Rabu, 11 Desember 2013

RUU KUHAP dalam konteks Efektifitas Penanganan Tipikor*



Pengantar
Makalah ini hanya akan membahas permasalahan yang diajukan Tim FGD KPK, yaitu tentang :
-Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP)
-Wewenang Pengadilan Mengadili
-Pemeriksaan di Sidang Pengadilan,dan
-Upaya Hukum : Banding – Kasasi – Peninjauan Kembali (PK).
                                           
Karena Penulis bukan seorang Ahli Hukum Acara Pidana dan tidak juga berpraktek sebagai Advokat di muka Pengadilan di Indonesia, maka catatan-catatan yang dibuat lebih banyak didasarkan pada rujukan bahan pustaka maupun pemahamannya berdasarkan diskusi-diskusi.

Sebagaimana dapat ditafsirkan dari judul makalah, maka pertanyaan umum yang mendasari FGD ini adalah: “bagaimana analisa yuridis tentang kelemahan dan kelebihan RUU KUHAP (RKuhap) sehubungan dengan kedudukan dan kewenangan aparat penegak hukum dalam menangani kasus korupsi  - khususnya efektifitas KPK dalam menangani wabah korupsi di Indonesia”.

Tentang Hakim Pemeriksa Pendahuluan
Dalam buku yang melakukan referensi ke hukum acara pidana Belanda dikenal nama “Hakim Komisaris” (Rechtercommissaris) yang dalam bahasa Inggris diterjemahan sebagai Examining Magistrate (dari bahasa Perancis Juge d’instruction).Menurut Naskah Akademik RKuhap, maka hakim pemeriksa penduhuluan (selanjutnya HPP) dalam Pasal 1-butir 7 dan Pasal 111 RUU, tidaklah sama dengan padanannya di Belanda dan Perancis.

Mengapa ada lembaga ini ? Mungkin ini dapat dicari dari perbedaan yang ada antara tradisi Civil Law (dengan sistem hukum acara inquisitorial) dengan tradisi Common Law (dengan sistem hukum acara accusatorial).
Dalam sistem akusatorial posisi JPU dan Terdakwa sederajat, mereka “bertanding” (contest) dengan hakim sebagai wasit (referee). Dalam sistem inkuisitorial, maka hakim berubah[1] dari seorang “impartial referee into an active inquisitor who is free to seek evidence and to control the nature and objective of the inquiry”. Pertandingan berubah menjadi individu Terdakwa menghadapi Negara (diwakili JPU). Dalam sistem civil law, maka acara pidana terbagi dalam tiga tahap dasar: tahap penyidikan (investigative phase), tahap pemeriksaan (examining phase-the instruction), dan tahap persidangan (trial). HPP versi Indonesia berada dalam tahap pemeriksaan ini (mekipun wewenang di Perancis lebih luas, yaitu “he is expected to investigate the matter thoroughly and to prepare a complete written record, so that by the time the examining stage is complete, all the relevant evidence is in the record”)[2]. Jerman telah menghapus tahap pemeriksaan ini, dan di Eropa Kontinental modernisasi acara pidana dilakukan melalui a)membangun “a core of prosecuting attorneys who act  impartially and objectivelydan b)menyusun sejumlah procedural safeguards” untuk membantu tersangka/terdakwa melindungi kepentingannya selama tahap pemeriksaan.

Untuk membandingkan dengan kebiasaan selama ini, maka perhatikan pendapat di bawah ini:

As a consequence of the nature of the examining phase of the criminal proceeding, the trial itself is different in character from the common law trial. The evidence has already been taken and the record made, and this record is available to the accused and his counsel, as well as to the prosecution. The function of the trial is to present the case to the trial judge … and to allow the prosecutor and the defendant’s counsel to argue their case”.[3]

Dari sini dapat dilihat “model KUHAP 1981”[4] yang menjadikan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sebagai dokumen utama pada sidang pengadilan untuk pemeriksaan oleh hakim. Perbedaannya dengan sistem di Perancis dan Belanda adalah bahwa “BAP’ disusun oleh “examining judge” yang secara “netral dan obyektif” menyusun “BAP-nya (record – dossier), sedangkan di Indonesia BAP disusun oleh “Penyidik dan JPU” yang “tidak-netral” dan mungkin juga “tidak-obyektif”! Pemeriksaan di sidang pengadilan juga sering tidak-netral dan tidak-obyektif lagi, karena sering hakim lebih mempercayai JPU daripada Advokat Terdakwa. Ini yang menyebabkan ada tuduhan, bahwa di Indonesia tidak berlaku asas  presumption of innocence” , tetapi yang ada dalam pemeriksaan di pengadilan  adalah asas “presumption of guilt”.[5]

Dalam RKuhap (2012), maka HPP diberi wewenang menilai jalannya penyidikan dan penuntutan (Note: apakah ada kerancuan,karena apakah  tahap penuntutan telah dapat dikatakan dimulai ?) yang diperinci dalam Pasal 111 dalam 10 butir kewenangan. Permohonan agar HPP mempergunakan kewenanganya itu dapat dilakukan oleh JPU dan Tersangka/Advokatnya (kecuali kewenangan huruf (i): “layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan”.(Note: disini tidak terlihat ada kerancuan, karena Penyidik dan JPU serta Advokat memang dapat hadir pada tahap pemeriksaan oleh HPP,meskipun tahap ini masih dalam tahap “examining phase” !).

Menurut KUHP Perancis (Code Penal-CP-1958 – Pasal 49), dikatakan :”The examining magistrate is charged with conducting investigations as provided in Chapter 1 of Title III. He may not participate in the trial of penal matters with which he was acquainted in his position as examining magistrate, or the action shall be void[6]

CATATAN KHUSUS:
Apakah ketentuan ini “menggangu” usaha pemberantasan korupsi ?
a)Untuk KPK harus dibuat ketentuan undang-undang tentang bagaimana  HPP ini akan berperan; ada dua kemungkinan:
1)Dibuat ketentuan bahwa di KPK akan ditunjuk seorang HPP Khusus oleh Mahkamah Agung (HPP khusus KPK ini dapat diambil dari salah seorang Hakim Agung);    atau
2)Dibuat ketentuan bahwa karena peranan KPK yang khusus dalam menangani korupsi di Indonesia, maka dalam hukum acara pidana yang berlaku untuk KPK, tidak akan ada prosedur dengan HPP.

b)Untuk pemberantasan korupsi yang dilakukan melalui Kepolisian dan Kejaksaan, maka tetap diperlukan posedur hukum acara pidana dengan HPP.
-------

Tentang Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili
Dalam bagian ini akan dikemukakan pendapat bahwa ada kerancuan dalam peristilahan di Indonesia yang menamakan Hakim sebagai “penegak hukum”. Istilah “penegak hukum” ini berasal dari bahasa Inggris “law enforcement (officer)”, yang merujuk pada petugas kepolisian dan JPU (prosecutor). Salah kaprah ini membawa akibat (sampingan) bahwa di Indonesia Hakim lebih mengidentifikasikan dirinya dengan JPU[7] daripada berdiri secara netral (bukan pihak dalam perkara). Seharusnya hakim adalah “penegak keadilan” (dalam bahasa Ingggris “Judge”=Penilai dan “Justice”=Pemberi Keadilan).[8]

Di Rancangan KUHAP wewenang mengadili ini diatur dalam Bab-X, dalam Pasal 123, 126 dan 127 tentang wewenang Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.Dalam KUHP Belanda (Strafvordering-selanjutnya Sv), maka hal ini menyangkut kompetensi sistem pengadilan (bevoegdheid) yaitu kompetensi absolut dan relatif. Dalam yang pertama (absolut) diatur bebagai jenis pengadilan yang berwenang mengadili dalam tingkat pertama, kedua (banding) dan kasasi. Inilah yang diatur oleh Pasal-pasal 123 – 127 RKuhap. Sedangkan kompetensi relatif merujuk pada pembagian mengadili tindak pidana dalam jenis pengadilan yang sama sesuai wilayah hukum yang bersangkutan.

Kewenangan Pengadilan Tipikor masuk wewenang mana ? Dalam hal hanya ada satu Pengadilan Tipikor, yang akan mengadili semua perkara korupsi yang diajukan oleh KPK, maka ini (menurut saya) merupakan kompetensi absolut. Namum, bilamana ada berbagai “kamar Tipikor” dalam berbagai Pengadilan Negeri yang mengadili perkara korupsi (yang diajukan oleh berbagai kantor Kejaksaan), maka ini termasuk kompetensi relatif.(Note:karena itu dalam Bab X, kewenangan Pengadilan Tipikor di Jakarta/PN Jakarta Pusat dan kamar-kamar Tipikor di berbagai Pengadilan Negeri wajiblah ditentukan dan diatur).

Ada dua aturan yang menurut pendapat saya patut juga diajukan dalam RKuhp Bab X ini: a)tentang hak oportunitas JPU dan b)tentang langkah awal yang perlu diperhatikan hakim. Dalam Pasal 242 Sv diatur sbb (terjemahan):”1.Apabila berdasarkan pemeriksaan pendahuluan Kejaksaan berpendapat bahwa penuntutan perlu dilanjutkan,maka hal itu harus segera dilakukan, dan 2.Selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai, dapatlah dilakukan pembatalan, juga atas dasar kepentingan umum”. Pasal ini berkaitan juga dengan Pasal 167 Sv (terjemahan):”1.Apabila berdasarkan penyidikan yang dilakukan Kejaksaan berpendapat bahwa penutututan harus dilakukan, maka hal itu harus segera dilakukan; dan 2.Penuntutan dapat dianggap tidak diperlukan, atas dasar kepentingan umum”. Ini adalah tentang hak oportunitas yang dipunyai setiap JPU (dan bukan seperti di Indonesia,hanya dipunyai oleh Jaksa Agung).[9] Ketentuan lain yang patut pula ditiru dalam bagian ini adalah Pasal 268 CP (terjemahan)”Surat dakwaan wajib diserahkan kepada terdakwa.Sebuah kopi surat itu wajib ditinggalkan padanya. Penyampaian ini wajib dilakukan secara pribadi-langsung (in person) apabila terdakwa ditahan”. (Note:Memang dalam RKuhap ada ketentuan tentang wewenang JPU menhentikan penuntutan dalam Pasal 42 ayat 2 dan 3, tetapi dalam Bab Wewenang Pengadilan untuk Mengadili, kewajiban dan kewenangan JPU ini patutlah diulangi agar hakim wajib menilai bahwa prosedur yang adil telah dilaksanakan JPU. Juga dalam Pasal 135-136  ada aturan tentang tatacara Panggilan dan Dakwaan oleh JPU, tetapi juga di sini pengulangan bertujuan agar hakim wajib menilai prosedur yang dilakukan JPU ).

CATATAN KHUSUS:
a)Tentang Pengadilan Tipikor yang berada di Jakarta, perlu ada ketentuan jelas dalam RKuhp, yang merujuk tentang adanya (bukan dibentuknya !) sebuah Peradilan Khusus yang berada di Pusat (dalam lingkup peradilan umum), yang menerima perkara hanya dari KPK dan melakukan pula “koordinasi” dari “kamar Tipikor” diberbagai Pengadilan Negeri di Indonesia.

b)Tentang Penyidik dan  Penuntut Umum yang berada di KPK, masalah yang menjadi penghalang adalah konsep keliru dan absolut yang berlaku di Indonesia, bahwa ada “monopoli penyidikan” pada Kepolisian  dan  ada “monopoli penuntutan” pada Kejaksaan. Sebaiknya dalam “iklim reformasi dan modernisasi SPP Indonesia”, dilakukan pemahaman yang “reformis dan fleksibel” tentang konsep-konsep ini, sekurang-kurangnya untuk “penegak hukum Tipikor” yang berada di KPK.
------- 
 
Tentang Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Pasal 145 ayat 1 RKuhap memuat asas bahwa pemeriksaan dimuka sidang “terbuka untuk umum”. Perkecualiannya (dalam sidang tertutup untuk umum) ada dalam ayat 2, yaitu dalam “perkara kesusilaan, terdakwa di bawah umur, dan tindak pidana yang menyangkut rahasia negara”. Keinginan RKuhap untuk “lebih bersifat akusator,mengurangi sifat inkuisitornya” juga terdapat dalam KUHP Belanda. Karena itu, maka dalam tahun 1994 (Wet 8 Nov 1993,Stb.591) dimuat aturan baru tentang prosedur “sidang tertutup” dalam “ruang-hakim” (dikenal sebagai “raadkamerprocedure”. Di Belanda ada berbagai ketetapan (beschikkingen) yang dilakukan dalam raadkamer, a.l.beklag (complaint) tentang putusan untuk tidak melakukan penuntutan; permohonan untuk menunda penuntutan; prosedur pembatasan memeriksa (inzage) dokumen proses peradilan; prosedur pembatasan berhubungan dengan advokat; prosedur penahanan sementara atau penangguhan hal itu,dsb-nya. Di Sv, pasal 21 diatur Competentie raadkamers; 23: Onderzoek in raadkamer; 24: Motivering beschikking; 25: Proces-verbaal raadkamerbehandeling.[10] (Note: Apakah pengaturan seperti ini juga perlu ada ? Dapat di”bayangkan” dalam perkara korupsi adalah pelunya Majelis Hakim mendengarkan pembicaraan yang disadap atau ditunjukkan foto-foto yang “tidak untuk mata-umum” yang juga diambil secara “tertutup”bukankah perlu aturan untuk hal seperti ini? ).

Di atas dikemukakan bahwa salah satu acara sidang-tertutup adalah komplen (complaint) oleh pihak yang “langsung-berkepentingan” karena tuntutan suatu tindak pidana tidak-dilakukan atau tidak-dilanjutkan. Di Belanda ketentuan itentang hal itu ada di Pasal 12-13 Sv (Beklag over niet vervolgen).(Note:Suatu ketentuan serupa perlu juga dimasukkan dalam RKuhap – alasannya kalau kepada JPU diberi hak oportunitas untuk tidak-melakukan atau tidak-melanjutkan penuntutan, maka kepada korban yang langsung-berkepentingan (de rechtstreeks belanghebbende) perlu juga diberikan kewenangan memprotes.Juga dalam suasana dimana dalam perkara korupsi, sering ada kecurigaan adanya “tebang-pilih”,maka pasal serupa perlu dipertimbangkan dalam RKuhap.) 

Pasal 150 ayat 1 RKuhap menjelaskan bahwa pada awal Acara Pemeriksaan Biasa, “JPU dan terdakwa/Advokatnya diberi kesempatan menyampaikan penjelasan singkat untuk menguraikan bukti atau saksi yang hendak diajukan oleh mereka pada persidangan”. Kemungkinan adanya saksi atau ahli “baru” dapat dilihat pada ayat 11. Model seperti ini dimaksudkan untuk mengubah kebiasaan dalam sistem-lama-inkuisitor,  dimana hakim memeriksa “hanya berdasarkan Berita Acara” yang diajukan oleh JPU. Dikatakan: “The evidence has already been taken and the record made, and this record is available to the accused and his counsel,…The function of the trial is to present the case to the trial judge … to allow the prosecutor and the defendant’s counsel to argue their cases. It is also … a public event, which by its very publicity tends to limit the possibility of arbitrary governmental action”[11].(Note: Prosedur seperti ini tidak merugikan proses perkara korupsi, malah akan menguatkan kepercayaan publik bahwa KPK benar independen).

CATATAN KHUSUS:
Ketentuan ini tidak melemahkan prosedur KPK dalam membawa perkara di Pengadilan – karena ini memungkinkan pula KPK lebih “berani” segera mengajukan perkaranya di Pengadilan, sebab penambahan bukti dan saksi masih dapat diajukan dalam perjalanan perkara.
-------

Tentang Upaya Hukum
Bab XIII RKuhap mengatur tentang Upaya Hukum Biasa (Pasal 228-255) dan Bab XIV mengatur tentang Upaya Hukum Luar Biasa (Pasal 256-267)

Upaya hukum biasa terdiri atas “banding” dan “kasasi”.Banding atau kasasi atas putusan pengadilan di bawah Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung dapat dilakukan oleh JPU maupun oleh terdakwa dan Advokatnya, kecuali terhadap putusan bebas.

Banding (Appeal;Appel-Hoger Beroep) – juga dikenal di tradisi Common Law sebagai “primarily a method of correcting mistakes of law made by the trial court” – sedangkan dalam tradisi Civil Law “the right of appeal includes the right to reconsideration of factual, as well as legal issues”.[12] Di Belanda ,maka banding ini berarti (terjemahan): “pemeriksaan baru kembali perkaranya”, jadi banding ini akan diperlakukan terhadap keseluruhan perkaranya.(Note:Ketentuan tentang banding tidak dapat dilakukan bilamana putusannya adalah “bebas”, Pasal 228, adalah kekeliruan penyusun RKuhp- pertama karena tidak logis berdasarkan pengertian “banding”, dan kedua, karena kesalahan penerjemahan dari teks Sv Pasal 404, yang menyatakan bahwa “banding dapat diajukan oleh JPU dan terdakwa yang tidak diputus bebas untuk seluruh dakwaan (door de Of v Justitie en door den  verdachte die niet van de gehele tenlastlegging is vrijgesproken)”.
Kasasi (Cassation;Cassatie) – di Perancis ini dinamakan “recourse in cassation”, tetapi di Jerman dinamakan “revision”. Dikatakan pula “the function … is similar: to provide an authoritative, final determination of any questions of law involved in the case”[13]. Adapun kasasi in tujuan utamanya adalah “kesatuan dalam peradilan” (eenheid inrechtspraak). Asasnya adalah bahwa dalam kasasi perkaranya tidak lagi diperiksa secara keseluruhan (seperti pada banding),tetapi hanya dinilai apakah undang-undang/hukum telah diterapkan secara benar. Ketentuan Pasal 240 RKuhp yang menyatakan bahwa terhadap putusan “yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain MA, …, dapat diajukan kasasi, kecuali putusan bebas”. Adalah benar ! Bunyi yang serupa juga terdapat pada Pasal 430 Sv. Menurut Cleiren dan Nijboer, alasannya memang kompleks dilihat dari sejarahnya (penghormatan kepada Juri yg telah memutus!), tetapi juga kemudian adanya berbagai pengertian tentang “putusan bebas”.[14] Namun, ayat 2 menambahkan bahwa ketentuan ini tidak berlaku dalam hal “cassatie in het belang der wet”.
Kasasi Demi Kepentingan Hukum
Dalam RKuhp, maka lembaga ini termasuk Upaya Hukum Luar Biasa (Pasal 256 dst-nya).Upaya hukum luar biasa ini hanya dapat diajukan oleh Jaksa Agung.Apapun putusan kasasi ini, tetap akan berlaku.Putusan yang telah mempunyai kekuatan-hukum-tetap tentang penjatuhan pidana, pembebasan atau dilepaskan dari segala tuntutan akan tetap sah dan berlaku, meskipun setelah kasasi demi kepntingan hukum putusan ini dianggap tidak-tepat.Namun demikian, terdakwa masih dapat menarik keuntungan dari putusan ini untuk mempergunakannya dalam permohonan grasi.
 
Peninjauan Kembali
Lembaga ini dinamakan “peninjauan kembali” dan pemahamannya dapat dilihat  dari kalimat “herziening/revisie is een buitengewoon rechtsmiddel omdat het in geval van rechtelijke dwalingen correctie van onherroeplijk beslissingen mogelijk maakt … indien er sprake is van een belangrijke niewe omstandigheid (novum) … kan ook meerdere malen worden aangewend … kan niet ten nadele van een veroordeelde uitpakken” (peninjauan kembali/revisi adalah upaya hukum luar biasa karena dalam hal terdapat kekeliruan-hakim koreksi dari putusan yang tidak-dapat-dicabut-kembali dimungkinkan … apabila terdapat suatu-hal-baru-yang-penting (novum) … dapat diajukan banyak-kali … tidak dapat menghasilkan hal yang merugikan terpidana)[15].Di Belanda lembaga ini diatur cukup rinci dalam Pasal-pasal 457-481 Sv (24 pasal) menunjukkan bagaimana lembaga ini dianggap penting dalam hukum acara pidana Belanda.
PENYADAPAN (Pasal 83 -84)
Penyadapan memang merupakan pelanggaran yang serius atas privacy seorang individu, dan karena itu sangat ketat aturannya. Hanya diperkenankan terhadap tindak pidana yang ditetapkan dalam UU dan dilakukan dengan pembatasan berupa ijin dari HPP dan untuk waktu terbatas. Sifat pelanggaran HAM warganegara di sini lebih berat/serius disbanding ketentuan tentang pemeriksaan surat (ps 85-87). Saya mengakui bahwa penyadapan ini merupakan “upaya-paksa luar-biasa” (bijzondere dwangmiddelen) yang “ampuh” di Indonesia untuk menanggulangi wabah korupsi, khususnya penyuapan. Namun, KPK pun harus menyadari bahwa bahaya “penyalahgunaan kekuasaan” juga besar. Tentu KPK dapat meminta agar untuk KPK oleh MA ditunjuk seorang HPP khusus yang berasal dari MA. Apabila nanti KPK akan membuka “kantor cabang” KPK di beberapa lokasi tertentu, maka di kantor-kantor cabang tersebut dapat juga ditunjuk HPP khusus.
 
GANTI KERUGIAN (Pasal 128-130 dan 133-134)
Tuntutan ganti rugi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana atas kekeliruan yang melangar UU dang anti rugi terhadap korban merupakan proses hukum perdata (civil action di tradisi Common Law dan terechtzitting voor burgerlijke zaken, 511a Sv). Menurut saya kedua-duanya harus dapat diputus oleh HPP.

JALUR KHUSUS (Pasal 199)
Ini memang semacam  plea bargaining (yang dikenal dalam praktek di AS, dan merupakan 90% perkara di Pengadilan tingkat pertama) – tujuannya adalah “meringankan beban pengadilan yang sudah sarat muatan”. Dalam praktek kewenangan JPU ini harus dikaitkan juga dengan Pasal 42 ayat 2 (menghentikan penuntutan dengan alasan tertentu, seperti “afdoening buiten process”).Harus dapat dibedakan antara “discharge without prosecution” yang dapat dilakukan Penyidik Kepolisian berdasarkan wewenang “diskresi-kepolisian”, dengan “disposition without trial”, yang artinya “dakwaan JPU diakui oleh Terdakwa, tanpa bantahan/pembelaan).

SAKSI MAHKOTA (Pasal 200)
Crown Witness (State Witness) menurut saya adalah “saksi utama dari Kerajaan/Negara”. Dinamakan demikian karena kekuataan dakwaan yang diajukan JPU (sebagai wakil Kerajaan/Negara) sangat tergantung pada kesaksian “saksi mahkota/ kerajaan/negara” ini. Menurut saya praktek di Indonesia seperti tercermin dalam Pasal 200 adalah keliru, dan dapat mengakibatkan “miscarriage of justice” disamping juga melanggar asas HAM “self-incrimination”. Memberi penghargaan khusus pada seorang terdakwa yang mau membantu ditegakkannya hukum dan keadilan, tentu baik, namun jangan dipakai untuk memudahkan JPU “mengadu-domba” antar terdakwa untuk memudahkan proses pembuktian. Ini akan “membodohkan” Penyidik dan JPU dengan memberinya “jalan-pintas” yang melanggar moral.
 
PEMBUKTIAN (Pasal 174 – 197)
Ini merupakan bagian yang (mungkin) terpenting dalam hukum acara (pidana maupun perdata). Dalam Pasal 174 harus dibaca bahwa tidak cukup adanya alat bukti (minimal dua), tetapi harus juga ada “keyakinan” hakim. Sebaliknya tentu juga begitu, tidak cukup ada “keyakinan” hakim, karena ini harus ditunjang oleh alat-alat bukri yang sah. Sistem ini dikenal sebagai “negatief-wettelijke stelsel”. “Wettelijk” karena harus berdasar alat-bukti yang ditentukan UU dan “negatief” menunjukkan bahwa ini belum cukup, tidak dapat memaksa hakim untuk menerima bukti-bukti tersebut. Karena “keyakinan” adalah penting sekali, maka seharusnya dalam setiap putusan Majelis Hakim haruslah jelas pertanggungjawabannya atas dasar apa hakim telah memperoleh keyakinan itu (motiverings verplichting).Bandingkanlah dengan Pasal 192 ayat 1 butir (f) yang mengatakan bahwa putusan harus memuat < pasal peraturan …yang menjadi dasar pemidanaan … dan pasal peraturan … yang menjadi dasar hukum … disertai keadaan yang memberatkan atau meringankan terdakwa.> Seharusnya yang wajib dimuat berdasarkan asas di atas adalah Pasal 192 ayat 1 butir (d) : pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat bukti yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar (keyakinan !) penentuan kesalahan terdakwa. (Note: Dengan menekankan kepada “keyakinan hakim”, maka dalam “jalur khusus (ps 199)” hakim wajib mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh bahwa “pengakuan-terdakwa” adalah “tanpa-paksaan”. Begitu pula dalam hal “saksi mahkota (pasal 200)”, bahwa kesaksiannya memang “bukan-tipuan”.
 
Koneksitas (Pasal 141 ayat 2)
Menurut saya pemberian wewenang kepada MA untuk memutus pada tingkat pertama dan terakhir sengketa “pengadilan satu lingkungan peradilan dengan pengadilan lingkungan peradilan lain” adalah tepat.
 
Penggabungan Perkara (Pasal 123 ayat 4 dan 5)
Menurut saya memang dalam “penggabungan perkara” ini ada beberapa pilihan:
a)Pengadilan tempat tinggal terdakwa (ayat 4); atau
b)Pengadilan dari tempat kediaman sebagian besar saksi; atau
c)Pengadilan ditempat terdakwa ditemukan dan ditahan.
Asas yang harus dipakai untuk menjadi dasar pilihan adalah “apa yang terbaik untuk tersangka-terdakwa, dengan mengingat hak-haknya dalam Pasal 88 – 108.


*Makalah ini telah disampaikan dalam Diskusi Terbatas (Focus Group Discussion) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Hotel Luwansa, Jakarta  – 25 September 2013.




[1] John Henry Merryman,1985,The Civil Law Tradition-An Introduction to the Legal Systems of Western Europe and Latin America.Stanford University Press, h.127
[2] Op.cit. h.129
[3] Op.Cit.h.130
[4] Lihat juga Mardjono Reksodiputro,1990, “Hak-hak Tersangka dan Terdakwa dalam KUHAP sebagai Bagian dari Hak-hak Warga Negara (Civil Rights), dalam Hak Asasi Manusia dalam SPP, UI,1999.
[5] Sebenarnya ada kekeliruan dalam Indonesia memakai frasa-frasa ini, oleh karena asas pertama merujuk pada “legal guilt” sedangkan asas kedua merujuk pada “factual guilt”(“bukti permulaan yang cukup diduga keras melakukan tindak pidana” – Pasal 1 butir 11).
[6] Gerald L.Kock,1973,The French Code of Criminal Procedure, Sweet & Maxwell Limited, h.32. Untuk menjaga “kenetralan dan obyektivitas”, maka HPP (yang telah menilai BAP) tidak boleh ikut terlibat mengadili perkara tersebut.
[7] Ingat keinginan Menteri Kehakiman Astrawinata tahun 1960-an yang imeniru Jaksa Agung Gunawan untuk memberi hakim juga pakaian seragam coklat (mencontoh negara komunis Cina dan Rusia ??)
[8] Sebagai “Pemberi Keadilan”, maka hakim harus kreatif memberikan “alasan hukum” tentang putusannya  dan tidak berperilaku secara “birokratis”, dan “mekanikal sebagai trompet undang-undang”.
[9] Menurut pendapat saya, ketentuan bahwa hak oportunitas hanya berada di Jaksa Agung, sangat “mengkerdilkan” Kejaksaan di Indonesia. Kepolisian mempunyai “wewenang diskresi” berdasarkan UU, tetapi JPU yang sudah menyetujui BAP, akan bertindak sekedar sebagai “kurir” menyampaikannya ke Pengadilan.Sejarah model ini harus diteliti, karena sepertinya kita terlalu “tidak percaya kejujuran JPU”!.
[10] Cleiren & Nijboer,1995,Strafvordering-Teks & Commentaar, Kluwer-Deventer, hal.44 – 52.
[11]Merryman,op.cit. h.130
[12] Loc.cit. h.120
[13] Ibid
[14] Cleiren &Nijboer, op.cit. h.712 dst-nya – Putusan bebas seluruhnya dan yang hanya sebagian; putusan bebas murni dan yang tidak-murni; putusan bebas tertutup (bedekte) dan yang tidak (onbedekte().
[15] Loc.cit. h.755 dst-nya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar