Minggu, 24 November 2013

Polisi, Birokrasi, Profesionalisme dan Kebudayaan Polisi*



Secara sederhana Robert Reiner (2000) menggambarkan: “The police are identified primarily as a body a people patroling public places in ... uniforms, with a broad mandate of crime control, order maintenance and some ... social service functions”. Inilah yang biasa dilihat publik. Tetapi masih ada tambahannya: “... the police organization contain non-uniformed detectives, concerned primarily with the investigation and processing of criminal offences ...”. Bagian polisi ini yang banyak masuk dalam cerita-cerita kriminal (buku dan film). Yang tidak (jarang) terlihat (kecuali kalau ada urusan ke kantor polisi) adalah “... backroom administrative staff and managers”. Polisi yang berpatroli untuk memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, dan menegakkan hukum pidana, serta mengelola seluruh sumberdaya manusia berada dalam sebuah lembaga sosial yang dinamakan kepolisian.

Lembaga sosial ini merupakan bagian dari pemerintahan negara kita dan berada dalam bagian (cabang) pemerintahan yang dinamakan “Eksekutif” (disamping cabang yang lain: Legislatif dan Yudikatif). Karena itu kepolisian tidak mungkin lepas atau bebas dari birokrasi pemerintah (eksekutif). Birokeasi Weber bermaksud menggambarkan adanya administrasi publik yang dijalankan secara rasional dan legal. Ini untuk membedakan dengan administrasi publik yang berdasarklan otoritas tradisional (tradisi, status pribadi) dan otoritas karismatik (wahyu; pahlawan). Sebaliknya otoritas yang rasional dan legal bersandar pada pola-pola aturan normatif serta adalah hak mereka yang telah diangkat untuk menyandang otoritas memberikan perintah. Jadi birokrasi Weber dengan administrasi publiknya yang dijalankan secara rasional dan legal, menimbulkan otoritas berdasarkan hukum. Disinilah letak legitimasi kekuasaan kepolisian sebagai organisasi birokrasi kekuasaan kepolisian sebagai organisasi birokrasi. Apabila ingin dipertentangkan dengan “rakyat yang lemah” (lihat “Proposal Seminar”, hal. 2), maka yang dipermasalahkan adalah kesahihan (validity) kekuasaan memerintah tersebut. Menurut saya birokrasi Weber menginginkan bahwa kewenangan memerintah kepolisian itu harus didasarkan pada suatu sistem peraturan yang rasional, dibentuk secara sadar dan ditaati sebagai sistem norma yang mengikat umum (peraturan itu juga sebaiknya mencerminkan aspirasi dan berpihak pada rakyat).

Birokrasi juga menuju pada spesialisasi fungsi (polisi yang berpatroli, polisi reserse, polisi gegana, polisi brimob, polisi manajer, dll). Yang biasanya dipermasalahkan dalam birokrasi adalah apabila struktur organisasi itu menjadi begitu besar dan tidak terkendali (unwieldy; unflexible) dan tidak ada inisiatif (birokrat menjalankan aturan sebagai “harga-mati”). Atau organisasi birokrasi hanya mengabdi pada golongan tertentu dalam masyarakat (menjadi “plutokrasi”). Sebenarnya spesialisasi fungsi dalam birokrasi akan dapat menciptakan profesionalisme. Birokrasi yang membuka kesempatan “pembagian fungsi” (division of labor) akan menghasilkan ahli-ahli khusus (specialist) yang bekerja secara “profesional” (sine ira ac studio; without bias or favor). Dalam harapan masyarakat “polisi-baru nanti dapat bekerja secara profesional dan secara cepat, tepat, pasti dan berlanjut (kepastian hukum).

Secara sederhana “kebudayaan polisi” (cop culture) menurut Robert Reiner adalah “... how police officers see the social world and their role in it”. Atau kalau dipandang dari segi kerja mereka “... the orientations implied and expressed by officers in the course of their work”.  J. Crank mengaitkannya pada pengertian kebudayaan yang lebih luas: “Culture is a body of knowledge that emerges through the shared application of practical skills to concrete problems encountered in daily routines and the normal course of activities. This body of knowledge contains both information and values, and behavior tends to flow from this body of knowledge in ways that are self-confirming”. Yang penting menurut saya adalah bahwa kita paham “organisasi birokrasi kepolisian Indonesia” itu berada dalam  “kebudayaan polisi Indonesia”. Ciri-ciri (unsur-unsur) kebudayaan polisi yang kita baca dari bahan pustaka asing, masih perlu kita cocokkan dalam konteks polisi Indonesia. Uraian mengenai birokrasi, khususnya tentang kemungkinan birokrasi kepolisian Indonesia, memerlukan pula studi lebih lanjut tentang kebudayaan polisi Indonesia. Bagaimana cara kerja polisi Indonesia dalam birokrasi yang ada sekarang (misalnya bagaimana profesionalisme kerjanya), ditentukan (pula) oleh kebudayaan (kerja) polisi Indonesia. Apakah kita dapat menjalankan “community policing” (pemolisian komuniti) yang berintikan “empowering the community for self-help” (the Broken Windows Theory of Policing) ditentukan (pula) oleh usaha kita memahami kebudayaan (kerja) polisi Indonesia sekarang itu.

*Tulisan ini telah disampaikan pada Pembekalan Angkatan-8 Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia (Jakarta, 1 September 2003).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar