PENGANTAR
Tulisan ini di buat untuk memenuhi
permintaan mengisi sebuah buku dalam rangka memperingati Purna Bakti
Prof. Dr. Mieke Komar Kantaatmadja,SH, MCL, gurubesar Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran dan Hakim Agung di MA-RI. Tema buku ini adalah “Retrospektif
dan Prospektif: Kajian Kritis terhadap Perkembangan Hukum di Indonesia”. Akan saya coba mengisi tema ini, karena saya
mengenal dan menghormati beliau sebagai seorang intelektual yang berani
mengeritik apa yang keliru dalam kebijakan pemerintah, seorang gurubesar dan
teman sejawat dekan yang punya integritas yang tinggi dan seorang teman yang baik
dalam perjalanan ke luar negeri menghadiri konperensi-konperensi ALA (ASEAN Law Association). Saya juga melihat
diri saya (dan mungkin juga beliau) sebagai termasuk “a vanishing generation”.
Dalam karangan ini saya mencoba
menggambarkan pengalaman dan pemahaman saya tentang reformasi hukum di
Indonesia, terutama setelah lengsernya Presiden Suharto dan bergantinya resim
pemerintahan Orde Baru dengan resim pemerintahan Era Reformasi. Acuan saya
kecuali pengalaman empiri, adalah juga buku Laporan Penelitian Bappenas tentang
Reformasi Hukum di Indonesia, dan pandangan ILUNI-FHUI pada awal reformasi.
Juga beberapa kajian yang dibuat Komisi Hukum Nasional RI tentang perkembangan
hukum di Indonesia.
EUFORIA (EUPHORIA) DI TAHUN 1998
Lengsernya Presiden Suharto membawa
angin baru di berbagai kalangan intelektual, namun saya hanya ingin mengajak
kita menengok euforia di komunitas hukum. Pada waktu itu saya menjadi wakil
ketua Ikatan Lulusan UI-FH dan bersama Pengurus waktu itu kita menyampaikan pernyataan
dan pengharapan kepada Presiden Habibie tentang perlunya perhatian kepada
reformasi di bidang hukum. Melalui teman-teman yang “dekat istana” pernyataan
itu disampaikan. Menteri Kehakiman waktu itu adalah Prof.Muladi, teman lama
dalam menyusun Rancangan KUHP Nasional
yang selesai dalam tahun 1993 dan diserahkan kepada Menteri Kehakiman Ismail
Saleh tanggal 17 Maret 1993, yang dua bulan kemudian (Mei 1993) menyerahkannya
kepada Menteri Kehakiman yang baru Utoyo Usman,SH[1].
Banyak teman di Departemen Kehakiman, Badan Pembinaan Hukum Nasional dan
Mahkamah Agung membuat kita optimis bahwa “reformasi hukum” memang akan
berjalan – hukum dapat juga menjadi “panglima”, tidak saja ekonomi dan politik. Bank Dunia dan IMF juga memberi
perhatian kepada perlunya pembaruan di
bidang hukum, meskipun mereka lebih melihatnya dari aspek manfaat untuk pembangunan-kembali
ekonomi Indonesia.
Satu tahun sebelum lengsernya Pak
Harto, BAPPENAS baru menyelesaikan suatu penelitian dalam bentuk survai
diagnostik tentang perkembangan hukum di Indonesia, dengan pendanaan dari Bank Dunia. Dalam
penelitian yang dilakukan oleh dua kantor hukum ternama di Jakarta : ABNR dan
MKK digambarkan secara terbuka berbagai kelemahan yang ada dalam materi hukum,
tetapi terutama pada perangkat lembaga dan profesi hukum. Kekurangan yang ada
pada korps kehakiman (terutama kurang pengetahuan hukum yang mendalam) dan korps
advokat (kegiatan sebagian mereka melihat hukum sebagai komoditi dagang) sudah
disebut dalam laporan itu. Memang penelitian tersebut terutama memfokuskan kepada
sistem peradilan dan SDM hukum – tujuh kota yang disurvai di Jawa, Sumatera dan
Sulewesi - dan respondennya (total 1370 orang) ditarik dari komunitas hukum,
komunitas bisnis dan komunitas umum (publik).[2]
Satu tahun setelah lengsernya Pak
Harto, pada bulan Oktober 1999 diselenggarakanlah Seminar Hukum Nasional Ke
VII, yang dibuka oleh Presiden Habibie di Istana Negara. Menteri Kehakiman
adalah Prof. Muladi dan Kepala BPHN adalah Prof Natabaya.Tema seminar adalah “Reformasi
Hukum Menuju Masyarakat Madani”. Semua pembicara dalam seminar nasional itu
sangat bersemangat memajukan berbagai gagasan untuk membangun hukum Indonesia
yang lebih modern dan berpihak kepada rakyat (masyarakat madani - civil society – merupakan simbol dan
slogan kelompok reformasi !).
Pihak Bank Dunia mempelajari Laporan
Survai Diagnostik Bappenas (selanjutnya “Penelitian Bappenas”),dan mulai
tertarik untuk memberikan bantuan dana dan tenaga ahli untuk membangun hukum di
Indonesia yang lebih modern dengan lembaga-lembaga hukum yang lebih demokratik.
Tahap awal di mana saya turut terlibat adalah dalam pembentukan Peradilan Niaga
dan Undang-Undang Kepailitan.[3]
Permasalahan ini sudah disinggung secara umum dalam Penelitian Bappenas, tetapi
kegawatan waktu itu (banyaknya perusahaan yang pailit dan sudah sangat tuanya
ketentuan kepailitan Indonesia – Faillisement
Verordening 1906) memberikan urgensi khusus pemberian prioritasnya pada Sekretaris
Kabinet RI Bambang Kesowo. Tahap-tahap di mana saya juga turut terlibat adalah
pada pembentukan awal KPK, dengan bantuan
pendanaan ADB (melalui Dirjen Administrasi Hukum Prof Romli Atmasasmita dan penasihat
asing mantan kepala KPK Hong Kong)[4]
dan pemikiran pembentukan Pengadilan Korupsi (yang termasuk konsep Komisi Hukum
Nasional RI dalam Lokakarya-besar serta Diskusi Panel dan Dengar Pendapat Umum
30 Mei 2000 di Hotel Indonesia Jakarta) serta kegiatan NLRP (National Legal Reform Program- dengan
pendanaan dari Pemerintah Belanda [5].
OPTIMISME DI
TAHUN KEPERESIDENAN GUS DUR
Awal kepresidenan Gus Dur memang
membawa optimism besar bagi mereka yang mendambakan Negara Indonesia yang lebih
demokratik : terbuka – akuntabel – hukum dijalankan secara adil. Pembentukan
Komisi Hukum Nasional (dengan tugas mendesain hukum berdasarkan aspirasi dari
bawah – “bottom up law”) dan Komisi
Ombudsman Indonesia (bertugas menindaklanjuti pengaduan rakyat tentang
ketidakadilan oleh birokrasi) memberikan optimism bahwa kemajuan ekonomi yang
telah dicapai Orde Baru (namun runtuh dalam krisis ekonomi Asia 1997) dapat
dibangkitkan kembali dalam suasana yang memperhatikan aspirasi “wong-cilik” (istilah
untuk lebih dari 50% rakyat Indonesia – mayoritas absolut, namun tanpa suara
!).
Usaha Gus Dur yang pragmatis dan
demokratis: menghapus diskriminasi terhadap kelompok etnik Tionghoa dan agama
Kong Hu Cu; mencoba mencari solusi damai untuk masalah GAM di Aceh, menekankan
kerukunan antar agama, lebih toleran dalam masalah Papua, mengkritik TAP MPR
tentang Partai Komunis Indonesia dan yang serupa telah menimbulkan harapan
besar bagi berbagai kalangan, tidak terkecuali komunitas hukum, bahwa hukum
yang adil akan dapat terlaksana di Indonesia dalam waktu tidak terlalu lama.
Waktu yang pendek masa kepemimpinan Gus Dur telah menghapus (untuk saya) optimism
ini. Jatuhnya kepresidenan Gus Dur adalah antara lain juga karena skandal Bulog
(Bulogate dan Bruneigate, yang mencontoh nama skandal di Amerika Serikat Watergate).
Meskipun optimism saya hilang, tetapi
saya tetap menarik pelajaran dari apa yang terjadi di tahun 1998 (lengsernya
Presiden Suharto) dan tahun 2001 (mundurnya Presiden Abdurrahman Wahid). Saya ingin
mengingat, mempergunakan memory saya dan tidak sekedar mengingat-ingat (recall). Saya ingin mencoba “mengingat-ingat”
apa yang terjadi, untuk kemudian mencoba “mengingat” bagaimana peristiwa yang
lalu itu punya pengaruh pada keadaan sekarang, dan kemudian apa pula yang dapat
kita harapkan untuk masa yang akan datang. Pepatah Belanda mengatakan “ in het heden ligt het verleden in het nu
wat komen zal” – “apa yang terjadi sekarang, adalah akibat masa lalu,
tetapi juga apa yang kita lakukan dan alami sekarang, akan berakibat ke masa
depan kita”. Karena itu saya juga berpendapat, bahwa kesulitan pembangunan
hukum yang adil sekarang ini adalah akibat kekeliruan di bidang hukum yang kita
lakukan di masa lalu. Dan tentu saja, bagaimana kita menghadapi permasalahan
hukum sekarang, akan mepengaruhi perkembangan hukum di masa mendatang. Inilah
benang-merah yang perlu disadari dalam mengikuti uraian singkat saya dalam
tulisan ini.
CITA-CITA
SUPREMASI HUKUM
Supremasi hukum dan negara hukum
merupakan slogan dari gerakan reformasi
di Indonesia tahun 1998. Ini merupakan reaksi atas kenyataan bahwa pada
masa Pak Harto dkk, yang diutamakan adalah stabilitas di bidang politik dan
ekonomi – dengan demikian dirasakan bahwa banyak kebijakan dan keputusan lebih
mementingkan aspek politik dan ekonomi dari pada hukum. Ditemui banyak
pelanggaran hukum, yang kemudian dirumuskan oleh pendukung reformasi sebagai
kebijakan KKN (Korupsi-Kolusi-Nepotisme).
Pelanggaran di bidang politik adalah
antara lain terjadinya suatu
pemerintahan yang tidak demokratis, dengan DPR yang tidak menjalankan fungsinya
untuk mewakili aspirasi rakyat dengan sesungguhnya, karena semua kebijakan
didominasi oleh organisasi (sebenarnya suatu partai politik) Golkar (Golongan
Karya-yang disponsori pemerintah Suharto), dengan dua partai politik lainnya (P3-Partai
Persatuan Pembangunan dan PDI-Partai Demokrasi Indonesia) hanya sebagai
“semi-oposisi”. Pelanggaran di bidang ekonomi adalah dengan dibiarkannya
sekelompok pengusaha (pebisnis) yang dekat dengan pemerintahan (dekat dengan pusat
kekuasaan di “Bina Graha”– kantor presiden dan “Cendana”– rumah presiden)
mendapat monopoli dalam kesempatan-kesempatan proyek ekonomi besar dengan
anggaran negara maupun fasilitas pinjaman luar negeri.[6]
Pelanggaran di bidang hukum adalah kepolisian
dan kejaksaan yang represif terhadap setiap protes atau kritik kepada kebijakan
pemerintah ( dan ini dibantu oleh kekuasaan militer, terutama di daerah-daerah)[7].
Pengadilan yang tidak memperhatikan asas dan ketentuan hukum, dan tidak
independen. Ditambah dengan suatu Mahkamah Agung yang tidak punya wibawa terhadap
jajaran pengadilan-tinggi dan pengadilan negeri di bawahnya. Para advokat yang
di luar negeri akan dapat menyuarakan rasa keadilan , di Indonesia lebih menyuarakan
kekuasaan politik dan kekuasaan uang[8].
Dalam situasi seperti ini
haruslah tetap diakui bahwa Indonesia masih menunjukkan kemajuan yang dipuji oleh
negara-negara industri, sebagai macan-ekonomi yang baru dan pemimpin-regional
yang berwibawa.Bank Dunia pernah menyebut Indonesia dalam tahun 1993 sebagai
bagian dari “the East Asian miracle” dengan tingginya pertumbuhan ekonomi di
Indonesia (rata-rata 7% setahun). Karena itu Indonesia pernah jadi penyelenggara sekaligus Ketua KTT
Non-Blok, dan tuan rumah pertemuan puncak APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation).[9]
Tetapi bagaimana situasi
politik hukum kita ? Bagaimana dengan upaya memberi rasa keadilan diantara
warga dalam masyarakat Indonesia yang multikultural ? Ternyata konflik
horisontal antar suku (misalnya di Sampit, Kalimantan), antar agama (di Poso ,
Sulawesi dan Ambon,Maluku). Keinginan memisahkan diri (separatism) juga masih
ada di Papua. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), ternyata merupakan
wacana hukum ketatanegaraan yang (masih) ideal dan belum praktis direalisasikan
dalam pembangunan hukum Indonesia selama ini. Konsep negara-bangsa (nation-state) NKRI sebagaimana tergambar
dalam negara Amerika Serikat (masyarakat majemuk yang telah menyatu menjadi bangsa Amerika) belum terwujud secara
nyata, kita masih seperti Uni-Eropah (suatu kesatuan politik dengan
sukubangsa-sukubangsa yang memerlukan perlindungan kesetaraan dalam hukum -
lihat pasal 27 Konstitusi kita)[10]. Belum
mampunya hukum Indonesia melindungi keberagaman suku, budaya dan agama
menunjukkan bahwa reformasi di bidang hukum masih berjalan dengan buruk.
MEMBANGUN SDM HUKUM
Kita semua mulai menyadari
bahwa melakukan reformasi hukum, bukanlah hanya dengan merobah peraturan
perundang-undangan saja, sebagaimana banyak diperjuangkan oleh berbagai kelompok-kelompok
reformasi di awal kepresidenan Habibie dan Gus Dur serta kemudian Megawati. Reformasi
di bidang hukum berarti adanya reformasi di berbagai lembaga hukum (legal institutional change). Untuk
keperluan ini diperlukan pula pembaruan dalam pendidikan hukum, khususnya
pendidikan tinggi hukum. Dalam penelitian Bappenas tersebut diatas dirumuskan
diagnose bahwa fakultas-fakultas hukum tidak mengajarkan pengetahuan yang cukup
mengenai praktik hukum (pelatihan keterampilan). Akibatnya mutu sarjana hukum
tidak memuaskan karena tidak memiliki pengetahuan praktis untuk menerapkan
pengetahuan teoritis mereka dalam bekerja. Selanjutnya dikatakan juga bahwa
mutu pengajar hukum di fakultas hukum tidak memuaskan, sebab mereka tidak
mengikuti perkembangan hukum di tingkat dunia. Kefasihan berbahasa Inggris
adalah salah satu kendala, yang menyebabkan sarjana hukum Indonesia tidak dapat
berkomunikasi secara efektif dan berpartisipasi sebagai anggota yang sederajat
dalam berbagai forum internasional.[11]
Keadaan yang dilaporkan hampir
15 tahun yang lalu, menurut saya, belum teratasi sampai sekarang (2011). Masih
ada perbedaan yang besar antara jenis dan tingkat kemahiran yang dipunyai
sarjana hukum Indonesia pada umumnya, dengan permintaan kemahiran yang diminta
di bidang hukum untuk: hakim, jaksa,
advokat, notaris dan para staf biro hukum kementerian. Diperlukan “link and match” yang lebih akurat
antara apa yang diajarkan di fakultas hukum dengan keperluan pasaran kerja di
bidang hukum. Kita harus berani bertanya pada diri kita, apakah dengan hapusnya
Konsorsium Ilmu Hukum (KIH) untuk diganti dengan Paguyuban Dekan Fakultas
Hukum, organisasi baru ini telah mampu menghadapi tantangan perubahan yang
diperlukan ? Misalnya keperluan untuk meningkatkan kemampuan para dosen
fakultas hukum, sukar dilakukan tanpa suatu usaha sebagaimana dahulu dilakukan
oleh KIH :”bersama dan terpusat”. Tetapi sementara ini lebih dari 300 fakultas
hukum negeri dan swasta[12]
menghasilkan sarjana-sarjana hukum yang sebagian besar berkualitas rendah untuk
menopang reformasi di bidang hukum. Makin banyaknya sarjana hukum dengan
kemampuan yang sangat kurang (dalam pengetahuan, keterampilan dan etika hukum)
akan menambah risiko makin tercemarnya dunia penegakan hukum dan peradilan
Indonesia. Ternyata kemajuan dan perobahan yang dibawa oleh kemajuan ekonomi
Indonesia, tidak diimbangi dengan penyesuaian yang berarti dalam pendidikan
sarjana hukum kita.[13]
Suatu kelalaian besar dari “the vanishing
generation”, yang perlu segera diperbaiki sekarang untuk mengurangi
dampaknya di kemudian hari !
Mencoba melihat dengan optimisme ke depan
Dengan memperhatikan
“skandal korupsi besar-besaran” yang terjadi ahir-ahir ini (dalam 2010-2011),
yang melibatkan tidak saja swasta (economic
power) dengan birokrasi (political
power), tapi juga wakil-wakil rakyat (legislative
power), maka dua asas utama dalam kehidupan hukum masih tetap harus
diperjuangkan dengan gigih, yaitu asas “kebebasan” dan asas “persamaan”. Kedua
asas ini adalah tiang-utama tegaknya demokrasi, yang berarti pula akan adanya
“akuntabilitas” dan “keterbukaan” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (bandingkan
a.l dengan penanganan berbagai proyek besar yang menjadi sumber korupsi dan
kolusi dalam pemeritahan kita).
Asas kebebasan mencakup kebebasan
menyatakan pemikiran dan pendapat (a.l menyampaikan kritik), kekebasan
berkelompok dengan orang-orang yang sepaham (a.l kebebasan berserikat) dan
kebebasan warganegara mengatur hidupnya sesuai dengan keyakinannya (a.l kebebasan
beragama). Konflik horisontal dan vertikal yang masih sering terjadi sekarang
merupakan rapor buruk terlaksananya asas ini.
Asas persamaan mencakup
persamaan di muka hukum bagi semua warganegara dan berarti pula adanya
kesempatan yang sama dalam mendapat pendidikan dan memperoleh pekerjaan.
Keadaan sekolah-sekolah negeri yang masih buruk dan pengangguran yang masih
besar menunjukan bahwa asas ini juga belum terpenuhi.
Disamping kedua asas di
atas kita perlu juga berjuang mempersiapkan SDM hukum yang dapat membangun
sistem hukum yang kuat, yang dapat menunjang pemerintahan yang demokratis dan
transparan, serta membantu dibangunnya di perusahaan-perusahaan pemerintah dan
swasta etika “good corporate governance”.
Mengutip Prof Mochtar
Kusumaatmadja, saya juga berpendapat bahwa: keadaan hukum kita “desperate but not hopeless”[14]
dan bahwa dalam membangun hukum, kita
harus melihatnya sebagai “law as a tool
of social engineering”. Namun demikian penafsiran saya mungkin agak
berbeda. Menurut saya keadaan hukum di Indonesia sekarang ini, sudah berada di “lokasi
gawat-darurat”, dan memerlukan perawatan oleh sejumlah sarjana hukum terpilih, secara
ahli, profesional dan hati-hati. Meskipun hukum memang dapat menjadi alat untuk
rekayasa-sosial, jangan pernah lupa bahwa hukum juga adalah alat pengendali-sosial
(social controle) yang rumit. Hukum
juga memerlukan penyempurnaan terus menerus untuk dapat disesuaikan dengan
dinamika masyarakat. Kadang-kadang hukum itu juga perlu perombakan total pada
bagian-bagian tertentu, agar dapat menyesuaikan diri dengan aspirasi masyarakat
dan tidak menjadi alat penguasa saja. Dan disinilah diperlukan kaum
intelegensia hukum, dan bukan sekedar praktisi hukum, untuk dapat melihat ke
depan mendesain pembangunan hukum yang dapat menunjang masyarakat adil dan makmur
di Indonesia. Untuk itu “the vanishing
generation” harus dapat mengembangkan “the
coming generation” !
00O00
[1] Rancangan KUHP yang disusun mulai tahun 1980 berupa prakarsa kepada
Presiden Suharto oleh Prof Sudarto, telah selesai pada tahun 1993, dan kemudian
oleh Menteri Utoyo Usman diserahkan kepada Dirjen Hukum dan Per-UU-an Dep Kehakiman,waktu
itu Prof Bagir Manan, dan sejak itu tidak selesai dibahas kembali dalam
Kementerian Hukum dan HAM hingga hari ini. Suatu contoh tentang kelemahan para
sarjana hukum Indonesia untuk berani
melakukan reformasi ! Hingga sekarang yang berlaku di Indonesia masih Wetboek
van Strafrecht 1918; dan juga Burgerlijk Wetboek 1847; serta Wetboek van Koophandel 1847 semua dengan
teks otentik bahasa Belanda ! Menteri dan Dirjen di atas sama sekali tidak mencerminkan semangat reformasi yang
sedang berlangsung !
[2] Law Reform in Indonesia-Result
of a research study undertaken for the World Bank (Diagnostic Assessment of
Legal Development in Indonesia-IDF Grant No.28557), March,1997, Jakarta: CYBERconsult
– Steering Committee adalah: Sutadi Djajakusuma, Ismail Saleh, Purwoto
Gandasubrata,M.Djaelani, Suhadibroto, Sunaryati Hartono dan Wim Hutapea – Penelitian
dipimpin oleh: Mochtar Kusumaatmadja, Mardjono Reksodiputro, Sri Hartati
Suradijono dan E.Olvia Reksodipoetro – Buku ini kemudian diterbitkan dalam
bahasa Indonesia dengan judul: Reformasi Hukum di Indonesia-Hasil Studi
Perkembangan Hukum – Proyek Bank Dunia, Juni 1999, oleh penerbit yang sama.
[3] Dibahas pertama kali di kantor ABNR dengan Greg Churchill (Of
Counsel ABNR) dan Sean Hagan (Legal Counsel IMF), kemudian melibatkan a.l Hakim
Agung Karlinah Subroto, Din Muhammad, Kartini Muljadi, Fred BG Tumbuan, dll.
[4] Wakil ADB adalah Stefan Synnerstrom dan mantan kepala KPK Hong Kong
adalah Bernard Speville.
[5] Hasil KHN RI dalam medesain reformasi hukum di Indonesia ini
kemudian terbit dengan bantuan The Asia
Foundation dan Partnership-governance
reform in Indonesia dalam sebuah
buku Law Reform Policies
(Recommendations), December 2003, Jakarta: CYBERconsult.Selanjutnya
diterbitkan setiap tahun berbentuk laporan-laporan pengkajian. Sedangkan hasil
dari NLRP telah terbit dalam 30 buku - Program NLRP 2008 – 2010 ini dipimpin
oleh Sebastiaan Pompe.
[6] Namun kebijakan seperti ini telah menghasilkan sejumlah konglomerat
Indonesia (banyak juga yang “pribumi” ) – sebagian terdiskreditkan pada masa
lengsernya Presiden Suharto, tetapi sebagian masih berjaya sampai sekarang,
malah konglomerat Indonesia termasuk sepuluh besar di Asia Tenggara dalam tahun
2011 ini.
[7] Dipergunakan UU Subversi 1963 untuk menindas segala upaya protes
atas kebijakan pemerintah.
[8] Organisasi profesi waktu itu adalah PERADIN, IKADIN, AAI, HPHI, dan
AKHI – disamping itu masih ada PERSAHI, IKAHI, dan PERSAJA.
[9] Lihat juga Siswono Yudo Husodo, 2009, Menuju Welfare State, Jakarta: Baris Baru.
[10] Bandingkan dengan pendapat Soetandyo Wignyosoebroto dan Jimly
Asshiddiqie dalam Bonar Tigor Naipospos dan Robertus Robet (Tim Editor),2009, Beragama,
Berkeyakinan & Berkonstitusi, Jakarta: SETARA Institute.
[11] Keadaan ini dalam laporan Bappenas diikuti dengan saran “improving the efficiency in English of law
graduates; twinning arrangements and law practice institutes” – hal 68 - 71
[12] Perkiraan sementara (tahun 2011) 330 lembaga pendidikan tinggi
hukum,terdiri atas:306 fakultas dan 24 sekolah tinggi. Bersama-sama mereka
menghasilkan 33.000 Sarjana Hukum per tahun ! Duapuluh tahun yang lalu (tahun 1990-an)
baru 13.000 SH per tahun,
[13] Lihat Richard W. Baker et al, 1999, Indonesia The Challenge of Change, Jakarta: CSIS. Lihat juga
laporan UNDP tentang Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2011- yang
melorot tajam menjadi peringkat 124 dari
187 negara, dan berada diperingkat ke-6 di ASEAN, di bawah Singapura, Brunei, Malaysia,
Thailand, dan Filipina (hanya di atas Vietnam, Laos, Kamboja dan Myanmar ).
[14] Penilaian beliau ini disampaikan setelah mendengar kegawatan
kondisi hukum Indonesia sebagaimana dilaporkan dalam Penelitian Bappenas
tersebut di atas.Pendapat ini kemudian dikutip dalam Rekomendasi Laporan ke
Bappenas oleh Sutadi Djajakusuma,SH dan disampaikan kepada Wakil Ketua Bappenas
Ir.Rahardi Ramelan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar