Pengantar
“Ikhtiar
menjalani, takdir menyudahi”, inilah peribahasa yang
dapat menggambarkan situasi organisasi advokat sebagai “wadah tunggal”(single
bar association) di Indonesia dewasa ini. Tetapi observasi ini bukanlah
“fatalisme” (menyerah pada nasib), dan saya juga tidak mau disebut sebagai
“pesimistis” (sikap ragu) akan adanya “single bar association”.
Saya
mengambil sikap bahwa dalam setiap konflik, kita harus dapat mencari hikmah
(manfaat) nya. Manfaat dari situasi ini adalah pemahaman kita bahwa proses
“reformasi di bidang hukum”, khususnya di bidang “pelayanan hukum” (legal
services), memang tidak dapat dipaksakan dan menuntut ketekunan dan
kesabaran.
Lintasan
sejarah
Rangkuman
perjalanan panjang menuju cita-cita wadah-tunggal organisasi advokat Indonesia
dapat dilihat dalam email dari “Perhimpunan-Advokat-Indonesia @
yahoogroups.com”, tanggal 3 Juni 2008, yang mengirim kembali berita dari “www.hukumonline.com”
tanggal 7 April 2005 tentang “Deklarasi Peradi: Pendakian Menuju ‘Satu’
Wadah”. Dalam berita tersebut dimuat suatu tabel berjudul “Organisasi advokat
Indonesia dalam lintasan sejarah”. Dimulai 14 Maret 1963 dengan peristiwa
Seminar Hukum Nasional[1]
di mana didirikan Persatuan Advokat Indonesia (PAI) dengan Ketuanya Mr. Loekman
Wiriadinata. Dan tabel ini diakhiri dengan peristiwa 7 April 2005 (42 tahun
kemudian!) berupa “Peluncuran Resmi Peradi”.
Euforia
yang timbul tiga tahun yang lalu (2005), sekarang disikapi dengan rasa sedih,
lesu, ataupun telah menimbulkan depresi. Hal ini terutama terjadi pada mereka
yang melihat dan mengalami sejarah panjang tersebut, yang dengan agak puitis
digambarkan dalam berita di atas (2005):
“Perjalanan
advokat Indonesia dalam membentuk satu wadah organisasi advokat sungguh terjal
dan mendaki. Sejarah mencatat, bersatunya para advokat selalu diikuti dengan
perpecahan. ... kami merangkum perjalanan panjang pergulatan menuju satu wadah
organisasi advokat Indonesia [Penulis: maksudnya Tabel yang saya sebut
diatas]. Semoga para advokat dapat bercermin dan beranjak ke arah yang lebih
baik dari pahit-manisnya pendakian keras nan melelahkan”.[2]
Prognosis
yang terkandung dalam berita di atas (tiga tahun yang lalu), sekarang telah
menjadi kenyataan!
Manfaat
suatu organisasi profesi advokat
Saya
teringat diskusi yang terjadi lebih dari 25 tahun yang lalu (tahun 1980/1981).
Peristiwa yang memicu diskusi ini di Fakultas Hukum Universitas Indonesia
adalah “kasus Pluit” yang merupakan kasus “korupsi besar” dengan tuduhan “mafia
peradilan”. Untuk memberi perspektif sejarah, advokat-advokat yang “angkat
bicara” waktu itu antara lain Yap Thiam Hien, SH dan Tasrif, SH. Sedangkan
Dekan FHUI adalah Prof. Padmo Wahyono, SH. Waktu itu Menteri Kehakiman adalah
Moedjono, SH, Jaksa Agung Ali Said, SH dan Ketua Mahkamah Agung Prof. Oemar
Seno Adji, SH.
Dalam
diskusi antara lain diajukan pertanyaan yang menyangkut “kode etik profesi
advokat”. Pertanyaannya (seingat saya) kurang lebih “apakah untuk dapat
melaksanakan kode etik profesi advokat diperlukan (dahulu) undang-undang
tentang advokat (di Indonesia)?” Bukankah sudah ada kode etik profesi advokat
(dari Peradin?) dan bukankah profesi dokter juga telah dapat menerapkan sanksi
atas pelanggaran kode etiknya tanpa memerlukan suatu undang-undang yang khusus
mengatur profesi dokter? Jawabnya (seingat saya) sederhana: dalam profesi
dokter hanya ada satu organisasi profesi yang diberikan legitimasi untuk
menegakkan aturan-aturan perilaku dokter. Sanksi yang diberikan oleh dewan
kehormatan profesi dokter terhadap seorang dokter yang melanggar aturan
perilaku dokter sebagai seorang profesional, dihormati dan ditaati negara
(dalam hal ini departemen kesehatan) yang memberikan ijin praktek dokter
sebagai seorang profesional.[3]
Kalau
melihat pada “Tabel: Organisasi advokat dalam lintasan sejarah”, maka waktu itu
terdapat “gesekan” antara Peradin dengan pemerintah dan terbentuklah Himpunan
Penasehat Hukum Indonesia (HPHI) dan Lembaga Pelayanan dan Penyuluhan Hukum
(LPPH). Dan pada masa sekitar itu, diprakarsai pula pembentukan Ikatan Advokat
Indonesia (IKADIN) sebagai wadah tunggal advokat.[4]
IKADIN terbentuk tahun 1985, namun pecah lagi tahun 1990 dengan dibentuknya AAI
(Asosiasi Advokat Indonesia), sementara itu juga sudah terbentuk Ikatan
Penasehat Hukum Indonesia (IPHI-1987), dan Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia
(AKHI-1988).
Mengapa
perlu secara singkat kita menelusuri kembali timbulnya organisasi-organisasi
advokat ini? Justru inilah perbedaannya dengan organisasi profesi dokter, yang
hanya ada satu (Ikatan Dokter Indonesia-IDI) sejak tahun 1980. Karena banyaknya
organisasi profesi advokat, maka sulitlah menerapkan sanksi bagi seorang
advokat yang melanggar kode etik perilaku profesi advokat. Sampai disini
kesimpulannya adalah: bahwa perlunya organisasi profesi advokat adalah untuk
dapat menegakkan kode etik profesi yang intinya memuat dan mengatur: “...
kewajiban para anggota (organisasi) profesi advokat terhadap masyarakat,
pengadilan, sejawat profesi dan para kliennya”.[5]
Kegagalan
profesi advokat melawan “mafia peradilan” yang sudah disinyalir lebih dari 25
tahun yang lalu, adalah karena tidak dapat ditegakkannya kode etik profesi
advokat.
Kalau
pun kita mau menerima kesimpulan ini, maka dengan merujuk kembali pada
organisasi di profesi dokter, masih tersisa dua pertanyaan: (a) perlukah ada
undang-undang yang melegitimasi organisasi profesi advokat bersangkutan? Dan
(b) perlukah hanya ada satu organisasi profesi advokat yang mendapat legitimasi
menegakkan kode etik profesi advokat?
Untuk
saya, undang-undang yang secara khusus memberi legitimasi pada profesi advokat
penting, karena melalui undang-undang itu sanksi disiplin yang dijatuhkan Dewan
Kehormatan organisasi profesi advokat (tertentu, bila ada lebih dari satu
organisasi) dihormati dan ditaati oleh negara (dalam hal ini khususnya
lembaga-lembaga kekuasaan kehakiman menurut UUD, dan pemerintah pada umumnya).
Kembali
menurut saya, adanya suatu wadah tunggal (single bar association) tidaklah
mutlak, selama masing-masing organisasi profesi advokat mempunyai Dewan
Kehormatannya, yang beriktikad baik menegakkan kewajiban para anggota
organisasi profesi advokat bersangkutan, terhadap masyarakat, pengadilan, sejawat
profesi dan kliennya. Pertanyaan turutan adalah apa perlu satu Kode etik
Advokat, seperti yang ada sekarang, yaitu KEAI dan diprakarsai bersama oleh
Komite Kerja Advokat Indonesia, KKAI, yang dibentuk oleh IKADIN, AAI, IPHI,
HAPI, SPI, AKHI dan HKHPM)?[6]
Kesimpulan
saya sampai disini: Para anggota profesi advokat wajib berhimpun dalam satu
atau lebih organisasi profesi advokat (bar association), yang
masing-masing atau bersama-sama mempunyai kode etik advokat, yang ditegakkan
oleh satu atau lebih Dewan Kehormatan, dan kesemuanya itu mendapat legitimasi
dari Negara, dalam arti dihormati dan ditaati karena dinyatakan demikian dalam
suatu undang-undang profesi advokat.[7]
Manfaat
peran serta Negara
Memang
ada pihak-pihak dalam komunitas hukum, khususnya komunitas profesi advokat di
Indonesia, yang berpendapat bahwa sebenarnya tidak diperlukan
undang-undang tentang advokat (dalam hal ini UU No.18/2003). Bagi saya
undang-undang ini merupakan kemajuan advokat Indonesia. Negara-negara tetangga
kita sudah lama punya peraturan untuk advokat di negara masing-masing, seperti:
Malaysia (Legal Profession Act, 1976), Filipina (Supreme Court
Revised Rules of Conduct, 1986), Singapore (Legal Profession
[Amandement] Act, No. 41 of 1993) dan Thailand (Advocate Act BE2526 of
1985). Jadi mengapa para advokat harus takut terjadinya “intervensi” Negara
(baca: Pemerintah) terhadap profesi advokat? Penafsiran saya tentang UU 18/2003
adalah, bahwa undang-undang ini justru melegitimasi organisasi profesi advokat
mengatur dirinya sendiri (self regulating).
Dengan
kesimpulan saya diatas, di mana saya tidak “ingin memaksakan” untuk adanya
wadah tunggal organisasi profesi advokat Indonesia, maka saya mengantisipasi
pertanyaan: “apa faedahnya suatu komunitas advokat yang punya “multi bar
association”? Bagaimana dapat dihindari apa yang dikenal sebagai perilaku
advokat “nakal” yang pindah-pindah organisasi profesi advokat, bila kena sanksi
disiplin (perilaku “bajing loncat”)?
Untuk
menjawab pertanyaan di atas saya ingin merujuk ke penelitian yang dilakukan
Binziad Kadafi dkk,[8] pada halaman 423 dan
seterusnya. Dalam Rekomendasi Umumnya (h. 433 dan seterusnya) diajukan tiga
alternatif bar association (single ; federal ; dan multi).
Responden memilih (h.435): Single bar: 51,7 % - Federasi: 29,0 % - dan Multi
bar: 13,8 %. Kenyataan yang kita hadapi sekarang adalah alternatif “single
bar” maupun “federasi” mengarah kepada kegagalan! Dikatakan oleh para
peneliti: “... jika organisasi advokat dipandang memiliki fungsi utama ...
jaminan dan perlindungan kepentingan publik ... umumnya lebih mudah dicapai
melalui suatu wadah tunggal”. Dikatakan pula “... praktis tidak ada lagi
signifikansi ... mempertahankan argumentasi sistem lain, seperti multi-bar atau
federasi” (h.435-436).
Dua
bulan yang lalu saya masih dapat menerima kesimpulan penelitian yang dibuat
tahun 2001 (tujuh tahun yang lalu), namun sekarang kita harus dapat
“menyelamatkan” apa adanya. Solusinya tidak mudah, namun seperti telah dikutip
di atas yang harus diutamakan adalah “kepentingan publik”.
Saya
ingin menafsirkan “kepentingan publik” ini sebagai “kewajiban advokat kepada
masyarakat” (yang harus dibedakan, meskipun tidak dapat dipisahkan dari
kewajiban advokat terhadap pengadilan, sejawat profesi, dan para kliennya).[9]
Kewajiban advokat kepada masyarakat adalah: (a) menjaga agar mereka yang
menjadi anggota profesi advokat
selalu harus mempunyai integritas melaksanakan profesi terhormat
itu, serta (b) oleh karena itu bersedia menyingkirkan mereka yang terbukti
tidak layak menjalankan profesi terhormat ini.
Dengan
memakai logika serupa dalam kutipan kesimpulan peneliti dalam tahun 2001, saya
ingin menyatakan bahwa, jika organisasi advokat dipandang memiliki kedua
kewajiban kepada masyarakat tersebut di atas (a dan b), dan dengan memperhatikan
“kondisi obyektif” sekarang ini, maka kesimpulan saya: kedua kewajiban
kepada masyarakat tersebut, harus dapat dicapai (sementara) dengan melalui
wadah “multi-bar association” (sebagai sasaran-antara).
Penutup
Kesimpulan
dengan logika di atas, memang bukanlah solusi ideal, dan juga masih menyisakan
berbagai pertanyaan, seperti antara lain bagaimana dalam sistem “multi-bar
association” dapat dilakukan “koreksi” terhadap perilaku advokat yang
“nakal”, tanpa ada kemungkinan timbul perilaku “bajing loncat”. Sebagai saran
(sementara) adalah mengajak peran serta negara melalui kekuasaan yudisial
Mahkamah Agung dan kekuasaan eksekutif Kementerian Hukum dan HAM, serta (bila
perlu) juga Kejaksaan Agung. Dibentuklah suatu Badan Pengawas Profesi Hukum (BPPH)
yang bertugas sebagai lembaga banding terakhir (final), bilamana masih ada
“sengketa” mengenai penerapan sanksi disiplin oleh suatu organisasi profesi
advokat terhadap anggotanya yang melanggar etika profesi maupun standar kerja
advokat.[10] Ini memang tidak mudah,
namun bukankah kita lebih baik mencari solusi ke depan (forward looking) daripada
menangisi masa lalu (backward looking)?
*Makalah ini telah disampaikan
dalam Diskusi Terbatas yang diselenggarakan oleh hukumonline.com di Jakarta,
18 Juni 2008.
[1] Menurut ingatan saya yang pertama, dan dilangsungkan di
Jakarta/Universitas Indonesia, Kampus Salemba.
[2]
Perhimpunan-Advokat-Indonesia @ yahoogroups.com
[3] Saya teringat kasus dokter
Gunawan (?) yang mengobati Bapak Adam Malik, dan (dalam media massa) disebut sebagai “terkun” atau
“dokter-dukun”.
[4] Pada tahun 1981 ini pula,
disahkan UU Acara Pidana oleh DPR, dengan Menteri Kehakiman Moedjono, SH dan
Ketua MA Prof. Seno Adjie.
[5] Lihat, Mardjono Reksodiputro, 2005, “Etika Profesi
Menjunjung Kehormatan Advokat”, disampaikan pada acara Peringatan Ulang
Tahun AAI ke-15 (28 Juli).
[6] Lihat Tabel tersebut
di atas, dan juga Hadi Herdiansyah, Irma Hidayana, Asep Saefullah (Editor),
2004, Kode Etik Advokat Indonesia, Langkah Menuju Penegakan, Rekaman Proses
Workshop, diterbitkan oleh PSHK.
[7] Lihat juga Binziad
Kadafi (Koordinator) dan kawan-kawan, 2001, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi. Studi
Tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, diterbitkan oleh PSHK.
[8] Advokat Indonesia
Mencari Legitimasi, 2001.
[9] Lihat, Mardjono Reksodiputro, op.cit.
[10] Saran serupa pernah
diajukan dalam rekomendasi di buku Reformasi Hukum di Indonesia, yang
diterbitkan oleh Cyberconsult tahun 1999 (Suatu survai yang dilakukan bersama
oleh Kantor Hukum ABNR dan Kantor Hukum MKK atas prakarsa Bappenas dan Bank
Dunia).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar