Lintas Sejarah
Masuknya
kriminologi dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia adalah melalui kurikulum
Fakultas Hukum (FH) dan kemudian pula melalui Lembaga Kriminologi (LK). Di FH
pengajaran kriminologi dianggap sebagai ilmu pengetahuan bantuan (hulp wetenschap) untuk pendalaman ilmu
hukum pidana. Sedangkan di LK pengertian kriminologi adalah dalam arti luas,
mencakup kriminalistik dan ilmu-ilmu forensik. Sekurang-kurangnya dapat
ditelusuri masuknya pengajaran kriminologi ini sejak tahun 1948.(1)
Pembukaan Jurusan
Kriminologi (JK) di Universitas Indonesia di mulai ketika Fakultas Hukum dan
Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan menjadi FH dan FIPK.(2) Pendekatan
kurikulum JK di FIPK adalah dekat dengan Jurusan Sosiologi.(3)
Sedangkan matakuliah kriminologi di FH-UI juga mengambil pendekatan sosiologi
(melalui bahan pustakanya, maupun metode penelitiannya). Pendekatan psikologi
juga diakui, khususnya untuk studi-studi klinis (clinical criminology).
Pada bulan Oktober
1976 di antara pengajar-pengajar senior dari FH di UI, UNDIP dan UNAIR diadakan
kesepakatan (tidak tertulis) untuk mengembangkan kriminologi dengan memberi
tanggung jawab penyelenggaraan seminar-seminar berkala (sebagai forum diskusi
hasil penelitian), kepada UNDIP tentang Kriminologi, UNAIR tentang Viktimologi
dan UI tentang Pemasyarakatan Narapidana (Penologi).(4)
Kecuali di Fakultas
Hukum serta di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di UI, maka kriminologi di
Jakarta antara lain juga dikuliahkan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK)
dan di Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP).
Pengembangan perkuliahan di bidang
kriminologi di berbagai negara di dunia pernah dilaporkan antara lain oleh
UNESCO (Report on the Teaching of
Criminology, 1963?) terutama untuk pendidikan di Eropa, Canada dan Amerika
Serikat.(5)
“Ilmu”
Kriminologi
Studi-studi awal kriminologi memang
bermaksud menerangkan hubungan kausal antara berbagai faktor sosial, psikologis
dan budaya dengan timbulnya kejahatan (pelanggaran norma perilaku bermasyarakat
yang diberi sanksi pidana). Studi-studi ini dikenal dengan nama Etiologi
Kriminal, dengan berbagai teori yang dikenal di Indonesia (tahun 1960-1980an)
antara lain Moedikdo, Bonger, Sutherland, Merton, Sellin, Wolfgang, Ian Taylor,
Jock Young, dan lain-lain.(6)
Dengan tujuan memahami “sebab” terjadinya
kejahatan, maka kriminologi dianggap sebagai “ilmu-bantu” bagi ilmu hukum
pidana (materiil dan formil). Sebagai “ilmu-bantu” menjawab permasalahan gejala
kejahatan di dunia (the globalization of
crime), maka batas-batasnya menjadi sangat “longgar” (dapat memasuki
berbagai ilmu lain, seperti: ilmu hukum, ilmu ekonomi, sosiologi, antropologi,
ilmu politik, psikologi, dsb-nya) dan karena itu terkenal ucapan “the Criminologist is a King without a
Country” (van Bemmelen).(7)
Perkembangan teori-teori kriminologi
yang semula mencari pemahaman tentang hubungan “segitiga” (basic triangle of relations): pelaku-negara-dan korban, sekarang
telah berubah menjadi “hubungan segi-empat” (the
square of crime): pelaku dan korban (sebagai aktor) serta negara dan masyarakat-madani
(sebagai re-aktor).(8)
Terdapat juga perbedaan di antara
berbagai negara, tentang penanggungjawab dalam pengembangan “ilmu” ini.
Disebagian negara perkembangan dilakukan secara “akademik” oleh lembaga
(-lembaga) universitas, tetapi dibeberapa negara lain pengembangan terutama
dibebankan (misalnya dalam anggaran riset) pada lembaga (-lembaga) eksekutif (pemerintah).
Bagaimanapun, dalam pengelolaan “ilmu” ini, memang yang diharapkan adalah,
adanya kerjasama optimal antara pembuat-kebijakan (policy maker) dengan para peneliti (dunia akademik). Contoh yang
baik di Indonesia adalah di bidang “ilmu” ekonomi dan kedokteran, di mana
kerjasama ini terlihat sangat jelas.(9)
Tentang
“profesi” ahli kriminologi
Menghindari perdebatan tentang pengertian
“profesi”, maka saya mencontohkan sebagai profesi adalah: dokter, advokat,
akuntan dan apoteker. Dari sekian banyak syarat yang dijadikan pedoman, saya
berpendapat bahwa untuk profesi yang utama adalah: a) pendidikan keahlian
diperoleh di sebuah universitas (pendidikan tinggi), untuk membedakan dari
“vokasi” (dapat hasil pendidikan akademi atau sekolah menengah); b) adanya kode
etik dengan sanksi penegakan disiplin profesi yang efektif; c) tersedia majalah
ilmiah yang menerbitkan tulisan-tulisan laporan riset maupun seminar dan
lokakarya organisasi profesi; dan d) ada
organisasi profesi yang demokratis; serta e) diperkenalkan ke masyarakat
sebagai profesi.
Dengan kriteria di atas, untuk saya profesi “ahli kriminologi”
(dipergunakan istilah kriminolog) hanya berlaku untuk mereka yang melakukan
pendidikan di universitas dan/atau yang melakukan riset di bidang kriminologi
(dalam arti luas). Yang terakhir ini, baik melalui lembaga universitas maupun
lembaga eksekutif, menuliskan laporannya dalam majalah profesi dan menaati etik
kriminolog tentang hubungan dengan subyek (obyek) risetnya.
Saya akui bahwa pemahaman saya ini akan
“membatasi” pengertian profesi bagi lulusan JK yang bekerja, misalnya di
Kepolisian, Kejaksaan, Lembaga Pengadilan, maupun Lembaga (kantor)
Pemasyarakatan. Boleh jadi mereka mem-“praktek”-kan pengetahuan kriminologi
mereka, tetapi untuk saya mereka bukan “kriminolog”, selama mereka tidak
bekerja di bidang pendidikan, atau tidak melakukan riset dan mempublikasikan
hasil riset mereka.
Pengertian saya ini memang berbeda
dengan contoh profesi yang saya berikan di atas. Perbedaan tersebut terletak
pada kenyataan bahwa masyarakat memang sudah mengenal dokter, advokat, akuntan
dan apoteker sebagai profesi (meskipun tidak melakukan riset), tetapi tidak mengenal kriminolog sebagai
profesi dalam masyarakat.(10)
Tentang
“aplikasi” pengetahuan kriminologi
Menurut pemahaman saya, pengetahuan
kriminologi ini terutama ditujukan pada kemampuan aplikasinya untuk pembuatan
“kebijakan kriminal” (criminal policy).
Kebijakan ini ditujukan pada aspek “pencegahannya”,
maupun pada aspek “penanggulangan” gejala
kriminalitas dalam masyarakat.
Kriminalitas yang terjadi (dan
meningkat) dalam masyarakat dipersepsikan sebagai (sangat) merugikan, dilihat dari aspek perlindungan atas jiwa, badan,
kehormatan dan kesusilaan, maupun dilihat pada aspek harta benda (kekayaan).
Dengan demikian pengetahuan kriminologi ini (dapat) bermanfaat untuk mengurangi
atau membatasi kerugian yang dapat timbul dalam masyarakat sebagai akibat
gejala kriminalitas.(11)
Secara umum, (mungkin) dapat dikatakan
bahwa “aplikasi” ilmu pengetahuan ini adalah dalam membangun kerjasama saling
bermanfaat antara peneliti-ilmiah (researcher)
dengan pelaksana (policy maker) dalam
bidang pencegahan kriminalitas. Yang terakhir ini membawa kita pada “sistem
peradilan pidana” (criminal justice
system) yang antara lain bertujuan: a) mencegah masyarakat menjadi korban
dan membawa pelakunya ke pengadilan, b) berusaha agar pelaku tidak menjadi
residivis, dan c) memberi kepuasan kepada “korban” (dapat individu, dapat pula
kolektivitas) bahwa kasusnya dapat diselesaikan secara adil.
Disini kriminologi menjadi berdampingan
dengan pengetahuan “criminal justice” yang
mempelajari lembaga-lembaga (agencies) yang
berada dalam sistem peradilan pidana.(12)
Tentang
“keahlian”
Keahlian dapat dikaitkan dengan
“profesi” (seperti telah diuraikan sebelumnya), tetapi juga sebagai suatu
spesialisasi dalam pendidikan yang menimbulkan kepercayaan masyarakat tentang
“keahlian” tersebut (dalam dunia ilmu kedokteran, kita mengenal Spesialis
Penyakit THT, Spesialis Bedah, Spesialis Penyakit Anak, dsb-nya). Karena itu
pengertian keahlian bagi seseorang yang mendapat pendidikan dalam JK, sangat
bergantung pada kepercayaan masyarakat dan/atau lembaga-lembaga yang memerlukan
keahlian tersebut.
Menyangkut ilmu pengetahuan
“kriminalistik”, misalnya, keahlian seorang “dokter/ahli kedokteran forensik”
dipercaya oleh sistem peradilan pidana (oleh kepolisian, kejaksaan dan
pengadilan).(13)
Dalam hal keahlian seorang “kriminolog”,
pertanyaan utama/pokok adalah: seberapa jauh kalangan penegak hukum (law enforcement officers-Polisi dan
JPU), penegak keadilan (justice agencies,
the court, the prison, probation & parole agencies) mempercayai manfaat
riset kriminologi yang dilakukan oleh seorang kriminolog. Juga seberapa jauh
rekomendasi-rekomendasi seorang kriminolog (sebagai ahli) dianggap bermanfaat
bagi penyusunan kebijakan kriminal. Inilah tantangan utama, dalam melihat
perkembangan kriminologi sebagai satu keahlian.
Tentang
“kesarjanaan”
Kalau kita mengartikan “kesarjanaan”
sebagai “kelulusan” dari suatu pendidikan tinggi (graduate from a university), maka tidak dibedakan di sini apakah
kelulusan itu adalah dari program S-1, S-2 ataupun S-3.
Pertanyaannya hanyalah di bidang ilmu
mana seorang kriminolog (ahli kriminologi) itu harus memperoleh dasar ilmunya:
ilmu hukum pidana, ilmu kepolisian, (ilmu) pemasyarakatan (penology) atau dalam ilmu-ilmu sosial (social sciences). Dengan mengambil (hanya) perkembangan “ilmu”
kriminologi di Indonesia (yang saya kenali), maka bagi saya Sarjana Kriminologi
itu harus berasal dari bidang-ilmu sosial, jadi dibangunnya JK seharusnya
adalah di FISIP.(14)
Kesimpulan
Umum
Untuk perkembangan masa depan perlu di
”bangun” hubungan timbal-balik yang saling bermanfaat antara Pembuat Keputusan (policy maker) di bidang kejahatan dan gejala kriminalitas,
dengan para kriminolog (sebagai ahli dan peneliti ilmiah).
Pertanyaan-pernyataan yang (mungkin)
relevan untuk perkembangan Kriminologi di Indonesia adalah, antara lain:
(1) Bagaimana
memberi penjelasan kepada Pembuat Keputusan tentang perkembangan (ilmu)
kriminologi di Indonesia;
(2) Bagaimana
menjelaskan kepada Pembuat Keputusan tentang apa yang mungkin dan apa pula yang tidak
mungkin diteliti oleh (ilmu) kriminologi di Indonesia;
(3) Bagaimana
cara kita berusaha agar Pembuat Keputusan tidak saja mengetahui apa yang dapat
diteliti, tetapi juga bagaimana manfaat hasil penelitian tersebut untuk
penyusunan kebijakan kriminal (criminal
policy);
(4) Bagaimana
kita di dunia universitas (sebagai Peneliti) mendapat informasi yang jelas
tentang masalah-masalah yang mungkin (dapat) diteliti oleh kriminologi
Indonesia, yang hasilnya memang bermanfaat bagi Pembuat Keputusan;
(5) Bagaimana
menciptakan keadaan di mana para Pembuat Keputusan dan dunia universitas (para
Peneliti) saling menghargai dan berusaha bekerja sama.
*Tulisan ini telah disampaikan dalam Pertemuan di FISIP-UI tentang “Prospek Pendidikan Kriminologi di
Perguruan Tinggi di Indonesia” Jakarta, 21 Februari 2009.
Catatan:
(1)
Pada 15
September 1948 didirikan Criminologisch
Instituut di Universiteit van Indonesie, dengan Prof. van Hattum (Hukum
Pidana), Prof. Mueller (Kedokteran Forensik) dan Prof. Noach (Kriminologi)
sebagai pimpinannya. Lembaga Kriminologi UI ini pernah berganti nama menjadi
Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, namun tahun 2000 membubarkan
diri.
(2)
Fakultas
Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan UI berdiri 1 Februari 1968 dengan pemisahannya
dari Fakultas Hukum dan dengan Dekan pertama Prof. Selo Sumardjan. Jurusan
Kriminologi sendiri telah berdiri sejak tanggal 1 September 1962, ketika itu
masih di bawah Fakultas Hukum dan IPK. Pendiriannya adalah antara lain disponsori
oleh Paul Moedikdo Moediono, SH, Koesriani Siswosoebroto, SH dan Mardjono
Reksodiputro, SH.
(3)
Pada
tahun 1976-1982 Jurusan Kriminologi menjadi Program Studi Kriminologi, di bawah
Departemen Sosiologi. Setelah itu kembali berstatus jurusan dalam tahun 1982
dengan kurikulum yang menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial dan mencoba
membangun disiplin kriminologi Indonesia.
(4)
Kesepakatan
tersebut dicapai dalam Seminar Kriminologi III yang diselenggarakan di
Universitas Diponegoro, Semarang. Direncana-kan bahwa secara berkala (3 tahun
sekali) secara bergantian akan diselenggarakan Seminar Kriminologi (di UNDIP),
Seminar Viktimologi (di UNAIR) dan Seminar Pemasyarakatan Narapidana (di UI). Pendekatan
ini antara lain disponsori oleh Prof. J.E. Sahetapy, Prof. Sutandyo, Prof.
Muladi, Prof. Barda Nawawi dan Prof. Mardjono Reksodiputro.
(5)
Dalam buku UNESCO ini antara
lain dijelaskan tentang perkembangan kriminologi di Eropa yang kuat dengan Clinical Criminology (dalam literatur
dapat diketahui hal ini terutama di Italia dan Belanda) dan di Amerika Serikat
yang kuat dengan perkembangan Sociology
of Deviant Behavior (lihat misalnya perkembangan dari Chicago School dengan
Prof. Sutherland). Di University of
California-Berkeley, terdapat pendidikan kriminologi-sosiologi dan
kriminalistik untuk tenaga-tenaga kepolisian. Di University of Pennsylvania
pendekatannya lebih ke Sosiologi (dengan Prof. Sellin dan Prof. Wolfgang). Di
University of Michigan mulai diperkenal-kan program “Criminal Justice” yang mempelajari lembaga-lembaga penegak hukum.
Yang terakhir ini juga mendorong perkuliahan tentang Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia.
(6)
Antara lain adalah: Teori
Dialog Dalam Kriminologi, Teori Ekonomi tentang Kejahatan, Differential Association Theory, Teori Anomi, Culture Conflict Theory, Sub-Culture of Violence, dan The New Criminology.
(7)
Ucapan
ini memang dapat ditafsirkan sebagai ejekan. Tetapi dapat juga sebagai pujian,
bukanlah sekarang terbukti dengan “globalization
of crime”, bahwa kriminologi sering harus melewati “batas disiplin ilmu”?
(8)
Jangan pula lupa bahwa
sekarang mulai pula dipermasalahkan negara sebagai aktor (pelaku), misalnya
dalam diskusi-diskusi tentang HAM (state
crime ; organizational crime).
(9)
Penelitian dan rekomendasi
dari bidang studi Ekonomi dan bidang studi Kedokteran, dipergunakan oleh
Pemerintah Indonesia.
(10) Pengertian
“profesi” ini sering pula dikaitkan dengan “tempat/sekolah pendidikannya”, maka
di luar negeri ada istilah “profesional
schools” (kedokteran, hukum bisnis, perawatan, pekerja sosial, dll)
(11) Tetapi
harus pula dijaga agar kriminologi tidak menjadi “applied science” atau “overly
practical policy science” yang tidak mampu memberi kontribusi teori dalam
memahami gejala kriminalitas, baik lokal (kerusuhan etnis dengan penganiayaan
dan pembunuhan) maupun internasional (terorisme, korupsi dan yang serupa).
(12) Dalam
bahan pustaka dibedakan antara: (a) Criminology
(study of the origin, nature dan extent of crime-termasuk: crime control, penology), (b) Criminal Justice (study of the agencies of
social control and correction, termasuk: criminalization, legalization, dan (c) Deviance (study of acts that depart from social norms, termasuk: sociology of law). Namun dalam perkuliahan di Indonesia perbedaan ini tidak
terlalu ditekankan.
(13) Keterangan keahlian dalam bentuk Visum et Repertum dari seorang dokter ahli kedokteran forensik
diterima sebagai alat bukti di Pengadilan, tetapi dapatlah keterangan-ahli
seorang kriminolog tentang status kejiwaan dan pengaruh hubungan sosial pada
perbuatan seorang terdakwa diterima di Pengadilan? Untuk Indonesia keterangan
ahli seperti ini penting terutama untuk kasus-kasus: kejahatan remaja,
pemakaian narkoba dan kekerasan dalam rumah tangga.
(14) Pendidikan Sarjana Kriminologi yang mempunyai basis pada
ilmu-ilmu sosial, khususnya Sosiologi, dapat dimanfaatkan pula untuk pendidikan
tenaga kepolisian, tenaga lembaga pemasyarakatan dan tenaga pekerja sosial yang
akan bekerja di bidang penegakan hukum pidana atau sistem peradilan pidana.
Disiplin ilmu kriminologi, disiplin ilmu
kepolisian, disiplin ilmu pembinaan dan pemasyarakatan narapidana, serta
disiplin ilmu kerjahteraan sosial dapat dikembangkan dengan “cross-fertilization” di Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar