Senin, 09 Desember 2013

Penyitaan dan Perampasan Aset Dalam Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang*



Pengantar
Saya tidak mengikuti perkembangan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana,[1]' yang sepanjang pengetahuan saya sudah didiskusikan konsep rancangannya lebih dari satu tahun (mulai awal tahun 2008?). Dari Rancangan yang saya peroleh, terlihat pula sudah diselenggarakan diskusi dengan ahli-ahli asing yang mempunyai pengalaman dalam menyusun peraturan perundang-undangan serupa di negara mereka masing-rnasing.[2] Karena itu, uraian di bawah ini sebaiknya hanya dilihat sebagai sumbangan pemikiran untuk memicu diskusi.

Saya memang membedakan antara "penyitaan" dan "perampasan". Penyitaan (seperti didefinisikan dalam KUHAP UU no. 8/1981 dalam Pasal 1 no. 16) adalah dari istilah Belanda "beslag ", yaitu "rnengambil dan menahan barang oleh alat negara dengan persetujuan atau menurut keputusan pengadilan". Menyita (beslag leggen) adalah tindakan sementara, menunggu keputusan selanjutnya dari pengadilan.

Sedangkan perampasan (disebut sebagai pidana tambahan dalarn KUHAP/WvS Indonesia 1918 dalam Pasal l0b no.2) adalah dari istilah Belanda "verbeuren" (verbeurdverklaring - Pernyataan dirampas). Merampas adalah pidana yang ditujukan pada benda dan tagihan milik terpidana, untuk diambil alih menjadi milik negara tanpa ada kompensasi.

Penyitaan dan/atau Perampasan?
Konsep rancangan UU ini hanya memakai istilah "Perampasan", tetapi diskusi ini memakai sebagai judul kedua "istilah hukum" tersebut, namun dalam Pasal 1 tidak dijelaskan pengertian "penyitaan" ini (sebaiknya diambil alih definisi dalam KUHAP) dan rupanya yang dimaksud dengan penyitaan adalah "pernblokiran" (Pasal 1 Konsep jo Pasal 8) atau sebaliknya "pemblokiran" adalah spesies dari genus "penyitaan"? Sebagai suatu "konsep atau istilah hukum saya tidak mengenal kata "pernblokiran' ini.

Kalau boleh saya menduga, kembali istilah ini berasal dari istilah Belanda "blokkeren" yang dalarn bahasa Inggris berarti "to lock" (mengunci) dan/atau "to freeze" (membekukan). Kalau ini benar, maka "pemblokiran aset" berarti "rnembekukan aset tersebut, dalarn arti menariknya dari lalu-lintas ekonorni".

Kesirnpulan: Tampilkan definisi "Penyitaan" (sesuai KUHAP) sebagai genus, dengan definisi "Pemblokiran", sebagai species dengan pengertian "menariknya dari lalu-lintas ekonomi" (to take it out from economic transactions).

Mengapa Konsep ini juga perlu mengatur penyitaan?[3] Menurut saya karena dua alasan:
a)      karena menurut logika dalarn praktek sistem (proses) peradilan pidana, umumnya dilakukan dahulu "penyitaan" (dengan atau tanpa perlu putusan pengadilan), baru kemudian dilakukan "perampasan' sebagai pidana; dan
b)     karena syarat-syarat "penyitaan" (yang bersifat sernentara) untuk keperluan proses pembuktian di pengadilan, relatif lebih lunak, dibandingkan dengan "perarnpasan' (yang bersifat permanen, memindahkan hak milik atau mengambil alih hak untuk negara), dan menurut hukum Indonesia (saat ini) adalah suatu bentuk pemidanaan.

Kesimpulan: Kalau pendapat ini dapat dibenarkan, maka sebaiknya "logika ini tercermin dalam sistematik penyusunan. Mengapa Pasal 2, 3 dan 4 sudah dimulai dengan "perampasan" Aset, dan baru nanti dalam Pasal 8 kita diperkenalkan dengan "pemblokiran" Aset? Sebaiknya dibuat sistematika sesuai urutan yang mungkin terjadi dalam praktek: Penelusuran- Penyitaan/Pemblokiran dan kemudian Perampasan (yang dipisahkan pula dalam hal Aset bcrada di dalam negeri dan aset berada di luar negeri). Baru kemudian di uraikan tentang Pembagian Kewenangan dan Pembagian Hasil Antar Lembaga (baik lembaga yang sudah ada, maupun lembaga yang baru- Pasal 21 dst-nya?)

Perampasan Aset
Tujuan utama dari Konsep RUU Perampasan Tindakan Pidana ini adalah (ha1. 3 TOR Panitia), " ... menyusun ketentuan ... perampasan aset tanpa pemidanaan ... yang dikenal dengan istilah non-conviction based (NCB) asset forfeiture. Sebagaimana dalam Pengantar telah dijelaskan untuk hukum Indonesia, maka istilah hukum "Perampasan' adalah salah satu jenis pidana menurut KUHP WvS Indonesia. Dan "pidana' (Belanda "strain) baru sah secara hukum melalui putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan tetap (in kracht van gewijsde).

Apa yang menjadi tujuan utama Konsep adalah "NCB Aset Forfeiture". NCB atau non-conviction based berarti belum/tidak/tanpa ada "conviction". Istilah (hukum) "conviction" (menurut saya) berarti "pernyataan bersalah" (dari seseorang terdakwa, oleh pengadilan). Bila hal ini diterima, maka "NCB Aset Forfeiture" berarti: "perampasan (,,= forfeiture) tanpa ada pernyataan bersalah dari terdakwa oleh pengadilan, dan bukan berarti " ... pengaturan baru ... pengembal ian aset hasil tindak pidana tanpa putusan pengadilan ... ".[4] ini adalah keliru (menurut saya!), harusnya "tanpa (dalam arti belum ada) pernyataan bersalah seorang terdakwa dalam suatu proses pengadilan pidana".

Kesimpulan: Kalau disetujui pendapat saya di atas, rnaka konsep ini harus jelas menekankan adanya suatu proses pidana terhadap seorang terdakwa, namun sebelum ada putusan bersalah (baik dalam tahap Pengadilan Ncgeri, maupun sebelum ada putusan yang berkekuatan tetap/"in kracht" diminta putusan (putusan sela?) untuk merampas aset yang bersangkutan. Jadi dalam pengertian saya "NCB Aset Forfeiture" tetap harus selalu didasarkan pada putusan pengadilan (meskipun terdakwanya belum dinyatakan bersalah). Ini adalah untuk menghindari pernyataan dalam TOR (hal 3):
"Dengan mekanise ini terbuka kesempatan yang luas untuk merarnpas segala aset yang diduga merupakan hasil pidana (proceeds of crimes) dan aset-aset lain yang patut diduga akan digunakan atau telah digunakan sebagai sarana (instrumentalities) untuk melakukan tindak pidana”[5]

Beberapa pendapat ahli dari luar negeri
Uraian dalam bagian ini hanya didasarkan pada hasil Diskusi Publik KHN dan sebuah buku yang diterbitkan oleh Basel Institute on Governance, International Centre for Asset Recovery (2008).[6] Dalam Laporan KHN disarankan agar Pemerintah Indonesia "mernbenahi' sistem hukum pidana kita (struktur, substansi dan budaya) agar mendapat legitimasi telah melaksanakan dalarn praktek "due process of law", agar putusan pengadilan ataupun putusan aparat hukum Indonesia dihormati dan sedapat mungkin diakui oleh pengadilan luar negeri. Ini tentunya dalam rangka Indonesia menjadi "requesting state" (negara yang rnenjadi korban dan meminta pengembalian aset tindak pidana) yang harus berhadapan dengan pengadilan di "requested state" (negara tempat aset yang akan diminta Indonesia. Selanjutnya dapat disebut "Negara Korban" (Indonesia) dan "Negara Ternpat Aset".

Untuk menggambarkan (sedikit) pendapat sarjana-sarjana asing tentang perampasan aset di bawah Konvensi PBB tentang Pemberantasan Korupsi (UNCAC) 2003, maka saya ingin mengutip beberapa pernyataan dalarn buku rujukan saya di atas.
Bernard Bertossa (Federal criminal judge Geneva, 2003-sekarang; 1990-2002 Chief public prosecutor) (h.24-25):
"The main difficulties linked to the situation of the requesting state (negara korban) ... pertain to the political situation. The cooperation required (dari Negara Tempat Aset) ... first of all that the requesting authorities are criminal justice authorities ... with a competence to impose sanctions (Pengadilan?). (and) ... are worthy of confidence, according to the criteria applicable in the requested state (Negara Tempat Aset). That confidence is often called into question when Rule of law principles are not abserved by the requesting state (Negara Korban) ... "
[Kesulitan utama terkait dengan situasi Negara korban ... adalah sehubungan situasi politik. Kerjasarna yang dibutuhkan (dari Negara Ternpat Aset) ... pertama-tama adalah bahwa otoritas yang rneminta adalah otoritas dari sistem peradilan pidana ... dengan kewenangan mernberikan sanksi. (dan) ... bernilai untuk dipercaya menurut kriterium yang berlaku di Negara Tempat Aset. Kepercayaan itu sering dipertanyakan apabila asas-asas Rule of law tidak dihormati oleh Negara Korban]

Kesimpulan: Konsep RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana, harus memperhatikan asas-asas internasional tentang Rule of law, khususnya dalam hal prosedur hukum yang tidak sewenang-wenang terhadap seorang terdakwa dan asetnya.

Willie Hofmeyr (One of the deputy heads of the National Prosecuting Authority of South Africa and heads the Asset Forfeiture Unit) (h. 135-137)  menyatakan:
"There are broadly two types of confiscation used internationally to recover the proceeds of corruption ... : criminal confiscation and civil forfeiture. Criminal confiscation depends on a criminal trial ... if a conviction can be obtained, it is ... possible to forfeit all property that can be found. Civil forfeiture is independent of a criminal trial and has clear advantages when it is not possible to convict the prepetration, because the evidence is not strong enough, or for other reasons. An incoming number of states have both types of confiscation. In addition, civil law jurisdiction have their own systems .[7]
[Secara umum terdapat dua jenis perampasan yang dipergunakan secara internasional untuk memperoleh kernbali hasil korupsi ... perampasan menurut hukum pidana dan perampasan menurut hukum perdata. Perampasan menurut hukum pidana tergantung pada suatu persidangan pidana '" apabila dapat diperoleh keputusan bersalahnya terdakwa (dari pengadilan), maka ... dimungkinkan untuk merampas semua aset yang diketemukan. Perampasan menurut hukum perdata tidak tergantung pada suatu persidangan pidana dan mempunyai keuntungan yang jelas apabila tidak dimungkinkan menyatakan bersalahnya pelaku, karena bukti-buktinya tidak cukup kuat, atau karena sebab-sebab lain. Makin banyak negara-negara mempunyai kedua bentuk perampasan ini. Sebagai tambahan, negara-negara dengan sistem hukum sipil mempunyai sistemnya sendiri]
Selanjutnya khusus mengenai civil forfeiture (yang terdapat di Amerika Serikat, United Kingdom, Italy, Australia, Canada dan Afrika Selatan):
"Civil forfeiture is a powerful weapon against crime and corruption, in particularly in cases where the proceeds of overseas corruption end up in another state. It allows the state to take the assets of criminals, through a civil action against the property,[8] without the need to obtain a conviction ... in civil forfeiture it is necessary to prove that the property or assets are tainted or "dirty" - that it is either the proceeds of crime, or "instrumentalities" used to commit crime ".
[Perampasan menurut hukum perdata adalah senjata
yang sangat kuat terhadap kejahatan dan korupsi, khususnya dalam kasus-kasus dimana hasil korupsi (luar negeri) ditempatkan di negara yang lain. Bentuk perampasan ini memungkinkan negara untuk mengambil aset milik pelanggar hukum pidana (penjahat) melalui suatu gugatan perdata terhadap asetnya, tanpa memerlukan adanya keputusan bersalah (secara hukum pidana) ... dalam perampasan menurut hukum perdata adalah perlu mernbuktikan bahwa aset bersangkutan "tercernar' atau "kotor" - bahwa aset itu adalah hasil kejahatan, atau "sarana" untuk melakukan kejahatan.]

Kesimpulan: Apa yang dimaksudkan dengan "perampasan aset tindak pidana" (Pasal 1, sub 1 dan 5) dalam Konsep RUU adalah "sama" (serupa?) dengan "civil forfeiture" di negara dengan sistem "common law" (Anglo-American), dan rupanya tidak/kurang dikenal dalam negara dengan sistem "civil law" (Continental Europe). Karena itu sistem perampasan model "civil forfeiture" ini dengan yang dikenal sebagai proses "in rem" (in rem proceedings) adalah untuk meneruskan suatu proses pidana, meskipun pelaku kejahatan tidak dapat dituntut (karena wafat, gila atau lari) Harap diperhatikan bahwa dalam sistem hukum "common law" (Anglo-American) tidak dikenal penuntutan terhadap terdakwa "in absentia" (dalam hukum Anglo-Saxon: "criminal proceedings cannot be conducted in the absence of the defendant"; hal ini antara lain didasarkan pada pemikiran bahwa dalam "adversary system" harus ada "battle" antara Terdakwa dengan JPU).

Penutup
Sebagaimana dikutip oleh Mark Pieth dari tulisan Ruhu Ribadu (Chairman of the Economic and Financial Crime Commission in Nigeria): "making a case for the recovery of the proceeds of crime and corruption seems so obvious, the obstacles are still formidable". [argumentasi yang membenarkan (kita) mengejar kembali hasil kejahatan dan korupsi kelihatan begitu wajar, (tetapi) rintangannya masih sangat berat] Hambatan-hambatan inilah yang perlu dipikirkan dengan cara sempurna pemecahannya, agar kita memang dapat mempunyai undang-undang perampasan aset tindak pidana yang benar-benar efektif dan dihormati negara-negara tempat aset dan tentu saja "offshore financial centres", di mana aset tindak pidana inl disembunyikan.
 
*Makalah ini telah disampaikan dalam Focus Group Discussion - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Jakarta, 21 Juli 2009.


[1] Konsep RUU ini baru saya peroleh dari Panitia, Jum'at 17 Juli 2009, belurn dapat saya pelajari sepenuhnya,
[2] Dari Arnerika Serikat, Perancis, Colombia, Swiss, Inggris dan ahli dari StAR Initiative World Bank lihat juga TOR Panitia, hal. 3).
[3] Lihat Pasal 8 di mana Penyidik dan Penuniut Umum dapat melakukan penyitaan/pemblokiran
Aset Tindak Pidana.
[4] Lihat hal. 3 TOR Panitia (baris ke-18 dst-nya dari bawah).
[5] Mekanisme ini adalah keliru dan kalirnat ini menimbulkan tafsiran tidak mengindahkan "rule of law" dan "due process of law" Apa yang dimaksud dengan "kesempatan luas merampas segala aset"? Perlu perhatian bahwa aset tindak pidana dalam kasus korupsi tidak sama dengan "narkotika" (barang terlarang) atau "rnobil curian' yang mudah diidentifikasi. Kita berhadapan dengan Liang (bank account), surat berharga, dan "property" (barang tidak bergerak), dll.
[6] Mark Pieth (Ed) (Basel Institute .on Governance), 2008, Recovering Stolen Assets, New York: Peter Lang.
[7] Untuk civil law jurisdiction (mungkin) dapat dipergunakan sebagai pedornan, Wetboek van strafrecht Belanda, yaitu Pasal 9 b (3) dan Pasal 33, 33a, 33b, 33c, 34, 35 (2), 36a, 36b, 36c, 36d, 36e dan 36f Pasal-pasal ini memang pemidanaan dan tindakan (measures) tetapi dapat dijadikan contoh rnerumuskan ketentuan perampasan (forfeiture)
[8] lni yang dinamakan 'forfeiture of the rights in rem pertaining to the objects (barang atau hak) which are subject to forfeiture "; dinarnakan juga "in rem criminal forfeiture ", sedangkan civil forfeiture adalah "private action in criminal courts"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar