Senin, 09 Desember 2013

PEMIKIRAN KRIMINOLOGI : Restorative Justice*


Pendahuluan

Tulisan ini masih mengandung banyak kekurangan, disebabkan  oleh :
a)Waktu sempit yang tersedia karena kesehatan yang agak terganggu;
b)Tidak mutahirnya pengetahuan saya tentang topik yang diberikan oleh Panitia Pelatihan Teori Kriminologi.

Permasalahan saya yang pertama adalah  bukan tentang Restorative
Justice (selanjutnya RJ) itu sendiri, tetapi bagaimana keterkaitannya dengan Teori Kriminologi Post-Modern yang merupakan tema dari Pelatihan ini. Karena itu saya akan menguraikan pendapat saya tentang timbulnya dan keterkaitannya Postmodern Theories dalam Kriminologi ini dahulu.Adapun tulisan di bawah ini mempergunakan dua sumber utama :

1.Larry J.Siegel,Ph.D, 2000, CRIMINOLOGY, Seventh Edition, Wadsworth; dan
2. Dr. Eva Achjani Zulfa,SH.MH.,2009, KEADILAN RESTORARIF DI INDONESIA (Studi tentang Kemungkinan Penerapan Pendekatan Restoratif dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana), Disertasi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.


Kriminologi Konflik dan Mashab Kritikal

Dari penulusuran melalui Internet dan bahan yang saya peroleh, maka Kriminologi Post-Modern (selanjutnya P-M) ini menurut saya adalah lanjutan dari pemikiran kriminologi konflik.Dalam cara saya membagi mashab-mashab besar dalam pengetahuan tentang kriminologi, maka kriminologi konflik masuk dalam mashab kritikal (critical criminology),disamping mashab positivis (pelopornya Cesare Lombroso 1835-1909) dan mashab klasik/neo-klasik (pelopornya Cesare Bonesana Marchese de Beccaria 1738-94, yang pemikirannya dimodifikasi ke dalam Code Penal Perancis 1819).

Mashab Kritikal dikenal pertama-tama karena pandangannya yang berbeda tentang pengertian kejahatan (berbeda dengan yang dinamakan “the consensus view of crime” seperti yang dianut mashab Klasik/Neo-Klasik). Menurut Mashab Kritikal, dengan “interactionist view”nya, maka kejahatan didefinisikan oleh “moral entrepeneurs”, perbuatan jadi kriminal karena masyarakat men”cap”nya demikian, dan cap-penjahat menentukan kehidupan seterusnya seseorang. Sedangkan “conflic t view”nya mengkritik hukum sebagai alat dari “the ruling class”, yang menjadikan kejahatan suatu konsep politis, dan dalam banyak hal “the law is used to contol the underclass”.

Pendekatan mashab Kritikal ini memang ditujukan pada proses-proses sosial yang mendasari dan membentuk dunia di manusia ini hidup.Fokus penelitian adalah pada bagaimana hukum pidana itu dirumuskan dan dilaksanakan, bagaimana proses diberikannya “label” kejahatan dan penjahat oleh masyarakat dan bagaimana aspek “kuasa” (power) akan lebih mudah menentukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan “penguasa”, sebagai kejahatan, dan juga akan lebih mampu mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukumnya. Jadi menurut saya “kausa kejahatan” (kausa dalam arti luas) ada dalam masyarakat sendiri. Karena itu penanggulangan kejahatan bukan dilakukan melalui penegakan hukum yang lebih efektif (pendekatan di Indonesia sekarang, mengikuti mashab Klasik dengan konsep “free will”nya) dan atau bukan pula menetralisasi kausa yang ditemukan melalui penelitian ilmiah (juga pendekatan yang dianut umum di Indonesia, sesuai mashab Positivis).

Menurut mashab Kritikal, “penanggulangan kejahatan”(dalam arti luas) seharusnya dapat dilakukan melalui masyarakat yang lebih demokratis (dalam arti mengurangi proses konflik kuasa yang tidak-wajar dan mengurangi proses diskriminasi terhadap mereka yang kurang-kuasa /the powerless), dan dengan pendekatan yang lebih manusiawi pada pelanggar hukum pemula/first offenders (mengurangi “labeling”  yang menimbulkan krisis jati-diri dan “secondary deviance”).

Bagi saya mashab Kritikal ini dasarnya adalah “teori-teori proses sosial” (social process theories) yang mengajarkan bahwa kriminalitas adalah fungsi dari interaksi manusia dengan berbagai organisasi, lembaga dan proses-proses dalam masyarakat (Edwin Sutherland-Donald Cressey;Walter Reckless, Howard Becker, Edwin Schur – tahun 1940-an sampai 1970-an). Yang selanjutnya terus berkembang melalui “teori-teori konflik(social conflict theories).

Teori- teori Konflik Sosial

Teori-teori dalam kelompok ini melihat kejahatan sebagai fungsi dari konflik-konflik yang ada dalam masyarakat.Teori- teori ini lebih menekankan pada proses sosial dalam konteks sosial-ekonomi, dan melihat antara lain pada peranan pemerintah menciptakan lingkungan yang “mendukung penyimpangan social” (crimogenic environment).peranan kelompok dominan membentuk hukum (pidana), dan bias dalam SPP.

Memang pada awalnya teori-teori ini berakar pada pemikiran Karl Marx (tahun 1848 Manifesto Komunis), dan untuk kriminologi ditafsirkan oleh Willem Bonger (Criminality and Economic Conditions,1918 ), Ralf Dahrendorf (Class and Class Conflict in Industrial Society,1959 ), dan George Vold (Theoretical Criminology,1958 ).Pada waktu yang bersamaan berkembang kritik pedas dan keras terhadap Statistik Resmi Kepolisian (official statistics). Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa kejahatan ternyata lebih merata terdistribusi dalam berbagai strata masyarakat. Hal ini bertentangan dengan statistik resmi yang menggambarkan bahwa terdapat lebih banyak kejahatan dan pelakunya di lingkungan kelas-bawah (lower-class) dibandingkan dengan kejadian di linkungan kelas-menengah (middle-class). Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa terjadi “diskriminasi” dalam penegakaan hukum terhadap kelompok-kelompok kelas-bawah. Timbul pandangan “…the justice system as a mechanism to control the lower class and maintain the status quo rather than as the means of dispensing evenhanded justice.

Dalam tahun 1971, William Chambliss dan Robert Seidman menerbitkan karangan mereka yang terkenal juga di Indonesia “Law,Order and Power” Karangan ini menjadi salah satu referensi utama dalam tulisan-tulisan alm.Prof.Satjipto Rahardjo salah seorang pakar Sosiologi Hukum, dengan pemikirannya Teori Progresif dalam ilmu hukum.Menurut Chambliss dan Seidman, a.l. a)Penguasaan atas sistem politik dan ekonomi akan mempengaruhi bagaimana peradilan pidana dilaksanakan: b)Definisi tentang kejahatan akan dipengaruhi secara menguntungkan oleh mereka yang menguasai sistem peradilan; c)Peranan konflik dalam masyarakat kontemporer perlu dianalisa.Pemikiran ini didukung pula oleh John Braithwaite,1986, dalam karangannya “Retributivism,Punishment,and Privilege”. Yang menggambarkan bagaimana peradilan pidana sering tidak adil.Mereka yang seharusnya lebih banyak/keras dihukum (penjahat kerah-putih yang kaya-raya yang merugikan masyarakat berjuta-juta dolar), ternyata dihukum paling sedikit/ringan.Sebaliknya mereka yang melakukan kejahatan relatif ringan (pencuri, karena terdesak keperluan ekonomi) mendapat hukuman yang keras/berat.

Dalam masa ini, kampus-kampus dipengaruhi juga oleh kejadian-kejadian besar di dunia, seperti Perang Vietnam dan Perjuangan Hak-hak Warga Negara (civil liberties) dan terbitlah berbagai tulisan yang menentang kekuasan mapan (the establishment). Tulisan-tulisan yang kemudian juga terkenal di Indonesia adalah Richard Quinney ,1970,”The Social Reality of Crime”; Ian Taylor,Paul Walton, & Jock Young, 1973, “The New Criminology” ; Anthony Platt, Paul Tagaki, Herman & Julia Schwendinger, yang mengembangkan  Radical (Marxist) Criminology di Universitas California – Berkeley (program kriminologi di Berkeley kemudian ditutup penguasa).

Post-modern Criminology timbul dalam suasana seperti dgambarkan di atas. Siegel menjelaskannya sebagai berikut (276):
    
     A number of radical thinkers,referred to as postmodernist, have
     embraced semiotics (using langgage elements as signs or symbols
     beyond their literal meaning) and deconstuctionist analysis as a
     method of understanding all human relations,including criminal
     behavior. … Postmodernist assert that there are different languages
     and ways of knowing. Those in power can use their own language to
     define crime and law while excluding or dismissing those who oppose
     their control(like prisoners and the poor).This … is the source of
     conflict in society”

Saya tidak bermaksud memasuki ranah Kriminologi P-M, saya hanya ingin menjelaskan bahwa inti dari berbagai cabang teori konflik adalah pandangan: bahwa konflik sosial adalah penyebab kejahatan.Andaikata konflik sosial dapat diredusir, angka kriminalitas dapat berkurang.Usaha untuk meredusir konflik sosial ini adalah antara lain dengan pendekatan “restorative justice” (keadilan restorative-RJ).Dikatakan pendekatan ini menekankan pada “non- punitive strategies to prevent and control crime”.


Keadilan Restoratif

Zulfa memandang keadilan restoratif (selanjutnya RJ) sebagai suatu filosofi pemidanaan. Dan sebagai falsafah ini, penerapan RJ dilakukan dengan membingkainya pada berbagai kebijakan,gagasan program dan penanganan perkara pidana.Semuanya ini diharapkan menimbulkan hasil proses yang menciptakan keadilan bagi Pelaku, Korban maupun Masyarakat dan menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi oleh Sistem Peradilan Pidana saat ini

Apabila ditanyakan apa permasalahan SPP saat ini, maka jawabannya harus dicari dalam diskusi kita sebelumnya, yaitu kritik-kritik yang diajukan terhadap SPP. Zulfa menggambarkan hubungan antara RJ dengan SPP sebagai tiga kemungkinan: a)Bagian dari SPP, b)Di luar SPP, dan c)Berdampingan dengan SPP. Dalam konteks seperti ini, meskipun falsafah SPP dipertanyakan (misalnya antara ultimum remedium  dengan  primum remedium), namun SPP tetap diakui dan dipertahankan.

RJ umumnya juga didekati dengan pandangan viktimologi, dalam arti bahwa dalam SPP, korban dan orang yang selamat (survivor) sering sekali terlupakan atau terabaikan.Karena itu di Amerika Serikat dkembangkan      pemikiran perlunya dalam putusan hakim dipertimbangkan “victim-impact statements” yang menggambarkan kerugian dan penderitaan yang dialami korban akibat kejahatan tersebut.Dalam pandangan seperti ini, maka sering dikatakan bahwa RJ bertujuan “restore the health of the community,repair the harm done, meet vitim’s needs and require the offender to contribute to those repairs”

Namun dalam pemikiran John Braithwaite,2003,”Principles of Restorative Justice”, maka RJ adalah “… about struggling against injustice in the most restorative way we can manage … it targets injustice reduction…” Untuk itu maka suatu RJ program harus melalui “a restorative process test” maupun suatu “restorative value test” (yang terahir ini dibaginya dalam “constraining values, maximizing values and emergent values” ).Dalam mengembangkan nilai-nilai ini Braithwaite mengingatkan agar melalui empirical research ditemukan “bottom-up generation of restorative justice values”. Dia juga mengharapkan agar terjadi “a radical redesign of legal institutions whereby the justice of the people will more meaningfully bubble up into the justice of the law,and the justice of the law will more legitimately filter down to place limits on the justice of the people”

Pendapat yang “cukup radikal” tersebut, mungkin dapat lebih dipahami dengan mengambil pikiran Siegel (277) yang mencoba membawa RJ dalam konteks teori-teori konflik sosial sebagai berikut :

1)Crime is fundamentally a violation of people and interpersonal relationships.

 a.Victims and the community have been harmed and need restoration.
 b.Victims, offenders, and the affected communities are the key stakeholders.The state must investigate crime and ensure safety, but it is not the center of the justice process.Victims are the key …

2)Violations create obligations and liabilities

 a.Offenders have the obligation to make things right as much as possible.They must understand the harm they have caused.
 b.The community’s obligations are to victims, to offenders, and to the general welfare of its members. This includes the obligation to re-integrate offenders back into the community …

3)Restorative Justice seeks to heal and put right the wrongs.

 a.Victims” needs are the focal concern of the justice process.
 b.The exchange of information between victim and offender should be encourage; when possible (in) face-to-face meetings …
 c.Offenders” needs and competencies need to be addressed …
 d.The justice process belongs to the community; members are encouraged “to do justice”.The justice process should be sensitive to community needs and geared toward preventing similar harm in the future…
 e.Justice is mindful of the outcomes, intended and unintended,… The least restrictive intervention should be used, and overt social control should be avoided.

Pemikiran-pemikiran Braithwaite dan Siegel di atas dapat ditambah lagi dengan tulisan-tulisan serupa, a.l. dari Margarita Zernova,2007, “Restorative Justice – Ideals and Realities”, dan dari Lorraine Wolhuter, Neil Olley dan David Denham, 2009, Victimology-Victimisation and ,Victims’Rights, “Chapter 12-Victims and restorative justice” (bahan-bahan ini disampaikan oleh Panitia kepada saya, tetapi belum dapat saya ulas dalam tulisan ini).

Sebagai penutup saya ingin kembali ke Disertasi Dr Zulfa. Kesimpulan dari Disertasi ini adalah antara lain :

1) Kehadiran RJ dalam hukum pidana jangan dianggap sebagai mengabolisi hukum pidana, tetapi sebaiknya harus dilihat sebagai mengembalikan fungsi hukum pidana pada jalurnya semula, yaitu pada fungsi ultimum remedium.

2) Pendekatan RJ dapat dipakai sebagai bingkaidalam proses penanganan perkara pidana di semua tahapan SPP dan terhadap berbagai tindak pidana.Tetapi ditemukan pula penerapan penyelesaian perkara pidana di luar SPP. Dalam hal ini beberapa Negara ( Papua Nugini, Samoa Barat, Bangladesh dan Peru ) memberikan peluang kepada pengadilan adapt menyelesaikan perkara pidana, tanpa melibatkan komponen SPP.

3) Di Indonesia, realita di lapangan membuktikan bahwa penyelesaian di luar SPP memang dilakukan, a.l. untuk kasus-kasus (ada 21 kasus yang dibahas dalam disertasi ) : kecelakaan lalu lintas, pencurian, perkosaan, penganiayaan, dan pencemaran nama baik. Dalam kasus- kasus temuan ini penyelesaian konflik dilakukan oleh anggota masyarakat sendiri atau ada pula dengan melibatkan petugas penegak hukum  atau ada pula oleh lembaga adat.

4) Pendekatan RJ sangat mungkin diterapkan di Indonesia, dalam berbagai jenis tindak pidana yang bsfatnya umum, tetapi bukan merupakan tindak pidana yang sifatnya : a) Pelaku dan Korban tidak jelas; b)Delik Politik, c)Mengancam masyarakat secara luas.


*Makalah ini telah disampaikan di Departemen Kriminologi FISIP-UI, 2 Juni 2010.


                                           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar