas
pertanggungjawabannya atas dasar apa hakim telah memperoleh keyakinan itu (motiverings verplichting).Bandingkanlah
dengan Pasal 192 ayat 1 butir (f) yang mengatakan bahwa putusan harus memuat
< pasal peraturan …yang menjadi dasar pemidanaan … dan pasal peraturan … yang
menjadi dasar hukum … disertai keadaan yang memberatkan atau meringankan
terdakwa.> Seharusnya yang wajib
dimuat berdasarkan asas di atas adalah Pasal
192 ayat 1 butir (d) : pertimbangan yang
disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat bukti yang
diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar (keyakinan !) penentuan
kesalahan terdakwa. (Note: Dengan menekankan kepada “keyakinan hakim”, maka
dalam “jalur khusus (ps 199)” hakim wajib mempertimbangkan dengan
sungguh-sungguh bahwa “pengakuan-terdakwa” adalah “tanpa-paksaan”. Begitu pula
dalam hal “saksi mahkota (pasal 200)”, bahwa kesaksiannya memang
“bukan-tipuan”.
Koneksitas (Pasal 141 ayat 2)
Menurut saya pemberian wewenang kepada MA untuk memutus pada
tingkat pertama dan terakhir sengketa “pengadilan satu lingkungan peradilan
dengan pengadilan lingkungan peradilan lain” adalah tepat.
Penggabungan
Perkara (Pasal
123 ayat 4 dan 5)
Menurut saya memang dalam
“penggabungan perkara” ini ada beberapa pilihan:
a)Pengadilan tempat tinggal
terdakwa (ayat 4); atau
b)Pengadilan dari tempat
kediaman sebagian besar saksi; atau
c)Pengadilan ditempat
terdakwa ditemukan dan ditahan.
Asas yang harus dipakai untuk menjadi
dasar pilihan adalah “apa yang terbaik untuk tersangka-terdakwa, dengan
mengingat hak-haknya dalam Pasal 88 – 108.
*Makalah ini telah disampaikan dalam Diskusi Terbatas (Focus Group Discussion) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Hotel Luwansa, Jakarta – 25 September 2013.
[1] John Henry Merryman,1985,The
Civil Law Tradition-An Introduction to the Legal Systems of Western Europe and
Latin America.Stanford University Press, h.127
[2] Op.cit. h.129
[3] Op.Cit.h.130
[4] Lihat juga Mardjono Reksodiputro,1990, “Hak-hak Tersangka dan
Terdakwa dalam KUHAP sebagai Bagian dari Hak-hak Warga Negara (Civil Rights), dalam Hak Asasi Manusia dalam SPP, UI,1999.
[5] Sebenarnya ada kekeliruan
dalam Indonesia memakai frasa-frasa ini, oleh karena asas pertama merujuk pada “legal
guilt” sedangkan asas kedua merujuk pada “factual guilt”(“bukti permulaan
yang cukup diduga keras melakukan tindak pidana” – Pasal 1 butir 11).
[6] Gerald L.Kock,1973,The
French Code of Criminal Procedure, Sweet & Maxwell Limited, h.32. Untuk
menjaga “kenetralan dan obyektivitas”, maka HPP (yang telah menilai BAP) tidak
boleh ikut terlibat mengadili perkara tersebut.
[7] Ingat keinginan Menteri Kehakiman Astrawinata tahun 1960-an yang imeniru
Jaksa Agung Gunawan untuk memberi hakim juga pakaian seragam coklat (mencontoh negara
komunis Cina dan Rusia ??)
[8] Sebagai “Pemberi Keadilan”, maka hakim harus kreatif memberikan “alasan
hukum” tentang putusannya dan tidak
berperilaku secara “birokratis”, dan “mekanikal sebagai trompet undang-undang”.
[9] Menurut pendapat saya, ketentuan bahwa hak oportunitas hanya berada
di Jaksa Agung, sangat “mengkerdilkan” Kejaksaan di Indonesia. Kepolisian
mempunyai “wewenang diskresi” berdasarkan UU, tetapi JPU yang sudah menyetujui
BAP, akan bertindak sekedar sebagai “kurir” menyampaikannya ke Pengadilan.Sejarah
model ini harus diteliti, karena sepertinya kita terlalu “tidak percaya
kejujuran JPU”!.
[10] Cleiren & Nijboer,1995,Strafvordering-Teks
& Commentaar, Kluwer-Deventer, hal.44 – 52.
[11]Merryman,op.cit. h.130
[12] Loc.cit. h.120
[13] Ibid
[14] Cleiren &Nijboer, op.cit.
h.712 dst-nya – Putusan bebas seluruhnya dan yang hanya sebagian; putusan bebas
murni dan yang tidak-murni; putusan bebas tertutup (bedekte) dan yang tidak
(onbedekte().
[15] Loc.cit. h.755 dst-nya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar