Ambivalensi berarti kita tidak konsisten,
pikiran kita bercabang dua. Pada satu pihak kita sangat meragukan integritas
para pejabat negara kita. Kita menyangsikan bahwa mereka akan benar-benar
bekerja secara professional dalam jabatan mereka, kita berprasangka bahwa akan
terjadi banyak “abuse of power”, baik “political power” (oleh birokrasi) secara
mandiri, maupun dengan dorongan “economic/business power” (oleh kalangan swasta
dan bisnis), yang akan meningkatkan jumlah kasus korupsi di
Indonesia. Namun, disisi lain kita mau percaya, bahwa “abuse of
power” (penyalahgunaan kewenangan) ini tidak akan terjadi, apabila
pejabat penegak hukum kita diberi kewenangan penyadapan (wiretapping powers)
yang tidak terkendali oleh peraturan.
Mungkin harus kita lihat sisi lain dari “wiretapping
powers” ini, disamping keberhasilannya membongkar sejumlah perkara korupsi
besar dalam kalangan pejabat-pejabat negara kita.
Penggunaan “penyadapan” (wiretapping)
dan penggunaan “penjebakan” (entrapment) pasti sudah lama
dipergunakan oleh petugas-petugas intelijen di Indonesia. Usaha menyelidiki dan
menyidik mereka yang disangka akan membahayakan negara (subversi; teror) antara
lain dilakukan melalui penyadapan pembicaraan antar mereka (telepon, lisan,
khotbah) atau dengan menyelundupkan seorang petugas yang kemudian menjebak
mereka dalam perbuatan pelanggaran hukumnya (jual beli narkotika dengan “agent
provocateur”).
Apakah hal semacam ini dibenarkan? Dalam hal
perbuatan alat penegak hukum adalah untuk menjaga keselamatan negara (state/national
security) terhadap perbuatan makar atau teror, tentu kita mungkin akan
membenarkannya. Inilah yang terjadi di Amerika Serikat setelah 11 September
2001 (penyerangan atas Gedung World Trade Center di New York). Kecemasan akan
“hantu” orang Muslim anak buah Al Qaeda yang akan mengulangi perbuatan
tersebut, kabarnya, telah menyebabkan penggunaan penyadapan yang “berlebihan”
terhadap warga Amerika, terutama yang beragama Islam. Kecemasan serupa sebenarnya
telah ada pula, sebelum 11 September 2001, khususnya terhadap kejahatan
terorganisasi (organized crime) di bidang narkotika dan penjualan
senjata gelap. Disinipun penyadapan memang adalah alat yang ampuh!
Ada tiga jenis komunikasi yang dapat disadap
melalui alat-alat canggih : a) Wire communications (telepon
rumah/kantor), b) oral communications (di kantor, tempat umum,
rumah/kamar tidur), dan c) electronic communications (telepon genggam,
e-mail, fax). Salah satu alat canggih adalah “alat pendengar” kecil yang
tersembunyi (listening devices; bugs) yang dapat dipasang
(disembunyikan) dalam mobil kita dan kamar-kamar di rumah kita. Pasti kita pun
telah menyadari bahwa hal ini telah melanggar hak asasi manusia (koruptor,
teroris, penjual narkotika, semua adalah juga manusia !).
Sepanjang pengetahuan saya, konstitusi kita
melindungi hak privasi saya atas rumah, komunikasi dan surat-menyurat saya.
Bagaimana kalau ada “dugaan sementara” bahwa saya akan melanggar hukum?
Dapatkah dalam “penyelidikan” (mungkin berdasar informasi orang yang menaruh
dendam pada saya) dilakukan penyadapan atas komunikasi saya di rumah (kamar
tidur saya?) atau/dan pembicaraan melalui telepon genggam (HP) saya?
Bagaimanakah bilamana penyadapan komunikasi saya tidak menghasilkan sesuatu
yang dapat dipakai sebagai bukti, bahwa saya telah atau akan melakukan
korupsi, atau penyuapan, atau transaksi narkoba, ataupun merencanakan makar.
Tetapi memang ada informasi-informasi yang sangat pribadi yang terungkap dari
komunikasi di mobil pribadi dan kamar tidur saya? Bagaimana saya tahu, bahwa
informasi ini tidak tersebar atau akan dipakai memeras saya? Haruskah sekarang
saya percaya dan yakin, bahwa para petugas akan bekerja profesional dan
mempunyai integritas yang tinggi, tidak akan menyalahgunakan informasi pribadi
ini? Dan memusnahkan informasi pribadi saya itu ?
Inilah yang membuat saya ambivalen,berpikiran
bercabang, tidak percaya akan integritas para pejabat dan petugas, dan karena
itu merasa mereka perlu diawasi, dipedomani etika profesional melalui peraturan
dan komisi-komisi pengawas. Tetapi dipihak lain, dalam hal penyadapan terhadap
komunikasi saya, di minta saya percaya akan integritas petugas-petugas kita,
demi tujuan yang lebih mulia: memberantas korupsi, terorisme dan perdagangan
narkoba. Saya masih bingung! Apakah memang ada hak dasar saya “inviolability
of the home” (privacy doctrine) dalam konstitusi kita ? Apakah tidak
sebaiknya intersepsi semacam ini: a)hanya ditujukan kepada jenis kejahatan yang
sangat serius yang didefinisikan dengan jelas oleh undang-undang, b)dilakukan
benar-benar hanya sebagai ultimum remedium, c) setiap kali dibatasi
waktunya, d)dilakukan dengan ijin dari suatu lembaga yang berada di luar
institusi yang akan melakukan penyadapan (penilaian keperluannya oleh pihak
ketiga), dan e)ada laporan berkala kepada DPR (Komisi Khusus) secara berkala,
agar ada akuntabilitas !
Sebagai pemikiran lanjutan, saya juga
mengharapkan bahwa apabila komunikasi pribadi saya disadap, dan ternyata tidak
ditemukan informasi pelanggaran hukum yang diduga akan atau telah saya lakukan,
diberitahukan hal tersebut kepada saya. Bukankah ini pantas dilakukan dalam
Negara yang ingin membangun budaya keterbukaan informasi dan tidak mau disebut sebagai
“politie staat” ?
*Tulisan ini telah dimuat dalam Newsletter KHN - DESAIN HUKUM Vol. 10, No.1, Jan – Feb. 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar