Pendahuluan
Tulisan ini masih mengandung banyak
kekurangan, disebabkan oleh :
a)Waktu sempit yang tersedia karena kesehatan
yang agak terganggu;
b)Tidak mutahirnya pengetahuan saya tentang
topik yang diberikan oleh Panitia Pelatihan Teori Kriminologi.
Permasalahan saya yang pertama adalah bukan tentang Restorative
Justice
(selanjutnya RJ) itu
sendiri, tetapi bagaimana keterkaitannya dengan Teori Kriminologi Post-Modern
yang merupakan tema dari Pelatihan ini. Karena itu saya akan menguraikan
pendapat saya tentang timbulnya dan keterkaitannya Postmodern Theories dalam Kriminologi ini dahulu.Adapun tulisan di bawah ini mempergunakan dua sumber
utama :
1.Larry J.Siegel,Ph.D, 2000, CRIMINOLOGY, Seventh Edition, Wadsworth; dan
2. Dr. Eva Achjani Zulfa,SH.MH.,2009, KEADILAN RESTORARIF DI INDONESIA (Studi
tentang Kemungkinan Penerapan Pendekatan Restoratif dalam Praktek Penegakan
Hukum Pidana), Disertasi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Kriminologi
Konflik dan Mashab Kritikal
Dari penulusuran melalui Internet dan
bahan yang saya peroleh, maka Kriminologi Post-Modern (selanjutnya P-M) ini
menurut saya adalah lanjutan dari pemikiran kriminologi konflik.Dalam cara saya
membagi mashab-mashab besar dalam pengetahuan tentang kriminologi, maka
kriminologi konflik masuk dalam mashab kritikal (critical criminology),disamping mashab positivis (pelopornya Cesare
Lombroso 1835-1909) dan mashab klasik/neo-klasik (pelopornya Cesare Bonesana
Marchese de Beccaria 1738-94, yang pemikirannya dimodifikasi ke dalam Code
Penal Perancis 1819).
Mashab Kritikal dikenal
pertama-tama karena pandangannya yang berbeda tentang pengertian kejahatan
(berbeda dengan yang dinamakan “the consensus view of crime” seperti yang
dianut mashab Klasik/Neo-Klasik). Menurut Mashab
Kritikal, dengan “interactionist
view”nya, maka kejahatan didefinisikan oleh “moral entrepeneurs”, perbuatan jadi kriminal karena masyarakat men”cap”nya
demikian, dan cap-penjahat menentukan kehidupan seterusnya seseorang. Sedangkan “conflic t view”nya mengkritik hukum sebagai alat dari “the ruling class”, yang menjadikan
kejahatan suatu konsep politis, dan dalam banyak hal “the law is used to contol the underclass”.
Pendekatan mashab Kritikal ini memang
ditujukan pada proses-proses sosial yang mendasari dan membentuk dunia di
manusia ini hidup.Fokus penelitian adalah pada bagaimana hukum pidana itu dirumuskan
dan dilaksanakan, bagaimana proses diberikannya “label” kejahatan dan penjahat oleh
masyarakat dan bagaimana aspek “kuasa” (power)
akan lebih mudah menentukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
kepentingan “penguasa”, sebagai kejahatan, dan juga akan lebih mampu
mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukumnya. Jadi menurut saya “kausa kejahatan”
(kausa dalam arti luas) ada dalam masyarakat sendiri. Karena itu penanggulangan
kejahatan bukan dilakukan melalui
penegakan hukum yang lebih efektif (pendekatan di Indonesia sekarang, mengikuti
mashab Klasik dengan konsep “free will”nya)
dan atau bukan pula menetralisasi
kausa yang ditemukan melalui penelitian ilmiah (juga pendekatan yang dianut
umum di Indonesia, sesuai mashab Positivis).
Menurut mashab Kritikal,
“penanggulangan kejahatan”(dalam arti luas) seharusnya dapat dilakukan melalui
masyarakat yang lebih demokratis (dalam arti mengurangi proses konflik kuasa
yang tidak-wajar dan mengurangi proses diskriminasi terhadap mereka yang
kurang-kuasa /the powerless), dan
dengan pendekatan yang lebih manusiawi pada pelanggar hukum pemula/first offenders (mengurangi “labeling” yang menimbulkan krisis jati-diri dan “secondary deviance”).
Bagi saya mashab Kritikal ini dasarnya
adalah “teori-teori proses sosial” (social process theories) yang mengajarkan
bahwa kriminalitas adalah fungsi dari interaksi manusia dengan berbagai
organisasi, lembaga dan proses-proses dalam masyarakat (Edwin Sutherland-Donald
Cressey;Walter Reckless, Howard Becker, Edwin Schur – tahun 1940-an sampai 1970-an).
Yang selanjutnya terus berkembang melalui “teori-teori konflik”(social
conflict theories).
Teori-
teori Konflik Sosial
Teori-teori dalam kelompok ini melihat
kejahatan sebagai fungsi dari konflik-konflik yang ada dalam masyarakat.Teori- teori
ini lebih menekankan pada proses sosial dalam konteks sosial-ekonomi, dan
melihat antara lain pada peranan pemerintah menciptakan lingkungan yang “mendukung
penyimpangan social” (crimogenic
environment).peranan kelompok dominan membentuk hukum (pidana), dan bias dalam SPP.
Memang pada awalnya teori-teori ini
berakar pada pemikiran Karl Marx (tahun 1848 Manifesto Komunis), dan untuk
kriminologi ditafsirkan oleh Willem Bonger (Criminality
and Economic Conditions,1918 ), Ralf Dahrendorf (Class and Class Conflict in Industrial Society,1959 ), dan George
Vold (Theoretical Criminology,1958 ).Pada
waktu yang bersamaan berkembang kritik pedas dan keras terhadap Statistik Resmi
Kepolisian (official statistics).
Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa kejahatan ternyata lebih merata
terdistribusi dalam berbagai strata masyarakat. Hal ini bertentangan dengan statistik
resmi yang menggambarkan bahwa terdapat lebih banyak kejahatan dan pelakunya di
lingkungan kelas-bawah (lower-class)
dibandingkan dengan kejadian di linkungan kelas-menengah (middle-class). Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa terjadi
“diskriminasi” dalam penegakaan hukum terhadap kelompok-kelompok kelas-bawah.
Timbul pandangan “…the justice system as
a mechanism to control the lower class and maintain the status quo rather than
as the means of dispensing evenhanded justice.”
Dalam tahun 1971, William Chambliss
dan Robert Seidman menerbitkan karangan mereka yang terkenal juga di Indonesia “Law,Order and Power” Karangan ini
menjadi salah satu referensi utama dalam tulisan-tulisan alm.Prof.Satjipto
Rahardjo salah seorang pakar Sosiologi Hukum, dengan pemikirannya Teori
Progresif dalam ilmu hukum.Menurut Chambliss dan Seidman, a.l. a)Penguasaan
atas sistem politik dan ekonomi akan mempengaruhi bagaimana peradilan pidana
dilaksanakan: b)Definisi tentang kejahatan akan dipengaruhi secara menguntungkan
oleh mereka yang menguasai sistem peradilan; c)Peranan konflik dalam masyarakat
kontemporer perlu dianalisa.Pemikiran ini didukung pula oleh John Braithwaite,1986,
dalam karangannya “Retributivism,Punishment,and
Privilege”. Yang menggambarkan bagaimana peradilan pidana sering tidak
adil.Mereka yang seharusnya lebih banyak/keras dihukum (penjahat kerah-putih
yang kaya-raya yang merugikan masyarakat berjuta-juta dolar), ternyata dihukum
paling sedikit/ringan.Sebaliknya mereka yang melakukan kejahatan relatif ringan
(pencuri, karena terdesak keperluan ekonomi) mendapat hukuman yang keras/berat.
Dalam masa ini, kampus-kampus
dipengaruhi juga oleh kejadian-kejadian besar di dunia, seperti Perang Vietnam
dan Perjuangan Hak-hak Warga Negara (civil
liberties) dan terbitlah berbagai tulisan yang menentang kekuasan mapan (the establishment). Tulisan-tulisan yang
kemudian juga terkenal di Indonesia adalah Richard Quinney ,1970,”The Social Reality of Crime”; Ian
Taylor,Paul Walton, & Jock Young, 1973, “The New Criminology” ; Anthony Platt, Paul Tagaki, Herman &
Julia Schwendinger, yang mengembangkan Radical (Marxist) Criminology di Universitas
California – Berkeley (program kriminologi di Berkeley kemudian ditutup penguasa).
Post-modern
Criminology timbul dalam
suasana seperti dgambarkan di atas. Siegel
menjelaskannya sebagai berikut (276):
“A number of radical thinkers,referred
to as postmodernist, have
embraced semiotics (using langgage elements as signs or symbols
beyond their literal meaning) and deconstuctionist analysis as a
method of understanding all human
relations,including criminal
behavior. … Postmodernist assert that
there are different languages
and ways of knowing. Those in power can
use their own language to
define crime and law while excluding or
dismissing those who oppose
their control(like prisoners and the
poor).This … is the source of
conflict in society”
Saya tidak bermaksud memasuki ranah
Kriminologi P-M, saya hanya ingin menjelaskan bahwa inti dari berbagai cabang teori
konflik adalah pandangan: bahwa konflik sosial adalah penyebab kejahatan.Andaikata
konflik sosial dapat diredusir, angka kriminalitas dapat berkurang.Usaha untuk
meredusir konflik sosial ini adalah antara lain dengan pendekatan “restorative justice” (keadilan
restorative-RJ).Dikatakan pendekatan ini menekankan pada “non- punitive strategies to prevent and control crime”.
Keadilan
Restoratif
Zulfa memandang keadilan restoratif
(selanjutnya RJ) sebagai suatu filosofi pemidanaan. Dan sebagai falsafah ini,
penerapan RJ dilakukan dengan membingkainya pada berbagai kebijakan,gagasan
program dan penanganan perkara pidana.Semuanya ini diharapkan menimbulkan hasil
proses yang menciptakan keadilan bagi Pelaku, Korban maupun Masyarakat dan
menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi oleh Sistem Peradilan Pidana saat
ini
Apabila ditanyakan apa permasalahan
SPP saat ini, maka jawabannya harus dicari dalam diskusi kita sebelumnya, yaitu
kritik-kritik yang diajukan terhadap SPP. Zulfa menggambarkan hubungan antara
RJ dengan SPP sebagai tiga kemungkinan: a)Bagian dari SPP, b)Di luar SPP, dan
c)Berdampingan dengan SPP. Dalam konteks seperti ini, meskipun falsafah SPP
dipertanyakan (misalnya antara ultimum
remedium dengan primum
remedium), namun SPP tetap diakui dan dipertahankan.
RJ umumnya juga didekati dengan
pandangan viktimologi, dalam arti bahwa dalam SPP, korban dan orang yang
selamat (survivor) sering sekali
terlupakan atau terabaikan.Karena itu di Amerika Serikat dkembangkan pemikiran perlunya dalam putusan hakim
dipertimbangkan “victim-impact statements”
yang menggambarkan kerugian dan penderitaan yang dialami korban akibat
kejahatan tersebut.Dalam pandangan seperti ini, maka sering dikatakan bahwa RJ
bertujuan “restore the health of the
community,repair the harm done, meet vitim’s needs and require the offender to
contribute to those repairs”
Namun dalam pemikiran John
Braithwaite,2003,”Principles of
Restorative Justice”, maka RJ adalah “… about
struggling against injustice in the most restorative way we can manage … it
targets injustice reduction…” Untuk itu maka suatu RJ program harus melalui
“a restorative process test” maupun
suatu “restorative value test” (yang
terahir ini dibaginya dalam “constraining
values, maximizing values and emergent values” ).Dalam mengembangkan
nilai-nilai ini Braithwaite mengingatkan agar melalui empirical research
ditemukan “bottom-up generation of
restorative justice values”. Dia juga mengharapkan agar terjadi “a radical redesign of legal institutions
whereby the justice of the people will more meaningfully bubble up into the
justice of the law,and the justice of the law will more legitimately filter
down to place limits on the justice of the people”
Pendapat yang “cukup radikal” tersebut,
mungkin dapat lebih dipahami dengan mengambil pikiran Siegel (277) yang mencoba
membawa RJ dalam konteks teori-teori konflik sosial sebagai berikut :
1)Crime is fundamentally a violation of people
and interpersonal relationships.
a.Victims and the community have been harmed
and need restoration.
b.Victims, offenders, and the affected
communities are the key stakeholders.The
state must investigate crime and ensure safety, but it is not the center of the
justice process.Victims are the key …
2)Violations create obligations and
liabilities
a.Offenders
have the obligation to make things right as much as possible.They must
understand the harm they have caused.
b.The
community’s obligations are to victims, to offenders, and to the general
welfare of its members. This includes the obligation to re-integrate offenders back
into the community …
3)Restorative Justice seeks to heal
and put right the wrongs.
a.Victims” needs are the focal concern of the
justice process.
b.The exchange of information between victim
and offender should be encourage; when possible (in) face-to-face meetings …
c.Offenders” needs and competencies need to be
addressed …
d.The
justice process belongs to the community; members are encouraged “to do
justice”.The justice process should be sensitive to community needs and
geared toward preventing similar harm in the future…
e.Justice is mindful of the outcomes, intended and unintended,… The least
restrictive intervention should be used, and overt social control should be
avoided.
Pemikiran-pemikiran Braithwaite dan
Siegel di atas dapat ditambah lagi dengan tulisan-tulisan serupa, a.l. dari Margarita
Zernova,2007, “Restorative Justice –
Ideals and Realities”, dan dari Lorraine Wolhuter, Neil Olley dan David
Denham, 2009, Victimology-Victimisation
and ,Victims’Rights, “Chapter 12-Victims and restorative justice”
(bahan-bahan ini disampaikan oleh Panitia kepada saya, tetapi belum dapat saya
ulas dalam tulisan ini).
Sebagai penutup saya ingin kembali ke Disertasi Dr Zulfa. Kesimpulan dari
Disertasi ini adalah antara lain :
1) Kehadiran RJ dalam hukum pidana
jangan dianggap sebagai mengabolisi hukum pidana, tetapi sebaiknya harus
dilihat sebagai mengembalikan fungsi hukum pidana pada jalurnya semula, yaitu
pada fungsi ultimum remedium.
2) Pendekatan RJ dapat dipakai sebagai
bingkaidalam proses penanganan perkara pidana di semua tahapan SPP dan terhadap
berbagai tindak pidana.Tetapi ditemukan pula penerapan penyelesaian perkara
pidana di luar SPP. Dalam hal ini beberapa Negara ( Papua Nugini, Samoa Barat,
Bangladesh dan Peru ) memberikan peluang kepada pengadilan adapt menyelesaikan
perkara pidana, tanpa melibatkan komponen SPP.
3) Di Indonesia, realita di lapangan
membuktikan bahwa penyelesaian di luar SPP memang dilakukan, a.l. untuk
kasus-kasus (ada 21 kasus yang dibahas dalam disertasi ) : kecelakaan lalu
lintas, pencurian, perkosaan, penganiayaan, dan pencemaran nama baik. Dalam
kasus- kasus temuan ini penyelesaian konflik dilakukan oleh anggota masyarakat
sendiri atau ada pula dengan melibatkan petugas penegak hukum atau ada pula oleh lembaga adat.
4) Pendekatan RJ sangat mungkin diterapkan
di Indonesia, dalam berbagai jenis tindak pidana yang bsfatnya umum, tetapi bukan merupakan tindak pidana yang sifatnya
: a) Pelaku dan Korban tidak jelas; b)Delik Politik, c)Mengancam masyarakat
secara luas.
*Makalah ini telah disampaikan di
Departemen Kriminologi FISIP-UI, 2 Juni 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar