Minggu, 24 November 2013

Ilmu Kepolisian dan Perkembangannya di Indonesia*



-       Kemampuan anggota-anggota profesi kepolisian untuk memberi pelayanan yang berdayaguna dan tepatguna ... banyak tergantung pada perkembangan pendidikan tinggi Ilmu Kepolisian dan perkembangan pengetahuan Ilmu Kepolisian yang harus memberi isi pada pendidikan tersebut (Harsja W Bachtiar, 1994, hal. 83).
-       The journey of a thousand miles begins with one step. (Confucius: 557-479 seb. Masehi)


Sekilas Sejarah
Perkembangan ilmu kepolisian di Indonesia tentunya tidak dapat dipisahkan dari pendidikan kepolisian di Polri. Pendidikan dalam masa Republik Indonesia dapat dimulai dari pembentukkan Akademi Polisi tanggal 17 Juni 1946. setelah pengakuan kedaulatan Desember 1949, maka Akademi Polisi pindah ke Jakarta dan sejak 1 September 1950 diganti namanya menjadi Perguruan Tinggi Negeri Ilmu Kepolisian. Kalau sebelumnya mahasiswa berasal dari anggota polisi dan dari umum (luar organisasi polisi), maka sejak 1951 dinyatakan bahwa hanya pegawai kepolisian yang diterima sebagai mahasiswa (Sejarah Kepolisian, 1999, h. 74-75; Harsja W, Bachtiar, 1994, h. 51, 57)

Dalam staf pengajar PTIK ini terdapat sejumlah gurubesar yang tergabung dalam dewan gurubesar dengan ketua Prof. Mr. Djokosoetono, gurubesar Ilmu Negara, Tatanegara, dan Filsafat Hukum di Universitas Indonesia. Di samping PTIK tentunya ada berbagai macam pendidikan kepolisian yang lebih rendah tingkatannya, yaitu Sekolah Polisi Negara (SPN; dalam tahun 1961 ada 23 sekolah, di seluruh Indonesia) dan pendidikan lainnya, misalnya Balai Latihan  Brimob (diberi nama Sekolah Angkatan Kepolisian, dalam tahun 1961 ada 4 sekolah). Terdapat pula Akademi Ilmu Kepolisian, yang dalam tahun 1965 diubah namanya menjadi Akademi Angkatan Kepolisian, untuk pendidikan tahap bakaloreat (Sarjana Muda). Akademi ini kemudian menjadi AKABRI (Akademi Angkatan Bersenjata RI) Bagian Kepolisan (terjadi tahun 1965 dalam rangka integrasi Polri dengan TNI-AD, AL, dan AU) (Sejarah Kepolisian, h. 170-172; Harsja W. Bachtiar, 1994, h. 59).

Dari lintasan sejarah kita dapat menarik kesimpulan bahwa istilah “ilmu kepolisian” mulai dikenal di Indonesia pda tahun 1950 dan hanya dipergunakan untuk pendidikan tingginya. Menurut saya, dengan sedikit spekulasi, dapat dikatakan bahwa penggagasnya adalah Ketua Dewan Gurubesar PTIK pada waktu itu, yaitu Prof. Mr. Djokosoetono. Karena eratnya kaitan antara fungsi kepolisian dengan sistem ketatanegaraan, maka tidaklah mengherankan bahwa gurubesar ilmu negara dan tatanegara ini mempunyai perhatian yang besar pula pada pembinaan dan pengembangan pendidikan kepolisian di Indonesia. Di Eropa penelitian ilmiah tentang organisasi kepolisan dalam tatanan kenegaraan sudah berkembang sejak pertengahan abad ke-19. Di Jerman kegiatan ilmiah ini dikenal dengan istilah “Polizeiwissenschaff” dan di Belanda dengan nama “Politiewetenschaff”. Menurut Fijnaut, Muller dan Rosenthal (1999, h. XVIII-XIX), untuk Belanda pendekatannya dapat dibagi dua, yaitu dengan “pendekatan tatanegara” (staatkundige politiewetenschap) dan dengan “pendekatan kriminologi” (criminologische politiewetenschap). Yang terakhir ini dapat dipisahkan lagi antara yang difokuskan pada ilmu pengetahuan alam (menjadi kriminalistik) dan yang mempunyai fokus pengetahuan tentang manusia (menjadi antropologi kriminal; ingat Cesare Lombroso).

Penelitian lanjutan yang lebih mendalam masih perlu dilakukan untuk memehami mengapa gurubesar hukum tatanegara Djokosoetono dalam tahun 1950 mempergunakan istilah “ilmu kepolisian” untuk lembaga pendidikan tinggi yang akan mendidik perwira kepolisian. Juga mengapa dalam kurikulum PTIK sejumlah gurubesar diikutsertakan yang memberi pelajaran tentang masyarakat Indonesia[1] (Prof. Hazairin, Prof. Tjan Tjoe Siem dan Prof. Prijono; lihat Harsja W. Bachtiar, 1994, h. 75).


Perlu Kajian tentang Kepolisian
Dalam tahun 1994, Harsja W. Bachtiar, gurubesar Sosiologi dan Sejarah Masyarakat, mantan Dekan PTIK (1980-1987), mengeluh tentang langkanya terbitan ilmiah dalam bahasa Indonesia untuk bidang ilmu kepolisian. Menurut beliau kenyataan ini harusnya mendorong kita untuk “... berusaha jauh lebih banyak agar ilmu kepolisian ... dapat sungguh-sungguh disejajarkan sama dengan pengetahuan keahlian profes-profesi yang sekarang ini jauh lebih maju ...” (h. 34-36). Hanya dua tahun setelah tulisan itu terbit (dan satu tahun, setelah tahun 1995 beliau wafat), Universitas Indonesia secara serius menanggapi pemikiran beliau ini dengan mendirikan Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian (KIK) pada Program Pascasarjananya dalam tahun 1996.

Berbeda dengan PTIK (pendidikan Sarjana) yang pada mula (1950-an) kurikulumnya masih berfokus pada pengetahuan hukum, maka KIK (sebagai pendidikan Magister Ilmu Kepolisian) sudah memindahkan perhatiannya pada ilmu-ilmu sosial.[2] Lambatnya perkembangan ilmu kepolisian di Indonesia (1980-1996), enambelas tahun setelah Dekan Harsja W. Bachtiar mengubah pola pendidikan dan kurikulum di PTIK, dapat dibahas melalui pengaruh politik dalam negara kita dalam pendidikan tinggi hukum di Indonesia. Kita juga dapat melihatnya dari aspek kepentingan politik yang ingin mempengaruhi dan mengendalikan organisasi kepolisian dan pendidikan tenaga-tenaga ahlinya dalam bidang ilmu kepolisian.[3] Selama ± 30 tahun Polri (dan dengan demikian juga pendidikannya) merupakan bagian (terintegrasi) dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), bersama TNI-AD, AL, dan AU. Keadaan seperti ini tidak mengherankan, karena kepolisian mempunyai wewenang yang sah mempergunakan kekuatan (force) atau kekerasan (violence) fisik atas nama negara. Ini merupakan pelaksanaan dari monopoli negara mempergunakan secara ash kekerasan dalam wilayah negaranya (the states monopolization of legitimate force in its territory). Kewenangan penggunaan kekerasan ini perlu dan ditujukan untuk memelihara keamanan di dalam negeri.

Dalam negara hukum yang mempunyai pemerintahan yang demokratis, maka norma umum yang harus berlaku adalah bahwa organisasi kepolisian akan tunduk pada hukum dan kekuasaan demokratis yang ada. Yang dimaksud dengan kekuasaan demokratis adalah kekuasaan yang dibatasi oleh pertanggungjawaban (accountability) kepada rakyat (kedaulatan rakyat). Meskipun kepolisian diberi wewenang mempergunakan kekerasan atas nama negara, namun janganlah diartikan bahwa kegiatan pemolisian (policing) adalah identik dengan penggunaan kekuatan atau kekerasan. Kalau kita mau menerima pengertian bahwa kegiatan pemolisian adalah aspek atau tahap dalam proses pengendalian sosial (social control processes)[4], maka penggunaan kekerasan adalah ultima ratio (alat yang paling jarang dipergunakan dan terakhir). Dalam melakukan tugasnya memelihara keamanan dan ketertiban dalam masyarakat serta menegakkan hukum (Pasal 13 UU Kepolisian 2002), petugas kepolisian sebaiknya memperhatikan pendapat bahwa “pemolisian yang baik adalah suatu ‘seni’, bagaimana menghadapi situasi konflik tanpa perlu melakukan pemaksaan” (good policing .. the craft of handling trouble without resort to coercion – Robert Reiner, 2000, h. 6-7).

Dalam Era Reformasi sekarang ini, dimana kita ingin membangun bersama “polisi-sipil”, maka kajian ilmiah (scientific studies) tentang kepolisian dan pemolisian sangat diperlukan. Perkembangan pengetahuan ilmu kepolisian akan dapat membantu kajian itu, khususnya kalau kita melihat pada kenyataan, kemajemukan masyarakat Indonesia dan makin kompleksnya permasalahan masyarakat kita ini.[5]


Ilmu Kepolisian Sebagai Cabang Ilmu Pengetahuan
Sebagai fakta, maka “ilmu kepolisian” ada di Indonesia dengan dipergunakannya kata ini dalam nama PTIK, sejak 1950. Namun usaha untuk menguraikan secara ilmiah keberadaan ilmu kepolisian ini sebagai suatu disiplin tersendiri, baru dilakukan dalam tahun 1994 dalam buku Harsja Bachtiar, Ilmu Kepolisian. Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan yang Baru. Dalam hal. 16 Harsja Bachtiar berpendapat bahwa “Ilmu Kepolisian ... yang baru, terbentuk sebagai hasil penggabungan unsur pengetahuan yang berasal dari berbagai cabang ilmu pengetahuan yang sudah lama ...”. Dikatakan selanjutnya bahwa “Ilmu Kepolisian lambat laun menjelma menjadi suatu cabang ilmu pengetahuan (discipline) yang baru dan yang mempunyai identitas tersendiri...”. Pada bagian pertama kutipan di atas, memang ilmu kepolisian (yang baru) dilihat sebagai pengetahuan dengan pendekatan “multi-bidang”, namun dalam bagian kedua dari kutipan di atas, kita dapat menafsirkan bahwa dalam perkembangannya di Indonesia, ilmu kepolisian akan “menjelma” dengan “identitas tersendiri”, sehingga menjadi suatu pengetahuan dengan pendekatan antar-bidang (interdisiplin).[6]

Harsja Bachtiar (hal. 36) juga menginginkan bahwa perkembangan ilmu kepolisian di Indonesia ini akan “... berakar pada kenyataan di masyarakat dan kebudayaan Indonesia sendiri sesuai dengan masalah-masalah di lapangan yang dihadapi anggota-anggota kepolisian di Indonesia ...”. Pada akhirnya beliau meminta agar ilmu pengetahuan ini juga berusaha “... untuk mengembangkan suatu kerangka teori yang sesuai dengan tata keteraturan berpikir logika dan juga sesuai dengan kenyataan-kenyataan ... di Indonesia, sebagai pengatur fakta-fakta, konsep-konsep, serta generalisasi-generalisasi...” yang nantinya akan merupakan wujud ilmu kepolisian Indonesia. Usaha untuk meneliti gejala-gejala sosial di Indonesia dan menggambarkan kenyataan di masyarakat, kebudayaan, dan alam lingkungan Indonesia, yang relevan dengan pelaksanaan tugas Polri, telah dilakukan di Program Magister KIK melalui sejumlah penelitian untuk tesis para mahasiswa. Juga melalui Jurnal Polisi Indonesia yang mulai diterbitkan oleh program studi KIK tiga tahun yang lalu, para dosen dan mahasiswa mendapat kesempatan menyebarluaskan penemuan penelitian dan kesimpulan mereka.

Selanjutnya, melalui penelitian dalam program Doktor Ilmu Kepolisian, diharapkan dapat dikembangkan “kerangka teori ... yang sesuai dengan kenyataan-kenyataan di Indonesia”. Pembentukkan kerangka teori ini diharapkan juga membantu dalam pemecahan secara efektif (tepat guna) permasalahan yang kini banyak timbul dalam masyarakat Indonesia. Program Doktor ini telah dimulai dalam tahun 2001, setelah lima tahun lamanya Program Magister berjalan.

Sekarang, sepuluh tahun setelah terbitnya buku Harsja Bachtiar dan sewindu setelah berjalannya pendidikan Magister Ilmu Kepolisian di Universitas Indonesia, dapatlah kita mulai lebih mengembangkan lagi dan mengisi Ilmu Kepolisian Indonesia melalui pemikiran Parsudi Suparlan. Suparlan melihat ilmu kepolisian sebagai ilmu pengetahuan yang mempergunakan pendekatan antar bidang dan mempelajari “... masalah-masalah sosial dan isu-isu penting serta pengelolaan keteraturan sosial dan moral dari masyarakat, ... upaya-upaya penegakkan hukum dan keadilan, dan ... teknik-teknik penyidikan dan penyelidikan berbagai tindak kejahatan serta cara-cara pencegahannya” (TOR, Seminar Ilmu Kepolisian, h. 4).


Profesi Kepolisian dan Ilmu Kepolisian
Suatu pekerjaan hanya dapat dinamakan profesi, apabila pekerjaan itu memerlukan sejumlah kemahiran (skill) dan pengetahuan (knowledge) yang khusus, dan didasarkan pada persiapan akademik dalam ilmu pengetahuan tertentu. Definisi sederhana ini memungkinkan kita melihat keterkaitan antara profesi kepolisian dengan ilmu kepolisian. Selanjutnya harus diperhatikan pula bahwa ilmu kepolisian itu harus terkait pada suatu perguruan tinggi yang mengembangkan ilmu pengetahuan yang menjadi dasar pengetahuan kahlian profesi bersangkutan. Untuk profesi kepolisian, pada waktu ini (2004), baru ada dua pendidikan tinggi yang melakukan hal itu. Untuk pengetahuan tingkat Sarjana (S-1) hal ini dilakukan oleh PTIK, sedangkan untuk pengetahuan tingkat Magister (S-2) dan tingkat Doktor (S-3) hal ini dilakukan di Universitas Indonesia. Oleh karena PTIK dan UI bersama-sama merupakan kampus dimana ilmu kepolisian dikembangkan, maka kedua kampus inipun harus bersama-sama menjaga agar profesi kepolisian dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu kepolisian di dunia (di negara-negara di mana ilmu kepolisian sudah lebih maju).

Salah satu cara mengembangkan pengetahuan ilmu kepolisian ini adalah tentu saja melalui riset (penelitian ilmiah). Riset dapat didefinisikan secara singkat, sebagai penggunaan prosedur baku dan sistematis dalam mencari pengetahuan (the use of standardized and systematic procedurs in the search of knowledge). Pengetahuan (knowledge) di sini adalah fakta (factual knowledge) dan yang dicari adalah fakta baru atau pemahaman yang lebih baik dari fakta yang ada (lama). Hasil penelitian ini akan membantu mengembangkan “body of knowledge” ilmu kepolisian dan diharapkan dapat membantu profesi kepolisian meningkatkan kemampuannya. [7]

Dalam konteks pendapat tentang profesi dan ilmu kepolisian di atas, maka kita juga dapat melihat bahwa “profesionalisme polisi” mengacu pada adanya sejumlah kemahiran dan pengetahuan khusus yang menjadi ciri pelaku, tujuan dan kualitas (conduct, aims, and qualities) pekerjaan polisi. Sebagai seorang profesional, maka seorang anggota Polri adalah otonom, netral, dan independen. Dalam kaitan tentang kedudukan organisasi kepolisian dalam bidang kekuasaan eksekutif (yang mencerminkan kekuasaan partai politik), maka profesionalisme Polri akan berarti dicegahnya campur tangan kalangan politisi dalam kegiatan kepolisian melakukan tugas pokoknya secara profesional sesuai Pasal 13 UU Kepolisian 2002. terkait dengan profesionalisme ini adalah juga adanya diskresi suatu profesi melakukan pekerjaannya. Diskresi ini juga ada pada setiap anggota kepolisian dalam melakukan profesinya. Namun harus diingat dan dijaga secara terus menerus, bahwa “kewenangan atau kekuasaan profesi” melaksanakan diskresi (terdapat pula pada profesi penuntut umum, profesi hakim, dan profesi advokat) selalu mempunyai rambu-rambu pembatas. Penggunaan diskresi secara yang tidak-disalahgunakan harus dapat dikendalikan secara internal melalui kode etik dan sanksi disiplin profesi. Tetapi juga harus disediakan mekanisme pengawasan eksternal berupa pertanggungjawaban secara hukum yang berlaku bagi semua warga sipil (dimana polisi tidak dikecualikan – legal accountability). Penjabaran lebih rinci tentang yang dimaksud oleh Pasal 16 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (1) UU Kepolisian 2002 merupakan pula tugas Ilmu Kepolisian. Sejauhmana diskresi ini (‘mengadakan tindakan lain” dan “ bertindak menurut penilaiannya sendiri”) telah dilaksanakan dengan baik dalam kenyataan di Indonesia, merupakan topik kajian yang sah bagi ilmu kepolisian.


Profesionalisme Polisi dan Hubungan Polisi dengan Masyarakat
Profesionalisme polisi tidak dapat dilepaskan dari peranan yang diharapkan oleh masyarakat tentang apa yang merupakan tugas pokok kepolisian (sebagai organisasi). Secara formal hal ini dapat kita temukan dalam Bab III UU Kepolisian 2002 (Pasal 13-16). Tetapi bilamana ingin dilihat pandangan sederhana masyarakat, maka hal ini akan mengacu pada dua fungsi: penegakkan hukum dan penyelesaian masalah (conflict management; dalam Pasal 2 UU Kepolisian termasuk “pemeliharaan keamanan dan ketertiban”). Dalam fungsinya yang pertama, maka akan terlihat sosok polisi profesional yang berani, menghargai atasan, dapat dipercaya menyelesaikan tuigas, dan taat pada perintah. Fungsi ini dapat kita lihat pada “quasimilitary administrative structure” dalam kepolisian (Klockars, 1988). Tetapi dalam fungsinya yang kedua, maka profesionalisme polisi yang diharapkan masyarakat merujuk pada sosok polisi yang pandai (inteligen), mempunyai “akal-sehat” (common sense), keramahan (friendliness), menghormati warga individu (courtesy), dan kesabaran (patience). Menurut Reksodiputro, inilah dua wajah polisi yang mencerminkan “ambiquity” (ambivalensi) masyarakat terhadap fungsi dan peran polisi dalam kehidupan pribadi masyarakat (digambarkan sebagai “muka-angker” dan “muka-tersenyum”).

Ambivalensi masyarakat[8] ini dapat kita lanjutkan pada hubungan polisi dengan masyarakat. Polisi juga menunjukkan ambivalensi ini. Pendekatan polisi pada penegakkan hukum akan memfokuskan hubungan di atas pada apa yang oleh komunitas harus dilakukan untuk membantu polisi mengendalikan kejahatan, memberi kesaksian dalam penyidikan kejahatan, dan melaporkan adanya “orang-orang yang mencurigakan” dalam lingkungan tempat tinggal atau pekerjaan mereka (orientasi lama Binkamtibmas). Sebaliknya pendekatan polisi pada menyelesaikan masalah (dinamakan juga “peace-keeping orientation”) akan lebih memfokuskan hubungan polisi-masyarakat pada apa yang dapat dikerjakan bersama, sebagai mitra kerja, saling membantu dalam kemitraan. Karena itu mencegah kejahatan maupun ketidaktertiban merupakan tujuan penting kemitraan ini. Apabila polisi mencariinformasi, maka sifatnya adalah timbal balik (mutual exchange) dan bukan semata-mata sebagai kegiatan intelijen polisi (Radelet, 1973, h. 55-56). Strategi yang dicanangkan dengan semboyan kepolisian yang baru, “community policing” (pemolisian komuniti), harus dilihat dalam pendekatan “penyelesaian masalah”. Sebagaimana terlihat dari istilah yang diperlukan dalam strategi ini, esensinya adalah pada partisipasi masyarakat yang didasarkan pada saling mempercayai dan menghormati (mutual trust and respect), dimana masyarakat diberdayakan untuk melindungi diri, aehingga warga akan menginsyafi bahwa arti “membantu polisi” adalah membantu diri sendiri menciptakan komunitas yang lebih baik untuk kehidupan seluruh warga.

Semua yang diuraikan di atas tentu banyak bermuatan teori, konsep-konsep yang perlu diperjelas, dan juga harus dikembalikan pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan berenegara di Indonesia. Inilah pengisian yang diperlukan untuk mengembangkan ilmu kepolisian Indonesia, sesuai kenyataan-kenyataan di Indonesia. Skripsi (S-1), tesis (S-2), dan disertasi (S-3) dalam bidang ilmu kepolisian akan sangat membantu menjadikan “cabang ilmu pengetahuan yang baru” ini mendapat penghargaan pula dari profesi-profesi yang telah lebih ajeg di Indonesia. Terobosan yang dilakukan oleh Universitas Indonesia, dengan membuka program Pascasarjana Magister dan Doktor ilmu kepolisian harus kita lihat pula dari segi ini.

*Makalah ini telah disampaikan dalam Seminar “Ilmu Kepolisian dan Profesionalisme Polri”, dalam rangka Sewindu Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia (Jakarta, 2 September 2004).


Daftar Pustaka
1.  Bachtiar, Harsja W. 1994. Ilmu Kepolisian. Suatu Cabang Ilmu Kepolisian Yang Baru. Grasindo.
2.  Fijnaut, Muller, Rosenthal (Editor). 1999. Politie. Studies over haar werking en organisatie. Samson.
3.  Klockars, Carl B. 1988. “The Rhetoric of Community Policing”, dalam Klockars, Stephen D. Mastrofski. 2000. Thinking about Police. Contemporary Readings.
4.  Radelet, Louis A. 1973. The Police and the Community. Glencoe Press.
5.  Reiner, Robert. 2000. The Politics of the Police. Oxford University Press.


[1] Prof. Dr. Hazairin adalah gurubesar Hukum Adat; Prof. Dr. Tjan Tjoe Siem adalah gurubesar Islam dan Kesusasteraan Jawa; Prof. Dr. R. Prijono adalah gurubesar Bahasa dan Sastra Indonesia.
[2] Dalam kurikulum (2003) Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian terdapat antara lain (untuk semua mahasiswa) mata kuliah: Ilmu Kepolisian Indonesia, Sejarah Kepolisian, Filsafat dan Etika Kepolisian, Masalah Sosial di Indonesia, Perbandingan Sistem Kepolisian, Perubahan Sosial dan Pembangunan, serta Masalah dan Isu HAM.
[3] Polisi dinamakan juga “tangan kuat penguasa” (de sterke arm van de overheid). Karena itu harus diterima bahwa kepolisian (sebagai organisasi)  adalah bagian dari pemerintahan (penguasa). Dan kalau dipergunakan pembagian “tiga kekuasaan politik” (trias politica), maka kepolisian adalah bagian adri “eksekutif”. Sebagai bagian dari eksekutif (yang mencerminkan kekuasaan partai politik), kepolisian tidak lepas dari “pengaruh politik”. Karena itu “polisi yang netral dan independen” hanya berarti bahwa polisi tidak boleh menjadi “alat politik” satu atau lebih partai politik. Dengan kata lain, kepolisian sebagai organisasi tidak boleh bertindak “partisan” dalam “konflik politik”,
[4] Menurut Robert Reiner (2000, h.2) pengendalian sosial diartikan oleh sejumlah teori sosiologi, sebagai segala sesuatu yang menyumbang pada terciptanya ketertiban dalam masyarakat (social order). Namun demikian, ia ingin membatasinya pada: “... the organized ways in which society responds tio behavior and people it regards as deviant, problematic, worrying, threatheing, troublesome or undesirable”.
[5] Menurut Harsja Bachtiar (1994, h. 9-10), bilamana melihat “lapangan kerja” Polri, maka janganlah Indonesia dibandingkan Malaysia, Jepang Korea, Jerman, Perancis, Inggris, ataupun Amerika Serikat. Sebaiknya dibandingkan dengan keseluruhan benua Eropa, yang sedikit banyaknya memperlihatkan juga perbedaan-perbedaan seperti terdapat di Kepulauan Indonesia.
[6] Harsja Bachtiar (h. 15) mengatakan bahwa memang “... cabang ilmu pengetahuan yang baru cenderung memanfaatkan pengetahuan ... cabang ilmu pengetahuan yang telah lebih dahulu diakui ... sehingga (akan) ... bersifat antar cabang ilmu pengetahuan (interdisciplinary), sering juga disebut pengetahuan antarbidang”. Beliau juga membedakannya dari “pengetahuan multidisiplin, pengetahuan yang diperoleh melalui sejumlah pengkajian yang sesungguhnya terpisah satu dari yang lain, meskipun memusatkan perhatian pada permasalahan yang sama”. Prof. Parsudi Suparlan mengerikit pendapat Harsja Bachtiar bahwa Ilmu Kepolisian yang baru cenderung mempergunakan pendekatan multi-bidang (multidisiplin), beliau (Suparlan) berpendapat bahwa ilmu kepolisian pendekatannya sudah antar bidang (sudah dan harus mempergunakan interdisciplinary approach).
[7] Dalam penelitian ini selalu harus diperhatikan apakah ada permasalahan yang bernilai (worthwhile subject) , disamping tentunya apakah ada metode penelitian yang mutahir (up-to-date methods of investigation) yang dapat dipergunakan. Aspek lain yang harus mendapat perhatian adalah kesulitan khusus yang akan ditemui dalam penelitian di bidang Ilmu Kepolisian: akses terhadap data penelitian (responden takut memberi informasi) dan “bias” yang ada pada si peneliti (menghayati nilai-nilai dalam kebudayaan kepolisian).
[8] Ambivalensi masyarakat terdapat pula dalam diskresi kepolisian. Dalam bidang penegakkan hukum (penyelidikan dan penyidikan) masyarakat lebih percaya bahwa polisi akan memperhatikan prosedur resmi (atau sekurang-kurangnya berlindung dibaliknya). Namun dalam bidang non-penegakkan hukum (pemecahan masalah: conflict management, “peace-keeping”), penggunaan diskresi ini lebih “kabur” sebagaimana terlihat dalam Pasal 18 UU Kepolisian 2002: “Untuk kepentingan umum ... bertindak menurut penilaiannya sendiri”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar