Pengantar
1. Belajar
dari masa-lalu (sejarah) selalu baik, apabila juga disadari bahwa masa-kini
sudah (jauh) berbeda. Saya Dekan 1984-1987 dan 1987-1990 (18 tahun yang lalu).
Fokus utama waktu itu adalah “kepindahan dari Kampus Rawamangun ke Kampus
Depok”, disertai “pembangunan gedung FHUI yang baru”. Rektor waktu itu Prof.
Nugroho Notosusanto dan kemudian Prof. Sujudi.
2. Kita
semua tentu bercita-cita membangun pendidikan tinggi berkualitas internasional
(dahulu: “Research University”, sekarang: “World-Class University” atau
“First Rate University”). Untuk itu perlu dibangun suatu rencana
jangka-panjang (yang perlu dipecah dalam rencana jangka-menengah dan
jangka-tahunan).(1)
Kondisi sekarang (berdasarkan
pengamatan)(2)
3. Proses
belajar-mengajar tertib; mahasiswa cukup aktif di kelas; dosen berdisiplin
dalam mengajar; jadwal-jadwal ujian dan proses penilaian tertib; perpustakaan
memadai. Lulusan terbaiknya tidak sukar mencari pekerjaan di kantor-kantor
hukum besar di Jakarta.
4. Karyawan
disiplin dan tertib; pelayanan kepada mahasiswa dan dosen baik; gedung rapih
dan bersih (termasuk toilet); pekarangan rapih dan cukup hijau; tempat istirahat,
shalat dan makan baik, ruangan dosen (cukup) rapih.
Kondisi yang diharapkan (hanya
berdasarkan “harapan”)(3)
5. Lulusan
mempunyai “world-class expertise, integrity, respectable character, highly
respected as both professionals in the legal field as well as community
leaders” (mengutip Bung Karno: “... gantungkan cita-citamu di bintang
...”). Mereka mempunyai “legal research skills” untuk menulis disertasi
di universitas luar negeri dan juga “legal professional skills” untuk
bekerja (langsung diterima) di kantor hukum besar di Jakarta.
6. Para
mahasiswa belajar di kampus yang mencerminkan iklim/suasana belajar-mengajar
yang antara lain berciri-cirikan “free speech”, mempunyai “intelectual
network” ke dalam dan luar negeri, perpustakaan dengan “online information”,
serta “international study programs”. Bagi mahasiswa yang memang “potential”
dan “competence” diberikan “high quality research training”,
untuk melakukan riset yang bersifat “doctrinal, theoretical, or empirical”.
Bimbingan riset diberikan untuk S-1, S-2 dan S-3 dalam bentuk “research
supervisors” (Ini tentunya amat sangat ideal!).
Sarana dan Prasarana yang
pada tahap awal perlu direncanakan(4)
7. Disarankan
dimulai secara terbatas dengan sejumlah Dosen yang bersedia dan punya waktu
serta Mahasiswa pilihan sejak dari awal Program S-1 dan/atau Program S-2. Untuk
itu dibangun program kekhususan (di S-1 dan S-2) yang bersifat “international”,
dalam arti diberikan dalam bahasa Inggris dan di mana para mahasiswa harus
aktif berinteraksi dengan dosen (kelas kecil dengan PBL = “Project-based
learning”).(5)
8. Diperlukan/dicari
dosen-dosen yang bersedia dan mampu menjalankan program (-program) kekhususan
di atas, serta bersedia berada di kampus minimal tiga hari seminggu dan 8 jam
per hari. Dosen-dosen ini harus dapat mengembangkan “intelectual network”
di dalam dan ke luar negeri.(6)
9. Diseleksi
secara ketat mahasiswa yang penuh-waktu (full time students) dengan
kemampuan berbahasa Inggris : “reading comprehension, writing ability and
active in discussions” dengan minimal 550 TOEFL. Juga mempunyai “computer
skills”.(7)
10. Disiapkan
perpustakaan khusus, yang menyediakan “koleksi inti untuk pengetahuan hukum
Indonesia”, buku-buku referensi asing dan berlangganan berbagai jurnal hukum
dalam negeri dan dari luar negeri (berbahasa Inggris). Perpustakaan ini juga
ikut dalam “library network” internasional untuk pencarian bahan hukum.(8)
Dukungan untuk “legal
research skills” (9)
11. Sebagian
(10%) mahasiswa S-1 dan S-2 Program Kekhususan yang bersifat “internasional” diberikan “research training” dengan cara turut
serta dalam riset-riset yang diselenggarakan fakultas. Mereka di monitor oleh “research
supervisors” yang juga bertugas
untuk memotivasi mereka melakukan riset disertasi (S-3).(10)
Perkiraan setiap tahun hanya 5 (lima) mahasiswa “excellent” per Program
Kekhususan akan di bina selama 1-2 semester.
Dukungan
untuk “legal professional skills”(11)
12. Semua
(100%) mahasiswa S-1 Program Kekhususan yang bersifat “internasional” diberikan
“legal skills training” dengan cara mengikuti program-program
laboratorium hukum,(12) yang terbagi atas program-program :
litigasi, non-litigasi, bahasa (Indonesia dan Inggris) serta “bantuan hukum
untuk orang miskin”. Terdapat sejumlah “legal skills supervisors”, yang
memonitor mereka dan (kalau ada kesempatan) merekomendasikan mereka “magang” di
kantor hukum, kantor kejaksaan ataupun pengadilan di Jakarta. Diperkirakan
bahwa hanya 5 (lima) mahasiswa “excellent” per Program Kekhususan akan
mendapat Rekomendasi Dekan FHUI untuk magang.
*Makalah ini telah
disampaikan dalam rapat rutin bulanan Senat Akademik FHUI, Depok 2 Juli 2008.
Catatan
Akhir:
(1)
Kebijakan
Dasar Pengembangan UI (1990-2010) adalah terwujudnya UI sebagai “Research
University” tahun 2010 dan tahun 2012 menjadi bagian dari “Universitas
Riset Kelas Dunia”. Untuk FHUI pembaruan kurikulum dalam tahun 1992/93 (oleh
Konsorsium Ilmu Hukum) juga bertujuan ke arah “first rate law schools”.
Kesulitan pertama adalah tidak tersedia cukup dosen untuk dikirim ke Amerika
Serikat (Program ELIPS) yang punya “English proficiency” yang baik.
Tujuan lain adalah mengubah ciri pengajaran di fakultas-fakultas hukum dari TBL
(Teacher-based learning) dengan kelas-kelas besar (100 mahasiswa atau
lebih), menjadi SBL (Student-based learning) melalui SKS, Program
Kekhususan (bukan jurusan) dan Matakuliah Pilihan.
(2)
Kondisi
ini hanya berdasarkan beberapa kali berkunjung ke kampus FHUI Depok (dalam
rangka ujian disertasi) dan pengalaman di Program Pascasarjana FHUI di Salemba.
(3)
Kondisi
yang diharapkan hanya didasarkan “imajinasi” penulis, pengalaman di University
of Pennsylvania (1965-67) dan kunjungan berkala ke University of Hawaii.
Juga dengan bertukar pikiran dalam pertemuan-pertemuan ALA (Asean Law
Association) serta membaca jurnal CAMPUS Asia (Vol.1 No.3, June 2008) dan
Memorandum Akhir Jabatan Rektor UI (2002-2007) serta Renstra UI (2007-2012).
(4)
Pemikiran
dalam perencanaan sarana dan prasarana ini adalah bahwa sebaiknya “start with small classes
(20-25 students) and focus on 2-3 selected areas in law” (UGM misalnya,
mengambil business law, constitutional law dan international law).
(5)
Project-based learning ini dipergunakan antara lain oleh
Faculty of Law, University of Maastricht (Belanda). Dan sekarang mulai
dicoba melalui proyek kerjasama dengan Universitas Atmajaya, Jogya dan
Universitas Udayana, Denpasar. Yang pertama-tama harus dilatih adalah
dosen-dosen yang berminat dan mampu menggunakan PBL dengan benar (ini beda
dengan “active teaching” atau “applied approach”!).
(6)
Yang
dimaksud dengan “intelectual network” disini adalah hubungan-hubungan
personal yang dibangun oleh seorang dosen dengan teman sejawatnya. Untuk itu
dia harus sering mengunjungi lokakarya dan pertemuan ilmiah lainnya, untuk
dapat berkenalan dan bertukar pikiran dengan ilmuwan-ilmuwan dalam bidang yang
sama. Tentu hal ini juga harus dilakukan melalui Internet.
(7)
PBL
mewajibkan mahasiswa bekerja/belajar dalam kelompok “menyelesaikan proyek yang
ditugaskan Dosen”. Karena semua prinsipnya harus dalam bahasa Inggris, maka
masing-masing mahasiswa harus dapat melakukan “independent research”
untuk didiskusikan dalam kelompok, ditulis dan dipresentasikan di kelas (semua
dalam bahasa Inggris!).
(8)
Sebaiknya
Perpustakaan Khusus ini (ataupun Koleksi Khusus dalam Perpustakaan FHUI)
mengutamakan “law journals” (dengan dilakukannya secara berkala
“digitalisasi” majalah oleh universitas di luar negeri, maka kita dapat minta
majalah-majalah “tua” mereka, asal
kita mau bayar biaya pengiriman).
(9)
Bilamana
untuk tiga Program Kekhususan di masing-masing Strata (S-1 dan S-2) ada 25
mahasiswa, maka setiap semester (tahun?) dipilih 15 (3 PK x 5 mahasiswa,
masing-masing untuk S-1 dan (S-2) yang siap menyusun skripsi atau tesis, untuk
masuk “Research training”. Menurut saya, di Indonesia, “Research
University” harus dimulai dengan mendasarkan diri pada riset “unggul” oleh
mahasiswa (S-1 dan S-2). Dosen harus memberikan waktunya : 50% untuk mengajar,
25 % untuk membimbing riset mahasiwa (S-1 dan S-2), dan baru kemudian 25 %
untuk riset sendiri. Riset-Riset (S-1 dan S-2) ini diseleksi lagi untuk di edit
dan diterbitkan oleh fakultas sebagai “hasil riset fakultas” (dan terbit dalam
bahasa Inggris !!!).
(10)
Sejak
konsep “research university” dicanangkan oleh Rektor Prof. Sujudi (1986,
pada waktu saya Dekan FHUI), saya berpendapat bahwa dalam ilmu hukum (dan
ilmu-ilmu sosial, terkecuali ekonomi) mustahil ada dana riset untuk
dosen-dosennya melakukan penelitian dan penulisan hukum Indonesia (apalagi bila
perlu dibandingkan dengan hukum negara lain). Waktu pun tidak ada. Bagaimana
dapat “menghasilkan” buku-buku berisi laporan riset hukum? Salah satu cara
adalah menerbitkan karya mahasiswa hukum (bukan dosen hukum).
Mereka punya waktu (karena wajib untuk skripsi, tesis dan disertasi) dan juga
dana (sudah menyiapkan dana), tapi kurang bimbingan intensif. Contoh yang baik
adalah apa yang telah dilakukan Prof. Erman Radjagukguk dengan penerbitan
sejumlah disertasi yang beliau bimbing.
(11)
Saya
ingin “menghindari” debat yang ada, apakah perlu dibedakan antara FHUI menjadi “professional
school” (mengurangi “mis-match” antara lulusan FHUI dengan
pasar-kerja, yang sering antara lain dikualifikasi sebagai “SH tidak
siap-kerja”) dengan “academically oriented school” (untuk saya perbedaan
antara yang pertama dengan yang kedua, adalah seperti antara school of
medicine dengan school of economics).
(12)
KIH
sejak tahun 1995 telah menyarankan agar dalam setiap fakultas hukum disiapkan
Unit Kerja dengan nama “Laboratorium Hukum” (nama ini dipergunakan untuk
memenuhi “nomenklatur” anggaran belanja pemerintah, seperti: Laboratorium
Bahasa dan Laboratorium Ilmu-Ilmu Sosial). Lab-Hk ini diharapkan mempersiapkan “case
materials” dan latihan kemahiran (jangan “ketrampilan”!) yang diperlukan di
bidang hukum, baik di bidang litigasi, maupun non-litigasi. Disamping itu juga
ada unit ke-3 yaitu Lembaga (Biro) Bantuan Hukum, unit ini bukan untuk “latihan
kemahiran”, tetapi untuk wadah sejumlah mahasiswa terpilih mengembangkan “sense
of social responsibility for legal aid to the poor”. Dalam rencana juga ada
unit ke-4 untuk membantu para mahasiswa dalam penulisan hukum (antara lain
menyusun argumentasi hukum). Unit ke-5 adalah “lab bahasa” (Bahasa Indonesia
dan Asing). Pengamatan KIH dan Dekan USU, UI, UNPAD, UNDIP, UGM, UNAIR dan
UNHAS waktu itu, adalah “memanfaatkan” beasiswa luar negeri dengan mendorong
para mahasiswa memperbaiki bahasa Inggris dan bahasa Indonesianya. Gagasan
Lab-Hk ini sudah diajukan ± 13 tahun lalu,
tetapi belum penuh dilaksanakan (pernah ± 3 tahun yang lalu
didiskusikan kembali di FH-UNLAM – Lihat pula makalah Mardjono
Reksodiputro untuk lokakarya tersebut dalam tahun 2005).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar