Minggu, 24 November 2013

Sekilas-Pintas Perkembangan Kriminologi, Sebagai Ilmu, Profesi, Aplikasi, Keahlian dan Kesarjanaan*



Lintas Sejarah
Masuknya kriminologi dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia adalah melalui kurikulum Fakultas Hukum (FH) dan kemudian pula melalui Lembaga Kriminologi (LK). Di FH pengajaran kriminologi dianggap sebagai ilmu pengetahuan bantuan (hulp wetenschap) untuk pendalaman ilmu hukum pidana. Sedangkan di LK pengertian kriminologi adalah dalam arti luas, mencakup kriminalistik dan ilmu-ilmu forensik. Sekurang-kurangnya dapat ditelusuri masuknya pengajaran kriminologi ini sejak tahun 1948.(1)

Pembukaan Jurusan Kriminologi (JK) di Universitas Indonesia di mulai ketika Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan menjadi FH dan FIPK.(2) Pendekatan kurikulum JK di FIPK adalah dekat dengan Jurusan Sosiologi.(3) Sedangkan matakuliah kriminologi di FH-UI juga mengambil pendekatan sosiologi (melalui bahan pustakanya, maupun metode penelitiannya). Pendekatan psikologi juga diakui, khususnya untuk studi-studi klinis (clinical criminology).

Pada bulan Oktober 1976 di antara pengajar-pengajar senior dari FH di UI, UNDIP dan UNAIR diadakan kesepakatan (tidak tertulis) untuk mengembangkan kriminologi dengan memberi tanggung jawab penyelenggaraan seminar-seminar berkala (sebagai forum diskusi hasil penelitian), kepada UNDIP tentang Kriminologi, UNAIR tentang Viktimologi dan UI tentang Pemasyarakatan Narapidana (Penologi).(4)

Kecuali di Fakultas Hukum serta di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di UI, maka kriminologi di Jakarta antara lain juga dikuliahkan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan di Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP).

Pengembangan perkuliahan di bidang kriminologi di berbagai negara di dunia pernah dilaporkan antara lain oleh UNESCO (Report on the Teaching of Criminology, 1963?) terutama untuk pendidikan di Eropa, Canada dan Amerika Serikat.(5)
 
“Ilmu” Kriminologi
Studi-studi awal kriminologi memang bermaksud menerangkan hubungan kausal antara berbagai faktor sosial, psikologis dan budaya dengan timbulnya kejahatan (pelanggaran norma perilaku bermasyarakat yang diberi sanksi pidana). Studi-studi ini dikenal dengan nama Etiologi Kriminal, dengan berbagai teori yang dikenal di Indonesia (tahun 1960-1980an) antara lain Moedikdo, Bonger, Sutherland, Merton, Sellin, Wolfgang, Ian Taylor, Jock Young, dan lain-lain.(6)

Dengan tujuan memahami “sebab” terjadinya kejahatan, maka kriminologi dianggap sebagai “ilmu-bantu” bagi ilmu hukum pidana (materiil dan formil). Sebagai “ilmu-bantu” menjawab permasalahan gejala kejahatan di dunia (the globalization of crime), maka batas-batasnya menjadi sangat “longgar” (dapat memasuki berbagai ilmu lain, seperti: ilmu hukum, ilmu ekonomi, sosiologi, antropologi, ilmu politik, psikologi, dsb-nya) dan karena itu terkenal ucapan “the Criminologist is a King without a Country” (van Bemmelen).(7)

Perkembangan teori-teori kriminologi yang semula mencari pemahaman tentang hubungan “segitiga” (basic triangle of relations): pelaku-negara-dan korban, sekarang telah berubah menjadi “hubungan segi-empat” (the square of crime): pelaku dan korban (sebagai aktor) serta negara dan masyarakat-madani (sebagai re-aktor).(8)

Terdapat juga perbedaan di antara berbagai negara, tentang penanggungjawab dalam pengembangan “ilmu” ini. Disebagian negara perkembangan dilakukan secara “akademik” oleh lembaga (-lembaga) universitas, tetapi dibeberapa negara lain pengembangan terutama dibebankan (misalnya dalam anggaran riset) pada lembaga   (-lembaga) eksekutif (pemerintah). Bagaimanapun, dalam pengelolaan “ilmu” ini, memang yang diharapkan adalah, adanya kerjasama optimal antara pembuat-kebijakan (policy maker) dengan para peneliti (dunia akademik). Contoh yang baik di Indonesia adalah di bidang “ilmu” ekonomi dan kedokteran, di mana kerjasama ini terlihat sangat jelas.(9)

Tentang “profesi” ahli kriminologi
Menghindari perdebatan tentang pengertian “profesi”, maka saya mencontohkan sebagai profesi adalah: dokter, advokat, akuntan dan apoteker. Dari sekian banyak syarat yang dijadikan pedoman, saya berpendapat bahwa untuk profesi yang utama adalah: a) pendidikan keahlian diperoleh di sebuah universitas (pendidikan tinggi), untuk membedakan dari “vokasi” (dapat hasil pendidikan akademi atau sekolah menengah); b) adanya kode etik dengan sanksi penegakan disiplin profesi yang efektif; c) tersedia majalah ilmiah yang menerbitkan tulisan-tulisan laporan riset maupun seminar dan lokakarya organisasi profesi; dan  d) ada organisasi profesi yang demokratis; serta e) diperkenalkan ke masyarakat sebagai profesi.

Dengan kriteria di atas, untuk saya profesi “ahli kriminologi” (dipergunakan istilah kriminolog) hanya berlaku untuk mereka yang melakukan pendidikan di universitas dan/atau yang melakukan riset di bidang kriminologi (dalam arti luas). Yang terakhir ini, baik melalui lembaga universitas maupun lembaga eksekutif, menuliskan laporannya dalam majalah profesi dan menaati etik kriminolog tentang hubungan dengan subyek (obyek) risetnya.

Saya akui bahwa pemahaman saya ini akan “membatasi” pengertian profesi bagi lulusan JK yang bekerja, misalnya di Kepolisian, Kejaksaan, Lembaga Pengadilan, maupun Lembaga (kantor) Pemasyarakatan. Boleh jadi mereka mem-“praktek”-kan pengetahuan kriminologi mereka, tetapi untuk saya mereka bukan “kriminolog”, selama mereka tidak bekerja di bidang pendidikan, atau tidak melakukan riset dan mempublikasikan hasil riset mereka.

Pengertian saya ini memang berbeda dengan contoh profesi yang saya berikan di atas. Perbedaan tersebut terletak pada kenyataan bahwa masyarakat memang sudah mengenal dokter, advokat, akuntan dan apoteker sebagai profesi (meskipun tidak melakukan riset), tetapi tidak mengenal kriminolog sebagai profesi dalam masyarakat.(10)


Tentang “aplikasi” pengetahuan kriminologi
Menurut pemahaman saya, pengetahuan kriminologi ini terutama ditujukan pada kemampuan aplikasinya untuk pembuatan “kebijakan kriminal” (criminal policy). Kebijakan ini ditujukan pada aspek “pencegahannya”, maupun pada aspek “penanggulangan” gejala kriminalitas dalam masyarakat.
Kriminalitas yang terjadi (dan meningkat) dalam masyarakat dipersepsikan sebagai (sangat) merugikan, dilihat dari aspek perlindungan atas jiwa, badan, kehormatan dan kesusilaan, maupun dilihat pada aspek harta benda (kekayaan). Dengan demikian pengetahuan kriminologi ini (dapat) bermanfaat untuk mengurangi atau membatasi kerugian yang dapat timbul dalam masyarakat sebagai akibat gejala kriminalitas.(11)

Secara umum, (mungkin) dapat dikatakan bahwa “aplikasi” ilmu pengetahuan ini adalah dalam membangun kerjasama saling bermanfaat antara peneliti-ilmiah (researcher) dengan pelaksana (policy maker) dalam bidang pencegahan kriminalitas. Yang terakhir ini membawa kita pada “sistem peradilan pidana” (criminal justice system) yang antara lain bertujuan: a) mencegah masyarakat menjadi korban dan membawa pelakunya ke pengadilan, b) berusaha agar pelaku tidak menjadi residivis, dan c) memberi kepuasan kepada “korban” (dapat individu, dapat pula kolektivitas) bahwa kasusnya dapat diselesaikan secara adil.

Disini kriminologi menjadi berdampingan dengan pengetahuan “criminal justice” yang mempelajari lembaga-lembaga (agencies) yang berada dalam sistem peradilan pidana.(12)


Tentang “keahlian”
Keahlian dapat dikaitkan dengan “profesi” (seperti telah diuraikan sebelumnya), tetapi juga sebagai suatu spesialisasi dalam pendidikan yang menimbulkan kepercayaan masyarakat tentang “keahlian” tersebut (dalam dunia ilmu kedokteran, kita mengenal Spesialis Penyakit THT, Spesialis Bedah, Spesialis Penyakit Anak, dsb-nya). Karena itu pengertian keahlian bagi seseorang yang mendapat pendidikan dalam JK, sangat bergantung pada kepercayaan masyarakat dan/atau lembaga-lembaga yang memerlukan keahlian tersebut.

Menyangkut ilmu pengetahuan “kriminalistik”, misalnya, keahlian seorang “dokter/ahli kedokteran forensik” dipercaya oleh sistem peradilan pidana (oleh kepolisian, kejaksaan dan pengadilan).(13)

Dalam hal keahlian seorang “kriminolog”, pertanyaan utama/pokok adalah: seberapa jauh kalangan penegak hukum (law enforcement officers-Polisi dan JPU), penegak keadilan (justice agencies, the court, the prison, probation & parole agencies) mempercayai manfaat riset kriminologi yang dilakukan oleh seorang kriminolog. Juga seberapa jauh rekomendasi-rekomendasi seorang kriminolog (sebagai ahli) dianggap bermanfaat bagi penyusunan kebijakan kriminal. Inilah tantangan utama, dalam melihat perkembangan kriminologi sebagai satu keahlian.
 
Tentang “kesarjanaan”
Kalau kita mengartikan “kesarjanaan” sebagai “kelulusan” dari suatu pendidikan tinggi (graduate from a university), maka tidak dibedakan di sini apakah kelulusan itu adalah dari program S-1, S-2 ataupun S-3.

Pertanyaannya hanyalah di bidang ilmu mana seorang kriminolog (ahli kriminologi) itu harus memperoleh dasar ilmunya: ilmu hukum pidana, ilmu kepolisian, (ilmu) pemasyarakatan (penology) atau dalam ilmu-ilmu sosial (social sciences). Dengan mengambil (hanya) perkembangan “ilmu” kriminologi di Indonesia (yang saya kenali), maka bagi saya Sarjana Kriminologi itu harus berasal dari bidang-ilmu sosial, jadi dibangunnya JK seharusnya adalah di FISIP.(14)
 
Kesimpulan Umum
Untuk perkembangan masa depan perlu di ”bangun” hubungan timbal-balik yang saling bermanfaat antara Pembuat Keputusan (policy maker)   di bidang kejahatan dan gejala kriminalitas, dengan para kriminolog (sebagai ahli dan peneliti ilmiah).

Pertanyaan-pernyataan yang (mungkin) relevan untuk perkembangan Kriminologi di Indonesia adalah, antara lain:
(1)      Bagaimana memberi penjelasan kepada Pembuat Keputusan tentang perkembangan (ilmu) kriminologi di Indonesia;
(2)      Bagaimana menjelaskan kepada Pembuat Keputusan tentang apa yang mungkin dan apa pula yang tidak mungkin diteliti oleh (ilmu) kriminologi di Indonesia;
(3)      Bagaimana cara kita berusaha agar Pembuat Keputusan tidak saja mengetahui apa yang dapat diteliti, tetapi juga bagaimana manfaat hasil penelitian tersebut untuk penyusunan kebijakan kriminal (criminal policy);
(4)      Bagaimana kita di dunia universitas (sebagai Peneliti) mendapat informasi yang jelas tentang masalah-masalah yang mungkin (dapat) diteliti oleh kriminologi Indonesia, yang hasilnya memang bermanfaat bagi Pembuat Keputusan;
(5)      Bagaimana menciptakan keadaan di mana para Pembuat Keputusan dan dunia universitas (para Peneliti) saling menghargai dan berusaha bekerja sama.

                                                                       
*Tulisan ini telah disampaikan dalam Pertemuan di FISIP-UI tentang “Prospek Pendidikan Kriminologi di Perguruan Tinggi di Indonesia” Jakarta, 21 Februari 2009.


Catatan:
(1)        Pada 15 September 1948 didirikan Criminologisch Instituut di Universiteit van Indonesie, dengan Prof. van Hattum (Hukum Pidana), Prof. Mueller (Kedokteran Forensik) dan Prof. Noach (Kriminologi) sebagai pimpinannya. Lembaga Kriminologi UI ini pernah berganti nama menjadi Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, namun tahun 2000 membubarkan diri.
(2)        Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan UI berdiri 1 Februari 1968 dengan pemisahannya dari Fakultas Hukum dan dengan Dekan pertama Prof. Selo Sumardjan. Jurusan Kriminologi sendiri telah berdiri sejak tanggal 1 September 1962, ketika itu masih di bawah Fakultas Hukum dan IPK. Pendiriannya adalah antara lain disponsori oleh Paul Moedikdo Moediono, SH, Koesriani Siswosoebroto, SH dan Mardjono Reksodiputro, SH.
(3)        Pada tahun 1976-1982 Jurusan Kriminologi menjadi Program Studi Kriminologi, di bawah Departemen Sosiologi. Setelah itu kembali berstatus jurusan dalam tahun 1982 dengan kurikulum yang menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial dan mencoba membangun disiplin kriminologi Indonesia.
(4)        Kesepakatan tersebut dicapai dalam Seminar Kriminologi III yang diselenggarakan di Universitas Diponegoro, Semarang. Direncana-kan bahwa secara berkala (3 tahun sekali) secara bergantian akan diselenggarakan Seminar Kriminologi (di UNDIP), Seminar Viktimologi (di UNAIR) dan Seminar Pemasyarakatan Narapidana (di UI). Pendekatan ini antara lain disponsori oleh Prof. J.E. Sahetapy, Prof. Sutandyo, Prof. Muladi, Prof. Barda Nawawi dan Prof. Mardjono Reksodiputro.
(5)        Dalam buku UNESCO ini antara lain dijelaskan tentang perkembangan kriminologi di Eropa yang kuat dengan Clinical Criminology (dalam literatur dapat diketahui hal ini terutama di Italia dan Belanda) dan di Amerika Serikat yang kuat dengan perkembangan Sociology of Deviant Behavior (lihat misalnya perkembangan dari Chicago School dengan Prof. Sutherland). Di University of California-Berkeley, terdapat pendidikan kriminologi-sosiologi dan kriminalistik untuk tenaga-tenaga kepolisian. Di University of Pennsylvania pendekatannya lebih ke Sosiologi (dengan Prof. Sellin dan Prof. Wolfgang). Di University of Michigan mulai diperkenal-kan program “Criminal Justice” yang mempelajari lembaga-lembaga penegak hukum. Yang terakhir ini juga mendorong perkuliahan tentang Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
(6)        Antara lain adalah: Teori Dialog Dalam Kriminologi, Teori Ekonomi tentang Kejahatan, Differential Association Theory, Teori Anomi, Culture Conflict Theory, Sub-Culture of Violence, dan The New Criminology.
(7)        Ucapan ini memang dapat ditafsirkan sebagai ejekan. Tetapi dapat juga sebagai pujian, bukanlah sekarang terbukti dengan “globalization of crime”, bahwa kriminologi sering harus melewati “batas disiplin ilmu”?
(8)        Jangan pula lupa bahwa sekarang mulai pula dipermasalahkan negara sebagai aktor (pelaku), misalnya dalam diskusi-diskusi tentang HAM (state crime ; organizational crime).
(9)        Penelitian dan rekomendasi dari bidang studi Ekonomi dan bidang studi Kedokteran, dipergunakan oleh Pemerintah Indonesia.
(10)     Pengertian “profesi” ini sering pula dikaitkan dengan “tempat/sekolah pendidikannya”, maka di luar negeri ada istilah “profesional schools” (kedokteran, hukum bisnis, perawatan, pekerja sosial, dll)
(11)     Tetapi harus pula dijaga agar kriminologi tidak menjadi “applied science” atau “overly practical policy science” yang tidak mampu memberi kontribusi teori dalam memahami gejala kriminalitas, baik lokal (kerusuhan etnis dengan penganiayaan dan pembunuhan) maupun internasional (terorisme, korupsi dan yang serupa).
(12)     Dalam bahan pustaka dibedakan antara: (a) Criminology (study of the origin, nature dan extent of crime-termasuk: crime control, penology), (b) Criminal Justice (study of the agencies of social control and correction, termasuk: criminalization, legalization, dan (c) Deviance (study of acts that depart from social norms, termasuk: sociology of law). Namun dalam perkuliahan di Indonesia perbedaan ini tidak terlalu ditekankan.
(13)     Keterangan keahlian dalam bentuk Visum et Repertum dari seorang dokter ahli kedokteran forensik diterima sebagai alat bukti di Pengadilan, tetapi dapatlah keterangan-ahli seorang kriminolog tentang status kejiwaan dan pengaruh hubungan sosial pada perbuatan seorang terdakwa diterima di Pengadilan? Untuk Indonesia keterangan ahli seperti ini penting terutama untuk kasus-kasus: kejahatan remaja, pemakaian narkoba dan kekerasan dalam rumah tangga.
(14)     Pendidikan Sarjana Kriminologi yang mempunyai basis pada ilmu-ilmu sosial, khususnya Sosiologi, dapat dimanfaatkan pula untuk pendidikan tenaga kepolisian, tenaga lembaga pemasyarakatan dan tenaga pekerja sosial yang akan bekerja di bidang penegakan hukum pidana atau sistem peradilan pidana. Disiplin ilmu kriminologi,  disiplin ilmu kepolisian, disiplin ilmu pembinaan dan pemasyarakatan narapidana, serta disiplin ilmu kerjahteraan sosial dapat dikembangkan dengan “cross-fertilization” di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar