Minggu, 24 November 2013

Kepemimpinan POLRI dalam Memantapkan Kepemimpinan Guna Akselerasi Strategi POLMAS dalam Rangka KAMDAGRI*


 

Pendahuluan

Dalam uraian tentang “Strategi Memantapkan Kepemimpinan Polri Menuju Kepemimpinan Yang Ideal” (Bab V Naskah Akademik Sespati ke-13 dan Sespim ke-45, 2007) antara lain diusulkan agar anggota Polri yang mencalonkan diri menjadi Pemimpin Polri “menjalani Uji Kepatutan dan Kelayakan (Fit and Proper Test)” (hal. 49). Sungguh suatu saran yang simpatik, namun cukup radikal! Namun apa bahan yang akan di “test”?
Muladi pernah menulis tentang “Polisi dan Persepsi Keadilan” (2002) dan menyarankan agar polisi jangan hanya bersikap reaktif dengan tindakan “memperbaiki ketertiban” (authoritative intervention) dan tindakan “yang bersifat demonstratif untuk menunjukkan... bahwa ada tatanan hukum yang harus dihormati.” (symbolic justice). Disarankannya antara lain konsep pencegahan kejahatan “yang bersifat community based, yaitu meningkatkan kapasitas masyarakat... mengembangkan kontrol sosial yang bersifat informal” (hal. 274-275).

Dan terakhir saya ingin mengutip Kunarto (mantan Kapolri) yang dalam pengantarnya (Sekapur Sirih) terjemahan buku David H. Bayley (Police for the Future, 1994) mengatakan kesepakatannya dan menganjurkan agar polisi Indonesia juga mau belajar dari buku tersebut dan bersedia introspeksi.

Dengan ancang-ancang ketiga kutipan di atas, saya ingin sekedar memberi catatan terhadap judul makalah di atas, yang ditugaskan oleh Panitia kepada saya.

Polisi dan Masyarakat
Dalam Era Reformasi yang sudah berjalan sepuluh tahun (dan masih bergerak terus) ini, sebenarnya kepolisian mendapat kesempatan yang sangat baik untuk membantu dan mendorong terciptanya perubahan dalam tatanan masyarakat. Mengapa? Pembaharuan tatanan sosial dapat direkomendasikan oleh kepolisian karena polisi berada dalam posisi yang paling baik untuk memberikan komentar dan rekomendasi tentang aspirasi (kelompok-kelompok) dalam masyarakat. Posisi kepolisian yang dekat masyarakat (pos – sektor – resor) menyebabkannya mudah memahami masalah-masalah yang dialami suatu (kelompok) masyarakat dan apa yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut. Sejalan dengan pendapat Muladi, saya berpendapat bahwa Kepolisian sering sekali diidentikkan (dan mengambil posisi) hanya sebagai “criminal law enforcer” (penegak/pemaksa hukum pidana). Padahal citra yang ingin dibangun sekarang adalah Kepolisian juga sebagai “problem solver” (pemecah masalah/pencari solusi).

Polmas adalah dalam posisi kedua ini. Sayangnya prestasi kepolisian terlalu sering hanya (terutama) dikaitkan dengan pengendalian kejahatan (authoritative intervention dan symbolic justice) dan ini adalah “hard output” (hasil Kepolisian yang dapat dikuantifikasi). Padahal masih ada cara mengukur keberhasilan kepolisian melalui “soft output”. Polisi banyak pula menggunakan waktu kerjanya untuk meronda (patroling), memberi reaksi atas laporan yang masuk, memberi bantuan kepada korban, memberikan penyuluhan, penerangan dan bimbingan dalam usaha mencegah kejahatan.

Disini polisi dilihat sebagai “problem solver” dan Polmas akan “meningkatkan kapasitas masyarakat” dan “mengembangkan kontrol sosial yang bersifat informal”. Pendekatan yang diutamakan disini adalah “peace making model” dengan falsafah bahwa “individuals can contribute to the solution to problems by handling their personal lives diferently”. Melalui strategi Polmas, diharapkan pimpinan dan calon – pimpinan Polri dapat dengan (lebih) mudah memahami masalah dan keperluan masyarakat di mana pimpinan Polri itu bekerja. Lebih mementingkan “soft output” sebagai penunjukan prestasi, seperti: hilangnya “fear of crime” dan timbulnya kepercayaan kepada kepolisian sebagai “problem solver”. Dalam “fit and proper test” calon-calon pimpinan Polri, pemahamannya tentang keterkaitan konsep dan strategi Polmas dengan konsep “problem solver” dan konsep “soft output” inilah yang layak ditanyakan kepada mereka. Juga bagaimana mereka akan dapat membantu dan mendorong terciptanya perubahan dalam tatanan masyarakat Indonesia.

Polisi Sebagai Pengayom
Saya sering mengatakan bahwa polisi mempunyai dua wajah, yang “angker” (tidak tersenyum) sebagai “crime fighter” dan yang “tersenyum” serta siap membantu dan melayani warga masyarakat sebagai “pengayom”. Dalam masyarakat yang teratur (dan stabil secara politik), warga dapat mengharapkan hidup dengan rasa aman (tanpa “fear of crime”) dan akan berpaling kepada polisi untuk memberikan perlindungan dan pelayanan. Tugas polisi di sini adalah menjaga dan mempertahankan ketertiban (order main tenance) serta kedamaian (peace keeping). Kedua tugas polisi ini adalah utama dalam Polmas, agar dalam keadaan tertib dan damai itu warga dapat mengantisipasi keadaan, merasa aman dan dapat melakukan prediksi dalam kegiatannya (terutama penting untuk kegiatan bisnis).

Warga berpaling kepada polisi untuk meminta bantuan “mengatasi situasi” (mulai dari “kesasar-jalan”, korban kecelakaan, sampai korban tindak pidana). Polisi diharapkan dapat “memecahkan masalah”. Warga masyarakat lebih cenderung berpaling kepada polisi sebagai “pengayom” dengan wajah “tersenyum” ini, ketimbang berurusan dengan polisi sebagai “crime fighter” yang bermuka “angker” ini. Ini adalah bagian dari sikap “mendua” (ambivalent) masyarakat menghadapi polisi.

Namun sebaliknya, “postur polisi” yang diciptakan pendidikan polisi dan kebudayaan kerja polisi, lebih ke wajah “angker” ini, sebagai “crime  fighter”. Selama postur polisi seperti ini yang diidealkan oleh kepolisian, maka “hard output” (hasil kerja bagian reserse) adalah yang utama, dan kurang perhatian akan diberikan kepada “soft output” (hasil kerja dalam rangka Polmas). Dilema ini akan dihadapi oleh pimpinan dan calon-pimpinan Polri yang ingin menerapkan Polmas dan ingin mentransformasikannya menjadi pula komitmen kelembagaan di mana pimpinan Polri itu bekerja. Bagaimana “kontrak kerja” akan merumuskan evaluasi terhadap keberhasilan atau kegagalan menghasilkan “soft output dalam program-program kerja Polmas? (tentang kontrak kerja , lihat hal. 50-51 Naskah Akademik Seminar Nasional).

Sistem Pencegahan Kejahatan Secara Nasional
Sistem Pencegahan Nasional ini (National Crime Prevention System) disarankan dalam Rekomendasi (hal. 67 Naskah Akademik). Tidak begitu jelas apa yang akan menjadi struktur sistem ini. Juga kurang jelas bagaimana kedudukan Polmas (dikatakan menjadi bagian) dalam Sistem Nasional ini. Namun jelas bahwa Sistem ini mempunyai dampaknya pada pemimpin dan calon-pemimpin Polri yang akan datang.

Dalam berbagai bahan pustaka mengenai pemolisian dikemukakan akan terjadinya perubahan “struktur pemolisian” dimasing-masing negara maupun secara global. Bayley dalam tahun 1994 sudah menyarankan suatu “Cetak Biru Untuk Masa Depan” Kepolisian dan dalam tahun 2001 kembali bicara tentang “Struktur Baru Pemolisian”. Yang menjadi perhatian Bayley antara lain adalah bahwa perlahan tapi jelas pemerintah akan (telah) kehilangan monopoli atas pemolisian. Masalahnya bukan saja “privatisasi” pemolisian, tapi juga “kaburnya batas antara yang publik dan privat”, serta bahwa pemolisian akan melampaui batasan antar-lembaga. Dia menyebutnya sebagai “multilateralization”.

Transformasi dalam pemolisian berkaitan erat dengan perkembangan demokrasi (diberbagai negara, termasuk Indonesia). transformasi ini berakibat perlunya “restrukturisasi” dalam pemolisian, khususnya merujuk pada suatu proses “transferring the construction of security to non-governmental groups”. Hal ini menurut Bayley tidak saja terjadi dalam batas-batas negara, tetapi juga “being developed vigourously at international levels”. Perkembangan ini terlihat antara lain pada pemolisian yang dilakukan oleh private multinational corporations, terjadinya kerjasama transnasional diantara lembaga-lembaga penegakan hukum (yang mungkin memerlukan tata-kelola dalam tingkat transnasional), dan bahwa pemolisian oleh lembaga-lembaga internasional seperti PBB dan Uni Eropa menimbulkan keperluan adanya “pengawasan supranasional” terhadap keamanan. Pemolisian masa depan akan memerlukan restrukturisasi yang dipengaruhi oleh dua kekuatan: “multilateralization within countries” dan “supranationalization among countries” (Bayley and Shearing, 2001). Pemahaman dan perhatian tentang apa yang (mungkin) terjadi dalam Millennium ini memerlukan pemimpin dan calon-pemimpin (kaderisasi) Kepolisian, yang saya namakan “perwira polisi intelektual”. Konsep pendidikan anggota Polri, Akademi Kepolisian, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, dan Program Kajian Ilmu Kepolisian (Magister dan Doktor) perlu disinkronkan agar siap menghadapi tantangan perubahan-perubahan yang diperlukan Polri. Uji kepatutan dan kelayakan mencari pemimpin Polri perlu menanyakan pemikiran calon tentang sinkronisasi pendidikan ini, menghadapi tantangan abad ke 21!
                       
*Tulisan ini telah disampaikan dalam Seminar Nasional Sekolah Staf dan Pimpinan Polri (Sespati ke-13 dan Sespim ke-45) Jakarta, 22 November 2007.

Daftar Pustaka
1.   Bayley, David H. (1998) Polisi Masa Depan, disadur dari Police For the Future (1994) oleh Drs. Kunarto dkk, Cipta Manunggal, Jakarta
2.   Bayley David H. and Clifford D. Shearing (2001) “the New Structure of Policing”, National Institute of Justice, Washington
3.   GFN-SSR (2005) “Compendium of Good Practices on Security Sector Reform” (internet)
4.   Morgan Rod and Tim Newburn (1997) The Future of Policing, Clarendon Press-Oxford
5.   Muladi (2002) Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta
6.   Mardjono Reksodiputro:
(a)        “Polisi dan Masyarakat Dalam Era Reformasi Sebagai Alat Penegak Hukum”
(b)       “Undang-undang Kepolisian: Siapa Takut?”
(c)        “Ilmu Kepolisian dan Perkembangannya di Indonesia”, Jurnal Polisi Indonesia 7, Juli 2005
(d)       “Masih Adakah Harapan Untuk Reformasi di Bidang Hukum”, dalam Arief T.Surowidjojo (Editor) Pembaharuan Hukum: Kumpulan Pemikiran Alumni FHUI, Jakarta, 2004
7.   Naskah Akademik, Seminar Nasional Sekolah Staf dan Pimpinan Polri (Sespati ke-13 dan Sespim ke-45), Jakarta, 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar