Kajian oleh Komisi Hukum Nasional
Suatu kajian yang dilakukan pada
tahun 2008 oleh KHN a.l menyimpulkan:[1]
(a)
Bahwa terdapat ketidaksinkronan antara berbagai
peraturan yang mengatur tentang tanah di bumi Indonesia ini. Ketidaksinkronan ini
dilihat baik secara horisontal maupun secara vertikal antara berbagai peraturan
tersebut.Hal ini menyebabkan kebijakan agraria di Indonesia “berwajah
sektoral”.
(b)
Hak-hak masyarakat adat atas tanahnya, yang
diakui oleh Hukum Agraria 1960, (UUPA) dalam kenyataannya tidak berjalan sebagai
yang dicita-citakan.Pengaturan dalam bentuk hak tersendiri belum atau tidak dijabarkan
secara jelas.
(c)
Hak-hak dasar masyarakat atas sumber daya
agraria yang sudah diatur dalam UUPA dalam usaha implementasinya kalah
terhadapa berbagai kepentingan sektoral.Hal ini menjadi lebih parah dengan
persaingan antar sektor dengan kepentingannya masing-masing.
(d)
Diutamakannya
investasi dalam pembangunan ekonomi, sering sekali menyebabkan hak-hak
masyarakat atas tanah terabaikan.
(e)
Hak
Menguasai Negara (HMA) yang menurut UUPA dapat didelegasikan kepada masyarakat
adat dan daerah swatantra, dalam prakteknya diberikan kepada badan-badan atau
departemen-departemen pemerintah/negara dan kemudian dikenal sebagai Hak Pengelolaan
(yang sebenarnya tidak dikenal dalam UUPA).
Sangat mengherankan bahwa UUPA yang diakui sebagai suatu produk jaman Orde Baru
yang cukup baik dalam keberpihakannya pada masyarakat adat, dalam prakteknya tidaklah
demikian. Kesimpulan diatas yang didasarkan atas kajian yang dilakukan Tim
Peneliti KHN di berbagai daerah Jawa dan luar-Jawa menunjukkan bahwa dalam masa
hampir 50 tahun adanya undang-undang ini, masyarakat adat dan hak-haknya atas
tanah masih (atau malah?) terpinggirkan. Mengapa hal ini dapat terjadi?
Saya membaca cepat dua buku yang baru-baru ini saya peroleh.Kedua buku ini mungkin
dapat membantu kita menelaah apa yang terjadi. Menarik adalah bahwa buku-buku
ini merupakan penelitian yang didanai dan dipimpin oleh pihak asing.Meskipun penelitinya
banyak tenaga-tenaga ahli dan akademisi bangsa Indonesia.
Kajian interdisiplin oleh
akademisi dan aktivis LSM Indonesia.
Kedua buku tersebut diterbitkan bersama oleh HuMa-Jakarta, Van Vollenhoven
Institute, Universitas Leiden dan KITLV-Jakarta (serta untuk buku kedua
Epistema Institute). Keduanya termasuk Seri Sosio-Legal Indonesia.Yang pertama berjudul
Hukum
Agraria dan Masyarakat di Indonesia (April 2010) dan yang kedua Akses
Terhadap Keadilan-Perjuangan masyarakat miskin dan kurang beruntung untuk
menuntut hak di Indonesia (Maret 2011)[2]. Keduanya merupakan
kumpulan karangan-karangan hasil penelitian lapangan tentang tanah dan hak-hak
masyarakat adat.Membaca laporan penelitian itu sungguh miris hati kita, mengapa ketidakadilan terhadap masyarakat adat dan
kelompok miskin diperkotaan masih terjadi dan dibiarkan setelah
setengah abad adanya UUPA dan 65 tahun kita menyatakan negara ini merdeka dari penjajahan
kolonial Belanda?. Terpikir di sini apakah kalau begitu cara pengelolaan tanah di
negara merdeka,oleh pemerintahan bangsa sendiri, tidak berbeda (ataukah mungkin
lebih buruk?) dari pemerintah jajahan?
Dari permasalahan yang dapat dilaporkan berdasarakan penelitian-penelitian
tersebut terlihat misalnya kritik bagaimana kita yang menyatakan diri sebagai
negara hukum namun belum dapat mengakomodasikan pembagian kewenangan atas tanah
antara negara (pemerintah) dan warga masyarakat. Pemahaman tentang doktrin Domein dari pemerintah kolonial Hindia
Belanda, sepertinya masih dipergunakan dan terbawa sampai sekarang. Hak-hak
masyarakat adat seperti hak ulayat dan hak atas hutan adat belum memberikan
kepastian hukum pada masyarakat di daerah pedesaan.Apalagi dalam penyelesaian
konflik-konflik mengenai tanah, baik antara warga masyarakat adat sendiri, antara
mereka dengan warga pendatang/migran, dan terlebih lagi bila terjadi sengketa
antara masyarakat adat dengan perusahaan (swasta dan negara) yang mendapat hak
dari pemeritah (pusat ataupun daerah). Alangkah malangnya nasib rakyat kita
ini, limapuluh tahun dijanjikan perbaikan atas hak-hak tanah mereka melalui
UUPA 1960, namun tidak satupun pemeritah yang dapat melaksanakannya.
Apakah pembaruan (reformasi) UUPA 1960 akan membantu dapat dipenuhinya kanji
tersebut? Saya tidak yakin, karena masalahnya bukan sekedar mengubah kata-kata,
kalimat-kalimat dalam perumusan pasal peraturan, namun terutama pada semangat
dari pemerintah yang harus menjalankan suatu peraturan. Selama masih
ditafsirkan bahwa tanah dikuasai negara, tanpa memperhatikan kepentingan
masyarakat lokal dan lebih berpihak kepada investor demi kepentingan nasional,
maka selama itu pula hak-hak msyarakat adat terpinggirkan (dikalahkan). Apakah
kebijakan otonomi daerah dapat membantu? Mungkin, tetap banyak pula tergantung
pada kemampuan masyarakat adat memilih pemimpin yang tepat, yang berpihak pada
mereka.
Hak Menguasai Negara atas
Tanah
Domein verklaring merupakan ketentuan pemerintah Hindia
Belanda untuk menyatakan bahwa tanah diatas mana tidak terdapat kepemilikan (hukum
perdata), merupakan tanah yang dikuasai (hukum publik) oleh negara (Hindia
Belanda). Seperti dikatakan dalam beberapa laporan penelitian (a.l KHN dan
Penelitian Sosio-Legal) pendekatan pemerintah kolonial ini ternyata
diambil-alih oleh pemerintah Republik Indonesia dalam bentuk Hak Menguasai
Negara (HMN). Kewenangan yang diberikan UUPA 1960 ini harus dibaca bersamaan
dengan Pasal 33 UUD 1945. Seperti ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK)
maka HMN tidaklah harus diartikan sebagai pemilikan atas tanah. HMN hanya
memberi negara kewenangan untuk merumuskan ”kebijakan (beleid)”, melakukan ”pengaturan (regelen)”, ”pengurusan (besturen)”,
”pengelolaan (beheren”), dan ”pengawasan (toezicht houden)”.
Kewenangan inilah yang dikritik telah disalahgunakan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. A.l dengan mementingkan dan mendahulukan
perusahaan-perusahaan besar dan kebanyakan bermodalkan dana asing, untuk
memanfaatkan tanah-tanah yang secara turun-temurun dikuasai masyarakat adat.
UUPA juga mengatur bahwa atas dasar HMN itu, maka Negara juga dapat mengatur
pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air, dan ruang angkasa.
Celakanya, HMN yang bila dikaitkan dengan pasal 33 UUD ditujukan untuk
”sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, telah ditafsirkan sebagai hak pemerintah
(pusat dan daerah) untuk pemberian berbagai jenis ijin kepada perusahaan besar
pertambangan, kehutanan, perkebunan dan pertanian. Umumnya yang dapat
memanfaatkan persyaratan yang diminta oleh ijin-ijin tersebut adalah
perusahaan-perusahaan besar bermodalkan dana asing.
Bagaimanakah halnya didaerah perkotaan ? Masalahnya disini tentu lain.
Khususnya di kota-kota yang sudah ada sejak jaman Hindia Belanda, banyak tanah
sudah dimiliki dibawah hukum perdata Barat, misalnya hak eigendom dan hak opstal.Kedua
hak tanah menurut hukum perdata Barat (Burgerlijk
Wetboek- BW) padanannya dalam UUPA menjadi hak milik dan hak bangunan.Tanah-tanah
tersebut sudah terukur, terdaftar dan dilegalisasi melalui dolumen yang dikenal
sebagai Sertifikat Tanah.Dengan pemekaran kota yang bersangkutan, maka banyak
tanah yang tadinya berada di desa-desa pinggiran menjadi bagian dari kota.Umumnya
dihuni oleh penduduk asli (asal), tetapi dengan perlunya tanah untuk
pembangaunan pabrik,perumahan real estate
dan pusat perbelanjaan (mal), maka
tanah- tanah tersebut akan jatuh pula kepada kalangn bisnis (perusahaan). Rakyat
yang tidak cukup modalnya akan tersisihkan dan dengan hilangnya pula lahan
pertanian akan menjadi buruh di pabrik-pabrik atau tempat- tempat kerja lainnya.
Di kota-kota besar pusat perdagangan, seperti Jakarta-Surabaya-Medan, akan
terlihat lebih jelas bahwa banyak ”orang miskin” berasal dari pinggir kota
(yang asalnya daerah pertanian) mencari nafkahnya di kota dengan menjadi
”penganggur” dan pengemis.Mengapa mereka tidak terlindungi ketika mereka
melepaskan tanah pertanian mereka kepada para pengusaha? Apakah pemerintah
tidak peduli kepada rakyat miskin?
Konflik Pertanahan
Konflik pertanahan tidak saja terjadi di daerah padat penduduk, tetapi juga
di daerah hutan.Tidak saja antara penduduk dengan pemerintah, tetapi juga
antara warga desa baik masyarakat adatnya maupun pendatang.Contohnya adalah
yang tejadi di Desa Tanjung Mandiri, Tanjung
Lebar, Bahar Selatan, Muoro Jambi. Sengketa adalah tentang penjualan ratusan
hektar tanah hutan kepada warga (umumnya pendatang) untuk dijadikan kebun
kelapa sawit. Pengelola hutan, PT Restorasi Ekosistem, yang menguasai kawasan
”Hutan Restorasi Harapan” menjadi kewalahan dengan ”perambahan hutan” yang
terjadi.Usaha penghentian penjualan yang dilakukan melalui ”Aliansi Masyarakat Adat
Nasional” (AMAN) memicu konflik.Menurut AMAN, kawasan ini merupakan habitat
suatu kelompok suku terasing (suku Bathin IX).Perambahan hutan harus dihentikan,
dan rupanya hanya dapat dilakukan dengan penegakan hukum.[3]
Penegakan hukum melalui UU Kehutanan (UU No.41/1999) ternyata juga
menimbulkan sengketa dan perasaan ketidak-adilan. Masalahnya berkisar pada
ketentuan dalam UU Kehutanan yang membedakan antara ”hutan-negara” dan ”hutan-hak”.
Mengikuti HMN, maka ”hutan-negara” berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah, sedangkan ”hutan-hak” adalah hutan
yang berada pada tanah yang dibebani
hak atas tanah. Aturan yang berlaku menegaskan bahwa semua hasil-hutan kayu
yang diambil dari hutan dan diangkut untuk dijual harus mempunyai ijin. Pasal
50(3)h melarang ”mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak
dilengkapi surat keterangan sahnya hasil hutan” dengan diancam pidana paling
lama 10 tahun dan denda paling banyak lima milyar rupiah.Seharusnya hal ini tidak
berlaku untuk hasil hutan yang diambil dari hutan-hak, karena merupakan hak dari
warga atau masyarakat adat bersangkutan. Kalaupun ada maksud menertibkan kawasan
hutan-hak ini melalui surat ijin (bersifat administratif), maka pelanggaran
cukup diberi sanksi denda administratif yang sesuai saja. Sedangkan sekarang
warga masyarakat diajukan ke pengadilan pidana.
Kesimpulan
Apa yang diuraikan di atas merupakan hanya sekelumit permasalahan yang
menyangkut soal tanah di Indonesia. Pertanyaan yang mendasar adalah apakah perlu ada pembaruan UU Pokok
Agraria? Sebagai orang yang
dalam masa mahasiswanya (1955-1961) mendapat pelajaran tentang UUPA ini, dan
mengikuti melalui suratkabar diskusi-diskusi
dalam penyusunannya, saya merasa kekeliruannya bukan pada perumusan UUPA tetapi
pada penafsiran dan pelaksanaannya oleh para pejabat pemerintah (Pusat dan Daerah).
Mengikuti paham bahwa tanah harus berfungsi sosial dan merupakan hak dasar rakyat,
maka pengelolaan ekonominya haruslah
berdasarkan ”ekonomi berbasis kesejahteraan rakyat” dan bukan ”ekonomi neo-liberal yang mengandalkan mekanisme pasar dan
sedikit sekali campur tangan pemerintah”.[4]
[1] Disarikan dari Kesimpulan (hal 152-154) Tinjauan Terhadap UU No 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Laporan Akhir Penelitian,2008,
KHN-RI
[2] Myrna A.Safitri dan Tristam Moeliono
(Penyunting),2010,Hukum Agraria dan
Masyarakat di Indonesia dan Ward Berenschot,Adriaan Bedner,Eddie Riyadi Laggut-Terre,Dewi
Novirianti (Editor), 2011, Akses
Terhadap Keadilan-Perjuangan masyarakat miskin dan kurang beruntung untuk menuntut
hak di Indonesia.
[3]Lihat Kompas,
Jum’at 29 April 2011, hal.50: “Perambahan
Hutan-Obral Lahan di Hutan Harapan”
[4]Lihat Suara
Pembaruan, 25 Mei 2009, hal 1 dan 7 : “Menuju
Ekonomi Berbasis Kesejahteraan Rakyat”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar