Judul di
atas saya buat untuk menyatakan kekesalan saya pada komunitas hukum di
Indonesia. Kekesalan ini disebabkan karena begitu banyak masalah hukum mendasar
yang perlu diselesaikan, namun diabaikan karena sibuk dengan masalah-masalah kecil
yang sering bersifat pribadi. Salah satu yang ingin saya tanggapi dalam makalah
ini adalah lambatnya kita menyelesaikan Konsep Rancangan KUHPidana Nasional dan
Konsep Rancangan KUHAP (baru) menjadi hukum positif di Indonesia.
Sekelumit sejarah tentang KUHPidana
kita.
Menurut
saya KUHPidana yang sah berlaku adalah yang tertulis dalam bahasa Belanda (Wetbooek
van Strafrecht Nederlands-Indie, S.1915 No.732), yang mulai berlaku tahun 1918.
Mengapa begitu ? Karena hingga sekarang tidak pernah diterbitkan terjemahan
otentik (sah) dari KUHPid yang berbahasa Belanda tersebut ke bahasa Indonesia.
Untuk mengatasi hal itu, tahu 1980 pemerintah membentuk Tim Pengkajian yang
dipimpin oleh Prof.Sudarto, SH dengan penasihat Prof.Oemar Senoadjie, SH. Tim
menyelesaikan tugasnya pada tahun 1993 dan Prof. Mardjono Reksodiputro yang
memimpin Tim setelah wafatnya Prof.Sudarto (1986) didampingi oleh Kepala BPHN
Dep.Kehakiman Prof.Sunaryati Hartono menyerahkan
naskah akhir Konsep Rancangan KUHPid
Nasional kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh,SH. Naskah ini kemudian diserahkan kepada Menteri Kehakiman Utoyo
Usman,SH dan Dirjen Hukum dan Perundang-undangan Prof.Bagir Manan yang
berpendapat masih perlu melakukan penyempurnaan kembali. Dan sejak 1993
-2012/2013 naskah ini sudah berjalan 20
tahun dan kita masih tetap memakai KUHPid yang tidak sah teksnya (dengan 4
terjemahan yang berbeda) dalam peradilan kita. Dan komunitas hukum tidak ada
yang menegurnya (kecuali beberapa orang di universitas).
Sekarang, sedikit sejarah tentang
KUHAP kita.
Kalau untuk
KUHPid/WVS saya memakai tahun 1915, maka untuk KUHAP kita harus mulai dengan IR
(Inlandsch Reglement,1926) yang
kemudian diperbaharui menjadi HIR (Herziene
Inlandsch Reglement, 1941). Perubahan IR menjadi HIR adalah perjuangan
sarjana-sarjana hukum Belanda yang mengkritik IR sebagai sangat represif. HIR
lebih baik, tetapi sebenarnya belum pernah diterpakan (diajarkan) kepada Polisi
dan Jaksa Hindia Belanda, karena tahun 1942 pemerintahan militer Jepang (dengan
polisi militer Kempetai-nya) menguasai aparat penegak hukum kita. Jadi boleh
saja kita mengkritik HIR, tetapi pelaksanaan KUHAP 1981 tidak lebih baik
(malahan lebih buruk dari apa yan tersurat dan tersirat dalam HIR). Mengapa ?
Perlu
dipahami bahwa budaya kerja aparat hukum kita itu, tidak dipengaruhi oleh HIR
(yang ingin memperbaiki IR), tetapi oleh budaya kerja IR (yang sangat
represif/colonial) dan ditambah budaya kerja Kempetai (polisi militer Jepang).
Budaya kerja tidak mudah diubah, karena itu usaha KUHAP 1981 mengubah sikap
alat penegak hukum terhadap tersangka dan terdakwa tidak terlalu
berhasil,karena “budaya kerja” represif dengan “biaya siluman” adalah warisan
kita dari IR (bukan dari HIR) dan Kempetai.
Pembaruan yang perlu dan segera
Tentunya
apa yang perlu mendapat prioritas adalah subyektif. Namun yang perlu kita
sadari sebagai Pemimpin yang ingin mengubah “budaya kerja” di Sistem Peradilan
Pidana (SPP) kita, adalah bahwa peraturan/undang-undang tidak akan mungkin
mengubah perilaku alat penegak hukum kita. Pendapat seorang hakim Belanda yang
kemudian menjadi Menteri Kehakiman dan gurubesar (pada jaman kolonial Hindia
Belanda) patut kita cermati dengan baik. Ujarnya : “Beri saya anak-buah alat penegak hukum yang jujur dan beradab, maka dengan peraturan yang buruk sekalipun saya dapat menciptakan suasana keadilan (rechtsvaardig sfeer)”. Secara a
contrario saya menyimpulkan bahwa bagaimanapun baiknya peraturan itu (dalam
hal ini KUHPid dan KUHAP yang akan datang), tanpa perubahn dalam budaya-kerja
organisasi Kepolisian – Kejaksaan – Mahkamah Agung – Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan – dan Advokat/Notaris/PPAT, maka anggota semua organisasi ini akan tetap represif dan koruptif.Jadi
yang menjadi proritas adalah mengubah budaya kerja (yaitu a.l. sikap profesional
pada tugasnya) !
Apa lagi
yang dapat jadi prioritas ?
Menurut
saya sistem pemidanaan (straf stelsel) yang manusiawi dalam
KUHPid yad – boleh ada pidana mati,
tetapi sangat terbatas dan ada cara pengampunan – pidana penjara dicantumkan sedikit mungkin (lembaga pemasyarakatan kita
gagal total !) – pada kejahatan harta benda pidana penjara dapat diganti dengan
denda – untuk orang miskin denda dapat dicicil, dll. Konsep RKUPid Nasional
1993 telah memperhatikan hal-hal ini, misalnya tentang pidana mati, pidana
denda, pedoman pemidanaan, perbedaan pidana untuk orang dewasa dengan untuk
anak-anak (Beijing Rules), adanya
pidana minimum khusus disamping
pidana minimum umum (penjara 1 hari).
Bagaimana dengan KUHAP yad ? Kalau budaya kerja organisasi yang jujur dan beradab (honest and civilized) sudah dapat diciptakan, maka yang diperlukan adalah sistem kolaborasi yang menciptakan sinergi antar unsur-unsur SPP. SPP Jepang (the Criminal Justice of Japan) mengibaratkan kerja antar Polisi-JPU-Hakim-LP-dan Advokat, adalah sebagai roda-roda kecil dalam arloji, yang saling berkolaborasi menciptakan sinergi “penunjukan waktu yang selalu tepat”. Inilah yang dikenal sebagai “integrated criminal justice system” – tidak saling bersaing untuk “kekuasaan” .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar