Jumat, 01 November 2013

Menyelaraskan Pendidikan Tinggi Hukum Indonesia Dengan Arah Pembangunan*

Pendahuluan

Tulisan ini hanya merupakan suatu refleksi tentang pendidikan tinggi hukum di Indonesia oleh seorang yang satu-setengah kakinya masih berada di dunia pendidikan hukum, dan setengah kakinya mulai meninggalkan dunia profesi hukum. Mulai tahun 1959 (dua tahun sebelum lulus SH tahun 1961) sampai sekarang, saya bekerja sebagai dosen universitas dan mulai 1970 (tiga tahun setelah kembali studi di Amerika Serikat) saja bekerja pada kantor konsultan hukum (sekarang tidak aktif). Mudah-mudahan tulisan ini masih ada manfaatnya** .

Kecuali sebagai dosen tetap dan menjabat dekan fakultas hukum UI (1984-1990), saya juga turut memimpin Konsorsium Ilmu Hukum,Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI (1990-2003) dan a.l membangun dan memimpin Program Kajian Magister Ilmu Kepolisian UI (1996-2006).Sekarang saya menjadi sekretaris Komisi Hukum Nasional R.I. Pengalaman ini juga pasti mewarnai ulasan saya di bawah ini.  


Kritik Kepada Pendidikan Tinggi Hukum Kita

Sejak saya mahasiswa (1955-1961) kritik pedas selalu diajukan bahwa sarjana hukum kita tidak “siap-kerja” (malah yang lebih keras mengatakan “useless”- tidak “siap-pakai”). Apa yang dimaksud oleh para pemberi kritik ini? Menurut saya hal ini menunjukan bahwa pendidikan tinggi hukum kita menghasilkan seorang “generalist”,padahal pasar meminta seorang “specialist”.Apakah ini salah ? Tetapi diujung yang lain hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan dan kemahiran sarjana hukum kita tidak memenuhi persyaratan pasar-kerja. Kesenjangan dengan pasar-kerja inilah yang kemudian ingin diperbaiki melalui atau dengan slogan “link and match” (konsep Menteri Pendidikan RI Daud Jusuf awal tahun 1980-an ).

Kedua kritik itu beda dalam dimensi dan solusinya.Yang pertama, seorang “generalist”, adalah memang tujuan pendidikan “umum” seorang sarjana hukum, dia harus menguasai dasar-dasar ilmu hukum, asas-asas hukum yang utama untuk menopang cara berpikir seorang sarjana hukum, cara menemukan hukum dalam berbagai bahan pustaka,yurisprudensi dan peraturan, serta mampu menyusun argumentasi dengan logika hukum dalam bahasa Indonesia yang baik. Pekerjaan yang harus dapat ditujunya adalah menjadi seorang hakim atau seorang advokat yang handal.. Perbandingannya adalah seperti juga seorang sarjana kedokteran, untuk menjadi dokter umum di rumah sakit atau praktek dokter umum.

Yang lebih sulit adalah memahami keinginan pasar kerja tentang “link and match”. Dalam bahasa ekonomi yang mendominasi pasar-kerja, maka yang digambarkan adalah seorang sarjana hukum yang memahami dunia bisnis dan industri.Tetapi ini bukan spesialisasi,karena tanpa penguasaan sebagai “generalist”, mustahil kita memperoleh seorang “specialist” yang baik. Bagaimana mungkin mendidik seorang dokter spesialis-bedah atau spesialis-THT, tanpa  melalui pendidikan dokter umum. Jadi apa sebenarnya yang diinginkan pasar-kerja ? Dan bagaimana kita menghadapinya ? Itulah pertanyaan yang harus diajukan setiap dekan fakultas hukum sebelum memulai tugasnya yang berat mempersiapkan lulusannya untuk pasar-kerja terkini.

Menurut saya, yang dikritik pasar-kerja adalah sarjana hukum yang tidak menguasai ilmu hukum dalam melakukan tugasnya di masyarakat.Dia tidak memahami dengan baik asas- asas hukum (seperti seorang dokter yang tidak menguasai anatomi manusia) dan tidak memakai penalaran-hukum dalam “membedah” suatu kasus (seperti dokter yang mencoba memahami suatu keluhan pasiennya tanpa melalui ilmu kedokterannya).Solusinya semua adalah pada pengetahuan pengantar tentang asas-asas hukum dan cara bekerja melalui penalaran-hukum (legal reasoning) yang diberikan secara mendalam hingga harus benar-benar dikuasai mahasiswa, sebelum boleh melanjutkan ke matakuliah yang khusus. Disamping itu para mahasiswa harus dilatih “kemahiran hukum” (legal skills),baik dalam tulisan maupun lisan, tetapi terutama dalam cara berpikir dengan nalar-hukum.       


Tujuan Pendidikan Hukum:Akademisi atau Profesi?

Perlukah kita membandingkan pendidikan hukum kita yang mengakar ke model Belanda dengan pendidikan hukum di Amerika Serikat? Di Amerika Serikat (AS) law schools dikategorikan sebagai professional schools sama dengan medical schools.Ada kecenderungan sarjana hukum kita lulusan pendidikan di AS untuk menghendaki hal ini terjadi di Indonesia. Sering dikatakan bahwa pendidikan hukum di Indonesia terlalu “akademik”.Menanggapi hal ini, saya selalu mengatakan bahwa fakultas hukum di AS juga tetap menjalankan program “akademik” dan tidak sebagai pendapat mereka, mengkhususkan pada program “profesi”.

Memang dikatakan oleh American Bar Association agar fakultas hukumnya “prepares its students for admission to the bar and effective responsible participation in the legal profession”, tetapi dalam penjelasannya dikatakan pula agar menjaga secara ketat “its academic program”.Sebagian besar lulusannya akan bekerja dalam profesi hukum: di pengadilan, kejaksaan dan sebagai advokat atau in-house lawyer suatu korporasi.

Di Belanda, juridische faculteit tidak pernah dinamakan professional school, tetapi sama seperti di AS dan Indonesia lulusannya juga akan bekerja dalam profesi hukum, meskipun pendidikannya dikategorikan sebagai program akademik. Jadi model Belanda yang kita acu juga baik, tidak kalah dengan model AS.

Karena itu,menurut saya tidak keliru konsep kurikulum nasional untuk fakultas hukum kita tahun 1993/1994, yang menyatakan bahwa programnya adalah “program akademik”, tetapi diberi pendekatan “profesi” melalui pendidikan dan latihan profesi kemahiran hukum (legal professional skills program), yaitu melalui konsep “laboratorium-hukum” yang dianjurkan ada pada setiap fakultas hukum. Tetapi sayangnya tidak diikuti dengan baik,juga oleh fakultas hukum pembina,karena adanya resistensi dari dosen-dosen senior.  


Pendidikan Hukum Kita Harus Menunjang Pembangunan

Indonesia sebagai negara yang sedang membangun, tentu mengharapkan bahwa lulusan pendidikan tinggi hukumnya harus dapat menyumbang pada perkembangan pembangunan. Pendekatan umum sekarang adalah bahwa sistem hukum dan peradilan kita adalah penting bukan saja untuk menjamin keamanan dan keadilan bagi warga masyarakat, tetapi juga teramat penting bagi perkembangan ekonomi bangsa. Kita mengharapkan suatu sistem hukum yang efisien, yang dapat dipercaya integritasnya serta mampu memberi keadilan. Ini tentunya tidak saja penting untuk warga negara, tetapi juga penting untuk memberi kepercayaan kepada para pebisnis luar negeri, terutama para investor asing.

Disamping itu, jangan lupa pula bahwa kita harus menyempurnakan bagian-bagian tertentu dari sistem hukum kita agar dapat memenuhi persyaratan cross-border trade.Sejumlah rencana ASEAN, seperti ASEAN Free Trade Area (AFTA), maupun Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), harus dimanfaatkan untuk menyempurnakan kurikulum fakultas hukum, agar lulusannya dapat bersaing di pasar kerja internasional. Jangan dilupakan pula kewajiban-kewajiban kita dibawah ketentuan-ketentuan World Trade Organisation (WTO) dalam perdagangan internasional yang harus dipahami oleh lulusan kita.

Singkatnya, kalau pendidikan tinggi hukum kita ingin menunjang pembangunan, maka para lulusan kita harus disiapkan untuk turut serta membangun suatu sistem hukum yang kuat, yang menunjang pemerintahan yang demokratis dan transparan, serta membantu diwujudkannya good corporate governance di perusahaan-perusahaan pemerintah dan swasta.

Dalam rangka WTO Indonesia, cepat atau lambat, mau atau tidak-mau, harus membuka dirinya terhadap bekerjanya tenaga-tenaga professional asing di Indonesia.Kita tidak boleh takut dan menutup diri, yang harus diikhtiarkan adalah agar lulusan fakultas hukum kita siap menjadi tenaga profesional yang tidak kalah dengan tenaga-tenaga asing, tidak saja pengetahuannya tentang hukum Indonesia, tetapi juga dalam adu argumentasi dalam forum perundingan (negosiasi) internasional.


Sarjana Hukum Yang Membawa Keadilan

Apakah yang lebih penting SH yang jujur dan bermoral yang membawa kedamaian dan keadilan ataukah SH yang pandai, licin dan lihay yang menjamin kemenangan bagi yang diwakilinya?[1] Polarisasi pendapat ini, tidak akan mudah selesai diperdebatkan. Seperti juga pada profesi polisi, masyarakat akan selalu bersikap ambivalen – pada peristiwa kita menjadi korban kejahatan, kita akan mencari bantuan polisi, tetapi pada waktu kita merasa melanggar hukum lalu-lintas, kita tidak suka pada polisi.

Sikap ambivalen ini juga dapat kita lihat pada pernyataan berbagai kalangan (termasuk tokoh-tokoh hukum) di media massa, pada satu pihak mereka mendambakan para sarjana hukum, hakim,jaksa/penuntut umum dan advokat, selalu berperilaku adil dan berintegritas, namun dalam hal terkait perkaranya sendiri atau yang diwakilinya, maka SH yang “street wise” yang jadi idolanya. Memang begitulah kenyataan empiri yang dihadapi dalam masyarakat kita.Apa arti “streetwise” ? Tidak lain daripada “tahu jalan” di kantor-kantor penegak-hukum” – licin dan lihay menghadapi lawan dan rintangan hukum ataupun non-hukum.

Apa moral pendapat saya ini ? Kita harus memahami bahwa banyak retorika diucapkan juga oleh idola tokoh-tokoh hukum kita.Yang menjadi prinsip dan pedoman saya adalah, bahwa kita mengikuti saja bagaimana “moral hati-nurani (mata-hati) kita” (our moral conscience). Tentunya kita juga dipedomani oleh etika profesi hukum kita.Sayangnya di Indonesia kita baru sampai pada retorika tentang sanksi-disiplin pada pelanggaran etika-profesi.


Kemahiran Yang Harus Dipunyai

Senjata utama SH adalah kemampuan berbahasa Indonesia, tulisan dan lisan. Kemampuan menyampaikan pendapat secara logis dan argumentatif, artinya berpikir seperti seorang sarjana hukum. Dalam pemikiran seperti ini,maka Konsorsium Ilmu Hukum menganjurkan fakultas hukum melakukan “pendidikan dan latihan kemahiran hukum” (legal skills training)

sebagai matakuliah wajib dengan 6 SKS. Untuk hal itu disarankan adanya Laboratorium Hukum di setiap fakultas hukum. Melalui lab-hukum ini ingin dituju cita-cita memberi sifat professional school kepada fakultas hukum setara dengan medical school dan school of engineering (yang masing-masing mendidik lulusannya juga melalui laboratorium). Sayangnya terobosan melalui kurikulum 1993 ini tidak dimanfaatkan oleh fakultas hukum utama di Indonesia, untuk memulai pendidikan dan kurikulum baru.

Konsorsium Ilmu Hukum berpendapat bahwa lab-hukum, secara analogi dan metaforis dapat dilukiskan sebagai “jantung” dan “paru-paru” re-orientasi pendidikan tinggi hukum di Indonesia (jantung mengedarkan darah,yang memuat oksigen yang dihasilkan paru-paru).  Lab-hukum diharapkan dapat mensirkulasikan kesempatan-kesempatan baru dan mutahir untuk menyelenggarakan pendidikan kemahiran hukum dan memasukkan/memuat dalam sirkulasi tersebut metoda-metoda pengajaran baru.

Ada tiga unit-kerja yang merupakan inti dari “legal skills training”, yaitu unit-litigasi, unit-non-litigasi dan unit-bantuan hukum untuk orang miskin.Dalam pemikiran selanjutnya disarankan pula adanya unit-penulisan hukum dan unit-kemahiran berbahasa hukum. Kelima unit-kerja dalam lab-hukum ini diharapkan dapat memperbaiki kesiapan lulusan sarjana hukum memasuki pasaran kerja (setara dengan seorang dokter bekerja di rumah sakit atau seorang insinyur bekerja di sebuah pabrik). Struktur organisasi kelima unit kerja ini disarankan secara bebas dapat dilakukan oleh setiap fakultas.

Kemahiran berbahasa hukum, tidak saja untuk bahasa Indonesia (seperti kita lihat dari putusan pengadilan,maupun dokumen JPU dan Advokat yang sering buruk sekali), tetapi juga untuk bahasa Inggris. Berbeda dengan Singapura dan Malaysia, bahasa bekerja sarjana hukum kita bukan bahasa Inggris, suatu bahasa internasional. Banyak peraturan bisnis internasional, maupun kontraknya berbahasa Inggris, dengan dasarnya dua sentra keuangan dunia London dan New York. Kemahiran memahami bahasa hukum kontrak itu, dapat dipelajari. Lab-hukum dapat melakukan hal itu.Bekerja sama dengan kantor hukum untuk sistem magang juga membantu.

Globalisasi dunia menyebabkan cepatnya perubahan dunia bisnis, penguasaan teknologi dan informasi komputer dan internet juga perlu diberikan sebagai kemahiran untuk mengantisipasi revolusi-digital abad ini. Kemahiran bekerja dalam kantor hukum, harus dipersiapkan untuk para lulusan, tidak saja bekerja di kantor hukum lokal, tetapi juga kantor hukum offshore,dan perusahaan multi-nasional serta lembaga-lembaga keuangan global. Kemahiran seperti ini juga merupakan tanggungjawab lab-hukum.    


Kurikulum Fakultas Hukum

Sarjana Hukum (pendidikan strata-1) adalah tenaga ahli yang akan memasuki dunia profesi. Mereka adalah yang akan menjadi advokat,penuntut umum dan hakim.Sebagian juga akan bekerja dalam organisasi pemerintah dan swasta sebagai ahli hukum intern (in-house lawyer).

Keahlian mereka akan mencerminkan tingkat pendidikan tinggi hukum di Indonesia secara umum. Pengetahuan lulusan kita tentang asas-asas hukum, teori dan konsep hukum, serta hukum positip (dalam peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi) adalah utama.

Menurut saya, kurikulum 1993 (Keputusan Mendikbud No17/1993-24 Februari) yang mengubah kurikulum sebelumnya (tahun 1983), masih tetap dapat dijadikan acuan, karena mendukung pengajaran aktif (actieve teaching method) dan pendidikan kemahiran hukum (legal skills training). Perubahan-perubahan yang dilakukan oleh “paguyuban para dekan fakultas hukum”setelah 2003 tidak saya ketahui dasarnya.Mudah-mudahan tetap pada prinsip pengajaran aktif dan pendidikan kemahiran hukum. Perlu diketahui pula bahwa kurikulum 1993 ini didasarkan pada suatu studi mendalam oleh Konsorsium Ilmu Hukum pada tahun 1991, yang sudah mempersoalkan kurikulum “sarjana hukum profesional” yang harus memiliki tanggungjawab atas tugasnya di bidang ilmu hukum. Citra lulusan fakultas hukum pada waktu itu (awal 1990-an) yang banyak dikritik, ingin diperbaiki dengan kurikulum yang menanamkan sifat-sifat berani mempertanggungjawabkan perbuatannya (accountability), dapat dipercaya (reliability) dan kesetiaan (faithfulness) pada masalah hukum yang diwakilinya. Mudah-mudahan unsur-unsur di atas ini tetap dipertahankan dalam pelaksanaan kurikulum fakultas hukum sekarang ini.        


Keadaan Pendidikan Tinggi Hukum Kita

Sekarang jumlah Fakultas Hukum dan Sekolah Tinggi Hukum di seluruh Indonesia adalah 330 buah, terdiri atas 306 fakultas dan 24 sekolah tinggi. Kalau pukul rata mereka menghasilkan 100 SH dalam setahun (tentu yang besar lebih, mungkin sampai 2-300 dan yang kecil hanya 20-50), maka total lulusan sekolah negeri dan swasta adalah 33.000 SH (per tahun).Untuk penduduk Indonesia sebanyak 240 juta, ini tidak banyak. Duapuluh tahun yang lalu perkiraan lulusan baru 13.000 SH per tahun !

Para lulusan ini akan memasuki pasar-kerja dengan membawa keahliannya. Sebagian akan memasuki dunia profesi hukum sebagai hakim, penuntut umum, advokat, notaris dan juga sebagai ahli-hukum intern perusahaan swasta dan pemerintah, maupun sebagai ahli-hukum di kantor-kantor pemerintah pusat dan swasta. Andalan mayarakat tentunya adalah keahlian mereka di bidang hukum, kalau hal ini kurang-baik, maka kita akan mendapat keadaan seperti dokter yang memberi pasiennya obat yang keliru (yang mungkin fatal) atau seorang insinyur yang membangun jembatan dengan perhitungan keliru (yang mungkin roboh). Di bidang hukum, maka yang kritis adalah jabatan-jabatan hukum seperti hakim,penuntut umum,advokat,notaris dan ahli hukum yang memberi nasihat hukum intern (in-house lawyer). Kekeliruan pemahaman hukum mereka dapat berakibat kerugian atau penderitaan besar bagi korbannya.

Kemungkinan besar keadaan iklim hukum dan perundang-undangan sekarang ini, yang dianggap berbagai pihak sebagai tanpa kepastian hukum atau sekurang-kurangnya tidak mendorong kepercayaan kepada hukum, disebabkan oleh mereka, para sarjana hukum, yang pemahaman hukumnya memang kurang atau lebih parah lagi keliru, bertentangan dengan asas-asas hukum yang benar.


Kebijakan Menyelaraskan Pendidikan Tinggi Hukum Kita

Fakutas Hukum besar dan mapan harus memberi contoh dan membantu yang kecil dan lemah.Ketidakpercayaan pada Sarjana Hukum akan merugikan kita semua.Dengan banyaknya fakultas hukum lebih dari 300, maka mungkin hanya sekitar 30-an (10%) fakultas hukum negeri dan swasta yang dapat diandalkan sebagai fakultas “pembina”.Suatu konsorsium fakultas /sekolah tinggi hukum sebaiknya diadakan.Kompetisi diantara fakultas hukum boleh saja dilakukan dalam usaha meningkatkan mutu lulusan masing-masing fakultas.Namun perlu diingat bahwa apabila keadaan iklim dan sistem  hukum Indonesia “tercemar”, maka hal ini akan merusak pasar-kerja untuk lulusan fakultas hukum.Adalah untuk kepentingan masing-masing fakultas besar dan mapan,bahwa mereka berusaha agar lulusan fakultas hukum yang 90% tidak akan merusak pasaran-kerja karena hilangnya kepercayaan kepada hukum dan turunnya gengsi sebagai sarjana hukum.

Apa lagi yang dapat dilakukan oleh fakultas hukum besar dan mapan? Menurut saya membantu memberi ulasan pada putusan Mahkamah Agung.Sebaiknya dibentuk kembali suatu konsorsium ilmu hukum,yang kemudian membentuk sub-konsorsium yang dapat menerbitkan komentar atas putusan-putusan Mahkamah Agung dan putusan-putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang patut dikomentari.Seharusnya,disamping majalah hukum  masing-masing  fakultas, kita bersama-sama bergabung (dana,manajemen dan keahlian) untuk membuat semacam “Law Report”(analisa dan komentar ilmiah atas putusan pengadilan).Dengan melalui situs web hasil ini dapat diakses dengan mudah.Tugas dosen adalah selalu siap membahas dan menjawab pertanyaan sehubungan dengan muatan “Law Report” ini.Mudah-mudahan hasil positif situs web ini adalah sekurang-kurangnya : a)para hakim akan lebih cermat dalam menyusun legal reasoning putusannya, b)para mahasiswa belajar hukum yang ada dalam praktek, dan c)para dosen menyesuaikan perkuliahannya dengan keperluan dan pengertian dalam praktek.

Penutup
Pengamatan dan saran dari seseorang yang lebih 50 tahun bekerja di dunia pendidikan tinggi hukum di atas, ingin ditutup dengan pendapat berikut. Hukum adalah suatu alat pengendali sosial yang rumit. Alat ini memerlukan penyempurnaan terus menerus sesuai dengan dinamika masyarakat,dan sewaktu-waktu perlu dirombak total bagian-bagian tertentunya. Perobahan sosial yang diharapkan untuk menuju masyarakat adil dan makmur dapat dipelopori melalui hukum, dan untuk itu diperlukan profesi hukum yang berkemampuan tinggi dan berintegritas sempurna.Adalah seharusnya cita-cita fakultas hukum menyumbang ke arah ini melalui lulusan-lulusannya.


* Makalah ini telah disampaikan pada ulang tahun ke 15 Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan.
**Sarjana Hukum UI (1961); MA Criminology University of Pennsylvania (1967).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar