- Kemampuan anggota-anggota profesi kepolisian untuk
memberi pelayanan yang berdayaguna dan tepatguna ... banyak tergantung pada
perkembangan pendidikan tinggi Ilmu Kepolisian dan perkembangan pengetahuan
Ilmu Kepolisian yang harus memberi isi pada pendidikan tersebut (Harsja W
Bachtiar, 1994, hal. 83).
- The journey of a thousand miles begins with one step. (Confucius:
557-479 seb. Masehi)
Sekilas Sejarah
Perkembangan ilmu kepolisian
di Indonesia tentunya tidak dapat dipisahkan dari pendidikan kepolisian di
Polri. Pendidikan dalam masa Republik Indonesia dapat dimulai dari pembentukkan
Akademi Polisi tanggal 17 Juni 1946. setelah pengakuan kedaulatan Desember
1949, maka Akademi Polisi pindah ke Jakarta dan sejak 1 September 1950 diganti
namanya menjadi Perguruan Tinggi Negeri Ilmu Kepolisian. Kalau sebelumnya
mahasiswa berasal dari anggota polisi dan dari umum (luar organisasi polisi),
maka sejak 1951 dinyatakan bahwa hanya pegawai kepolisian yang diterima sebagai
mahasiswa (Sejarah Kepolisian, 1999, h. 74-75; Harsja W, Bachtiar, 1994, h. 51,
57)
Dalam staf pengajar PTIK
ini terdapat sejumlah gurubesar yang tergabung dalam dewan gurubesar dengan
ketua Prof. Mr. Djokosoetono, gurubesar Ilmu Negara, Tatanegara, dan Filsafat
Hukum di Universitas Indonesia. Di samping PTIK tentunya ada berbagai macam
pendidikan kepolisian yang lebih rendah tingkatannya, yaitu Sekolah Polisi
Negara (SPN; dalam tahun 1961 ada 23 sekolah, di seluruh Indonesia) dan
pendidikan lainnya, misalnya Balai Latihan
Brimob (diberi nama Sekolah Angkatan Kepolisian, dalam tahun 1961 ada 4
sekolah). Terdapat pula Akademi Ilmu Kepolisian, yang dalam tahun 1965 diubah
namanya menjadi Akademi Angkatan Kepolisian, untuk pendidikan tahap bakaloreat
(Sarjana Muda). Akademi ini kemudian menjadi AKABRI (Akademi Angkatan
Bersenjata RI) Bagian Kepolisan (terjadi tahun 1965 dalam rangka integrasi
Polri dengan TNI-AD, AL, dan AU) (Sejarah Kepolisian, h. 170-172; Harsja W. Bachtiar,
1994, h. 59).
Dari lintasan sejarah
kita dapat menarik kesimpulan bahwa istilah “ilmu kepolisian” mulai dikenal di
Indonesia pda tahun 1950 dan hanya dipergunakan untuk pendidikan tingginya.
Menurut saya, dengan sedikit spekulasi, dapat dikatakan bahwa penggagasnya
adalah Ketua Dewan Gurubesar PTIK pada waktu itu, yaitu Prof. Mr. Djokosoetono.
Karena eratnya kaitan antara fungsi kepolisian dengan sistem ketatanegaraan,
maka tidaklah mengherankan bahwa gurubesar ilmu negara dan tatanegara ini mempunyai
perhatian yang besar pula pada pembinaan dan pengembangan pendidikan kepolisian
di Indonesia. Di Eropa penelitian ilmiah tentang organisasi kepolisan dalam
tatanan kenegaraan sudah berkembang sejak pertengahan abad ke-19. Di Jerman
kegiatan ilmiah ini dikenal dengan istilah “Polizeiwissenschaff” dan di
Belanda dengan nama “Politiewetenschaff”. Menurut Fijnaut, Muller dan
Rosenthal (1999, h. XVIII-XIX), untuk Belanda pendekatannya dapat dibagi dua,
yaitu dengan “pendekatan tatanegara” (staatkundige politiewetenschap)
dan dengan “pendekatan kriminologi” (criminologische politiewetenschap).
Yang terakhir ini dapat dipisahkan lagi antara yang difokuskan pada ilmu
pengetahuan alam (menjadi kriminalistik) dan yang mempunyai fokus pengetahuan
tentang manusia (menjadi antropologi kriminal; ingat Cesare Lombroso).
Penelitian lanjutan yang
lebih mendalam masih perlu dilakukan untuk memehami mengapa gurubesar hukum
tatanegara Djokosoetono dalam tahun 1950 mempergunakan istilah “ilmu
kepolisian” untuk lembaga pendidikan tinggi yang akan mendidik perwira
kepolisian. Juga mengapa dalam kurikulum PTIK sejumlah gurubesar diikutsertakan
yang memberi pelajaran tentang masyarakat Indonesia[1]
(Prof. Hazairin, Prof. Tjan Tjoe Siem dan Prof. Prijono; lihat Harsja W.
Bachtiar, 1994, h. 75).
Perlu Kajian tentang
Kepolisian
Dalam tahun 1994, Harsja
W. Bachtiar, gurubesar Sosiologi dan Sejarah Masyarakat, mantan Dekan PTIK
(1980-1987), mengeluh tentang langkanya terbitan ilmiah dalam bahasa Indonesia
untuk bidang ilmu kepolisian. Menurut beliau kenyataan ini harusnya mendorong
kita untuk “... berusaha jauh lebih banyak agar ilmu kepolisian ... dapat
sungguh-sungguh disejajarkan sama dengan pengetahuan keahlian profes-profesi
yang sekarang ini jauh lebih maju ...” (h. 34-36). Hanya dua tahun setelah
tulisan itu terbit (dan satu tahun, setelah tahun 1995 beliau wafat),
Universitas Indonesia secara serius menanggapi pemikiran beliau ini dengan
mendirikan Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian (KIK) pada Program
Pascasarjananya dalam tahun 1996.
Berbeda dengan PTIK
(pendidikan Sarjana) yang pada mula (1950-an) kurikulumnya masih berfokus pada
pengetahuan hukum, maka KIK (sebagai pendidikan Magister Ilmu Kepolisian) sudah
memindahkan perhatiannya pada ilmu-ilmu sosial.[2]
Lambatnya perkembangan ilmu kepolisian di Indonesia (1980-1996), enambelas
tahun setelah Dekan Harsja W. Bachtiar mengubah pola pendidikan dan kurikulum
di PTIK, dapat dibahas melalui pengaruh politik dalam negara kita dalam
pendidikan tinggi hukum di Indonesia. Kita juga dapat melihatnya dari aspek
kepentingan politik yang ingin mempengaruhi dan mengendalikan organisasi
kepolisian dan pendidikan tenaga-tenaga ahlinya dalam bidang ilmu kepolisian.[3]
Selama ± 30 tahun Polri (dan dengan demikian juga pendidikannya) merupakan
bagian (terintegrasi) dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI),
bersama TNI-AD, AL, dan AU. Keadaan seperti ini tidak mengherankan, karena
kepolisian mempunyai wewenang yang sah mempergunakan kekuatan (force)
atau kekerasan (violence) fisik atas nama negara. Ini merupakan
pelaksanaan dari monopoli negara mempergunakan secara ash kekerasan dalam
wilayah negaranya (the states monopolization of legitimate force in its
territory). Kewenangan penggunaan kekerasan ini perlu dan ditujukan untuk
memelihara keamanan di dalam negeri.
Dalam negara hukum yang
mempunyai pemerintahan yang demokratis, maka norma umum yang harus berlaku
adalah bahwa organisasi kepolisian akan tunduk pada hukum dan kekuasaan
demokratis yang ada. Yang dimaksud dengan kekuasaan demokratis adalah kekuasaan
yang dibatasi oleh pertanggungjawaban (accountability)
kepada rakyat (kedaulatan rakyat). Meskipun kepolisian diberi wewenang
mempergunakan kekerasan atas nama negara, namun janganlah diartikan bahwa
kegiatan pemolisian (policing) adalah
identik dengan penggunaan kekuatan atau kekerasan. Kalau kita mau menerima
pengertian bahwa kegiatan pemolisian adalah aspek atau tahap dalam proses
pengendalian sosial (social control
processes)[4],
maka penggunaan kekerasan adalah ultima ratio (alat yang paling jarang
dipergunakan dan terakhir). Dalam melakukan tugasnya memelihara keamanan dan
ketertiban dalam masyarakat serta menegakkan hukum (Pasal 13 UU Kepolisian
2002), petugas kepolisian sebaiknya memperhatikan pendapat bahwa “pemolisian
yang baik adalah suatu ‘seni’, bagaimana menghadapi situasi konflik tanpa perlu
melakukan pemaksaan” (good policing .. the craft of handling trouble without
resort to coercion – Robert Reiner, 2000, h. 6-7).
Dalam Era Reformasi
sekarang ini, dimana kita ingin membangun bersama “polisi-sipil”, maka kajian
ilmiah (scientific studies) tentang kepolisian dan pemolisian sangat
diperlukan. Perkembangan pengetahuan ilmu kepolisian akan dapat membantu kajian
itu, khususnya kalau kita melihat pada kenyataan, kemajemukan masyarakat
Indonesia dan makin kompleksnya permasalahan masyarakat kita ini.[5]
Ilmu Kepolisian Sebagai
Cabang Ilmu Pengetahuan
Sebagai fakta, maka
“ilmu kepolisian” ada di Indonesia dengan dipergunakannya kata ini dalam nama
PTIK, sejak 1950. Namun usaha untuk menguraikan secara ilmiah keberadaan ilmu
kepolisian ini sebagai suatu disiplin tersendiri, baru dilakukan dalam tahun 1994
dalam buku Harsja Bachtiar, Ilmu Kepolisian. Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan
yang Baru. Dalam hal. 16 Harsja Bachtiar berpendapat bahwa “Ilmu Kepolisian
... yang baru, terbentuk sebagai hasil penggabungan unsur pengetahuan yang
berasal dari berbagai cabang ilmu pengetahuan yang sudah lama ...”. Dikatakan
selanjutnya bahwa “Ilmu Kepolisian lambat laun menjelma menjadi suatu cabang
ilmu pengetahuan (discipline) yang baru dan yang mempunyai identitas
tersendiri...”. Pada bagian pertama kutipan di atas, memang ilmu kepolisian
(yang baru) dilihat sebagai pengetahuan dengan pendekatan “multi-bidang”, namun
dalam bagian kedua dari kutipan di atas, kita dapat menafsirkan bahwa dalam
perkembangannya di Indonesia, ilmu kepolisian akan “menjelma” dengan “identitas
tersendiri”, sehingga menjadi suatu pengetahuan dengan pendekatan antar-bidang
(interdisiplin).[6]
Harsja Bachtiar (hal.
36) juga menginginkan bahwa perkembangan ilmu kepolisian di Indonesia ini akan
“... berakar pada kenyataan di masyarakat dan kebudayaan Indonesia sendiri
sesuai dengan masalah-masalah di lapangan yang dihadapi anggota-anggota
kepolisian di Indonesia ...”. Pada akhirnya beliau meminta agar ilmu
pengetahuan ini juga berusaha “... untuk mengembangkan suatu kerangka teori
yang sesuai dengan tata keteraturan berpikir logika dan juga sesuai dengan
kenyataan-kenyataan ... di Indonesia, sebagai pengatur fakta-fakta,
konsep-konsep, serta generalisasi-generalisasi...” yang nantinya akan merupakan
wujud ilmu kepolisian Indonesia. Usaha untuk meneliti gejala-gejala sosial di
Indonesia dan menggambarkan kenyataan di masyarakat, kebudayaan, dan alam
lingkungan Indonesia, yang relevan dengan pelaksanaan tugas Polri, telah
dilakukan di Program Magister KIK melalui sejumlah penelitian untuk tesis para
mahasiswa. Juga melalui Jurnal Polisi
Indonesia yang mulai diterbitkan
oleh program studi KIK tiga tahun yang lalu, para dosen dan mahasiswa mendapat
kesempatan menyebarluaskan penemuan penelitian dan kesimpulan mereka.
Selanjutnya, melalui penelitian dalam program Doktor Ilmu Kepolisian,
diharapkan dapat dikembangkan “kerangka teori ... yang sesuai dengan
kenyataan-kenyataan di Indonesia”. Pembentukkan kerangka teori ini diharapkan
juga membantu dalam pemecahan secara efektif (tepat guna) permasalahan yang
kini banyak timbul dalam masyarakat Indonesia. Program Doktor ini telah dimulai
dalam tahun 2001, setelah lima tahun lamanya Program Magister berjalan.
Sekarang, sepuluh tahun setelah terbitnya buku Harsja Bachtiar dan
sewindu setelah berjalannya pendidikan Magister Ilmu Kepolisian di Universitas
Indonesia, dapatlah kita mulai lebih mengembangkan lagi dan mengisi Ilmu
Kepolisian Indonesia melalui pemikiran Parsudi Suparlan. Suparlan melihat ilmu
kepolisian sebagai ilmu pengetahuan yang mempergunakan pendekatan antar bidang
dan mempelajari “... masalah-masalah sosial dan isu-isu penting serta
pengelolaan keteraturan sosial dan moral dari masyarakat, ... upaya-upaya
penegakkan hukum dan keadilan, dan ... teknik-teknik penyidikan dan
penyelidikan berbagai tindak kejahatan serta cara-cara pencegahannya” (TOR,
Seminar Ilmu Kepolisian, h. 4).
Profesi Kepolisian dan
Ilmu Kepolisian
Suatu pekerjaan hanya
dapat dinamakan profesi, apabila pekerjaan itu memerlukan sejumlah kemahiran (skill) dan pengetahuan (knowledge) yang khusus, dan didasarkan
pada persiapan akademik dalam ilmu pengetahuan tertentu. Definisi sederhana ini
memungkinkan kita melihat keterkaitan antara profesi kepolisian dengan ilmu
kepolisian. Selanjutnya harus diperhatikan pula bahwa ilmu kepolisian itu harus
terkait pada suatu perguruan tinggi yang mengembangkan ilmu pengetahuan yang
menjadi dasar pengetahuan kahlian profesi bersangkutan. Untuk profesi
kepolisian, pada waktu ini (2004), baru ada dua pendidikan tinggi yang
melakukan hal itu. Untuk pengetahuan tingkat Sarjana (S-1) hal ini dilakukan
oleh PTIK, sedangkan untuk pengetahuan tingkat Magister (S-2) dan tingkat
Doktor (S-3) hal ini dilakukan di Universitas Indonesia. Oleh karena PTIK dan
UI bersama-sama merupakan kampus dimana ilmu kepolisian dikembangkan, maka
kedua kampus inipun harus bersama-sama menjaga agar profesi kepolisian dapat
berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu kepolisian di dunia (di
negara-negara di mana ilmu kepolisian sudah lebih maju).
Salah satu cara
mengembangkan pengetahuan ilmu kepolisian ini adalah tentu saja melalui riset
(penelitian ilmiah). Riset dapat didefinisikan secara singkat, sebagai
penggunaan prosedur baku dan sistematis dalam mencari pengetahuan (the use of standardized and systematic
procedurs in the search of knowledge). Pengetahuan (knowledge) di
sini adalah fakta (factual knowledge) dan yang dicari adalah fakta baru
atau pemahaman yang lebih baik dari fakta yang ada (lama). Hasil penelitian ini
akan membantu mengembangkan “body of knowledge” ilmu kepolisian dan
diharapkan dapat membantu profesi kepolisian meningkatkan kemampuannya. [7]
Dalam konteks pendapat
tentang profesi dan ilmu kepolisian di atas, maka kita juga dapat melihat bahwa
“profesionalisme polisi” mengacu pada adanya sejumlah kemahiran dan pengetahuan
khusus yang menjadi ciri pelaku, tujuan dan kualitas (conduct, aims, and
qualities) pekerjaan polisi. Sebagai seorang profesional, maka seorang
anggota Polri adalah otonom, netral, dan independen. Dalam kaitan tentang
kedudukan organisasi kepolisian dalam bidang kekuasaan eksekutif (yang
mencerminkan kekuasaan partai politik), maka profesionalisme Polri akan berarti
dicegahnya campur tangan kalangan politisi dalam kegiatan kepolisian melakukan
tugas pokoknya secara profesional sesuai Pasal 13 UU Kepolisian 2002. terkait
dengan profesionalisme ini adalah juga adanya diskresi suatu profesi melakukan
pekerjaannya. Diskresi ini juga ada pada setiap anggota kepolisian dalam
melakukan profesinya. Namun harus diingat dan dijaga secara terus menerus, bahwa
“kewenangan atau kekuasaan profesi” melaksanakan diskresi (terdapat pula pada
profesi penuntut umum, profesi hakim, dan profesi advokat) selalu mempunyai
rambu-rambu pembatas. Penggunaan diskresi secara yang tidak-disalahgunakan
harus dapat dikendalikan secara internal melalui kode etik dan sanksi disiplin
profesi. Tetapi juga harus disediakan mekanisme pengawasan eksternal berupa
pertanggungjawaban secara hukum yang berlaku bagi semua warga sipil (dimana
polisi tidak dikecualikan – legal accountability). Penjabaran lebih
rinci tentang yang dimaksud oleh Pasal 16 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (1) UU
Kepolisian 2002 merupakan pula tugas Ilmu Kepolisian. Sejauhmana diskresi ini
(‘mengadakan tindakan lain” dan “ bertindak menurut penilaiannya sendiri”)
telah dilaksanakan dengan baik dalam kenyataan di Indonesia, merupakan topik
kajian yang sah bagi ilmu kepolisian.
Profesionalisme Polisi dan Hubungan Polisi dengan
Masyarakat
Profesionalisme polisi
tidak dapat dilepaskan dari peranan yang diharapkan oleh masyarakat tentang apa
yang merupakan tugas pokok kepolisian (sebagai organisasi). Secara formal hal
ini dapat kita temukan dalam Bab III UU Kepolisian 2002 (Pasal 13-16). Tetapi
bilamana ingin dilihat pandangan sederhana masyarakat, maka hal ini akan
mengacu pada dua fungsi: penegakkan hukum dan penyelesaian masalah (conflict
management; dalam Pasal 2 UU Kepolisian termasuk “pemeliharaan keamanan dan
ketertiban”). Dalam fungsinya yang pertama, maka akan terlihat sosok
polisi profesional yang berani, menghargai atasan, dapat dipercaya
menyelesaikan tuigas, dan taat pada perintah. Fungsi ini dapat kita lihat pada
“quasimilitary administrative structure”
dalam kepolisian (Klockars, 1988). Tetapi dalam fungsinya yang kedua, maka profesionalisme polisi yang
diharapkan masyarakat merujuk pada sosok polisi yang pandai (inteligen),
mempunyai “akal-sehat” (common sense),
keramahan (friendliness), menghormati warga individu (courtesy), dan kesabaran (patience). Menurut Reksodiputro, inilah
dua wajah polisi yang mencerminkan “ambiquity” (ambivalensi) masyarakat
terhadap fungsi dan peran polisi dalam kehidupan pribadi masyarakat
(digambarkan sebagai “muka-angker” dan “muka-tersenyum”).
Ambivalensi masyarakat[8]
ini dapat kita lanjutkan pada hubungan polisi dengan masyarakat. Polisi juga
menunjukkan ambivalensi ini. Pendekatan polisi pada penegakkan hukum akan
memfokuskan hubungan di atas pada apa yang oleh komunitas harus dilakukan untuk
membantu polisi mengendalikan kejahatan, memberi kesaksian dalam penyidikan
kejahatan, dan melaporkan adanya “orang-orang yang mencurigakan” dalam
lingkungan tempat tinggal atau pekerjaan mereka (orientasi lama Binkamtibmas).
Sebaliknya pendekatan polisi pada menyelesaikan masalah (dinamakan juga “peace-keeping
orientation”) akan lebih memfokuskan hubungan polisi-masyarakat pada apa
yang dapat dikerjakan bersama, sebagai mitra kerja, saling membantu dalam
kemitraan. Karena itu mencegah kejahatan maupun ketidaktertiban merupakan
tujuan penting kemitraan ini. Apabila polisi mencariinformasi, maka sifatnya
adalah timbal balik (mutual exchange) dan bukan semata-mata sebagai
kegiatan intelijen polisi (Radelet, 1973, h. 55-56). Strategi yang dicanangkan
dengan semboyan kepolisian yang baru, “community policing” (pemolisian
komuniti), harus dilihat dalam pendekatan “penyelesaian masalah”. Sebagaimana
terlihat dari istilah yang diperlukan dalam strategi ini, esensinya adalah pada
partisipasi masyarakat yang didasarkan pada saling mempercayai dan menghormati
(mutual trust and respect), dimana masyarakat diberdayakan untuk
melindungi diri, aehingga warga akan menginsyafi bahwa arti “membantu polisi”
adalah membantu diri sendiri menciptakan komunitas yang lebih baik untuk
kehidupan seluruh warga.
Semua yang diuraikan di
atas tentu banyak bermuatan teori, konsep-konsep yang perlu diperjelas, dan
juga harus dikembalikan pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan berenegara
di Indonesia. Inilah pengisian yang diperlukan untuk mengembangkan ilmu
kepolisian Indonesia, sesuai kenyataan-kenyataan di Indonesia. Skripsi (S-1),
tesis (S-2), dan disertasi (S-3) dalam bidang ilmu kepolisian akan sangat
membantu menjadikan “cabang ilmu pengetahuan yang baru” ini mendapat penghargaan
pula dari profesi-profesi yang telah lebih ajeg di Indonesia. Terobosan yang
dilakukan oleh Universitas Indonesia, dengan membuka program Pascasarjana
Magister dan Doktor ilmu kepolisian harus kita lihat pula dari segi ini.
*Makalah ini telah disampaikan dalam Seminar “Ilmu Kepolisian dan
Profesionalisme Polri”, dalam rangka Sewindu Kajian Ilmu Kepolisian Universitas
Indonesia (Jakarta, 2 September 2004).
Daftar
Pustaka
1. Bachtiar, Harsja W. 1994. Ilmu Kepolisian. Suatu
Cabang Ilmu Kepolisian Yang Baru.
Grasindo.
2. Fijnaut, Muller, Rosenthal (Editor). 1999. Politie.
Studies over haar werking en organisatie. Samson.
3. Klockars, Carl B. 1988. “The Rhetoric of Community
Policing”, dalam Klockars, Stephen D. Mastrofski. 2000. Thinking about
Police. Contemporary Readings.
4. Radelet, Louis A. 1973. The Police and the Community.
Glencoe Press.
5. Reiner, Robert. 2000. The Politics of the Police.
Oxford University Press.
[1] Prof. Dr.
Hazairin adalah gurubesar Hukum Adat; Prof. Dr. Tjan Tjoe Siem adalah gurubesar
Islam dan Kesusasteraan Jawa; Prof. Dr. R. Prijono adalah gurubesar Bahasa dan
Sastra Indonesia.
[2] Dalam kurikulum
(2003) Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian terdapat antara lain (untuk semua
mahasiswa) mata kuliah: Ilmu Kepolisian Indonesia, Sejarah Kepolisian, Filsafat
dan Etika Kepolisian, Masalah Sosial di Indonesia, Perbandingan Sistem
Kepolisian, Perubahan Sosial dan Pembangunan, serta Masalah dan Isu HAM.
[3] Polisi dinamakan
juga “tangan kuat penguasa” (de sterke arm van de overheid). Karena itu
harus diterima bahwa kepolisian (sebagai organisasi) adalah bagian dari pemerintahan (penguasa).
Dan kalau dipergunakan pembagian “tiga kekuasaan politik” (trias politica),
maka kepolisian adalah bagian adri “eksekutif”. Sebagai bagian dari eksekutif
(yang mencerminkan kekuasaan partai politik), kepolisian tidak lepas dari
“pengaruh politik”. Karena itu “polisi yang netral dan independen” hanya
berarti bahwa polisi tidak boleh menjadi “alat politik” satu atau lebih partai
politik. Dengan kata lain, kepolisian sebagai organisasi tidak boleh bertindak
“partisan” dalam “konflik politik”,
[4] Menurut Robert
Reiner (2000, h.2) pengendalian sosial diartikan oleh sejumlah teori sosiologi,
sebagai segala sesuatu yang menyumbang pada terciptanya ketertiban dalam
masyarakat (social order). Namun demikian, ia ingin membatasinya pada: “... the
organized ways in which society responds tio behavior and people it regards as
deviant, problematic, worrying, threatheing, troublesome or undesirable”.
[5] Menurut Harsja
Bachtiar (1994, h. 9-10), bilamana melihat “lapangan kerja” Polri, maka
janganlah Indonesia dibandingkan Malaysia, Jepang Korea, Jerman, Perancis,
Inggris, ataupun Amerika Serikat. Sebaiknya dibandingkan dengan keseluruhan
benua Eropa, yang sedikit banyaknya memperlihatkan juga perbedaan-perbedaan
seperti terdapat di Kepulauan Indonesia.
[6] Harsja Bachtiar
(h. 15) mengatakan bahwa memang “... cabang ilmu pengetahuan yang baru
cenderung memanfaatkan pengetahuan ... cabang ilmu pengetahuan yang telah lebih
dahulu diakui ... sehingga (akan) ... bersifat antar cabang ilmu pengetahuan (interdisciplinary),
sering juga disebut pengetahuan antarbidang”. Beliau juga membedakannya dari
“pengetahuan multidisiplin, pengetahuan yang diperoleh melalui sejumlah
pengkajian yang sesungguhnya terpisah satu dari yang lain, meskipun memusatkan
perhatian pada permasalahan yang sama”. Prof. Parsudi Suparlan mengerikit
pendapat Harsja Bachtiar bahwa Ilmu Kepolisian yang baru cenderung
mempergunakan pendekatan multi-bidang (multidisiplin), beliau (Suparlan)
berpendapat bahwa ilmu kepolisian pendekatannya sudah antar bidang (sudah dan
harus mempergunakan interdisciplinary
approach).
[7] Dalam penelitian
ini selalu harus diperhatikan apakah ada permasalahan yang bernilai (worthwhile
subject) , disamping tentunya apakah ada metode penelitian yang mutahir (up-to-date methods of investigation)
yang dapat dipergunakan. Aspek lain yang harus mendapat perhatian adalah
kesulitan khusus yang akan ditemui dalam penelitian di bidang Ilmu Kepolisian:
akses terhadap data penelitian (responden takut memberi informasi) dan “bias”
yang ada pada si peneliti (menghayati nilai-nilai dalam kebudayaan kepolisian).
[8] Ambivalensi
masyarakat terdapat pula dalam diskresi kepolisian. Dalam bidang penegakkan
hukum (penyelidikan dan penyidikan) masyarakat lebih percaya bahwa polisi akan
memperhatikan prosedur resmi (atau sekurang-kurangnya berlindung dibaliknya).
Namun dalam bidang non-penegakkan hukum (pemecahan masalah: conflict
management, “peace-keeping”), penggunaan diskresi ini lebih “kabur”
sebagaimana terlihat dalam Pasal 18 UU Kepolisian 2002: “Untuk kepentingan umum
... bertindak menurut penilaiannya sendiri”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar