Kamis, 14 November 2013

Adakah Ambivalensi dalam Kita Menghadapi RPP Penyadapan?*



Ambivalensi berarti kita tidak konsisten, pikiran kita bercabang dua. Pada satu pihak kita sangat meragukan integritas para pejabat negara kita. Kita menyangsikan bahwa mereka akan benar-benar bekerja secara professional dalam jabatan mereka, kita berprasangka bahwa akan terjadi banyak “abuse of power”, baik “political power” (oleh birokrasi) secara mandiri, maupun dengan dorongan “economic/business power” (oleh kalangan swasta dan bisnis),  yang akan meningkatkan  jumlah kasus korupsi di Indonesia. Namun, disisi lain kita mau  percaya, bahwa “abuse of power”  (penyalahgunaan kewenangan) ini tidak akan terjadi, apabila pejabat penegak hukum kita diberi kewenangan penyadapan (wiretapping powers) yang tidak terkendali oleh peraturan.
Mungkin harus kita lihat sisi lain dari “wiretapping powers” ini, disamping keberhasilannya membongkar sejumlah perkara korupsi besar dalam kalangan pejabat-pejabat negara kita.
Penggunaan “penyadapan” (wiretapping) dan penggunaan  “penjebakan” (entrapment) pasti sudah lama dipergunakan oleh petugas-petugas intelijen di Indonesia. Usaha menyelidiki dan menyidik mereka yang disangka akan membahayakan negara (subversi; teror) antara lain dilakukan melalui penyadapan pembicaraan antar mereka (telepon, lisan, khotbah) atau dengan menyelundupkan seorang petugas yang kemudian menjebak mereka dalam perbuatan pelanggaran hukumnya (jual beli narkotika dengan “agent provocateur”).
Apakah hal semacam ini dibenarkan? Dalam hal perbuatan alat penegak hukum adalah untuk menjaga keselamatan negara (state/national security) terhadap perbuatan makar atau teror, tentu kita mungkin akan membenarkannya. Inilah yang terjadi di Amerika Serikat setelah 11 September 2001 (penyerangan atas Gedung World Trade Center di New York). Kecemasan akan “hantu” orang Muslim anak buah Al Qaeda yang akan mengulangi perbuatan tersebut, kabarnya, telah menyebabkan penggunaan penyadapan yang “berlebihan” terhadap warga Amerika, terutama yang beragama Islam. Kecemasan serupa sebenarnya telah ada pula, sebelum 11 September 2001, khususnya terhadap kejahatan terorganisasi (organized crime) di bidang narkotika dan penjualan senjata gelap. Disinipun penyadapan memang adalah alat yang ampuh!

Ada tiga jenis komunikasi yang dapat disadap melalui alat-alat canggih : a) Wire communications  (telepon rumah/kantor), b) oral communications (di kantor, tempat umum, rumah/kamar tidur), dan c) electronic communications (telepon genggam, e-mail, fax). Salah satu alat canggih adalah “alat pendengar” kecil yang tersembunyi (listening devices; bugs) yang dapat dipasang (disembunyikan) dalam mobil kita dan kamar-kamar di rumah kita. Pasti kita pun telah menyadari bahwa hal ini telah melanggar hak asasi manusia (koruptor, teroris, penjual narkotika, semua adalah juga manusia !).
Sepanjang pengetahuan saya, konstitusi kita melindungi hak privasi saya atas rumah, komunikasi dan surat-menyurat saya. Bagaimana kalau ada “dugaan sementara” bahwa saya akan melanggar hukum? Dapatkah dalam “penyelidikan” (mungkin berdasar informasi orang yang menaruh dendam pada saya) dilakukan penyadapan atas komunikasi saya di rumah (kamar tidur saya?) atau/dan pembicaraan melalui telepon genggam (HP) saya? Bagaimanakah bilamana penyadapan komunikasi saya tidak menghasilkan sesuatu yang dapat dipakai sebagai bukti, bahwa saya telah atau akan melakukan  korupsi, atau penyuapan, atau transaksi narkoba, ataupun merencanakan makar. Tetapi memang ada informasi-informasi yang sangat pribadi yang terungkap dari komunikasi di mobil pribadi dan kamar tidur saya? Bagaimana saya tahu, bahwa informasi ini tidak tersebar atau akan dipakai memeras saya? Haruskah sekarang saya percaya dan yakin, bahwa para petugas akan bekerja profesional dan mempunyai integritas yang tinggi, tidak akan menyalahgunakan informasi pribadi ini? Dan memusnahkan informasi pribadi saya itu ?

Inilah yang membuat saya ambivalen,berpikiran bercabang, tidak percaya akan integritas para pejabat dan petugas, dan karena itu merasa mereka perlu diawasi, dipedomani etika profesional melalui peraturan dan komisi-komisi pengawas. Tetapi dipihak lain, dalam hal penyadapan terhadap komunikasi saya, di minta saya percaya akan integritas petugas-petugas kita, demi tujuan yang lebih mulia: memberantas korupsi, terorisme dan perdagangan narkoba. Saya masih bingung! Apakah memang ada hak dasar saya “inviolability of the home” (privacy doctrine) dalam konstitusi kita ? Apakah tidak sebaiknya intersepsi semacam ini: a)hanya ditujukan kepada jenis kejahatan yang sangat serius yang didefinisikan dengan jelas oleh undang-undang, b)dilakukan benar-benar hanya sebagai ultimum remedium, c) setiap kali dibatasi waktunya, d)dilakukan dengan ijin dari suatu lembaga yang berada di luar institusi yang akan melakukan penyadapan (penilaian keperluannya oleh pihak ketiga), dan e)ada laporan berkala kepada DPR (Komisi Khusus) secara berkala, agar ada akuntabilitas !

Sebagai pemikiran lanjutan, saya juga mengharapkan bahwa apabila komunikasi pribadi saya disadap, dan ternyata tidak ditemukan informasi pelanggaran hukum yang diduga akan atau telah saya lakukan, diberitahukan hal tersebut kepada saya. Bukankah ini pantas dilakukan dalam Negara yang ingin membangun budaya keterbukaan informasi dan tidak mau disebut sebagai “politie staat” ?  

*Tulisan ini telah dimuat dalam Newsletter KHN - DESAIN HUKUM Vol. 10, No.1, Jan – Feb. 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar