Pendahuluan
Dalam uraian tentang “Strategi Memantapkan Kepemimpinan
Polri Menuju Kepemimpinan Yang Ideal” (Bab V Naskah Akademik Sespati ke-13 dan
Sespim ke-45, 2007) antara lain diusulkan agar anggota Polri yang mencalonkan
diri menjadi Pemimpin Polri “menjalani Uji Kepatutan dan Kelayakan (Fit and
Proper Test)” (hal. 49). Sungguh suatu saran yang simpatik, namun cukup
radikal! Namun apa bahan yang akan di “test”?
Muladi pernah menulis tentang “Polisi dan Persepsi
Keadilan” (2002) dan menyarankan agar polisi jangan hanya bersikap reaktif
dengan tindakan “memperbaiki ketertiban” (authoritative intervention) dan
tindakan “yang bersifat demonstratif untuk menunjukkan... bahwa ada tatanan
hukum yang harus dihormati.” (symbolic justice). Disarankannya antara
lain konsep pencegahan kejahatan “yang bersifat community based, yaitu
meningkatkan kapasitas masyarakat... mengembangkan kontrol sosial yang bersifat
informal” (hal. 274-275).
Dan terakhir saya ingin mengutip Kunarto (mantan Kapolri)
yang dalam pengantarnya (Sekapur Sirih) terjemahan buku David H. Bayley (Police
for the Future, 1994) mengatakan kesepakatannya dan menganjurkan agar
polisi Indonesia juga mau belajar dari buku tersebut dan bersedia introspeksi.
Dengan ancang-ancang ketiga kutipan di atas, saya ingin
sekedar memberi catatan terhadap judul makalah di atas, yang ditugaskan oleh
Panitia kepada saya.
Polisi dan Masyarakat
Dalam Era Reformasi yang sudah berjalan sepuluh tahun
(dan masih bergerak terus) ini, sebenarnya kepolisian mendapat kesempatan yang
sangat baik untuk membantu dan mendorong terciptanya perubahan dalam tatanan
masyarakat. Mengapa? Pembaharuan tatanan sosial dapat direkomendasikan oleh kepolisian
karena polisi berada dalam posisi yang paling baik untuk memberikan komentar
dan rekomendasi tentang aspirasi (kelompok-kelompok) dalam masyarakat. Posisi
kepolisian yang dekat masyarakat (pos – sektor – resor) menyebabkannya mudah
memahami masalah-masalah yang dialami suatu (kelompok) masyarakat dan apa yang
diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut. Sejalan dengan pendapat Muladi,
saya berpendapat bahwa Kepolisian sering sekali diidentikkan (dan mengambil
posisi) hanya sebagai “criminal law enforcer” (penegak/pemaksa
hukum pidana). Padahal
citra yang ingin dibangun sekarang adalah Kepolisian juga sebagai “problem
solver” (pemecah masalah/pencari solusi).
Polmas
adalah dalam posisi kedua ini. Sayangnya prestasi kepolisian terlalu sering
hanya (terutama) dikaitkan dengan pengendalian kejahatan (authoritative
intervention dan symbolic justice) dan ini adalah “hard output” (hasil
Kepolisian yang dapat dikuantifikasi). Padahal masih ada cara mengukur
keberhasilan kepolisian melalui “soft output”. Polisi banyak pula
menggunakan waktu kerjanya untuk meronda (patroling), memberi reaksi
atas laporan yang masuk, memberi bantuan kepada korban, memberikan penyuluhan,
penerangan dan bimbingan dalam usaha mencegah kejahatan.
Disini polisi dilihat sebagai “problem solver” dan
Polmas akan “meningkatkan kapasitas masyarakat” dan “mengembangkan kontrol
sosial yang bersifat informal”. Pendekatan yang diutamakan disini adalah “peace making
model” dengan falsafah bahwa “individuals can contribute to the solution
to problems by handling their personal lives diferently”. Melalui strategi
Polmas, diharapkan pimpinan dan calon – pimpinan Polri dapat dengan (lebih)
mudah memahami masalah dan keperluan masyarakat di mana pimpinan Polri itu
bekerja. Lebih mementingkan “soft output” sebagai penunjukan prestasi,
seperti: hilangnya “fear of crime” dan timbulnya kepercayaan kepada
kepolisian sebagai “problem solver”. Dalam “fit and proper test” calon-calon
pimpinan Polri, pemahamannya tentang keterkaitan konsep dan strategi Polmas
dengan konsep “problem solver” dan konsep “soft output” inilah
yang layak ditanyakan kepada mereka. Juga bagaimana mereka akan dapat membantu
dan mendorong terciptanya perubahan dalam tatanan masyarakat Indonesia.
Polisi
Sebagai Pengayom
Saya
sering mengatakan bahwa polisi mempunyai dua wajah, yang “angker” (tidak
tersenyum) sebagai “crime fighter” dan yang “tersenyum” serta siap
membantu dan melayani warga masyarakat sebagai “pengayom”. Dalam masyarakat
yang teratur (dan stabil secara politik), warga dapat mengharapkan hidup dengan
rasa aman (tanpa “fear of crime”) dan akan berpaling kepada polisi untuk
memberikan perlindungan dan pelayanan. Tugas polisi di sini adalah menjaga dan
mempertahankan ketertiban (order main tenance) serta kedamaian (peace
keeping). Kedua tugas polisi ini adalah utama dalam Polmas, agar dalam
keadaan tertib dan damai itu warga dapat mengantisipasi keadaan, merasa aman
dan dapat melakukan prediksi dalam kegiatannya (terutama penting untuk kegiatan
bisnis).
Warga
berpaling kepada polisi untuk meminta bantuan “mengatasi situasi” (mulai dari
“kesasar-jalan”, korban kecelakaan, sampai korban tindak pidana). Polisi
diharapkan dapat “memecahkan masalah”. Warga masyarakat lebih cenderung
berpaling kepada polisi sebagai “pengayom” dengan wajah “tersenyum” ini,
ketimbang berurusan dengan polisi sebagai “crime fighter” yang bermuka
“angker” ini. Ini adalah bagian dari sikap “mendua” (ambivalent) masyarakat
menghadapi polisi.
Namun
sebaliknya, “postur polisi” yang diciptakan pendidikan polisi dan kebudayaan
kerja polisi, lebih ke wajah “angker” ini, sebagai “crime fighter”. Selama postur polisi seperti
ini yang diidealkan oleh kepolisian, maka “hard output” (hasil kerja
bagian reserse) adalah yang utama, dan kurang perhatian akan diberikan kepada “soft
output” (hasil kerja dalam rangka Polmas). Dilema ini akan dihadapi oleh
pimpinan dan calon-pimpinan Polri yang ingin menerapkan Polmas dan ingin
mentransformasikannya menjadi pula komitmen kelembagaan di mana pimpinan Polri
itu bekerja. Bagaimana “kontrak kerja” akan merumuskan evaluasi terhadap
keberhasilan atau kegagalan menghasilkan “soft output dalam
program-program kerja Polmas? (tentang kontrak kerja , lihat hal. 50-51 Naskah
Akademik Seminar Nasional).
Sistem
Pencegahan Kejahatan Secara Nasional
Sistem
Pencegahan Nasional ini (National Crime Prevention System) disarankan
dalam Rekomendasi (hal. 67 Naskah Akademik). Tidak begitu
jelas apa yang akan menjadi struktur sistem ini. Juga kurang jelas bagaimana
kedudukan Polmas (dikatakan menjadi bagian) dalam Sistem Nasional ini. Namun
jelas bahwa Sistem ini mempunyai dampaknya pada pemimpin dan calon-pemimpin
Polri yang akan datang.
Dalam berbagai bahan pustaka mengenai pemolisian
dikemukakan akan terjadinya perubahan “struktur pemolisian” dimasing-masing
negara maupun secara global. Bayley dalam tahun 1994 sudah menyarankan suatu
“Cetak Biru Untuk Masa Depan” Kepolisian dan dalam tahun 2001 kembali bicara
tentang “Struktur Baru Pemolisian”. Yang menjadi perhatian Bayley antara lain adalah bahwa
perlahan tapi jelas pemerintah akan (telah) kehilangan monopoli atas
pemolisian. Masalahnya bukan saja “privatisasi” pemolisian, tapi juga “kaburnya
batas antara yang publik dan privat”, serta bahwa pemolisian akan melampaui
batasan antar-lembaga. Dia menyebutnya sebagai “multilateralization”.
Transformasi
dalam pemolisian berkaitan erat dengan perkembangan demokrasi (diberbagai
negara, termasuk Indonesia). transformasi ini berakibat perlunya
“restrukturisasi” dalam pemolisian, khususnya merujuk pada suatu proses “transferring
the construction of security to non-governmental groups”. Hal ini menurut
Bayley tidak saja terjadi dalam batas-batas negara, tetapi juga “being
developed vigourously at international levels”. Perkembangan ini terlihat
antara lain pada pemolisian yang dilakukan oleh private multinational
corporations, terjadinya kerjasama transnasional diantara lembaga-lembaga
penegakan hukum (yang mungkin memerlukan tata-kelola dalam tingkat
transnasional), dan bahwa pemolisian oleh lembaga-lembaga internasional seperti
PBB dan Uni Eropa menimbulkan keperluan adanya “pengawasan supranasional”
terhadap keamanan. Pemolisian masa depan akan memerlukan restrukturisasi yang
dipengaruhi oleh dua kekuatan: “multilateralization within countries” dan
“supranationalization among countries” (Bayley and Shearing, 2001).
Pemahaman dan perhatian tentang apa yang (mungkin) terjadi dalam Millennium ini
memerlukan pemimpin dan calon-pemimpin (kaderisasi) Kepolisian, yang saya
namakan “perwira polisi intelektual”. Konsep pendidikan anggota Polri, Akademi
Kepolisian, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, dan Program Kajian Ilmu
Kepolisian (Magister dan Doktor) perlu disinkronkan agar siap menghadapi
tantangan perubahan-perubahan yang diperlukan Polri. Uji kepatutan dan
kelayakan mencari pemimpin Polri perlu menanyakan pemikiran calon tentang
sinkronisasi pendidikan ini, menghadapi tantangan abad ke 21!
*Tulisan ini telah disampaikan
dalam Seminar Nasional Sekolah
Staf dan Pimpinan Polri (Sespati
ke-13 dan Sespim ke-45) Jakarta,
22 November 2007.
Daftar Pustaka
1. Bayley,
David H. (1998) Polisi Masa Depan, disadur dari Police For the Future
(1994) oleh Drs. Kunarto dkk, Cipta Manunggal, Jakarta
2. Bayley
David H. and Clifford D. Shearing (2001) “the New Structure of Policing”,
National Institute of Justice, Washington
3. GFN-SSR
(2005) “Compendium of Good Practices on Security Sector Reform” (internet)
4. Morgan
Rod and Tim Newburn (1997) The Future of Policing, Clarendon
Press-Oxford
5. Muladi
(2002) Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The
Habibie Center, Jakarta
6. Mardjono
Reksodiputro:
(a)
“Polisi dan Masyarakat Dalam
Era Reformasi Sebagai Alat Penegak Hukum”
(b) “Undang-undang
Kepolisian: Siapa Takut?”
(c)
“Ilmu Kepolisian dan
Perkembangannya di Indonesia”, Jurnal Polisi Indonesia 7, Juli 2005
(d) “Masih
Adakah Harapan Untuk Reformasi di Bidang Hukum”, dalam Arief T.Surowidjojo
(Editor) Pembaharuan Hukum: Kumpulan Pemikiran Alumni FHUI, Jakarta,
2004
7. Naskah Akademik, Seminar Nasional Sekolah Staf dan
Pimpinan Polri (Sespati ke-13 dan Sespim ke-45), Jakarta, 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar