Kamis, 07 November 2013

Mengapa Komunitas Hukum Kita Apatis ?



Pendahuluan
Judul di atas saya buat untuk menyatakan kekesalan saya pada komunitas hukum di Indonesia. Kekesalan ini disebabkan karena begitu banyak masalah hukum mendasar yang perlu diselesaikan, namun diabaikan karena sibuk dengan masalah-masalah kecil yang sering bersifat pribadi. Salah satu yang ingin saya tanggapi dalam makalah ini adalah lambatnya kita menyelesaikan Konsep Rancangan KUHPidana Nasional  dan  Konsep Rancangan KUHAP (baru) menjadi hukum positif di Indonesia.

Sekelumit sejarah tentang KUHPidana kita.
Menurut saya KUHPidana yang sah berlaku adalah yang tertulis dalam bahasa Belanda (Wetbooek van Strafrecht Nederlands-Indie, S.1915 No.732), yang mulai berlaku tahun 1918. Mengapa begitu ? Karena hingga sekarang tidak pernah diterbitkan terjemahan otentik (sah) dari KUHPid yang berbahasa Belanda tersebut ke bahasa Indonesia. Untuk mengatasi hal itu, tahu 1980 pemerintah membentuk Tim Pengkajian yang dipimpin oleh Prof.Sudarto, SH dengan penasihat Prof.Oemar Senoadjie, SH. Tim menyelesaikan tugasnya pada tahun 1993 dan Prof. Mardjono Reksodiputro yang memimpin Tim setelah wafatnya Prof.Sudarto (1986) didampingi oleh Kepala BPHN Dep.Kehakiman Prof.Sunaryati  Hartono menyerahkan naskah akhir Konsep Rancangan KUHPid Nasional kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh,SH. Naskah ini kemudian  diserahkan kepada Menteri Kehakiman Utoyo Usman,SH dan Dirjen Hukum dan Perundang-undangan Prof.Bagir Manan yang berpendapat masih perlu melakukan penyempurnaan kembali. Dan sejak 1993 -2012/2013 naskah  ini sudah berjalan 20 tahun dan kita masih tetap memakai KUHPid yang tidak sah teksnya (dengan 4 terjemahan yang berbeda) dalam peradilan kita. Dan komunitas hukum tidak ada yang menegurnya (kecuali beberapa orang di universitas).  

Sekarang, sedikit sejarah tentang KUHAP kita.
Kalau untuk KUHPid/WVS saya memakai tahun 1915, maka untuk KUHAP kita harus mulai dengan IR (Inlandsch Reglement,1926) yang kemudian diperbaharui menjadi HIR (Herziene Inlandsch Reglement, 1941). Perubahan IR menjadi HIR adalah perjuangan sarjana-sarjana hukum Belanda yang mengkritik IR sebagai sangat represif. HIR lebih baik, tetapi sebenarnya belum pernah diterpakan (diajarkan) kepada Polisi dan Jaksa Hindia Belanda, karena tahun 1942 pemerintahan militer Jepang (dengan polisi militer Kempetai-nya) menguasai aparat penegak hukum kita. Jadi boleh saja kita mengkritik HIR, tetapi pelaksanaan KUHAP 1981 tidak lebih baik (malahan lebih buruk dari apa yan tersurat dan tersirat dalam HIR). Mengapa ?

Perlu dipahami bahwa budaya kerja aparat hukum kita itu, tidak dipengaruhi oleh HIR (yang ingin memperbaiki IR), tetapi oleh budaya kerja IR (yang sangat represif/colonial) dan ditambah budaya kerja Kempetai (polisi militer Jepang). Budaya kerja tidak mudah diubah, karena itu usaha KUHAP 1981 mengubah sikap alat penegak hukum terhadap tersangka dan terdakwa tidak terlalu berhasil,karena “budaya kerja” represif dengan “biaya siluman” adalah warisan kita dari IR (bukan dari HIR) dan Kempetai.

Pembaruan yang perlu dan segera
Tentunya apa yang perlu mendapat prioritas adalah subyektif. Namun yang perlu kita sadari sebagai Pemimpin yang ingin mengubah “budaya kerja” di Sistem Peradilan Pidana (SPP) kita, adalah bahwa peraturan/undang-undang tidak akan mungkin mengubah perilaku alat penegak hukum kita. Pendapat seorang hakim Belanda yang kemudian menjadi Menteri Kehakiman dan gurubesar (pada jaman kolonial Hindia Belanda) patut kita cermati dengan baik. Ujarnya : “Beri saya anak-buah alat penegak hukum yang jujur dan beradab, maka  dengan peraturan yang buruk sekalipun saya dapat menciptakan suasana keadilan (rechtsvaardig sfeer)”. Secara a contrario saya menyimpulkan bahwa bagaimanapun baiknya peraturan itu (dalam hal ini KUHPid dan KUHAP yang akan datang), tanpa perubahn dalam budaya-kerja organisasi Kepolisian – Kejaksaan – Mahkamah Agung – Direktorat Jenderal Pemasyarakatan – dan Advokat/Notaris/PPAT, maka anggota semua  organisasi ini akan tetap represif dan koruptif.Jadi yang menjadi proritas adalah mengubah budaya kerja (yaitu a.l. sikap profesional pada tugasnya) !

Apa lagi yang dapat jadi prioritas ?
Menurut saya sistem pemidanaan (straf stelsel) yang manusiawi dalam KUHPid yad  – boleh ada pidana mati, tetapi sangat terbatas dan ada cara pengampunan – pidana penjara dicantumkan  sedikit mungkin (lembaga pemasyarakatan kita gagal total !) – pada kejahatan harta benda pidana penjara dapat diganti dengan denda – untuk orang miskin denda dapat dicicil, dll. Konsep RKUPid Nasional 1993 telah memperhatikan hal-hal ini, misalnya tentang pidana mati, pidana denda, pedoman pemidanaan, perbedaan pidana untuk orang dewasa dengan untuk anak-anak (Beijing Rules), adanya pidana minimum khusus disamping pidana minimum umum (penjara 1 hari).

 
Bagaimana dengan KUHAP yad ? Kalau budaya kerja organisasi yang jujur dan beradab (honest and civilized) sudah dapat diciptakan, maka yang diperlukan adalah sistem kolaborasi yang menciptakan sinergi antar unsur-unsur SPP. SPP Jepang (the Criminal Justice of Japan) mengibaratkan kerja antar Polisi-JPU-Hakim-LP-dan Advokat, adalah sebagai roda-roda kecil dalam arloji, yang saling berkolaborasi menciptakan sinergi “penunjukan waktu yang selalu tepat”. Inilah yang dikenal sebagai “integrated criminal justice system” – tidak saling bersaing untuk “kekuasaan” .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar