Senin, 09 Desember 2013

Apakah komunitas advokat Indonesia ditakdirkan mempunyai “multi- bar association”?*



Pengantar

“Ikhtiar menjalani, takdir menyudahi”, inilah peribahasa yang dapat menggambarkan situasi organisasi advokat sebagai “wadah tunggal”(single bar association) di Indonesia dewasa ini. Tetapi observasi ini bukanlah “fatalisme” (menyerah pada nasib), dan saya juga tidak mau disebut sebagai “pesimistis” (sikap ragu) akan adanya “single bar association”.

Saya mengambil sikap bahwa dalam setiap konflik, kita harus dapat mencari hikmah (manfaat) nya. Manfaat dari situasi ini adalah pemahaman kita bahwa proses “reformasi di bidang hukum”, khususnya di bidang “pelayanan hukum” (legal services), memang tidak dapat dipaksakan dan menuntut ketekunan dan kesabaran.


Lintasan sejarah

Rangkuman perjalanan panjang menuju cita-cita wadah-tunggal organisasi advokat Indonesia dapat dilihat dalam email dari “Perhimpunan-Advokat-Indonesia @ yahoogroups.com”, tanggal 3 Juni 2008, yang mengirim kembali berita dari “www.hukumonline.com” tanggal 7 April 2005 tentang “Deklarasi Peradi: Pendakian Menuju ‘Satu’ Wadah”. Dalam berita tersebut dimuat suatu tabel berjudul “Organisasi advokat Indonesia dalam lintasan sejarah”. Dimulai 14 Maret 1963 dengan peristiwa Seminar Hukum Nasional[1] di mana didirikan Persatuan Advokat Indonesia (PAI) dengan Ketuanya Mr. Loekman Wiriadinata. Dan tabel ini diakhiri dengan peristiwa 7 April 2005 (42 tahun kemudian!) berupa “Peluncuran Resmi Peradi”.

Euforia yang timbul tiga tahun yang lalu (2005), sekarang disikapi dengan rasa sedih, lesu, ataupun telah menimbulkan depresi. Hal ini terutama terjadi pada mereka yang melihat dan mengalami sejarah panjang tersebut, yang dengan agak puitis digambarkan dalam berita di atas (2005):

“Perjalanan advokat Indonesia dalam membentuk satu wadah organisasi advokat sungguh terjal dan mendaki. Sejarah mencatat, bersatunya para advokat selalu diikuti dengan perpecahan. ... kami merangkum perjalanan panjang pergulatan menuju satu wadah organisasi advokat Indonesia [Penulis: maksudnya Tabel yang saya sebut diatas]. Semoga para advokat dapat bercermin dan beranjak ke arah yang lebih baik dari pahit-manisnya pendakian keras nan melelahkan”.[2]

Prognosis yang terkandung dalam berita di atas (tiga tahun yang lalu), sekarang telah menjadi kenyataan!


Manfaat suatu organisasi profesi advokat

Saya teringat diskusi yang terjadi lebih dari 25 tahun yang lalu (tahun 1980/1981). Peristiwa yang memicu diskusi ini di Fakultas Hukum Universitas Indonesia adalah “kasus Pluit” yang merupakan kasus “korupsi besar” dengan tuduhan “mafia peradilan”. Untuk memberi perspektif sejarah, advokat-advokat yang “angkat bicara” waktu itu antara lain Yap Thiam Hien, SH dan Tasrif, SH. Sedangkan Dekan FHUI adalah Prof. Padmo Wahyono, SH. Waktu itu Menteri Kehakiman adalah Moedjono, SH, Jaksa Agung Ali Said, SH dan Ketua Mahkamah Agung Prof. Oemar Seno Adji, SH.

Dalam diskusi antara lain diajukan pertanyaan yang menyangkut “kode etik profesi advokat”. Pertanyaannya (seingat saya) kurang lebih “apakah untuk dapat melaksanakan kode etik profesi advokat diperlukan (dahulu) undang-undang tentang advokat (di Indonesia)?” Bukankah sudah ada kode etik profesi advokat (dari Peradin?) dan bukankah profesi dokter juga telah dapat menerapkan sanksi atas pelanggaran kode etiknya tanpa memerlukan suatu undang-undang yang khusus mengatur profesi dokter? Jawabnya (seingat saya) sederhana: dalam profesi dokter hanya ada satu organisasi profesi yang diberikan legitimasi untuk menegakkan aturan-aturan perilaku dokter. Sanksi yang diberikan oleh dewan kehormatan profesi dokter terhadap seorang dokter yang melanggar aturan perilaku dokter sebagai seorang profesional, dihormati dan ditaati negara (dalam hal ini departemen kesehatan) yang memberikan ijin praktek dokter sebagai seorang profesional.[3]

Kalau melihat pada “Tabel: Organisasi advokat dalam lintasan sejarah”, maka waktu itu terdapat “gesekan” antara Peradin dengan pemerintah dan terbentuklah Himpunan Penasehat Hukum Indonesia (HPHI) dan Lembaga Pelayanan dan Penyuluhan Hukum (LPPH). Dan pada masa sekitar itu, diprakarsai pula pembentukan Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) sebagai wadah tunggal advokat.[4] IKADIN terbentuk tahun 1985, namun pecah lagi tahun 1990 dengan dibentuknya AAI (Asosiasi Advokat Indonesia), sementara itu juga sudah terbentuk Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI-1987), dan Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI-1988).

Mengapa perlu secara singkat kita menelusuri kembali timbulnya organisasi-organisasi advokat ini? Justru inilah perbedaannya dengan organisasi profesi dokter, yang hanya ada satu (Ikatan Dokter Indonesia-IDI) sejak tahun 1980. Karena banyaknya organisasi profesi advokat, maka sulitlah menerapkan sanksi bagi seorang advokat yang melanggar kode etik perilaku profesi advokat. Sampai disini kesimpulannya adalah: bahwa perlunya organisasi profesi advokat adalah untuk dapat menegakkan kode etik profesi yang intinya memuat dan mengatur: “... kewajiban para anggota (organisasi) profesi advokat terhadap masyarakat, pengadilan, sejawat profesi dan para kliennya”.[5]

Kegagalan profesi advokat melawan “mafia peradilan” yang sudah disinyalir lebih dari 25 tahun yang lalu, adalah karena tidak dapat ditegakkannya kode etik profesi advokat.

Kalau pun kita mau menerima kesimpulan ini, maka dengan merujuk kembali pada organisasi di profesi dokter, masih tersisa dua pertanyaan: (a) perlukah ada undang-undang yang melegitimasi organisasi profesi advokat bersangkutan? Dan (b) perlukah hanya ada satu organisasi profesi advokat yang mendapat legitimasi menegakkan kode etik profesi advokat?

Untuk saya, undang-undang yang secara khusus memberi legitimasi pada profesi advokat penting, karena melalui undang-undang itu sanksi disiplin yang dijatuhkan Dewan Kehormatan organisasi profesi advokat (tertentu, bila ada lebih dari satu organisasi) dihormati dan ditaati oleh negara (dalam hal ini khususnya lembaga-lembaga kekuasaan kehakiman menurut UUD, dan pemerintah pada umumnya).

Kembali menurut saya, adanya suatu wadah tunggal (single bar association) tidaklah mutlak, selama masing-masing organisasi profesi advokat mempunyai Dewan Kehormatannya, yang beriktikad baik menegakkan kewajiban para anggota organisasi profesi advokat bersangkutan, terhadap masyarakat, pengadilan, sejawat profesi dan kliennya. Pertanyaan turutan adalah apa perlu satu Kode etik Advokat, seperti yang ada sekarang, yaitu KEAI dan diprakarsai bersama oleh Komite Kerja Advokat Indonesia, KKAI, yang dibentuk oleh IKADIN, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI dan HKHPM)?[6]

Kesimpulan saya sampai disini: Para anggota profesi advokat wajib berhimpun dalam satu atau lebih organisasi profesi advokat (bar association), yang masing-masing atau bersama-sama mempunyai kode etik advokat, yang ditegakkan oleh satu atau lebih Dewan Kehormatan, dan kesemuanya itu mendapat legitimasi dari Negara, dalam arti dihormati dan ditaati karena dinyatakan demikian dalam suatu undang-undang profesi advokat.[7]


Manfaat peran serta Negara

Memang ada pihak-pihak dalam komunitas hukum, khususnya komunitas profesi advokat di Indonesia, yang berpendapat bahwa sebenarnya tidak diperlukan undang-undang tentang advokat (dalam hal ini UU No.18/2003). Bagi saya undang-undang ini merupakan kemajuan advokat Indonesia. Negara-negara tetangga kita sudah lama punya peraturan untuk advokat di negara masing-masing, seperti: Malaysia (Legal Profession Act, 1976), Filipina (Supreme Court Revised Rules of Conduct, 1986), Singapore (Legal Profession [Amandement] Act, No. 41 of 1993) dan Thailand (Advocate Act BE2526 of 1985). Jadi mengapa para advokat harus takut terjadinya “intervensi” Negara (baca: Pemerintah) terhadap profesi advokat? Penafsiran saya tentang UU 18/2003 adalah, bahwa undang-undang ini justru melegitimasi organisasi profesi advokat mengatur dirinya sendiri (self regulating).

Dengan kesimpulan saya diatas, di mana saya tidak “ingin memaksakan” untuk adanya wadah tunggal organisasi profesi advokat Indonesia, maka saya mengantisipasi pertanyaan: “apa faedahnya suatu komunitas advokat yang punya “multi bar association”? Bagaimana dapat dihindari apa yang dikenal sebagai perilaku advokat “nakal” yang pindah-pindah organisasi profesi advokat, bila kena sanksi disiplin (perilaku “bajing loncat”)?

Untuk menjawab pertanyaan di atas saya ingin merujuk ke penelitian yang dilakukan Binziad Kadafi dkk,[8] pada halaman 423 dan seterusnya. Dalam Rekomendasi Umumnya (h. 433 dan seterusnya) diajukan tiga alternatif bar association (single ; federal ; dan multi). Responden memilih (h.435): Single bar: 51,7 % - Federasi: 29,0 % - dan Multi bar: 13,8 %. Kenyataan yang kita hadapi sekarang adalah alternatif “single bar” maupun “federasi” mengarah kepada kegagalan! Dikatakan oleh para peneliti: “... jika organisasi advokat dipandang memiliki fungsi utama ... jaminan dan perlindungan kepentingan publik ... umumnya lebih mudah dicapai melalui suatu wadah tunggal”. Dikatakan pula “... praktis tidak ada lagi signifikansi ... mempertahankan argumentasi sistem lain, seperti multi-bar atau federasi” (h.435-436).

Dua bulan yang lalu saya masih dapat menerima kesimpulan penelitian yang dibuat tahun 2001 (tujuh tahun yang lalu), namun sekarang kita harus dapat “menyelamatkan” apa adanya. Solusinya tidak mudah, namun seperti telah dikutip di atas yang harus diutamakan adalah “kepentingan publik”.

Saya ingin menafsirkan “kepentingan publik” ini sebagai “kewajiban advokat kepada masyarakat” (yang harus dibedakan, meskipun tidak dapat dipisahkan dari kewajiban advokat terhadap pengadilan, sejawat profesi, dan para kliennya).[9] Kewajiban advokat kepada masyarakat adalah: (a) menjaga agar mereka yang menjadi anggota profesi advokat  selalu harus mempunyai integritas melaksanakan profesi terhormat itu, serta (b) oleh karena itu bersedia menyingkirkan mereka yang terbukti tidak layak menjalankan profesi terhormat ini.

Dengan memakai logika serupa dalam kutipan kesimpulan peneliti dalam tahun 2001, saya ingin menyatakan bahwa, jika organisasi advokat dipandang memiliki kedua kewajiban kepada masyarakat tersebut di atas (a dan b), dan dengan memperhatikan “kondisi obyektif” sekarang ini, maka kesimpulan saya: kedua kewajiban kepada masyarakat tersebut, harus dapat dicapai (sementara) dengan melalui wadah “multi-bar association” (sebagai sasaran-antara).


Penutup

Kesimpulan dengan logika di atas, memang bukanlah solusi ideal, dan juga masih menyisakan berbagai pertanyaan, seperti antara lain bagaimana dalam sistem “multi-bar association” dapat dilakukan “koreksi” terhadap perilaku advokat yang “nakal”, tanpa ada kemungkinan timbul perilaku “bajing loncat”. Sebagai saran (sementara) adalah mengajak peran serta negara melalui kekuasaan yudisial Mahkamah Agung dan kekuasaan eksekutif Kementerian Hukum dan HAM, serta (bila perlu) juga Kejaksaan Agung. Dibentuklah suatu Badan Pengawas Profesi Hukum (BPPH) yang bertugas sebagai lembaga banding terakhir (final), bilamana masih ada “sengketa” mengenai penerapan sanksi disiplin oleh suatu organisasi profesi advokat terhadap anggotanya yang melanggar etika profesi maupun standar kerja advokat.[10] Ini memang tidak mudah, namun bukankah kita lebih baik mencari solusi ke depan (forward looking) daripada menangisi masa lalu (backward looking)?  


*Makalah ini telah disampaikan dalam Diskusi Terbatas yang  diselenggarakan oleh hukumonline.com di  Jakarta, 18 Juni 2008.



[1] Menurut ingatan saya yang pertama, dan dilangsungkan di Jakarta/Universitas Indonesia, Kampus Salemba.


[2] Perhimpunan-Advokat-Indonesia @ yahoogroups.com


[3] Saya teringat kasus dokter Gunawan (?) yang mengobati Bapak Adam Malik, dan (dalam media massa) disebut sebagai “terkun” atau “dokter-dukun”.


[4] Pada tahun 1981 ini pula, disahkan UU Acara Pidana oleh DPR, dengan Menteri Kehakiman Moedjono, SH dan Ketua MA Prof. Seno Adjie.


[5] Lihat, Mardjono Reksodiputro, 2005, “Etika Profesi Menjunjung Kehormatan Advokat”, disampaikan pada acara Peringatan Ulang Tahun AAI ke-15 (28 Juli). 


[6] Lihat Tabel tersebut di atas, dan juga Hadi Herdiansyah, Irma Hidayana, Asep Saefullah (Editor), 2004, Kode Etik Advokat Indonesia, Langkah Menuju Penegakan, Rekaman Proses Workshop, diterbitkan oleh PSHK.


[7] Lihat juga Binziad Kadafi (Koordinator) dan kawan-kawan, 2001, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi. Studi Tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, diterbitkan oleh PSHK. 


[8] Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, 2001.


[9] Lihat, Mardjono Reksodiputro, op.cit.



[10] Saran serupa pernah diajukan dalam rekomendasi di buku Reformasi Hukum di Indonesia, yang diterbitkan oleh Cyberconsult tahun 1999 (Suatu survai yang dilakukan bersama oleh Kantor Hukum ABNR dan Kantor Hukum MKK atas prakarsa Bappenas dan Bank Dunia).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar