Rabu, 11 Desember 2013

Belajar dari Masa-Lalu: Gagasan Membangun Fakultas Hukum UI ke Masa-Depan*



Pengantar


1.    Belajar dari masa-lalu (sejarah) selalu baik, apabila juga disadari bahwa masa-kini sudah (jauh) berbeda. Saya Dekan 1984-1987 dan 1987-1990 (18 tahun yang lalu). Fokus utama waktu itu adalah “kepindahan dari Kampus Rawamangun ke Kampus Depok”, disertai “pembangunan gedung FHUI yang baru”. Rektor waktu itu Prof. Nugroho Notosusanto dan kemudian Prof. Sujudi.

2.    Kita semua tentu bercita-cita membangun pendidikan tinggi berkualitas internasional (dahulu: “Research University”, sekarang: “World-Class University” atau “First Rate University”). Untuk itu perlu dibangun suatu rencana jangka-panjang (yang perlu dipecah dalam rencana jangka-menengah dan jangka-tahunan).(1)

Kondisi sekarang (berdasarkan pengamatan)(2)

3.    Proses belajar-mengajar tertib; mahasiswa cukup aktif di kelas; dosen berdisiplin dalam mengajar; jadwal-jadwal ujian dan proses penilaian tertib; perpustakaan memadai. Lulusan terbaiknya tidak sukar mencari pekerjaan di kantor-kantor hukum besar di Jakarta.

4.    Karyawan disiplin dan tertib; pelayanan kepada mahasiswa dan dosen baik; gedung rapih dan bersih (termasuk toilet); pekarangan rapih dan cukup hijau; tempat istirahat, shalat dan makan baik, ruangan dosen (cukup) rapih.

Kondisi yang diharapkan (hanya berdasarkan “harapan”)(3)

5.    Lulusan mempunyai “world-class expertise, integrity, respectable character, highly respected as both professionals in the legal field as well as community leaders” (mengutip Bung Karno: “... gantungkan cita-citamu di bintang ...”). Mereka mempunyai “legal research skills” untuk menulis disertasi di universitas luar negeri dan juga “legal professional skills” untuk bekerja (langsung diterima) di kantor hukum besar di Jakarta.

6.    Para mahasiswa belajar di kampus yang mencerminkan iklim/suasana belajar-mengajar yang antara lain berciri-cirikan “free speech”, mempunyai “intelectual network” ke dalam dan luar negeri, perpustakaan dengan “online information”, serta “international study programs”. Bagi mahasiswa yang memang “potential” dan “competence” diberikan “high quality research training”, untuk melakukan riset yang bersifat “doctrinal, theoretical, or empirical”. Bimbingan riset diberikan untuk S-1, S-2 dan S-3 dalam bentuk “research supervisors” (Ini tentunya amat sangat ideal!).

Sarana dan Prasarana yang pada tahap awal perlu direncanakan(4)

7.    Disarankan dimulai secara terbatas dengan sejumlah Dosen yang bersedia dan punya waktu serta Mahasiswa pilihan sejak dari awal Program S-1 dan/atau Program S-2. Untuk itu dibangun program kekhususan (di S-1 dan S-2) yang bersifat “international”, dalam arti diberikan dalam bahasa Inggris dan di mana para mahasiswa harus aktif berinteraksi dengan dosen (kelas kecil dengan PBL = “Project-based learning”).(5)

8.    Diperlukan/dicari dosen-dosen yang bersedia dan mampu menjalankan program (-program) kekhususan di atas, serta bersedia berada di kampus minimal tiga hari seminggu dan 8 jam per hari. Dosen-dosen ini harus dapat mengembangkan “intelectual network” di dalam dan ke luar negeri.(6)

9.    Diseleksi secara ketat mahasiswa yang penuh-waktu (full time students) dengan kemampuan berbahasa Inggris : “reading comprehension, writing ability and active in discussions” dengan minimal 550 TOEFL. Juga mempunyai “computer skills”.(7)

10. Disiapkan perpustakaan khusus, yang menyediakan “koleksi inti untuk pengetahuan hukum Indonesia”, buku-buku referensi asing dan berlangganan berbagai jurnal hukum dalam negeri dan dari luar negeri (berbahasa Inggris). Perpustakaan ini juga ikut dalam “library network” internasional untuk pencarian bahan hukum.(8)

Dukungan untuk “legal research skills” (9)

11. Sebagian (10%) mahasiswa S-1 dan S-2 Program Kekhususan yang bersifat “internasional” diberikan  “research training” dengan cara turut serta dalam riset-riset yang diselenggarakan fakultas. Mereka di monitor oleh “research supervisors” yang juga bertugas untuk memotivasi mereka melakukan riset disertasi (S-3).(10) Perkiraan setiap tahun hanya 5 (lima) mahasiswa “excellent” per Program Kekhususan akan di bina selama 1-2 semester.

Dukungan untuk “legal professional skills”(11)

12. Semua (100%) mahasiswa S-1 Program Kekhususan yang bersifat “internasional” diberikan “legal skills training” dengan cara mengikuti program-program laboratorium hukum,(12) yang terbagi atas program-program : litigasi, non-litigasi, bahasa (Indonesia dan Inggris) serta “bantuan hukum untuk orang miskin”. Terdapat sejumlah “legal skills supervisors”, yang memonitor mereka dan (kalau ada kesempatan) merekomendasikan mereka “magang” di kantor hukum, kantor kejaksaan ataupun pengadilan di Jakarta. Diperkirakan bahwa hanya 5 (lima) mahasiswa “excellent” per Program Kekhususan akan mendapat Rekomendasi Dekan FHUI untuk magang.

*Makalah ini telah disampaikan dalam rapat rutin bulanan Senat Akademik FHUI, Depok 2 Juli 2008.



Catatan Akhir:



(1)      Kebijakan Dasar Pengembangan UI (1990-2010) adalah terwujudnya UI sebagai “Research University” tahun 2010 dan tahun 2012 menjadi bagian dari “Universitas Riset Kelas Dunia”. Untuk FHUI pembaruan kurikulum dalam tahun 1992/93 (oleh Konsorsium Ilmu Hukum) juga bertujuan ke arah “first rate law schools”. Kesulitan pertama adalah tidak tersedia cukup dosen untuk dikirim ke Amerika Serikat (Program ELIPS) yang punya “English proficiency” yang baik. Tujuan lain adalah mengubah ciri pengajaran di fakultas-fakultas hukum dari TBL (Teacher-based learning) dengan kelas-kelas besar (100 mahasiswa atau lebih), menjadi SBL (Student-based learning) melalui SKS, Program Kekhususan (bukan jurusan) dan Matakuliah Pilihan.



(2)      Kondisi ini hanya berdasarkan beberapa kali berkunjung ke kampus FHUI Depok (dalam rangka ujian disertasi) dan pengalaman di Program Pascasarjana FHUI di Salemba.



(3)      Kondisi yang diharapkan hanya didasarkan “imajinasi” penulis, pengalaman di University of Pennsylvania (1965-67) dan kunjungan berkala ke University of Hawaii. Juga dengan bertukar pikiran dalam pertemuan-pertemuan ALA (Asean Law Association) serta membaca jurnal CAMPUS Asia (Vol.1 No.3, June 2008) dan Memorandum Akhir Jabatan Rektor UI (2002-2007) serta Renstra UI (2007-2012).



(4)      Pemikiran dalam perencanaan sarana dan prasarana ini adalah  bahwa sebaiknya “start with small classes (20-25 students) and focus on 2-3 selected areas in law” (UGM misalnya, mengambil business law, constitutional law dan international law).



(5)      Project-based learning ini dipergunakan antara lain oleh Faculty of Law, University of Maastricht (Belanda). Dan sekarang mulai dicoba melalui proyek kerjasama dengan Universitas Atmajaya, Jogya dan Universitas Udayana, Denpasar. Yang pertama-tama harus dilatih adalah dosen-dosen yang berminat dan mampu menggunakan PBL dengan benar (ini beda dengan “active teaching” atau “applied approach”!).


(6)      Yang dimaksud dengan “intelectual network” disini adalah hubungan-hubungan personal yang dibangun oleh seorang dosen dengan teman sejawatnya. Untuk itu dia harus sering mengunjungi lokakarya dan pertemuan ilmiah lainnya, untuk dapat berkenalan dan bertukar pikiran dengan ilmuwan-ilmuwan dalam bidang yang sama. Tentu hal ini juga harus dilakukan melalui Internet.



(7)      PBL mewajibkan mahasiswa bekerja/belajar dalam kelompok “menyelesaikan proyek yang ditugaskan Dosen”. Karena semua prinsipnya harus dalam bahasa Inggris, maka masing-masing mahasiswa harus dapat melakukan “independent research” untuk didiskusikan dalam kelompok, ditulis dan dipresentasikan di kelas (semua dalam bahasa Inggris!).



(8)      Sebaiknya Perpustakaan Khusus ini (ataupun Koleksi Khusus dalam Perpustakaan FHUI) mengutamakan “law journals” (dengan dilakukannya secara berkala “digitalisasi” majalah oleh universitas di luar negeri, maka kita dapat minta  majalah-majalah “tua” mereka, asal kita mau bayar biaya pengiriman).



(9)      Bilamana untuk tiga Program Kekhususan di masing-masing Strata (S-1 dan S-2) ada 25 mahasiswa, maka setiap semester (tahun?) dipilih 15 (3 PK x 5 mahasiswa, masing-masing untuk S-1 dan (S-2) yang siap menyusun skripsi atau tesis, untuk masuk “Research training”. Menurut saya, di Indonesia, “Research University” harus dimulai dengan mendasarkan diri pada riset “unggul” oleh mahasiswa (S-1 dan S-2). Dosen harus memberikan waktunya : 50% untuk mengajar, 25 % untuk membimbing riset mahasiwa (S-1 dan S-2), dan baru kemudian 25 % untuk riset sendiri. Riset-Riset (S-1 dan S-2) ini diseleksi lagi untuk di edit dan diterbitkan oleh fakultas sebagai “hasil riset fakultas” (dan terbit dalam bahasa Inggris !!!).



(10)   Sejak konsep “research university” dicanangkan oleh Rektor Prof. Sujudi (1986, pada waktu saya Dekan FHUI), saya berpendapat bahwa dalam ilmu hukum (dan ilmu-ilmu sosial, terkecuali ekonomi) mustahil ada dana riset untuk dosen-dosennya melakukan penelitian dan penulisan hukum Indonesia (apalagi bila perlu dibandingkan dengan hukum negara lain). Waktu pun tidak ada. Bagaimana dapat “menghasilkan” buku-buku berisi laporan riset hukum? Salah satu cara adalah menerbitkan karya mahasiswa hukum (bukan dosen hukum). Mereka punya waktu (karena wajib untuk skripsi, tesis dan disertasi) dan juga dana (sudah menyiapkan dana), tapi kurang bimbingan intensif. Contoh yang baik adalah apa yang telah dilakukan Prof. Erman Radjagukguk dengan penerbitan sejumlah disertasi yang beliau bimbing.



(11)   Saya ingin “menghindari” debat yang ada, apakah perlu dibedakan antara FHUI menjadi “professional school” (mengurangi “mis-match” antara lulusan FHUI dengan pasar-kerja, yang sering antara lain dikualifikasi sebagai “SH tidak siap-kerja”) dengan “academically oriented school” (untuk saya perbedaan antara yang pertama dengan yang kedua, adalah seperti antara school of medicine dengan school of economics).



(12)   KIH sejak tahun 1995 telah menyarankan agar dalam setiap fakultas hukum disiapkan Unit Kerja dengan nama “Laboratorium Hukum” (nama ini dipergunakan untuk memenuhi “nomenklatur” anggaran belanja pemerintah, seperti: Laboratorium Bahasa dan Laboratorium Ilmu-Ilmu Sosial). Lab-Hk ini diharapkan mempersiapkan “case materials” dan latihan kemahiran (jangan “ketrampilan”!) yang diperlukan di bidang hukum, baik di bidang litigasi, maupun non-litigasi. Disamping itu juga ada unit ke-3 yaitu Lembaga (Biro) Bantuan Hukum, unit ini bukan untuk “latihan kemahiran”, tetapi untuk wadah sejumlah mahasiswa terpilih mengembangkan “sense of social responsibility for legal aid to the poor”. Dalam rencana juga ada unit ke-4 untuk membantu para mahasiswa dalam penulisan hukum (antara lain menyusun argumentasi hukum). Unit ke-5 adalah “lab bahasa” (Bahasa Indonesia dan Asing). Pengamatan KIH dan Dekan USU, UI, UNPAD, UNDIP, UGM, UNAIR dan UNHAS waktu itu, adalah “memanfaatkan” beasiswa luar negeri dengan mendorong para mahasiswa memperbaiki bahasa Inggris dan bahasa Indonesianya. Gagasan Lab-Hk ini sudah diajukan ± 13 tahun lalu, tetapi belum penuh dilaksanakan (pernah ± 3 tahun yang lalu didiskusikan kembali di FH-UNLAM – Lihat pula makalah Mardjono Reksodiputro untuk lokakarya tersebut dalam tahun 2005).     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar