Secara sederhana Robert Reiner (2000)
menggambarkan: “The police are identified primarily as a body a people
patroling public places in ... uniforms, with a broad mandate of crime control,
order maintenance and some ... social service functions”. Inilah yang biasa
dilihat publik. Tetapi masih ada tambahannya: “... the police
organization contain non-uniformed detectives, concerned primarily with the
investigation and processing of criminal offences ...”. Bagian polisi ini
yang banyak masuk dalam cerita-cerita kriminal (buku dan film). Yang tidak
(jarang) terlihat (kecuali kalau ada urusan ke kantor polisi) adalah “...
backroom administrative staff and managers”. Polisi yang berpatroli untuk
memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, dan
menegakkan hukum pidana, serta mengelola seluruh sumberdaya manusia
berada dalam sebuah lembaga sosial yang dinamakan kepolisian.
Lembaga sosial ini merupakan bagian dari
pemerintahan negara kita dan berada dalam bagian (cabang) pemerintahan yang
dinamakan “Eksekutif” (disamping cabang yang lain: Legislatif dan Yudikatif).
Karena itu kepolisian tidak mungkin lepas atau bebas dari birokrasi pemerintah
(eksekutif). Birokeasi Weber bermaksud menggambarkan adanya administrasi publik
yang dijalankan secara rasional dan legal. Ini untuk membedakan dengan
administrasi publik yang berdasarklan otoritas tradisional (tradisi, status
pribadi) dan otoritas karismatik (wahyu; pahlawan). Sebaliknya otoritas
yang rasional dan legal bersandar pada pola-pola aturan normatif serta
adalah hak mereka yang telah diangkat untuk menyandang otoritas memberikan
perintah. Jadi birokrasi Weber dengan administrasi publiknya yang dijalankan
secara rasional dan legal, menimbulkan otoritas berdasarkan hukum. Disinilah
letak legitimasi kekuasaan kepolisian sebagai organisasi birokrasi kekuasaan
kepolisian sebagai organisasi birokrasi. Apabila ingin dipertentangkan dengan “rakyat
yang lemah” (lihat “Proposal Seminar”, hal. 2), maka yang dipermasalahkan
adalah kesahihan (validity) kekuasaan memerintah tersebut. Menurut saya
birokrasi Weber menginginkan bahwa kewenangan memerintah kepolisian itu harus
didasarkan pada suatu sistem peraturan yang rasional, dibentuk secara sadar dan
ditaati sebagai sistem norma yang mengikat umum (peraturan itu juga sebaiknya
mencerminkan aspirasi dan berpihak pada rakyat).
Birokrasi juga menuju pada spesialisasi
fungsi (polisi yang berpatroli, polisi reserse, polisi gegana, polisi brimob,
polisi manajer, dll). Yang biasanya dipermasalahkan dalam birokrasi adalah
apabila struktur organisasi itu menjadi begitu besar dan tidak terkendali (unwieldy;
unflexible) dan tidak ada inisiatif (birokrat menjalankan aturan sebagai
“harga-mati”). Atau organisasi birokrasi hanya mengabdi pada golongan tertentu
dalam masyarakat (menjadi “plutokrasi”). Sebenarnya spesialisasi fungsi dalam
birokrasi akan dapat menciptakan profesionalisme. Birokrasi yang membuka
kesempatan “pembagian fungsi” (division of labor) akan menghasilkan
ahli-ahli khusus (specialist) yang bekerja secara “profesional” (sine
ira ac studio; without bias or favor). Dalam harapan masyarakat
“polisi-baru nanti dapat bekerja secara profesional dan secara cepat, tepat,
pasti dan berlanjut (kepastian hukum).
Secara sederhana “kebudayaan polisi” (cop
culture) menurut Robert Reiner adalah “... how police officers see the
social world and their role in it”. Atau kalau dipandang dari segi kerja
mereka “... the orientations implied and expressed by officers in the course
of their work”. J. Crank
mengaitkannya pada pengertian kebudayaan yang lebih luas: “Culture is a body
of knowledge that emerges through the shared application of practical skills to
concrete problems encountered in daily routines and the normal course of
activities. This body of knowledge contains both information and values, and
behavior tends to flow from this body of knowledge in ways that are
self-confirming”. Yang penting menurut saya adalah bahwa kita paham
“organisasi birokrasi kepolisian Indonesia” itu berada dalam “kebudayaan polisi Indonesia”. Ciri-ciri
(unsur-unsur) kebudayaan polisi yang kita baca dari bahan pustaka asing, masih
perlu kita cocokkan dalam konteks polisi Indonesia. Uraian mengenai birokrasi,
khususnya tentang kemungkinan birokrasi kepolisian Indonesia, memerlukan pula
studi lebih lanjut tentang kebudayaan polisi Indonesia. Bagaimana cara kerja
polisi Indonesia dalam birokrasi yang ada sekarang (misalnya bagaimana
profesionalisme kerjanya), ditentukan (pula) oleh kebudayaan (kerja) polisi
Indonesia. Apakah kita dapat menjalankan “community policing”
(pemolisian komuniti) yang berintikan “empowering the community for
self-help” (the Broken Windows Theory of Policing) ditentukan (pula) oleh
usaha kita memahami kebudayaan (kerja) polisi Indonesia sekarang itu.
*Tulisan ini telah disampaikan
pada Pembekalan Angkatan-8 Kajian Ilmu Kepolisian Universitas
Indonesia (Jakarta, 1 September 2003).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar